Keterasingan Potensial dalam Kebangkitan Dunia Stoa

Ilustrasi Daud dan Goliat
Ilustrasi Daud dan Goliat

Tampaknya sebuah pepatah terkenal yang menyatakan bahwa sejarah mengulang dirinya sendiri cukup memiliki bukti yang kokoh. Salah satu manifestasi dari penggenapan pepatah tersebut adalah munculnya sebuah filsafat kuno ke alam modern, layaknya sebuah mumi yang dibangkitkan dan melalui perpindahan menggunakan mesin waktu. Filsafat kuno itu adalah stoikisme, yang didirikan oleh Zeno dari Citium sekitar tahun 300 SM dan ajarannya dihidupkan oleh filsuf-filsuf Yunani dan Romawi klasik seperti Seneca, Epictetus si budak, dan Marcus Aurelius sang Kaisar Roma. Kini sepertinya dunia stoa itu enggan berdiam diri di dalam pikiran tokoh-tokohnya yang sudah lapuk, namun berusaha untuk bangkit melalui gema lintas milenium.

Pada dekade terakhir ini, popularitas stoikisme sebagai pandangan hidup baru dari dunia kuno kembali meningkat berkat beberapa penulis modern yang mengangkat kembali dunia stoa dari kedalaman, seperti Ryan Holiday melalui The Daily Stoic (2016) dan Massimo Pigliucci dengan bukunya How to Be Stoic (2017). Melalui analisa tren di pencarian Google pun, topik terkait stoikisme mengalami peningkatan yang signifikan sekitar 300% dari tahun 2016 – 2023. Di Indonesia sendiri, dunia stoa bangkit terutama melalui buku Filosofi Teras oleh Henry Manampiring yang mulai populer di tahun 2021 sebagai buku self-help atau self-improvement yang diikuti dengan membanjirnya kutipan-kutipan filsuf stoa kuno di media sosial. Para penulis stoa modern ini sepakat bahwa filsafat stoikisme memiliki fleksibilitas yang tinggi, dapat dengan mudah dipersonalisasi bagi penghayat barunya, serta kompatibel untuk siapa saja dan sepanjang masa. Kemungkinan klaim-klaim tersebut ditonjolkan sebagai salah satu cara pemasaran dan branding bagi calon pembacanya agar mereka dapat menghidupi stoa secara instan.

Konsep stoa yang khas seperti dikotomi kendali, kesederhanaan, dan stabilitas emosi, menjadi magnet yang luar biasa bagi masyarakat dalam melihat filsafat kuno ini. Selama ini filsafat mungkin gagal menunjukkan kegunaan praktisnya dalam kehidupan sehari-hari, namun stoikisme berhasil mematahkan stigma lama ‘filsafat tidak dipakai untuk memanggang roti’.

Namun layaknya sistem filsafat yang manusiawi, stoikisme juga memiliki celah masalah yang dapat dikritik, baik dalam bentuknya yang modern maupun yang kuno. Setidaknya stoikisme melalui ajaran penahanan dirinya memiliki kecenderungan untuk disebut sebagai petuah demotivasi alih-alih memotivasi. Nietzsche dalam bukunya Beyond Good and Evil mengkritik keras para penganut stoik dan menganggap ide-ide stoa hanya bentuk tirani atas diri sendiri. Ambillah contoh buku Meditasi sebagai refleksi pribadi Marcus Aurelius yang memiliki nuansa pasifis dan pesimistik dengan modal utama yang terlalu pasrah dan menghamba pada penyerahan diri, salah satu pernyataannnya diramukan dalam kalimat berikut: “Hapus persepsi yang kau miliki dan dengan demikian kau telah menghilangkan keluhan, singkirkan keluhan ‘aku tersakiti,’ maka rasa sakit itu akan terhapus.” (Buku ke-4 Meditasi). Sedangkan Epictetus melalui kompilasi ajarannya yang berjudul Enchiridion walaupun lebih berani untuk mendobrak sisi pesimistis kaum stoa, namun dia tidak benar-benar mengupayakan diri untuk lari dari pasifisme dan lebih menekankan pada dikotomi kendali yang ketat seperti terlihat pada ayat-ayat pertama Enchiridion.

Adanya bentuk-bentuk demotivasi ini memiliki peluang untuk berujung pada alienasi. Stoa, terutama yang dibawa oleh penulis modern, setidaknya memiliki potensi untuk berkembangnya rasa alienasi atau keterasingan bagi penghayatnya, terutama jika tidak dipelajari dengan baik dan hanya sebatas sebagai kiat-kiat instan yang cenderung picisan.

Setiap penulis stoa modern setuju bahwa dikotomi kendali adalah aspek yang penting dalam stoikisme. Konsep ini mengajarkan bahwa ada beberapa hal yang dapat dikendalikan dan tidak.  Kebahagiaan dapat dicapai jika kita berfokus hanya pada hal-hal yang berada di bawah kendali kita. Padahal nyatanya, jika direfleksikan kembali, sebenarnya hal-hal yang benar-benar di bawah kendali kita hanyalah diri kita sendiri, dan itu tidak sebanding dengan segala sesuatu di luar kendali kita yang jumlahnya tidak terbatas. Maka secara probabilitas, akan ada banyak peluang sumber derita potensial di luar sana dibandingkan dengan sumber kebahagiaan yang hanya ada di diri sendiri. Konsep ini berpeluang menumbuhkan perasaan keterasingan diri di hadapan dunia yang tidak bisa dikendalikannya, serupa dengan kisah Raja Daud yang melawan raksasa Goliat dalam kisah Perjanjian Lama.

Hal ini membawa kita pada masalah kedua dari dunia stoa, yaitu ketakutan yang ekstrim terhadap emosi yang kuat, terutama emosi negatif. Epictetus mendikte kita bahwa: “Ketika kau mencium istri atau anakmu, katakan bahwa kau sedang mencium manusia, maka jika mereka meninggal, kau tidak akan berduka” (Enchiridion ayat 3). Penekanan emosi merupakan tindakan yang tidak manusiawi, sebab segala bentuk emosi baik positif maupun negatif adalah bagian yang valid dari manusia. Jika stoa menuntut kita untuk tetap berpikir positif, maka semua penganutnya akan terjangkiti toxic positivity, alienasi dengan dirinya sendiri, menipu diri, dan akan menumbuhkan sikap apatis terhadap emosi yang tumbuh. Apalagi jika premis stoa mendeklarasikan bahwa satu-satunya hal yang bisa dikendalikan hanyalah diri sendiri, maka segala hal di luar dirinya memiliki peluang besar untuk menyumbang penderitaan bagi manusia sebab tidak semua hal di luar sana seturut dengan kehendak dan keinginan diri, maka kemungkinan manusia untuk berbahagia akan mendekati nol. Padahal nyatanya selayaknya emosi lain, emosi negatif harus dijamu layaknya tamu untuk dirayakan dengan menari bersamanya.

Masalah ketiga yang membebani dunia stoa adalah tuntutan untuk mengabaikan hal-hal eksternal, termasuk tindakan, opini, ucapan orang lain kepada para pengikutnya. Ketidakpedulian struktural pada dunia stoa akan dimaknai oleh penganut barunya untuk meyakini bahwa ia harus ‘bodo amat’ dengan hidup orang lain, dan mungkin akan mengambilnya dalam tingkat yang ekstrim sebagai ajakan untuk peniadaan empati dan menekankan penghargaan individualitas di atas kepentingan umum. Isu ketidakpedulian yang dibawa oleh dunia stoa ini akan menimbulkan alienasi individu dari kepekaannya terhadap dunia sosial di sekelilingnya.

Mungkin, rasa-rasanya ajaran stoa yang datang dari dunia klasik itu dewasa ini telah diturunkan derajatnya dari suatu sistem filsafat kuno yang agung menjadi hanya sekedar konsep-konsep self-help yang sempit. Isu-isu stoa yang mendalam dan membahas hal-hal yang jauh lebih epsitemik dan metafisik telah dikerdilkan menjadi solusi dan kiat instan menghadapi hidup bagi remaja labil. Maka, adalah tindakan yang bijak jika para pembaca dunia stoa mengambil penginsafan diri untuk mempelajari stoikisme dengan lebih mendalam hingga ke akarnya yang paling kuno.

Penginsafan yang dibawa oleh filsafat stoa adalah bentuk penyerahan diri yang sempurna pada ketidakberdayaan manusia di hadapan semesta. Bentuk-bentuk penginsafan itu sejatinya adalah suatu pilihan, dan setiap orang memiliki kehendak untuk membuatnya terlaksana atau tidak. Maka satu-satunya hal yang bebas kita lakukan dan memiliki kemungkinan tidak terbatas untuk mewujud dan mengatasi dunia eksternal yang juga sama-sama memiliki probabilitas tak terhingga, adalah dengan aktif berkehendak. Sama seperti ketika Daud mengalahkan Goliat, ia memiliki pilihan untuk berdiam diri dan tenggelam dihabisi sang raksasa atau melontarkan batu dengan ketapel kecilnya untuk mencoba melawan. Setiap pilihan itu ada di tangannya. Maka penginsafan pada stoa untuk mengatasi hilangnya kendali dan jatuhnya penganut stoa pada pasivitas adalah untuk kembali aktif berkehendak dengan lebih bijak. Mengadaptasi kata-kata dari Descartes, maka dalam koridor ini: “Aku berkehendak, maka aku ada.”

Maka di balik berbagai bentuk alienasi potensial yang mungkin dirasakan penganut stoa, dapat diambil suatu resolusi yang mungkin menjadi alternatif dengan meleburkan batasan-batasan dikotomi kendali, salah-satunya adalah dengan senantiasa berkehendak. Sebab dengan berkehendak, seseorang bisa membuat segala sesuatu menjadi mungkin. Jika keyakinan stoa menyatakan bahwa segala sesuatu yang terjadi di hidup kita dipenuhi ketidakpastian, maka kita perlu menyadari bahwa jika semua hal di semesta ini bersifat tidak pasti, maka semua hal juga adalah menjadi mungkin, dan dengan berkehendak, kita bisa mengubahnya menjadi harapan.

Referensi

Aurelius, Marcus, 2014, Meditations (diterjemahkan ke Bahasa Inggris oleh Martin Hammond), Penguin Classics, London.

Long, A.A., Epictetus, 2018, How to Be Free: An Ancient Guide to the Stoic Life, the Encheiridion and Selections from Discourses, Princeton University Press, Princeton.

Nietzsche, F., 1998, Beyond Good and Evil, Dover Publication, New York.

Dicky Cahyo Anggoro

Seorang apoteker yang gemar meramu perenungan filsafat

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.