fbpx

Makoto dan Magokoro: Pilar Aksiologis dalam Agama Shinto

Konsep Makoto (kejujuran dan ketulusan) dan Magokoro (hati yang tulus) menjadi pilar aksiologis yang mendasar, menggarisbawahi pentingnya moralitas, integritas, dan perasaan tulus dalam kehidupan sehari-hari.
View of main gateway of Ninnaji Temple in Kyoto in spring 1926 karya Hiroshi Yoshida
View of main gateway of Ninnaji Temple in Kyoto in spring 1926 karya Hiroshi Yoshida

Agama Shinto adalah agama asli Jepang yang memiliki akar sejarah yang sangat dalam di dalam budaya dan masyarakat Jepang. Agama ini memiliki banyak ajaran dan keyakinan yang memengaruhi cara pandang orang Jepang terhadap dunia dan kehidupan mereka. Sementara itu, Aksiologi adalah cabang filsafat yang mempelajari nilai-nilai dan etika, mencoba memahami hakikat nilai, serta memberikan dasar-dasar untuk menilai kebaikan dan keburukan dalam berbagai konteks kehidupan.   

Salah satu aspek aksiologi yang sangat penting dalam agama Shinto adalah Makoto dan Magokoro dua konsep sentral dalam agama Shinto yang menggarisbawahi pentingnya moralitas, integritas, dan perasaan tulus dalam kehidupan sehari-hari. Dalam tulisan ini, saya akan menjelaskan kedua konsep ini dan bagaimana mereka memengaruhi pemahaman dan praktik agama Shinto.

Makoto (Kejujuran dan Ketulusan)

Makoto adalah salah satu konsep paling mendasar dalam agama Shinto. Kata “Makoto” dalam bahasa Jepang dapat diterjemahkan sebagai kejujuran atau ketulusan. Konsep ini merujuk pada tindakan jujur dan tulus hati, tanpa ada maksud tersembunyi atau niat yang tersembunyi. Makoto adalah nilai yang sangat dihormati dalam agama Shinto dan budaya Jepang secara umum.

Dalam konteks agama Shinto, Makoto adalah kunci untuk menjaga hubungan yang baik dengan roh-roh alam, dewa-dewa, dan sesama manusia. Orang-orang Shinto meyakini bahwa tindakan jujur dan tulus hati merupakan bagian penting dari menjaga kesucian batin. Ini berarti tidak hanya berperilaku jujur dalam interaksi dengan sesama manusia, tetapi juga menjaga integritas hati mereka dalam segala hal yang  dilakukan.

Makoto juga mencakup komitmen untuk memenuhi janji dan tanggung jawab dengan sungguh-sungguh. Orang-orang Shinto meyakini bahwa dengan menjaga Makoto, mereka dapat menciptakan hubungan yang harmonis dengan dunia spiritual, termasuk roh-roh alam dan dewa-dewa. Ini juga berkontribusi pada pemeliharaan perdamaian dan kesejahteraan dalam masyarakat.

Magokoro (Hati yang Tulus)

Magokoro adalah konsep lain yang penting dalam agama Shinto. Kata “Magokoro” dapat diterjemahkan sebagai hati yang tulus dan tulus. Dalam konteks agama Shinto, Magokoro mengacu pada perasaan kasih sayang, hormat, dan rasa terima kasih yang tulus terhadap alam, roh-roh suci, dewa-dewa, dan sesama manusia.

Magokoro melibatkan perasaan tulus yang mendalam terhadap segala sesuatu di sekitar kita. Ini menciptakan sikap yang menghargai dan meresapi keindahan alam serta memberikan penghormatan yang tulus kepada dewa-dewa Shinto. Magokoro mengajarkan bahwa hati yang tulus adalah kunci untuk menjaga hubungan yang harmonis dengan alam dan dunia spiritual.

Dalam praktik agama Shinto, Magokoro tercermin dalam banyak aspek kehidupan sehari-hari. Misalnya, ketika seseorang mengunjungi kuil Shinto, mereka seringkali membawa perasaan Magokoro dengan berbicara secara tulus kepada dewa atau roh suci dan melakukan persembahan sebagai ungkapan rasa terima kasih dan hormat.

Magokoro juga tercermin dalam hubungan sosial dan keluarga. Orang-orang Shinto meyakini bahwa memiliki Magokoro terhadap sesama manusia adalah cara untuk menciptakan lingkungan sosial yang positif dan mendukung.

Konsep Makoto (kejujuran dan ketulusan) dan Magokoro (hati yang tulus) menjadi pilar aksiologis yang mendasar, menggarisbawahi pentingnya moralitas, integritas, dan perasaan tulus dalam kehidupan sehari-hari. Makoto memandu tindakan jujur dan komitmen terhadap janji, menjaga kesucian batin, dan menciptakan hubungan harmonis dengan dunia spiritual. Sementara Magokoro melibatkan rasa terima kasih dan hormat yang tulus terhadap alam, dewa-dewa, dan sesama manusia. Keduanya tidak hanya membentuk praktik agama Shinto tetapi juga mencerminkan nilai-nilai yang kental dalam budaya Jepang, membimbing pandangan hidup dan tindakan masyarakat dalam menjaga keseimbangan dan harmoni.

Muhammad Ijlal Sasakki Junaidi

Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content