Rumah Ibadah yang Kosong
Rumah Ibadah yang Kosong

Kita sering menjumpai term ‘ateisme’ dalam kehidupan akademik, khususnya lingkup mahasiswa filsafat. Kata ini juga sering kita dengar dalam perdebatan agama, kajian agama dan diskursus mengenai studi teologi lainnya. Secara etimologi ateisme berasal dari bahasa Yunani ‘a’ berarti tidak, ‘theos’ berarti Tuhan, dan mendapatkan imbuhan ‘isme’ yang berarti suatu paham atau kelompok. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), secara terminologi ateisme adalah paham yang tidak mengakui adanya Tuhan.

Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Julian Baggini dalam bukunya Atheism: A Very Short Introduction. Menurutnya, ateisme yaitu kepercayaan bahwa tidak ada Tuhan atau dewa-dewi. Ateisme adalah kutub yang berlawanan dengan teisme. Teisme adalah golongan orang yang memercayai keberadaan Tuhan. Terlepas dari perdebatan antara golongan teisme dan ateisme, tanpa disadari keseharian kita terkadang sangat dekat dengan nuansa ateisme. Walaupun tidak secara teoretis kita mendeklarasikan diri sebagai seorang ateis, terkadang kita lebih dekat pada ateisme praktis.

Lebih jauh lagi, ateisme dibagi menjadi dua: ateisme teoretis dan ateisme praktis. Ateisme teoretis adalah jenis pemahaman yang terang-terangan mengaku dirinya sebagai seorang yang menyangkal keberadaan Tuhan. Ateisme praktis adalah konsep yang lebih fokus pada praktik yang mana seakan-akan tidak mengakui adanya Tuhan. Dalam Kamus Filsafat, Lorens Bagus menegaskan bahwa ateisme praktis adalah seorang penganut paham yang meyakini adanya Tuhan, tetapi menolak Tuhan dengan cara hidupnya.

Contoh ateisme praktis adalah ketika kita meyakini keberadaan Tuhan, tetapi malah melakukan hal-hal yang jauh dari norma agama. Katakanlah mencuri adalah hal yang semua orang sepakat bahwa itu perbuatan yang buruk. Hal ini merupakan perbuatan yang melanggar moral dan etika sosial serta melanggar norma agama yang nantinya mendapatkan dosa. Namun nyatanya, pada titik tertentu dalam ajaran beragama, hal ini juga bertentangan dengan konsep bahwa Tuhan itu Maha Melihat.

Contoh lain misalnya, beredarnya kasus pelecehan seksual oleh oknum-oknum agamawan. Padahal ia mendaku dirinya sebagai seorang pemuka agama yang kaya akan ilmu akhirat. Anomali ini tampaknya mempertegas bahwa seorang yang mengaku dirinya ahli agama sekalipun, tetapi realitanya sangat jauh dari moral dan norma agama. Hal ini seakan-akan meniadakan keberadaan Tuhan sebagai entitas yang Maha Mengetahui.

Tentunya kita yang percaya bahwa Tuhan Maha Melihat, secara jelas Tuhan akan mengetahui sikap dan gerak gerik kita di dunia. Sesungguhnya orang yang percaya bahwa Tuhan Maha Melihat tidak akan berani untuk mencuri atau melakukan perbuatan menyimpang lainnya. Walaupun orang lain tidak mengetahui perbuatannya. Hal ini merupakan bentuk pengabaian terhadap eksistensi Tuhan.

Perasaan egoisme berlebih dalam diri manusia terkadang juga menjadikan manusia lupa akan Tuhannya. Jika manusia memiliki suatu tujuan tertentu yang ingin dicapai misalnya, manusia akan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencapainya. Terkadang ia melupakan dimensi ketuhanan dalam proses pencapaiannya. Contohnya ketika ketika kita akan menghadapi ujian, kita diharuskan untuk tekun belajar, mempersiapkan materi yang akan diujikan dan mempersiapkan pakaian yang bagus dan rapi. Perlu diketahui bahwa hal tersebut merupakan perbekalan perihal materi saja.

Sebagai manusia yang bertuhan, kita percaya bahwa Tuhan adalah sumber jawaban, sumber pertolongan disaat akan menjalani sesuatu. Seringkali kita melupakan aspek spiritualitas dengan melupakan peran Tuhan dalam usaha-usaha kita. Selanjutnya, setelah ketika menuai nilai yang bagus dalam ujian, kita terkadang terlarut dalam euforia kesenangan. Seakan-akan dalam memeroleh nilai yang baik itu semata-mata hanya hasil dari jerih payah kehendak manusia murni. Yang mana kesenangan ini mengesampingkan peran Tuhan sebagai entitas yang memiliki kehendak.

Dalam hal tersebut, senada dengan apa yang diungkapkan oleh paham Mu’tazilah bahwa manusia memiliki kehendak bebas (freewill) dalam menentukan perbuatannya. Pemahaman ini menurut Teologi Asy’ariah lebih dekat dengan pemaknaan ateisme praktis yang mana tidak memiliki motivasi ketuhanan dalam prosesnya.

Ateisme praktis juga memiliki ruang lingkup yang tidak sempit. Orang yang tidak tahu akan Tuhan maupun Dewa-Dewi juga bisa dikatakan Ateisme praktis. Bahkan orang-orang yang mengesampingkan jejak-jejak intelektual tentang Tuhan dan mengabaikan konsep teologi juga masuk didalamnya. Hal ini sering dijumpai dalam masyarakat yang belum memiliki pemahaman tentang konsep ketuhanan dengan serius. Beragama dengan hanya ikut-ikutan dan tidak menghadirkan Tuhan dalam keseharian dapat meningkatkan potensi ateisme praktis.

Ciri lain dalam ateisme praktis ialah penekanan radikal terhadap sains dan rasionalitas, yang mana menghiraukan campur tangan Tuhan dalam kehidupan. Hal ini sering ditemui dengan pola masyarakat sekuler. Mereka telah kehilangan makna atas ketuhanan untuk mencerminkan nilai-nilai modern dan inklusif. Salah satu bentuknya adalah perkembangan teknologi yang berdampak pada pergeseran kebudayaan dan norma spiritualitas tertentu. Kehadiran teknologi canggih seakan-akan hampir menggantikan posisi Tuhan sebagai Yang Maha Kuasa.

Sebagai contoh ketika aktivitas sehari-hari kita lupa membawa gadget dalam bepergian. Sesuatu yang terlintas dalam benak kita secara spontan adalah dimana letak keberadaan gadget tersebut. Apakah kita akan kembali ke rumah untuk mengambil atau bagaimana, yang jelas bagaimana gadget tersebut harus kita bawa setiap waktu. Seakan-akan ada yang kurang dalam hidup ketika kita tidak bersama gadget kesayangan.

Namun hal demikian tidak terjadi ketika masuk waktu ibadah misalnya. Seringkali kita menunda-nunda waktu ibadah hanya karena kesibukan atau keperluan yang lain. Lebih-lebih sibuk dengan gadget sendiri. Kiranya esensi ketuhanan sudah mulai luntur dan tergerus dan tergantikan oleh eksistensi gadget yang dianggap ‘Maha Bisa’.

Tampaknya potensi ateisme praktis terus menghantui, didukung oleh perkembangan zaman yang semakin modern dan canggih. Yuval Noah Harari dalam bukunya Homo Deus, mengatakan bahwa robot dan komputer semakin pintar dan bisa segera mengungguli manusia dalam pekerjaannya, termasuk kecanggihan Artificial Intelligence yang kiranya hampir menyamai kecerdasan manusia.

Seiring berjalannya waktu dan menapaki historis perjalanan peradaban manusia, tidak menutup kemungkinan, nantinya kecerdasan buatan akan (juga) dianggap sebagai ‘Yang Maha Bisa’. Tanpa dibarengi pola beragama yang kuat, hal ini berdampak pada apa yang dinamakan sebagai ‘kekeringan spiritual’, dimana manusia sudah kehilangan perannya sebagai hamba yang bertuhan.

Kiranya, dewasa ini manusia lebih dekat pada praktik ateisme. Ini yang harus segera mendapatkan perhatian khusus bagi umat teisme. Jangan sampai deklarasi sebagai kaum yang bertuhan tidak selaras dengan apa yang dilakukan. Pemaknaan keagamaan diharapkan selalu koheren dan seimbang antara teori dan praktik, hablum minannas dan hablum minallah, ibadah dan muamalah demi menjaga keutuhan ajaran Tuhan.

Dengan demikian, untuk mengatasi agar tidak terjerumus pada lingkup ateisme praktis, kita harus mempertebal keyakinan dengan mendalami studi agama seperti, membangun argumentasi teologis keberadaan Tuhan dan mengamalkan praktik keagamaan yang telah digariskan dalam kitab suci. Mau tidak mau, seorang manusia harus memberikan selalu ruang dimensi spiritualitasnya untuk mempertahankan statusnya sebagai ‘Hamba’.

Hilmy Harits Perdana

Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.