fbpx

Kritik C.I. Lewis untuk Implikasi Material

Implikasi material dapat digunakan secara kontekstual dengan cara mengkritik teorema ekuivalensi implikasi material (kondisional material) dalam logika klasik.
Time of Harvesting karya Grigoriy Myasoyedov
Time of Harvesting karya Grigoriy Myasoyedov

Sehari-hari, kita menggunakan jika-maka untuk suatu penalaran valid. Penggunaan jika-maka ini, disebut juga sebagai penggunaan pernyataan implikasi material atau kondisional material. Misalnya, jika lapar maka makan. Lapar dalam percontohan tersebut disebut juga sebagai antesenden, sedangkan makan disebut juga sebagai konsekuen dari pernyataan kondisional. Tetapi, terkadang, jika-maka ini digunakan untuk kepentingan kita sendiri, misalnya “jika komunis menang, maka semua orang bahagia”. Tentu pernyataan itu bisa jadi salah bagi orang yang tidak mendukung komunisme. C.I. Lewis, seorang logikawan, mengatakan bahwa implikasi material dapat digunakan secara kontekstual dengan cara mengkritik teorema ekuivalensi implikasi material (kondisional material) dalam logika klasik.

Teorema ekuivalensi implikasi material

Dalam logika proposisional, implikasi material (kondisional material) adalah aturan valid penggantian yang membiarkan pernyataan kondisional untuk digantikan dengan disjungsi di mana antesedennya dinegasikan. Aturan ini mengatakan bahwa P berimplikasi Q secara logis ekuivalen terhadap bukan P atau Q yang dalam bentuk manapun dapat menggantikan yang lainnya dalam pembuktian logis. Dalam kata lain, jika P benar, maka Q harus benar, sedangkan jika Q tidak benar, maka P tidak bisa menjadi benar juga. Maka, Ketika P tidak benar, Q dapat menjadi benar atau salah.

PQImplikasi
BenarBenarBenar
BenarSalahSalah
SalahBenarBenar
SalahSalahBenar

Formalisasi teorema implikasi material adalah sebagai berikut:

P \to Q \equiv \neg P \lor Q

Dimana \equiv adalah simbol metalogis yang merepresentasikan “dapat diubah dengan bukti” dan P dan Q adalah pernyataan logis apapun.

Misalnya,

P: Sam memakan jeruk untuk sarapan

Q: Sam memakan buah untuk sarapan

Untuk mengatakan “Sam memakan jeruk untuk sarapan” mengimplikasikan “Sam memakan buah untuk sarapan” P \to Q. Secara logis, jika Sam tidak memakan buah untuk sarapan, maka Sam juga tidak bisa memakan jeruk untuk sarapan (secara kontraposisi). Meskipun demikian, mengatakan Sam tidak makan jeruk untuk sarapan tidak memberikan informasi atas apakah Sam makan buah (apapun) untuk sarapan.

Pembuktian untuk implikasi material P \to Q adalah sebagai berikut. Andaikan kita diberikan P \to Q, maka kita punya \neg P atau P dari hukum penyisihan jalan tengah. Konsekuensinya, semenjak P \to Q, P dapat digantikan Q dalam pernyataan tersebut, dengan demikian, \neg P \lor Q (antara Q benar atau P tidak benar).

Andaikan, dengan konversi kita diberikan \neg P \lor Q. Jika P benar ia akan mengatur disjungsi pertama, maka kita memiliki Q. Dengan demikian, P \to Q. Atau, secara mudah, dengan \neg P \lor Q, jika Q salah, maka \neg P benar. Sebaliknya, jika P benar, maka Q benar (terbukti).

Sekilas, kita akan menalar bahwa teorema ini valid. Ketika kita berargumentasi ”jika hujan maka basah” (P \to Q), pernyataan tersebut akan benar ketika situasi sekarang tidak hujan atau sekarang sedang hujan. 

Tetapi, andaikan kita menemukan pernyataan seperti “Jika komunis menang, maka semua orang bahagia”. Apakah sekarang antara komunis tidak menang atau semua orang bahagia?, kita mungkin dapat membenarkan kalimat tersebut dengan mengatakan bahwa semua orang sedang bahagia sekarang (Q benar) sehingga pernyataan tersebut benar. Tetapi, tentu saja makna ini berbeda sebab kita ingin juga memberitahu bahwa sang penutur adalah seorang komunis.

Kritik Lewis terhadap Implikasi Material

Pada tahun 1918 dan 1932, C.I. Lewis mengobjeksi identifikasi “P implikasi Q” dengan “\neg P atau Q” (implikasi material) yang seringkali digunakan logikawan proposisional seperti yang sering muncul dalam Principia Mathematica. Dalam tulisannya The Calculus of Strict Implication (1914), Lewis mengatakan masalah ekuivalensi ini terletak pada ambiguitas penggunaan “antara-atau”.

Tampak seperti bukti yang cukup bahwa “P implikasi Q” ekuivalen dengan “antara P salah atau Q benar”—”hari ini senin mengimplikasikan bahwa besok adalah selasa” ekuivalen dengan “antara hari ini bukan senin atau besok selasa”. Merupakan fakta juga bahwa “merupakan hal yang salah ‘P adalah benar dan Q salah’” ekuivalen terhadap “antara P salah atau Q benar”. Merupakan hal yang salah bahwa “hari ini adalah senin dan besok bukan selasa” ekuivalen terhadap “antara hari ini bukan senin atau besok selasa”.

Pernyataan kondisional  (P \to Q) dan disjungsi (\neg P \lor Q) memiliki makna yang berbeda. Merupakan kesalahan implikasi material yang membuat mereka tidak terpisahkan maknanya. “antara hari ini bukan senin atau hari ini hujan” tidaklah ekuivalen terhadap “hari ini senin mengimplikasikan bahwa hari ini hujan”. “antara-atau: yang mana ekuivalen terhadap implikasi, merupakan disjungsi intensional, sebuah dilema “antara-atau”.

Disjungsi intensional bagi Lewis adalah disjungsi yang mengharuskan kedua pernyataan untuk memiliki nilai kebenaran. Dalam The Calculus of Strict Implication, Lewis menyarankan kita untuk menggunakan disjungsi ekstensional di mana cukup satu pernyataan yang memiliki nilai kebenaran (tidak harus dua). Contoh dari disjungsi intensional adalah “antara kuda makan daging atau kuda makan sayur” (kuda makan daging benar, kuda makan sayur salah). Sedangkan jika kita menggunakan disjungsi ekstensional, cukup kuda makan daging benar atau kuda makan sayur benar. Disjungsi intensional akan membuat dilema sebab bagaimana jika kuda makan sayur benar?.

Dalam argumentasi sehari-hari, kita dapat menemukan paradoks dari ekuivalensi implikasi material. Formula implikasi material P \to Q adalah benar kecuali P benar dan Q salah. Dalam bahasa sehari-hari (natural language), jika kondisional diartikan dengan cara yang sama, hal ini akan berarti bahwa kalimat “jika komunis menang, semua orang akan bahagia” secara kosong benar. Ia terjustifikasi semata-mata oleh teorema ekuivalensi implikasi material tanpa mempertimbangkan makna dari penuturnya. 

Konsekuensi problematis ini disebabkan asumsi bahwa implikasi  benar secara logis. Padahal, implikasi juga harus mempertimbangkan makna semantisnya, atau mempertimbangkan makna yang kita berikan sebagai penuturnya. Implikasi akan mengalami paradoks kounterintuitif jika kita tidak mempertimbangkan maksud penutur. Kita dapat menemukan implikasi seperti “jika Elvis mati, maka ibu saya belanja” yang mana secara teorema ekuivalensi benar tetapi salah secara intuitif. Implikasi material mendemonstrasikan ketaksesuaian antara logika klasik dan intuisi tentang makna dan penalaran.

Dalam kata lain, ekuivalensi implikasi material (P \to Q) \equiv (\neg P \lor Q) memberikan kita ketaksesuaian antara logika dengan intuisi tentang makna dan penalaran kita. Pernyataan implikasi, dengan ekuivalensi implikasi material terjustifikasi secara vacuous atau kosong. Justifikasi vacuous ini tidak mempertimbangkan maksud asli penutur dalam pernyataan kondisional. Sehingga, meskipun pernyataan kondisional  material valid, ia tidak sound.

Logika Modal C.I. Lewis

Selebihnya, Lewis mengatakan dibutuhkan semacam sistem logika baru yang dapat menanggulangi permasalahan ekuivalensi implikasi material atau kondisional material. Sistem logika ini adalah logika modal yang berisikan operator modal. Aksiomisasi pertama untuk logika modal kalimat dicetuskan Lewis (1918). Motivasi Lewis untuk pengembangan logika modal adalah paradoks ekuivalensi implikasi material

P \to (Q \to P)

\neg P \to (P \to Q)

(P \to Q) \lor (Q \to P)

Implikasi material dari logika klasik, menurut Lewis, tidaklah cukup untuk gagasan intuitif implikasi, yang baginya membutuhkan tidak hanya P untuk menjadi tidak benar dan Q salah, tetapi P “dapat” menjadi benar dan Q salah. Sehingga ia mengajukan bahwa logika dalam Principia mathematica Russell dan Beggrifchte Frege suatu operator baru, untuk implikasi ketat, yang dapat didefinisikan sebagai keniscayaan dari implikasi material.

Dalam kasus “jika komunis menang, maka semua orang bahagia”, penggunaan logika modal pada implikasi dapat berarti “jika komunis menang dapat benar, maka semua orang bahagia dapat benar.”

Ekuivalensi implikasi material (P \to Q) \equiv (\neg P \lor Q) memberikan kita ketidaksesuaian antara logika dengan intuisi tentang makna dan penalaran kita. Pernyataan implikasi, dengan ekuivalensi implikasi material terjustifikasi secara vacuous atau kosong. Justifikasi vacuous ini tidak mempertimbangkan maksud asli penutur dalam pernyataan kondisional. Sehingga, meskipun pernyataan kondisional  material valid, ia tidak sound.

Keterangan:

Disjungsi atau \lor adalah bentuk pernyataan dengan operator “atau”. Misalnya “Makan atau Tidur”.

Penyisihan jalan tengah atau excluded middle adalah hukum di mana P tidak bisa menjadi \neg P secara bersamaan. Misalnya, Apel bukanlah bukan-Apel secara bersamaan, atau, apel bukanlah anggur secara bersamaan (apel hanyalah apel).

Valid adalah kondisi di mana suatu pernyataan logis mengalami kesahihan (Unicorn adalah hewan (valid)). Sedangkan soundness adalah kondisi di mana suatu pernyataan logis mengalami kesahihan secara semantis (Unicorn adalah hewan (tidak sound, karena Unicorn tidak nyata)).

Raisa Rahima

Mahasiswa Filsafat S1 Universitas Gadjah Mada. Tidak suka berpikir secara logis. Menyukai berpikir dengan emosi

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content