fbpx

Memupuk Moralitas Kebangsaan Jelang Pilpres

Menjelang pemilihan presiden tahun 2024 di Indonesia, politik identitas dan moralitas nasional menjadi topik penting.
Political Art generated by AI
Political Art generated by AI

Menjelang 2024 ini, Indonesia akan memasuki tahun politik, yakni Pemilihan Presiden. Pemilihan Presiden adalah kontestasi politik akbar di Indonesia. Dimana, bangsa Indonesia akan menggelar perhelatan demokrasi yang berasaskan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Sampai hari ini, telah muncul dua calon Presiden yang ditandai dengan deklarasi partai. Pada awal Oktober 2022 kemarin, Anis Baswedan secara resmi diusung oleh Partai Nasdem untuk maju di Pilpres nanti. Setelah mendapat dukungan dari Partai Nasdem, Anis juga mendapat dukungan dari Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Demokrat (Farisa, 2023).

Selain Anis, Ganjar Pranowo juga siap maju sebagai tandingan Anis di ajang Pemilihan Presiden nanti. Bertepatan dengan momentum lebaran kemarin, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDIP melalui Ketua Umum Megawati Soekarnoputri secara resmi mengumumkan calon presidennya di Istana Batutulis, Bogor, Jawa Barat (Ridhwan, 2023).

Politisasi Identitas: Kilas Balik Pemilihan Presiden di Indonesia

Jika kita melihat kembali dua dekade Pemilihan Presiden (Pilpres) di Indonesia, yakni pada tahun 2014 dan 2019. Maka kita pasti ingat dengan istilah-istilah cerbong, kampret, kadrun, dan buzzeRp. Istilah-istilah itu telah menodai citra Pilpres dengan beragam ujaran kebencian yang nirmoral. Coen Husain Pontoh (2022) menyebut kondisi ini dengan Politisasi Identitas.

“Politisasi identitas adalah sebuah kondisi politik yang menjadikan sentimen identitas (ras, etnis, agama, nasionalisme, suku, warna kulit, dan atau gabungan dari beberapa identitas itu) untuk perebutan maupun pertahanan kekuasaan politik. Sebaliknya, Pontoh memberikan penjelasan yang berbeda terkait politik identitas dari apa yang jamak kita ketahui. 

Berdasarkan penjelasan pontoh yang filosofis dan historis, ia menjelaskan bahwa politik identitas adalah politik yang berpihak pada kaum minoritas tertindas, mengampanyekan solidaritas sesama kaum tertindas untuk membebaskan diri dari penindasan kapitalisme, imperialisme, dan patriarki. Disinilah, pontoh dengan gamblang membedakan antara politik identitas dan politisasi identitas”.

Politisasi identitas yang terjadi pada pemilu sebelumnya, sangatlah tidak mencerminkan bangsa yang punya moral. Bagaimana tidak, dengan adanya politisasi identitas itu bangsa Indonesia terpecah belah. Tidak sedikit pula hal itu mengakibatkan terjadinya konflik antar pendukung, baku hamtan, caci maki, dan lainnya.

Pilpres sebagai ajang perhelatan demokrasi yang harus dijalankan dengan langsung, bersih, rahasia, jujur, dan adil sangat jauh dari harapan. Jauh panggang dari api, Indonesia juga telah hilang harkat martabat dan moral kebangsaannya sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika.

Oleh karena itu, Pilpres yang akan datang harus benar-benar dikawal dengan damai dan substansial. Salah satu caranya adalah dengan meningkatkan kualitas moral kebangsaan rakyat Indonesia. Agar bangsa Indonesia tetap utuh dan semakin maju dengan cara berpolitik menyenangkan, jauh dari pragmatism-transaksional politik semata. Sehingga, dengan moralitas kebangsaan tadilah, Indonesia akan menjadi Dar al-Ahdi Wasshyahadah.

Mari Belajar tentang Moralitas

Berbicara tentang moralitas kebangsaan, akankah lebih baiknya kita mempelajari perihal moral ini terlebih dahulu. Moralitas itu sendiri sejauh ini masih mengalami perdebatan yang sangat panjang. Perdebatan perihal moralitas dalam diskursus filsafat belum menemui batas akhirnya hingga hari ini. Tentang apa yang dimaksud dengan moral itu sendiri? Apakah moral itu hanya berkutat pada hal etika? Apakah yang disebut dengan “baik” atau “jahat” itu sendiri? (Hukmi, 2015).

George Moore (1873-1958) dalam bukunya Principia Ethica (1930) telah melakukan analisis yang mendalam terkait etika. Ia menuturkan bahwa yang paling esensial dari etika adalah hanyalah bahasa. Oleh karena itu, baginya bahasa adalah tugas utama untuk filsafat. Khususnya bahasa moral (Bertens, 2013). Jika dilihat kebelakang sebelum Moore, Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844-1900) juga telah membuka perdebatan moral dalam konteks bahasa.

Menurut Nietzsche, moralitas tidak hanya persoalan baik dan jahat. Akan tetapi, moralitas adalah seluruh persoalan yang memiliki keterkaitan dengan keberdayaan dan ketidakberdayaan seseorang untuk mengutuhkan dirinya sendiri (Wibowo, 2004). Singkatnya, bagi Nietzsche moral adalah sebuah upaya dalam memberdayakan diri sendiri atau kehendak untuk menguasai (will to power) diri sendiri. Dalam arti lain, moral adalah hal yang harus diupayakan dari diri sendiri dan melampaui batas baik dan jahat.

Selain Nietzsche, filsuf kritisime Immanuel Kant (1724-1804) juga mempunyai pandangan terkait moral. Menurut Kant, Moralitas tidak hanya persoalan baik dan buruk yang sembarang. Melainkan dalam bahasa Kant, apa yang baik pada dirinya sendiri tanpa pembatasan. Sedangkan tanpa pembatasan adalah kehendak baik. Dan akhirnya, kehendak baik inilah yang menjadi syarat sifat baik manusia (Suseno, 1997).

Lalu, menurut Kant, kehendak baik hanya akan terwujud jika mau melakukan kewajiban. Kemudian, dorongan untuk melakukan kewajiban itu ada tiga. Pertama, ia dapat melakukan karena diuntungkan. Kedua, ia dapat melakukan karena hati nurani. Ketiga, ia dapat melakukan kewajiban demi kewajiban itu sendiri (Dahlan, 2009). 

Bagi Kant, kehendak baik yang melakukan kewajiban nomor tiga adalah moral yang sebenarnya. Karena, seseorang dikatakan bermoral apabila melakukan perbuatan yang merupakan menjadi kewajibannya, tidak lebih dan kurang. Kant tidak berpatok kepada hasil dari dorongan melakukan kewajiab, melainkan pada kesesuaian dan ketetapan antara kewajiban dan dorongan melakukan kewajiban itu sendiri. Itulah moral bagi Kant.

Memupuk Moralitas Bangsa Indonesia

Berdasarkan penjelasan diatas, setidaknya kita dapat pahami bahwa moralitas tidak hanya tentang baik dan jahat. Tapi moralitas adalah tentang sejauh mana kita dapat mengendalikan diri untuk berbuat baik (menurut Nietszche) dan ketepatan antara kewajiban serta dorongan untuk melakukan kewajiban itu sendiri (bagi Kant). Kita dapat disebutkan bermoral jika kita melakukan pemberdayaan atas diri sendiri (mengontrol diri) dan melakukan kewajiban yang harus kita tunaikan. Dimana, kewajiban itu pun harus tepat dan benar.

Menjelang Pilpres nanti, tentunya kita harus siap untuk memupuk moralitas diri sendiri dan moralitas bangsa ini. Hal itu dapat kita lakukan dengan upaya sadar mengontrol diri, emosi, sikap, dan perangai sebagai warga negara. Kemudian, kita juga harus melakukan kewajiban atas diri kita, seperti memilih dengan LUBER JURDIL sesuai asas pemilu, menjaga persatuan kesatuan, dan tetap memajukan serta mencerahkan.

Daftar Pustaka

Bertens, K. (2013). Etika. Yogyakarta: Kanisius.

Dahlan, M. (2009). PEMIKIRAN FILSAFAT MORAL IMMANUEL KANT. Jurnal Ilmu Ushuludin, 42.

Farisa, F. C. (2023, Februari 1). Anies Baswedan Kantongi Tiket Pilpres 2024, Siapa Pantas Jadi Cawapres? Retrieved from Kompas.Com: https://nasional.kompas.com/read/2023/02/01/05300051/anies-baswedan-kantongi-tiket-pilpres-2024-siapa-pantas-jadi-cawapres-Hukmi, R. (2015). Asal-usul dan Akhir Moralitas dalam Pemikiran Friedrich Nietzsche. Jurnal Cogito, 67.

Ramadhanur Putra

Mahasiswa Pendidikan Agama Islam di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content