fbpx

Jadi Berapa Besar Kapital Seksualmu?

Metafora kapital seksual digunakan untuk menjelaskan bagaimana individu dalam masyarakat neoliberal mendapatkan keuntungan dari subjektivitas seksualnya (termasuk di dalamnya adalah sentimen, pemikiran, kapabilitas seksual, dan tindak seksual) baik dalam pasar ekonomi, perkawinan, ataupun dalam pasar “petualangan” seksual (relasi kencan singkat, dicirikan dengan maraknya aplikasi Tinder yang memengaruhi pemikiran Illouz tentang cinta).
Murmure de l'amour karya Charles Amable Lenoir, Admiring Beauty karya Guillaume Seignac, dan ilustrasi toko kosmetik.
Murmure de l'amour karya Charles Amable Lenoir, Admiring Beauty karya Guillaume Seignac, dan ilustrasi toko kosmetik.

Bahwa seksualitas telah menjadi barang dagangan, kita sudah tidak asing lagi. Dari pornografi, prostitusi, viagra, sex toy, bacaan erotis, sampai operasi pembesaran payudara atau perpanjangan penis maupun operasi permak tubuh lainnya, merupakan beberapa bentuknya. Tetapi kita mungkin belum menyadari bahwa seks sudah menjadi sarana bagi individu meningkatkan value nya secara ekonomik. Yang terakhir ini, yakni bagaimana seseorang menggunakan seksualitasnya untuk meningkatkan nilainya di pasar, yang diangkat Dana Kaplan dan Eva Illouz dalam karya terbaru mereka berjudul What is Sexual Capital? (2022)1. Meskipun judulnya dibuat demikian, esai ini sesungguhnya sudah sampai pada kesimpulan bahwa kapital seksual (sexual capital) telah dituntut dari individu untuk bisa berkompetisi dalam budaya neoliberal ini.  

Buku diawali dengan pemaparan metafora seks dan sosiologis, untuk memperjelas posisi mereka, termasuk dengan membedakan kapital seksual dari tiga argumen besar lain yang umumnya dikemukakan bila bicara seks dan kapitalisme : kapital erotis, kewarganegaraan seksual, dan komodifikasi seksual. Bab kedua mengetengahkan kebebasan seksual, yang meski prosesnya berlangsung pelan-pelan tetapi perannya dalam menumbuhsuburkan kapitalisme bersifat langsung. Pendefinisian kapital, seksual, dan metafora kapital seksual baru ditampilkan pada bab tiga, dilanjutkan dengan penjabaran empat bentuk kapital seksual pada bab keempat. Buku diakhiri dengan penutup berupa kesimpulan mengenai kapital seksual neoliberal yang menjadi ide utama sekaligus motor penulisan esai ini. 

Metafora kapital seksual digunakan untuk menjelaskan bagaimana individu dalam masyarakat neoliberal mendapatkan keuntungan dari subjektivitas seksualnya (termasuk di dalamnya adalah sentimen, pemikiran, kapabilitas seksual, dan tindak seksual) baik dalam pasar ekonomi, perkawinan, ataupun dalam pasar “petualangan” seksual (relasi kencan singkat, dicirikan dengan maraknya aplikasi Tinder yang memengaruhi pemikiran Illouz tentang cinta). Tampil seksi bisa berdampak positif termasuk dalam dunia kerja. Tetapi tidak hanya itu, melalui metafora kapital seksual, Kaplan dan Illouz hendak menunjukkan bagaimana seksualitas kita juga telah berkontribusi pada reproduksi kapitalisme neoliberal dan bagaimana sistem ini telah menelusup dalam ranah pribadi kita. Fokus mereka bukanlah pada bagaimana kapitalisme telah mengatur seksualitas tetapi sebaliknya : bagaimana seksualitas telah berdampak pada kapitalisme. 

Kaplan dan Illouz memilih untuk menggunakan metafora ketimbang konsep sebab sifatnya yang belum spesifik dan masih terbuka pada imajinasi para sosiolog (hlm.2). Kata kapital yang digunakan di sini berasal dari konsep Marxis, namun dengan mengacu kepada Pierre Bourdieu yang sudah memperluas makna kapital di luar bidang ekonomi untuk mencakup kapital budaya dan sosial. Sedangkan kata seksual merujuk kepada dua hal :(1) derajat keseksian dan kemenarikan dari tubuh terutama di mata orang lain; dan (2) pengalaman dan ekspresi seksual, termasuk di dalamnya adalah segala sesuatu yang membuat kita terangsang, bergairah. Sifat seksual ini lebih luas dan dalam bentuk kontinum, mulai dari hasrat, perilaku, tindakan dan kompetensi, sampai pada identitas seksual individu yang sudah diakui publik (hlm. 33-34). 

Secara pribadi ketertarikan Illouz pada kapital seksual diawali dari pertanyaan besar terkait kapitalisme : bagaimana bisa kapitalisme punya kekuasaan yang sedemikian mencengkeram? Padahal kita memprotes ketidaksetaraan yang ia hasilkan, kita memahami bagaimana ia telah menodai mekanisme demokratis, dan bahwa ia menggambarkan bahaya nyata untuk lingkungan. Tetapi kita tetap tidak bisa melawan atau menentang struktur ekonomi dan budaya ini. Mengapa? Simpul dari jawaban atas pertanyaan ini terletak pada subjektivitas, demikian Illouz meyakini (2023). Kapitalisme mampu memanipulasi subjektivitas dengan hasrat, gairah, dan kenikmatan, yang tidak bisa dilakukan oleh sistem ekonomik lainnya. Kapital seksual adalah salah satu gigi pemutar mekanisme subjektivitas ini, tegas Illouz. 

Seksualitas itu sendiri memang selalu ada dalam masyarakat, menjadi bagian dari kehidupan kita, dan diatur oleh kekuatan-kekuatan sosial yang selalu berubah (Kaplan dan Illouz, 2022). Cara-cara seksualitas tampil sebagai yang ideal dalam diri individu sesungguhnya bersifat sosial. Sekian lama tiga agama monoteis secara intense telah mengatur dan mengonstruksi seksualitas. Sejak beberapa dekade ini, ekonomi turut campur tangan untuk mengatur dan mengelolanya, jika belum bisa dibilang mengambil alih sepenuhnya. Jika agama telah memprivatisasi seks, ekonomi memunculkannya dalam pasar industri. Di sinilah kapital seksual terstruktur, setelah adanya kelonggaran dari norma dan tabu yang sebelumnya telah mengatur dan mengontrol seksualitas. Seksualitas masuk ke dalam wilayah ekonomi. Hal ini ditandai dengan kebebasan seksual yang merupakan titik dimulainya perubahan makna seksualitas dalam masyarakat modern. 

Namun demikian, bukan berarti kapital seksual belum muncul saat seksualitas masih diatur secara ketat oleh agama. Tubuh sebagai aset bukanlah hal yang baru, demikian pula hubungan antara seks dan kapitalisme. Illouz sendiri sudah terlebih dahulu membahas yang ia namakan sebagai kapitalisme skopik dalam bukunya La Fin de l’amour (2020). Pengkajian kapital seksual sesungguhnya merupakan lanjutan dari kerangka teoretis kapitalisme skopik. Kata “skopik” di sini mengacu kepada visual sekaligus keluasan. Kata ini digunakan Illouz sebab kapitalisme telah menciptakan nilai ekonomi luar biasa melalui spektakularisasi tubuh dan seksualitas. Keduanya ditransformasi ke dalam berbagai wujud yang kemudian diedarkan dalam pasar-pasar yang beragam. Tubuh diseksualisasikan lalu dijadikan sebagai barang dagangan dari beragam industri, tepatnya simbiosis industri kecantikan-fashion-sports-media. Dengan perkataan lain, tubuh yang diseksualisasikan menjadi sumber penghasilan bagi banyak industri. Dalam hal ini yang dilakukan bukan menjadikan tubuh indah, melainkan agar tubuh menarik secara seksual, yang mana keduanya bukanlah hal yang sama, tegas Illouz (2023)2.  

Kapitalisme skopik sendiri sudah merupakan tahap ketiga jika kita mengikuti kondisi historis perkembangan kapital seksual yang ditelusuri Kaplan dan Illouz. Hari ini kita sampai pada yang mereka namakan sebagai kapital seksual neoliberal, yakni ketika seksualitas tidak hanya terstruktur oleh strategi ekonomi dan memberikan keuntungan ekonomi, tetapi juga menjadi kunci dari ranah ekonomi itu sendiri. Untuk itu, mereka tidak hanya bicara mengenai perdagangan seks dan seksualisasi budaya sebagai salah satu karakteristik zaman kita sejak beberapa dekade ini (Illouz, 2023)3. Lebih dari itu, mereka berusaha memperluas penjelasan peran ekonomi dari seks dalam masyarakat dengan mengeksplorasi wilayah subjektivitas seksual, termasuk pengalaman dan interaksi seksual. Sebab dalam neoliberalisme, seperti yang ditegaskan Illouz : semua kompetensi diri yang paling pribadi sekalipun telah dieksploitasi dalam pasar, termasuk seksualitas kita. Tanggung jawab individual yang lebih besar diperlukan dalam menghadapi pasar yang sudah mengalami deregulasi. Untuk bisa berfungsi optimal dalam pasar semacam ini, seseorang harus mampu memobilisasi aparat/peralatan psikis, termasuk sumber daya seksualnya. Seksualitas pun bukan lagi menjadi ranah privat. Ia ditampilkan dengan bebas, dipampang dengan penuh kesadaran untuk publik di akun media sosial. Hari ini kita menjual seutuhnya diri kita termasuk diri seksual (sexual self) kita. Diri kita adalah merek dagang, yang harus kita valorisasikan dalam setiap aspeknya termasuk dalam aspek seksual sebab dari yang seksual ini akan berdampak pada yang non seksual (ekonomi).  

Empat Bentuk Kapital Seksual

Untuk lebih lengkapnya, mengikuti penjejakan kedua sosiolog ini, berikut adalah empat bentuk kapital seksual yang muncul, berkembang, dan kadang memudar. 

Sexual capital by default : chastity and domesticity. Kesucian (chastity) yang dimaksud di sini adalah keperawanan. Dan kata keperawanan melekat pada perempuan. Keperawanan dipertukarkan dengan keamanan material, kapital ekonomi dan sosial calon suami. Jika tidak perawan, reputasi perempuan menjadi buruk, yang tentu berdampak pada “daya jual”nya  di pasar perkawinan. Seperti dikatakan feminis anarkis Madeleine Pelletier (1911) : Dengan kehilangan keperawanannya, perempuan jatuh ke posisi barang bekas, yang sudah tidak baru lagi ; ia menjadi gadis ternoda, barang dagangan yang rusak yang sulit dijual. Oleh sebab itu kesucian dalam arti tidak melakukan hubungan seksual sebelum menikah memainkan peran penting dalam menjamin kapital seksual perempuan, yang membuatnya dianggap menarik di pasar perkawinan. Kesucian dengan demikian merupakan petunjuk pertama bahwa seksualitas punya nilai sosial meski dalam bentuk negasi (tidak ada seksualitas).  

Sexual capital as surplus value of the body. Dalam bentuk kapital seksual ini, tubuh menjadi barang yang bisa dijual atau disewakan. Monetisasi seksualitas di sini bersifat langsung dan eksplisit. Tubuh seksual dipertukarkan langsung dengan uang. Termasuk di sini adalah komodifikasi jasa/pelayanan seksual, dengan bentuk interaksi seksual yang berbeda dihargai secara berbeda. Seorang penari striptease bisa dibayar untuk tarian striptease nya, tapi bisa juga mendapatkan bayaran lain yang terlepas dari profesinya sebagai penari bila memberikan pelayanan seksual yang tidak diatur dalam deskripsi kerjanya.    

Embodied sexual capital. Kapital seksual ini sifatnya cenderung tidak langsung, mencakup keseksian seseorang di mata orang lain, tingkat ketertarikan seseorang di mata orang lain, sejauh mana ia bisa membangkitkan hasrat orang lain, sejauh mana ia diinginkan orang lain (desirability), dan keterampilan seksualnya. Bentuk kapital ini lahir dari kapitalisme skopik yang telah dikemukakan Illouz. Seks menjual tidak hanya dalam industri seks itu sendiri tetapi juga dalam produksi dan imaji kultural. Semakin banyak posisi dan pekerjaan hari ini yang menuntut tubuh diseksualisasikan; tubuh seksi dijadikan sebagai kriteria perekrutan, ataupun dijadikan sebagai tuntutan dari pekerjaan. Foto model menjadi contoh yang paling jelas. Pekerjaan seorang model adalah mempromosikan barang dagangan. Tetapi pada akhirnya tubuh dan derajat ketertarikan tubuh si model yang sebenarnya merupakan barang dagangan. Model dan aktris adalah puncak dari piramida ini, atau tepatnya dari domain ini (industri imaji). Tetapi tubuh yang diseksualisasikan kemudian merambah profesi-profesi lain, menjadi bagian terintegrasi dari profesionalisme. Pembawa acara televisi, pramugari, resepsionis, hanyalah beberapa di antaranya. Sejak kapitalisme skopik, perempuan tidak hanya dituntut dengan “jadilah cantik”, tetapi juga “jadilah seksi” (Lianawati, 2024).  

Neoliberal sexual capital. Bentuk kapital ini yang menjadi inovasi sekaligus fokus kajian Kaplan dan Illouz. Mereka melihat bahwa hari ini dalam masyarakat neoliberal, bukan hanya valorisasi diri seseorang ditentukan oleh derajat keseksian dan keterampilan seksual mereka, seperti dalam embodied sexual capital. Lebih dari itu, yang lebih orisinal lagi dari gagasan mereka adalah bahwa valorisasi diri dalam masyarakat modern kini ditentukan salah satunya dengan merasa kompeten dan efektif secara seksual, sebagaimana yang belakangan ini semakin dituntut/diinginkan perusahaan, terutama perusahaan-perusahaan besar. Idenya adalah bahwa pengalaman seksual yang menyenangkan akan menghasilkan perasaan kompeten secara sosial, meningkatkan self-efficacy, dan penghargaan diri; yang membawa dampak positif dalam pekerjaan. Hal ini mendorong tampilnya sikap proaktif dan entrepreneurial pada diri individu : semangat, percaya diri, harga diri tinggi, kreatif, otonom, fokus pada keberhasilan proyek, punya kapasitas emosional yang baik, dll. Jadi relasi seksual yang dimiliki seseorang yang akan memberi kapital baginya, berupa sumber daya yang sesuai dengan nilai-nilai neoliberal yang dihargai masyarakat modern hari ini. Tentunya hal ini menarik bagi masyarakat terutama di dunia kerja. 

Transformasi Kapital Seksual dalam Budaya Neoliberal

Bentuk-bentuk kapital yang berdiri masing-masing pada akhirnya saling terkait, jika tidak bisa kita bilang saling mempengaruhi. Bukankah tubuh gadis “perawan” dijual lebih mahal? Sexual capital by default ini memungkinkan perempuan tidak hanya punya daya jual di pasar perkawinan tetapi dalam industri seksual. Berapa mahal harga gadis perawan? Termahal yang tercatat adalah 2,3 juta euro, diraih Alexandra Khefren asal Rumania dengan pemotongan 20% untuk membayar jasa agennya di Jerman, dari seorang laki-laki asal Hongkong (dalam Ester Lianawati, 2024). Khefren bukanlah korban trafficking, ia melakukannya sebagai keputusan dirinya sebagai subjek, sebagaimana yang ia tuturkan dalam sejumlah wawancara dengan media.  

Pekerja seks juga tidak sehitam putih yang dibayangkan. Sebagian di antara mereka merasa diri berguna sebagai “terapis” sebab mereka bisa memberikan kenyamanan dan kelegaan psikis pada klien mereka. Hal ini bukan semata-mata dari pelayanan seksual tetapi juga dari kesabaran mereka mendengarkan para klien. Persepsi self-efficacy non seksual ini berdampak positif pada performa mereka, seksual maupun non seksual, yang kemudian meningkatkan kapital seksual mereka sebagai pekerja seks. Apresiasi diri ini juga membuat sekelompok pekerja seks tidak lagi menilai rendah pekerjaannya dan semakin banyak perempuan memilih profesi ini dengan sepenuh kesadaran dan keinginannya; yang kemudian menjadi hambatan bagi kelompok abolisionis yang memperjuangkan penghapusan prostitusi. 

Hubungan timbal balik yang lebih langsung sifatnya dapat kita lihat pada embodied dan neoliberal sexual capital. Untuk bisa menampilkan performa yang optimal, pekerja harus punya sikap kerja yang positif. Diasumsikan bahwa sikap kerja positif ini dihasilkan dari pengalaman seksual yang rekreatif, yang fun. Untuk bisa punya pengalaman seksual semacam ini, tentu butuh mitra seksual, yang berarti mereka harus terlebih dahulu berhasil memikat lawan seksualnya. Untuk bisa memikat mitra seksual, mereka harus punya embodied sexual capital. Embodied sexual capital yang dimiliki seseorang akan membukakan jalan baginya untuk punya neoliberal sexual capital. Begitu punya neoliberal sexual capital, semakin berpengalaman seseorang di bidang seksual tentu juga meningkatkan keterampilan seksualnya sekaligus kemampuannya untuk memikat. Dengan demikian neoliberal sexual capital seseorang akan memperkuat embodied sexual capital seseorang. 

Dalam masyarakat Barat, neoliberal sexual capital semakin kuat dalam budaya perusahaan. Bahkan Kaplan dan Illouz melihat pesta seks Silicon Valley sebagai salah satu wujudnya dalam rangka kerja kolaboratif yang fun dan kreatif. Bentuk kapital seksual ini sepertinya belum muncul secara nyata di Indonesia. Masyarakat kita masih ambivalen dalam hal seksualitas. Di satu sisi, agama masih mengontrol ketat seksualitas. Kita tidak mengalami langsung revolusi seksual yang terjadi pada tahun 1960-an di dunia Barat. Di sisi lain, kita tidak bisa terhindar dari  dampak revolusi seksual pada kapitalisme skopik. Industri seksualisasi tubuh perempuan dengan perempuan sendiri menjadi subjek seksual telah mendunia terutama dengan kehadiran internet dan secara khusus media sosial. Bisa dibilang kapitalisme skopik inilah yang saat ini menguasai masyarakat kita. Dengan perkataan lain, bentuk embodied sexual capital lah yang sedang tumbuh subur, namun pada saat yang sama, sexual capital by default tidaklah pudar. Jadi berbeda dengan perempuan Barat yang sudah sedikit banyak punya kebebasan seks, perempuan Timur masih dihantui mitos keperawanan dan tugas menjaga kesucian. Pada akhirnya seperti dituliskan Lianawati (2024), konsekuensi seksualisasi tubuh perempuan menjadi lebih berat pada perempuan Timur. Di satu sisi tubuh dikonstruksi untuk tampil seksi, di sisi lain ia dituntut jadi perawan suci sampai hari perkawinan. Dalam hal ini, perempuan Indonesia lebih rentan terhadap pembelahan diri (splitting) antara Perawan-Pelacur.  

Kapital Seksual, Isu Gender atau Isu Kelas?

Ide dari kapital seksual adalah bahwa kapital yang kita miliki baik secara “alami” maupun dengan “upaya”, memberikan kita keuntungan di dunia kerja dan pasar perkawinan. Namun untuk bisa punya kapital yang memadai, individu tentu harus berinvestasi. Kapital seksual dengan demikian dapat dimaknai sebagai hasil yang diperoleh orang yang telah terlebih dahulu menginvestasikan uang, waktu, pengetahuan, dan tenaganya dalam mengonstruksi dan memperkuat aspek diri seksual, aspek identitas diri yang terkait dengan seksualitas. 

Sebagian orang mungkin melakukan operasi plastik untuk mengangkat lemak, memperbesar payudara, menguatkan  otot vagina, memperbesar/memperpanjang penis. Ada yang memilih untuk rajin berolahraga, menjadi anggota klub fitness. Sebagian lagi mungkin bergabung dengan seduction communities untuk mengembangkan subjektivitas seksual agar menjadi lebih percaya diri dalam melakukan pendekatan seksual. Investasi-investasi yang berbeda ini dapat memberikan posisi yang lebih baik untuk bisa berkompetisi pada akses seksual dari tubuh orang lain. Kompetisi seksual ini dapat diorientasikan kepada maksimalisasi kenikmatan ataupun sekedar perasaan bahwa ia menarik secara seksual, memikat, diinginkan orang lain (Kaplan dan Illouz, hlm. 3). 

Dalam masyarakat patriarki yang telah menguasai tubuh dan seksualitas perempuan, perempuan lebih rentan untuk berinvestasi lebih besar untuk menjamin kapital seksualnya. Di sisi lain, perempuan terpapar pada risiko pelecehan, kekerasan seksual, dan pemerkosaan, dengan kesalahan selalu kembali ditudingkan kepada perempuan : sebab cara berpakaiannya, sikapnya, tutur katanya, gerak-geriknya, cara berjalannya yang “mengundang” (baca : yang terlalu seksi). Itu sebabnya kapital seksual, berkebalikan dari yang diyakini sosiolog Catherine Hakim, tidak akan pernah memperkuat posisi perempuan dalam masyarakat patriarkis ini, dan apalagi menggulingkan tatanan patriarkis (dalam Kaplan & Illouz, hlm. 6 – 9). Bila Hakim menyatakan kapital erotis (demikian ia menamakan kesatuan dari enam elemen terdiri dari kecantikan, daya tarik seks, keterampilan sosial, keaktifan strategi presentasi diri dan kompetensi seksual) sebagai modal perempuan untuk sukses, modal ini dibangun di atas tubuh perempuan yang sekian lama dikuasai dan didominasi patriarki (dalam Lianawati, 2024). Pada akhirnya saya kira, menjadikan seksualitas sebagai kapital bagi perempuan berpotensi menciptakan hubungan yang ambivalen antara kapitalisme-feminisme. Perempuan hari ini meyakini dan melihat dirinya sebagai agen yang aktif dengan mengolah dan menampilkan diri seksualnya. Namun diri seksual ini melekat dan menjadi satu kesatuan dengan tubuhnya, tubuh yang sekian lama telah dikontrol dan didominasi patriarki. Illouz sendiri tidak melihat kapital seksual sebagai sebuah kemunduran bagi perempuan terutama bila kita mengingat kembali kontrol ketat agama terhadap tubuh perempuan, tetapi kapital seksual juga jelas bukanlah pembebasan bagi perempuan seperti yang diyakini Hakim.

Namun demikian, kapital seksual dalam masyarakat neoliberal bukan hanya merupakan persoalan ketimpangan gender tapi juga ketimpangan kelas. Tidak semua orang bisa melakukan investasi secara seksual atau setidaknya tidak melakukannya dengan cara yang sama. Kelas sosial ekonomi akan menentukan kapital seksual seseorang. Akan lebih mudah bagi perempuan yang punya kendaraan pribadi untuk berpakaian seksi dan mengenakan stiletto dari rumah. Perempuan kelas proletar yang harus naik kendaraan umum harus melakukan perjuangan “ekstra”. Setidaknya ekstra waktu untuk bisa berdandan dan berganti pakaian di tempat kerja jika tidak ingin dandanan luntur di jalan akibat keringat ataupun menanggung resiko pelecehan seksual di jalan. Hanya mereka yang punya uang yang bisa membayar operasi laser untuk mengangkat lemak dan selulit, membeli stocking berkualitas yang tidak bikin kulit paha gatal-gatal, mengenakan kemeja non iron, dasi, dan blazer, membayar keanggotaan klub fitness atau bahkan coach sportif. Laki-laki yang “seksi” di mata perempuan dalam masyarakat patriarkis-kapitalis ini bukan (sekedar) yang berdada bidang, melainkan yang cakupan kekayaannya “bidang”. Laki-laki minimal level manajer lebih memikat perempuan ketimbang buruh pabrik. Dengan demikian, melalui metafora kapital seksual, Kaplan dan Illouz memposisikan kembali gender dalam tatanan sosial dan ekonomi, yang seringkali diabaikan kelompok feminis. Mereka memperlihatkan bahwa kapital seksual hanya menguatkan posisi orang-orang yang memang sudah dominan, laki-laki maupun perempuan.  

Referensi 

Hertemien, Emilie. Eva Illouz : “Dans le néolibéralisme, toutes les compétences intimes du moi sont exploitées sur le marché”. https://www.marianne.net/societe/eva-illouz-dans-le-neoliberalisme-toutes-les-competences-intimes-du-moi-sont-exploitees-sur-le-marche. Ditayangkan pada 14 November 2023. Diakses pada 15 Februari 2024. 

Illouz, Eva. La Fin de l’amour. Enquête sur un désarroi contemporain. Paris: Le Seuil, 2020.

Kaplan, Dana, & Illouz, Eva. What is Sexual Capital? Cambridge : Polity Press, 2022.

Lianawati, Ester. Dari Rahim Ini Aku Bicara. Yogyakarta, EA Books, 2024.

Pelletier, Madeleine. L’émancipation sexuelle de la femme. Paris ( 5 ) : M. Giard & E. Brière. Libraires- éditeurs, 1912. Diunduh dari https://marievictoirelouis.net/ pada 14 Mei 2020. 

Catatan

  1. Terbit pertama kali dalam bahasa Jerman, berjudul Was ist sexuelles Kapital? (2021)
  2. Eva Illouz dalam wawancara dengan Emilien Hertement untuk majalah Marianne, dipublikasikan secara online pada 14 November 2023. 
  3. Pertama kali terbit dalam bahasa Jerman berjudul Warum Liebe endet: Eine Soziologie negativer Beziehungen (2018). Telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan judul The End of Love (2019). 

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content