fbpx

Me The People dan Populisme menurut Nadia Urbinati

Populisme merubah wajah demokrasi dan berusaha meruntuhkannya dengan mengatasnamakan jalan demokrasi. Populisme yang secara sepintas dapat dilihat sebagai gerakan politik alternatif namun apabila ditilik lebih jauh lagi, ia akan tetap menjadi oposan, bukan hanya terhadap elit politk berkuasa melainkan juga pada sistem demokrasi terebut.
Reply of the Zaporozhian Cossacks karya Ilyas Repin

Nadia Urbianti merupakan seorang filosof politik kontemporer berdarah Italia yang kini menetap dan mengajar di Amerika Serikat. Beberapa tema yang ia angkat pada mulanya bertema filsafat politik terkhusus mengenai demokrasi. Dalam salah satu karyanya yang berjudul buku Me The People (2019), ia berusaha menjelaskan bagaimana demokrasi dapat berubah seturut fenomena populisme yang terjadi di belakangan ini di berbagai belahan dunia.

Garis besar dari tesis Urbinati adalah bahwa perkembangan demokrasi dan populisme dapat berpengaruh besar dalam negara demokrasi. Ia melihat kenyataan pahit dimana kalangan pelajar dan intelektual telah bergabung dengan gerakan populisme. Sebagian dari kalangan tersebut meletakkan posisi populisme sebagai bagian dari sistem demokrasi, ialah sebagai representasi mayoritas. Namun pertanyaan yang muncul kemudian adalah, Benarkah populisme sejalan lurus dengan demokrasi? Dan, apakah kehadiran populisme justru mengancam hadirnya demokrasi?

Urbinati berangkat dari beragam pertanyaan, di antaranya diutarakan demikian,

Why, then, should we bother with populism? My answer is this: the simple fact that the term “populism” now appears so persistently, both in everyday politics and in academic publications, is reason enough to justify our scholarly attention. We study populism because populism is transforming our democracies.

Hal. 18

Lebih lanjut Urbinati nampak yakin bahwa populisme merupakan ancaman bagi perkembangan demokrasi dengan mengutarakan bahwa populisme adalah fenomena yang hadir dalam musaha menggantikan seluruh bagian dari demokrasi.

Studi mengenai populisme mulai marak dilakukan beberapa waktu belakangan ini karena kejadian-kejadian yang monumental sekaligus mengejutkan terjadi di berbagai negara. Sebut saja aksi 212 di Jakarta, aksi protes Gilet Jaunnes di Prancis, demo Hongkong, serta penolakan pembangunan pagar batas Mexico-Amerika. Sebagian gerakan didaku sebagai populisme dan sebagian lagi mendaku dirinya sebagai populisme. Populisme pada titik ini ibarat kartu merah yang diberikan oleh masyarakat umum kepada seluruh oposisi pemerintah. Urbinati selanjutnya berusaha mengamati fenomena populisme dalam gejolak politik kontemporer dan berusaha menarik garis tengah antara nilai yang terbangun dalam suara rakyat serta nilai yang terbangun atas nama agenda politik.

Studi mengenai populisme berangkat dari pertanyaan besar mengenai posisi kaum populis dalam demokrasi. Kecemasan ini timbul karena populis di abad kedua puluh satu mencirikan fasisme dengan karakter yang sedikit berbeda. Di Amerika Serikat, kelompok masyarakat mayoritas yang memiliki kesamaan prioritas politik dengan sadar mengategorikan gerakannya sebagai populisme. Fenomena ini mungkin tampak sedikit berbeda dengan di Indonesia, di mana populisme digunakan untuk merujuk komunitas masyarakat yang menggunakan generalisasi pada mayoritas pemeluk agama tertentu.

Urbinati mengawali pembahasan populisme dengan merujuk pada Oxford Dictionary, demikian ia mengutip,

According to the Oxford English Dictionary, populist politics is a type of politics that seeks to represent the interests and wishes of ordinary people “who feel that their concerns are disregarded by established elite groups”.

Hal. 5

Melalui pengertian umum ini dapat kita ketahui bahwa populisme merupakan gerakan politik yang mendaku langkahnya sebagai bagian dari keinginan masyarakat awam, yang mana sebelumnya tidak diperhitungkan oleh kelompok-kelompok politik elit. Pada titik ini pembaca akan mendapat kesan bahwa populisme seakan-akan merupakan bagian dari gerakan masyarakat yang murni atau dengan kata lain muncul secara organik.

Agenda utama dari gerakan populisme dalam kamus tersebut menjelaskan bahwa populisme lahir dari lingkaran luar politik etis. Sementara itu Urbinati juga merasa bahwa populisme merupakan sebuah proses, bukan merupakan sebuah definisi pasif yang tidak bergerak, melainkan sebuah definisi kata kerja yang dapat terus berkembang dan melampaui definisi awalnya. Dengan demikian, Urbinati menganggap bahwa pada mulanya populisme merupakan definisi yang ambigu hingga harus dibiarkan bergerak bebas agar pengamat dapat mendefinisikan dengan pasti. Namun terdapat beberapa ciri tetap mengenai populisme yang mengacu pada posisinya dalam sistem politik, serta mengacu pada caranya membangun representasi masyarakat.

Seperti yang umum diketahui, definisi satu kata tidak dapat menjelaskan secara utuh sebuah perkara atau fenomena. Pengertian berkembang di antara masyarakat dan dibentuk berulang-ulang oleh media. Jika terdapat dua kelompok populis yang berbeda dengan konteks yang berbeda pula, maka diperlukan studi khusus mengenai dua subjek yang berbeda. Secara garis besar, studi mengenai populisme akan membutuhkan bantuan pengamatan yang luas mencakup sosiologi, politik, fenomenologi, dan lain sebagainya. Bagi Urbinati sendiri, populisme bukan merupakan gerakan politik yang selalu independen dari gerakan politik etis. Ia berusaha mendefinisikan hukum yang berlaku pada gerakan tersebut dan membagi populisme setidaknya dalam dua jenis, demikian Urbinati menyatakan, “I make a distinction between populism as a popular movement and populism as a ruling power.” (hal. 15)

Dalam diskursus Urbinati, ia membedakan gerakan populisme yang berdasarkan gerakan populer dan sebagai gerakan kekuasaan yang sedang berkuasa. Pembagian ini dipertegas dengan bukti-bukti bahwa populisme dapat terlahir dari dua sumber, ialah dari penguasa atau mayoritas, serta kumpulan minoritas atau gerakan yang muncul dari kritik masyarakat. Sumber yang pertama melahirkan populisme populer, yang bagi Urbinati merupakan gerakan radikal dan pragmatis dalam usaha mengartikulasikan kondisi masyarakat. Ia menyatakan, “I argue that populism is structurally marked by a radical and programmatic partiality in interpreting the people and the majority.

Populisme yang bersumber dari kemungkinan kedua merupakan gerakan yang organik dan menjadi bentuk kritik yang tepat. Namun kekurangan populisme dari sumber kedua ini adalah kemungkinannya untuk terjadi sangat minim. Bila hal ini terjadi maka masyarakat perlu mencemaskan kemurnian dari gerakan masyarakat awam yang masif tersebut. Urbinati pula menekankan perbedaan di antara keduanya,

As I have said, in this book I assume a distinction between populism as a movement of opinion or protest and populism as a movement that aspires to and achieves power.

Hal. 35

Populisme yang berasal dari sumber pertama atau kedua, memiliki kesamaan yang tidak dapat dielakkan, ialah bahwa keduanya merupakan gerakan yang strategis. Popularitas membawa konsekuensi massal dan dengan demikian maka memiliki efek strategis. Dalam politik, strategi menjadi satu-satunya syarat tercapainya tujuan. Demikian Urbinati menjelaskan,

The last variant of the minimalist approach reads populism primarily as a strategic movement: populism is but a chapter in the ongoing strategy to substitute elites, and political content becomes much less relevant.

Hal. 30

Permasalahan kompleks mengenai populisme ini kemudian menuntut pemahaman yang tepat dari para peneliti mengenai siapa mayoritas, minoritas, negara, serta masyarakat. Urbinati menyampaikan jawaban tentang mengapa populisme menjadi subjek yang urgen untuk diteliti. Hari ini populisme telah menjadi gerakan masif dan sporadis di berbagai negara, masing-masing sebagaimana telah dijelaskan di atas, memiliki konteks serta konsekuensi tersendiri. Melalui sekian pertimbangan atas berbagai fenomena, muncul kesimpulan yang penting untuk diperhatikan, ialah bahwa populisme selalu berusaha untuk mendirikan sebuah sistem politik di luar demokrasi, dengan memanfaatkan demokrasi itu sendiri.

Populisme berada di luar demokrasi dan menuntut adanya pergantian sistem demokrasi. Sementara itu perlu ditekankan bahwa sistem demokrasi secara umum mementingkan aspek perwakilan. Urbinati selanjutnya menyatakan,

I argue that populist democracy is the name of a new form of representative government that is based on two phenomena: a direct relation between the leader and those in society whom the leader defines as the “right” or good” people; and the superlative authority of the audience.

Hal. 4

Tesis utama dari Urbinati ialah bahwa populisme b telah menjadi bentuk baru dari tiga pilar demokrasi Barat modern, ialah yang terdiri atas masyarakat, prinsip mayoritas, dan azas perwakilan (hal. 3). Namun di sisi lain Urbinati juga berpendapat bahwa bentuk representatif demokratif konstutional ini memiliki kecacatan. Untuk menjelaskan gambaran besarnya itu, maka Urbinati membagi penjelasan mejadi empat pembahasan, di antaranya: 1) penjelasan mengenai kondisi demokrasi konstitutif representatif yang kini menjadi ladang subur bagi para populis, 2) populisme sebagai fenomena global, 3) sintesa kritis atas interpretasi kontemporer atas populisme, dan 4) melihat gejala dan fenomena populisme dalam gambaran besar.

Yang pertama ialah bahwa kondisi demokrasi kontemporer terdiri dari kondisi dualisme di mana demokrasi yang berbentuk konstitusi representatif didirikan untuk menjaga posisi mayoritas agar tidak menindas kaum minoritas. Sementara itu pemimpin populis umumnya menginginkan pergantian sistem agar ia dapat dengan penuh mendaku dirinya sebagai perwakilan dari masyarakat, atau lebih tepatnya ialah bagi populasi yang dinyatakan mendukung dirinya.

Urbinati menyatakan kekhawatirannya sebagaimana berikut,

Representative democracy is both the environment in which populism develops and its target, or the thing it claims its ruling power against. Populist movements and leaders compete with other political actors with regard to the representation of the people; and they seek electoral victory in order to prove that “the people” they represent are the “right” people and that they deserve to rule for their own good.

Hal. 6

Bila terdapat gerakan populisme yang berusaha menguatkan posisi salah satu mayoritas, atau dengan kata lain mengesampingkan suara minoritas, maka kelompok tersebut tidak berada dalam satu garis perjuangan konstitusional. Hal demikian berlawanan dengan apa yang dijelaskan Urbinati dengan usaha partai. Urbinati menyatakan, “I further propose that we should see it (populism) as a transformation of the tree pillars of modern democracy – the people, the principle of majority, and representation.” (hal. 3) Populisme dengan berbagai cara, tidak hanya akan menggulingkan representatif dari keseluruhan masyarakat. Melainkan juga merubah tatanan hukum, sudut pandang geo-sosial, dan daya perwakilan rakyat.

Secara konseptual Urbinati mencatat bahwa negara demokratis dibentuk dari beberapa partai yang mewakili suara bagian-bagian masyarakat. Partai ini kemudian memperjuangkan keadilan bagi masing-masing kelompok yang diwakilkan melalui representasi masyarakat dalam konstitusi.

Kondisi pertama yang menggugah kritik Urbinati adalah bahwa kelompok populis menekankan urgensi dari hadirnya kelompok masyarakat yang memiliki arah berbeda dengan kesatuan partai-partai, dan dengan kata lain kaum tersebut tidak sejalan dengan demokrasi perwakilan. Dalam beberapa kasus yang dapat diamati, kaum populis memiliki kemampuan menggerakkan kekuatan massa untuk mendorong perwakilannya agar bergabung dalam sistem partai yang sudah ada. Pada langkah berikutnya kelompok tersebut berusaha mengakomodir berjalannya sistem politik dengan caranya sendiri.

Kondisi kedua ialah fakta bahwa populisme merupakan fenomena yang mendunia tidak dapat dikesampingkan lagi. Kecenderungan ini terjadi dan dengan mudah diamati kecenderungan fasis Italia dan Jerman dalam mendeskreditkan pimpinan atau popularitas dari partai Kanan atau Kiri. Selanjutnya, kecenderungan populisme kian berkembang.

Pada pengantar Me The People, Urbinati menjelaskan bahwa populisme secara umum dipahami sebagai bentuk perkembangan dari fasisme dan xenofobia. Fenomena ini terjadi hampir di seluruh dunia, dan telah membuahkan sengketa atau perseteruan yang menandai tingkat kerusuhan dunia. Populisme sendiri memiliki kecenderungan melawan pemerintahan yang sedang berlangsung sehingga angka massa tidak selalu dianggap sebagai suara yang mewakilkan kondisi bangsa atau negara tersebut. Kecederungan untuk menyerang dan menjatuhkan, hingga munculnya ide-ide revolusioner dalam menggulingkan kuasa yang sedang berlangsung menjadi ciri gerakan populisme tersebut. Hal ini menimbulkan keprihatinan dan melahirkan objek studi yang berkesan sekaligus mengancam.

Populisme kini dimengerti sebagai gerakan baru yang lebih lunak namun sama berbahayanya dengan fasisme. Kekuatan “atas nama” mayoritas diberi tahta atas kuasa politik, dan dengan demikian minoritas akan menjadi subjek kedua atau bahkan objek dalam sistem ketatanegaraan.

Sudut pandang Urbinati dalam Me The People menegaskan kepada kita bahwa kaum populis pada mulanya merupakan bagian dari masyarakat dan dengan demikian maka memiliki hak perlindungan dasar dari konstitusi. Pengertian ini menjadi penegas sekaligus kekuatan pemikiran Urbinati. Idenya memperjelas pengertian kita bahwa demokrasi memerlukan kritik yang sehat. Untuk mewujudkannya masyarakat terlebih dahulu harus melihat kebenaran dan ketepatan dari usulan yang diajukan.

Lebih lanjut lagi, Urbinati menekankan pentingnya pembedaan kaum populis dari berbagai kelompok masyarakat demokratis lainnya. Pelabelan yang tidak tepat dapat membuat populisme dianggap wajar berada dalam sistem demokrasi representatif. Namun satu hal yang kerap dipinggirkan oleh kaum populis adalah bahwa sistem demokrasi representatif termaklumkan dalam konstitusi. Sementara di saat yang sama tugas konstitusi bertolak belakang dengan kondisi yang mengancanya, ialah untuk melindung segala bentuk hak dasar masyarakat, termasuk anggota dari kelompok populisme.

Populisme mengganggap bahwa cara dan visi mereka adalah yang telah menjadi suara seluruh masyarakat. Dalam polemik ini, maka yang dapat dilakukan adalah menerjemahkan kembali pemahaman mengenai siapa masyarakat dan siapa bangsa, serta bagaimana masyarakat dapat hidup secara demokratis dalam suatu bangsa.

Dalam demokrasi barat modern, Urbinati menekankan porsi pemilihan umum dan kehendak untuk menerima pendapat terbuka, serta kritik dan berbagai warna perwakilan yang ada dalam sistem politik. Sementara itu masyarakat merupakan aspek biotik sebuah negara atau bangsa yang memiliki kekhasan etis. Masyarakat kemudian dengan sadar akan tergabung dalam suatu bangsa karena meyepakati sistem politik yang akan mereka bangsun bersama. Ketika bangsa tersebut memilih demokrasi, sebagaimana hampir diberlakukan di seluruh dunia, maka sistem itulah yang dipercaya sebagai sistem yang harus diperjuangkan bersama. Ketika gerakan populis hadir dan berusaha menggantikan usaha demokrasi representatif dengan menekankan adanya satu pendapat tunggal, maka ia berseberangan – tidak hanya – dengan kelompok-kelompok masyarakat partai lain namun dengan demokrasi itu sendiri.

Lebih lanjut lagi ia menyatakan bahwa populisme memiliki kriteria-kriteria yang keras dan terpusat, yang tidak menandakan bahwa gerakan tersebut muncul dari rahim masyarakat.

Ultimately, populism is not an appeal to the sovereignty of the people as a general principle of legitimacy. Rather, it is a radical reaffirmation of the “heartland that represents an idealized conception of the community. This heartland claims to be the true and only legitimate master of the game.

Hal. 14

Kuasa tetap kuasa, ia menjadi kekuatan sekaligus komoditas yang diperebutkan. Hal itu yang menyebabkan proses demokrasi menyamaratakan hak dan tanggung jawab manusia sesuai porsi melalui jalan politik perwakilan.

Pemikiran Urbinati perlu dihadirkan dalam pertimbangan Indonesia untuk menyusun paradigma politik baru di Indonesia. Populisme yang dikenal di Indonesia, beserta dengan gerakan dan aksi massanya belum dapat dikatakan sebagai populisme yang sebenarnya dalam sudut pandang Urbinati karena tidak mewakili representasi masyarakat secara luas, serta syarat-syarat populisme lainnya.

Untuk sementara, dapat disimpulkan sementara bahwa beberapa gerakan populisme di Indonesia masih merupakan populisme dari sumber pertama, atau kedua. Gerakan mengatasnamakan salah satu agama atau kelompok tertentu tidak dapat dibuktikan dengan menunjukkan jumlah massa atau wajah dalam sosial media, melainkan seberapa besar porsi politik yang diwakili – alih-alih porsi mewakili – oleh gerakan tersebut. Memamerkan jumlah apalagi seragam tidak menjadi salah satu alasan untuk mendaku gerakan sebagai sebuah gerakan masyarakat yang organik. Itu sebabnya penting untuk membedakan gerakan rakyat yang sebenarnya dengan yang dilakukan berdasarkan kesadaran masyarakat itu sendiri, atau apakah hal tersebut adalah bagian dari politik itu.

Melalui pemaparan di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa dasar argumentasi Urbinati terletak pada kriteria dan efek yang disebabkan oleh populisme, di antaranya penolakan terhadap sistem perwakilan demokrasi yang saat ini, yang dinyatakan Urbinati sebagai, “Populism shows itself to be impatient with the democratic diarchy.” (hal. 9)

Populisme merubah wajah demokrasi dan berusaha meruntuhkannya dengan mengatasnamakan jalan demokrasi. Populisme yang secara sepintas dapat dilihat sebagai gerakan politik alternatif namun apabila ditilik lebih jauh lagi, ia akan tetap menjadi oposan, bukan hanya terhadap elit politk berkuasa melainkan juga pada sistem demokrasi terebut.

Penulis merupakan alumnus Ilmu Politik di salah satu universitas swasta di Malang.

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content