Dalam karya Descartes berjudul Meditations on First Philosophy yang terbit sekitar 1640-an, terdapat penjelasan yang menarik mengenai diri manusia. “Diri” manusia menurut Descartes memiliki keluasan di dalam ruang dan di dalam pikiran. Dalam istilah yang sering kita kenal dengan res cogitans (mind) dan res extensa.
Dua kategori tersebut bersifat saling terkait, artinya tiap satu kategori perlu ada bagi yang lain secara timbal balik. Adanya diri dalam keluasan pikir perlu didasarkan pada keluasan dalam ruang, demikian adanya ruang selalu direpresentasikan di dalam pikiran.
Segala hal dapat diukur
Sebagai bagian dari taksonomi hal-hal riil, manusia pun terikat oleh sifat-sifat umum dari hal riil. Di dalam keluasan ruang (res extensa); dari being atau pengada selalu memiliki kepastian dalam bentuk dan ukuran. Misalnya pensil yang Anda pegang memiliki kepastian bentuk tabung dan ukuran yang relatif kecil dalam keluasan ruang.
Kualitas tersebut dimaknai Descartes sebagai claire et distincta (jelas dan terpilah-pilah). Di bawah kategori ini (masih dalam kategori ruang) terdapat sifat yang kurang jelas dan terpilah-pilah, yakni sifat warna; misalnya warna merah dari pensil tidak bisa menjelaskan kedirian dari pensil secara claire et distincta karena warna pencil dapat berganti-ganti sedangkan diri pensil tetap menjadi pensil.
Ketidakjelasan dan ketak-terpilahan warna menggiring Descartes pada permenungan yang lebih mendalam perihal persepsi. Persepsi kita akan penampakan mudah sekali menipu; berbagai ilusi optik dapat menggiring kita pada sesat pengetahuan. Misalnya dalam persepsi pensil yang tiba-tiba menjadi bengkok di dalam air, ataupun hologram optikal dari api yang menipu kita bahwa hal itu panas padahal tidak, demikian seterusnya.
Sebuah alegori terkenal dari Descartes mengenai kemungkinan seorang iblis licik yang terus-menerus menipu persepsi kita. Dalam nilai kejelasan dan keterpilahan (claire et distincta) pengada di dalam ruang, manusia perlu mengukurnya berdasarkan keluasan dirinya (diri manusia) di dalam ruang. Dalam sebuah nilai paradoksal “mengukur ukuran dan bentuk ketubuhan (bentuk dan ukuran) hal liyan menggunakan tubuh itu sendiri.”
Res cogitans
Namun hal tersebut belum pula memadai untuk menghalau ilusi iblis licik. Descartes meyakini, bagaimanapun ilusifnya tipuan iblis licik, manusia telah menyadari pikirannya sendiri. Inilah aparatus nilai diri manusia yang utama yakni res cogitans (keluasan di dalam pikiran).
“Manusia boleh tertipu oleh berbagai ketidakpastian ilusif persepsi, namun satu-satunya hal yang pasti adalah ia sedang menyadari ketidakpastian itu atau setidaknya menyadari satu hal kendati pun sebuah persepsi tidak dianggap sebagai ketidakpastian.”
Manusia adalah entitas yang unik karena memiliki aparatus kesadaran dalam dirinya. Manusia adalah satu-satunya “the thing” (pada kementakan tertentu sebagai kebendaan) yang “memiliki kesadaran dan menyadari kesadarannya”. Hal tersebut berbeda dengan kesadaran domba, kelinci, dan berbagai klaster spesies dari kingdom animalia yang tidak menyadari kesadarannya.
Aspek kesadaran tersebut ialah: meragukan, memahami, menyatakan, menolak, berkehendak, berimajinasi, dst. Hal tersebut berada di atas dari berbagai sensasi fisikal misalnya sakit, panas, dan dingin.
Descartes meyakini aparatus mind tadilah yang mengutuhkan manusia. Sebagaimana diktum terkenal Descartes yang menjadi pembuka zaman rasio “cogito ergo sum” yakni; keber-ada-an yang mula-mula perlu diutuhkan dalam koridor disadari. Maka diri manusia sebagai satu-satunya the thing that thinking (benda yang berpikir) dan ada dari keadaan berpikirnya, secara paradoksal inti diri manusia itu sendiri tak lain adalah pikirannya.
Manusia perlu menyadari kesadarannya untuk mengutuhkan dirinya. Bagaimana dengan keadaan bermimpi dan kelumpuhan alam bawah sadar? Takar kembali pikiran Anda ketika bermimpi, apakah anda mengalami demensia atas diri atau setidak-tidaknya Anda mengetahui samar-samar kedirian Anda. Sedangkan dalam keadaan sleep paralysis (kelumpuhan sesaat dalam tidur) orang justru akan terbangun ketika tahu kediriannya atau the self tidak bisa digerakkan.
Terang fenomenologi husserlian
Kajian kedirian atau the self dari Descartes menjadi bahasan menarik bagi tradisi filsafat setelahnya. Orang-orang seperti David Hume tidak percaya dengan kedirian ala Cartesian. Hume justru melihat berbagai keluasan inderawi-lah pembentuk kedirian.
Sekitar 250 tahun pasca Descartes, muncul pula bentukan tradisi baru dalam filsafat. Edmund Husserl menjadi pencetus dari tradisi tersebut yang kelak dikenal sebagai fenomenologi. Dalam tradisi fenomenologi ini Husserl tidak melanjutkan tradisi filsafat apapun.
Mula-mula dari analisis atas fenomena sebagaimana fenomena terepresentasikan dalam diri kita. Husserl menyarankan sebuah sikap Zurück zu den Sachen selbst (kembali pada fenomena itu sendiri). Sebagai kritik karena kita sudah terlalu sering mengandaikan pre-suposisi tertentu terhadap definisi realitas, dan lupa menghayati “ada” sebagaimana “ada” terepresentasi dalam diri kita. Artinya sikap mengutamakan “diri yang berpikir” pada kementakan tertentu adalah sikap yang tidak otentik.
Apakah kognisi mengharuskan pre-suposisi tak hingga atau justru kita lupa bahwa segala bentuk kognitif tak lain merupakan tindak spontanitas? Di dalam primas cogitans ala cartesian di atas kita diajak mendahulukan kesadaran akan diri kita yang sadar, namun pada tindak membilang realitas kita sebenarnya senantiasa terarah pada benda itu sendiri tanpa bentukan presuposisi apapun.
Yang Ada dan menyadari Adanya
Menimpali filsafat gurunya (Husserl), Heidegger pada sekitar tahun 1940-an meradikalkan fenomenologi Husserlian yang secara langsung maupun tidak langsung justru merombak primas cogitans ala cartesian. Mula-mula Descartes dilihat tidak mengkaji lebih mendalam keluasan res extensa; hal-hal di dalam ruang diandaikan hadir begitu saja.
Selanjutnya Heidegger memilahnya menjadi dua yakni hal riil yang ontis dan yang ontologis. Definisi ontologi di sini tentu berdasarkan ideografi Heidegger dan bukan merupakan definisi umum. Keluasan ontis dikumpulkan dalam sebuah taksonomi realitas raksasa; ini kursi, ini meja, ini pohon, dan seterusnya. Membentuk organon tak-hingga yang Heidegger sebut sebagai house-of existence yakni bahasa sebagai rumah ekstensi bagi pengada-pengada.
Sedangkan keluasan ontologis mempersyaratkan aparatus eksistensial; bagaimana kursi sebagai being (pengada), bagaimana meja sebagai being (pengada), membentuk ada itu sendiri (yang sama sekali bukan fenomen partikular) dan bagaimana ia meng-ada (kata kerja) di dalam diri manusia. Manusia yang dalam fenomenologi Husserl dibelah menjadi ego empiris dan ego transendental.
Istilah ego empiris dan ego transendental ini mirip dengan istilah res extensa dan res cogitans milik Descartes. Namun terdapat penekanan nilai exist di dalam definisi Husserl. Bagaimana manusia di hadapan eksistensi (keberadaan) dipilah kediriannya dalam diri manusia sebagai the thing (kebendaan) yang empiris namun juga menjadi satu-satunya entitas yang melampaui empirisitas dengan menyadari “ada” nya, ataupun menolak “ada” nya.
Misalnya, Tono dinyatakan terjatuh dalam sebuah situasi. Kaki Tono memar, tangannya lecet. Namun pada saat yang sama Tono bisa menolak label “terjatuh” tersebut dengan menyatakan bahwa ia sengaja melakukan tindak akrobatik. Kedirian Tono secara empiris dapat diobjektifikasi, namun terdapat ketakterbatasan eksistensi dari Tono sebagai subjek untuk menyadari “ada”nya ataupun menolak “ada”nya.
Da-sein dan dimensi waktu-mewaktu
Kembali kepada Heidegger. Ia memasukkan satu aparatus pelengkap lagi bagi eksistensi secara holistik dan eksistensi manusia. Aparatus tersebut adalah aparatus waktu. Inilah inti dari keluputan cogito cartesian. Descartes menyatakan kesadaran sebagai sebuah kesadaran tertutup tanpa mempertimbangkan dimensi waktu.
Silahkan perhatikan notasi logis di bawah ini untuk memahami realitas ala cartesian serta perpanjangannya dalam realitas heideggerian. Mula-mula Descartes mengkaji satu bentukan being, kita misalkan sebagai sebuah buku dengan notasi logis “B”.
(∃x) Bx
Keterangan
B: Buku
Dibaca “Terdapat setidaknya satu hal exist, yakni buku.”
(∃x) Bx & Ex
Keterangan
B: Buku
E: Res Extensa
Dibaca “Terdapat setidaknya satu hal exist, yakni buku dalam keluasan ruang (res extensa).”
(∃x) Bx & Cx
Keterangan
B: Buku
C: Res Cogitan
Dibaca “Terdapat setidaknya satu hal exist, yakni buku dalam keluasan pikir (res cogitan).”
(∀x) ((Bx & Ex) ≡ (Bx & Cx))
Keterangan
Bx & Ex: Buku dalam keluasan ruang
Bx & Cx: Buku dalam keluasan pikir
Dibaca “Buku dalam keluasan ruang bernilai sama dengan buku dalam keluasan pikir.”
Fakta partikular tersebut menghasilkan sebuah prinsip universal demikian;
(∀x) (Bx ≡ S) ⇒ (Ex & Cx)
Keterangan
B: Buku
S: Sein atau being
Ex: Hal dalam keluasan ruang
Cx: Hal dalam keluasan pikir
Dibaca “Untuk semua buku, jika buku tersebut bernilai sebagai sebuah sein atau being maka ia harus memiliki keluasan ruang dan keluasan pikir.”
Pada prinsip universal inilah Heidegger melancarkan kritiknya. Bukan hanya kepada Descartes, melainkan seluruh metafisika barat yang memprioritaskan retroversi pikir dan realitas. Mari kita lanjutkan dengan notasi logis di bawah ini:
(∀x) ((Bx & Ex) & (Bx & Cx)) ⟺ Ix
Keterangan
B: Buku
S: Sein atau being
Bx & Ex: Buku dalam keluasan ruang
Bx & Cx: Buku dalam keluasan pikir
Ix: Interpretasi Da-sein
Dibaca “Untuk semua sein atas buku, jika dan hanya jika ia ada dalam keluasan ruang dan keluasan pikir maka ia harus melalui interpretasi dasein.”
Da-sein merupakan istilah ciptaan Heidegger sendiri yang merujuk kepada subjek manusia. Namun manusia Heideggerian bukanlah manusia dalam pengertian konvensional seperti pengertian cartesian yang berporos pada cogito atau kesadaran.
Kata “da” bahasa Jerman berarti di sana dan kata “sein” berarti “ada”. Sikap “ada-disana” merupakan sikap esensial dari subjek manusia. Ketika kelahirannya, manusia tidak dibekali kemampuan apapun selain nilai “keber-ada-an di sana” (di dunia). Apabila dalam Descartes manusia dituntut men-checklist tiap objek di tangannya dalam keluasan ruang dan keluasan pikir.
Heidegger sebaliknya melihat diri manusia sekedar mengetahui adanya. Sikap mengetahui adanya inilah sikap primordial dan sikap inti manusia. Setelah mengetahui adanya, barulah kemudian da-sein akan mulai “mewaktu”.
Waktu dalam bahasa Jerman diartikan sebagai zeit, namun di dalam Heidegger waktu diartikan sebagai Zeitlichkeit (bentukan kata kerja dari kata benda waktu). Budi Hardiman dalam Mistik Keseharian menggunakan istilah “kemewaktuan” untuk mengartikan Zeitlichkeit, namun penulis lebih suka memilih istilah mewaktu.
Da-sein mewaktu dalam tiga garis besar eksistensi. Dalam nilai mewaktu gewesenheit (yang lalu), gegenwart (yang kini), dan zukunft (yang akan datang). Semua garis waktu ini didasarkan pada eksistensi da-sein itu sendiri. Tiga garis mewaktu yang eksistensial ini akan membuktikan bahwa being tidak meletak dalam cogito tertutup. Sum di dalam diktum cogito ergo sum tidak pernah dipertanyakan. Jika dikatakan dengan berpikir kita ada, sebenarnya ada di mana yang dimaksud dan apakah kita sekedar ada atau justru meng-ada (kata kerja).
Kesadaran akan being selalu akan terbuka bagi kemungkinan tak-hingga. Dalam rentang gewesenheit (yang lalu); misalnya jika being atas buku dinyatakan ada pada keberadaan yang telah lalu. Maka kita melakukan tindak wiederholung (mengambil kembali) nilai ada dari buku dari yang lalu.
Dalam rentang gegenwart (yang kini); misalnya being atas buku dinyatakan ada pada sekarang. Maka kita melakukan tindak eksistensial augenblick (momen melihat ada-nya being berdasarkan adanya diri kita sekarang). Belum lagi dalam rentang yang di depan (Zukunft) being atas buku akan menemui berbagai macam antisipasi (Vorlaufen) dari dasein; dalam pertanyaan bagaimana adanya buku di masa depan, apakah ia tetap ada, dan demikian seterusnya.
Referensi
Budi Hardiman, F., Heidegger Dan Mistik Keseharian (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2003)