Banyak orang yang masih salah tafsir dalam memaknai sosialisme. Sering kali narasi yang dipakai dalam memaknai sosialisme adalah tidak adanya kebebasan individu dalam kepemilikan properti. Rumah, tanah, cincin, sampai garam di dapur acap kali diinterpretasikan dikuasai oleh pemerintah. Dalam kepemilikan atas properti hingga hal-hal yang menyangkut kehidupan pribadi, seperti meja-kursi, buku-buku, rak, handuk atau barang rumah tangga adalah milik publik dan boleh digunakan orang lain. Hal ini salah kaprah sebab sosialisme itu merupakan ide, filosofi, dan mimpi akan suatu tatanan masyarakat yang adil. Sosialisme merupakan jawaban atas kegagalan dan kekacauan kapitalisme, bisa dibilang merupakan tandingan dari sistem kapitalisme.
Secara sistematis, kapitalisme menghisap buruh dengan cara memisahkan buruh dari alat produksi mereka. Hal tersebut diungkapkan oleh Marx dalam bukunya Capital, Volume I (1867) pada bagian akumulasi primitif 1, yang menjelaskan kapitalisme sebagai sistem yang eksis hingga hari ini—diawali dengan perampasan tanah oleh mereka yang termasuk kelas atas, yakni para bangsawan, kepada kalangan kelas bawah, para petani-petani kecil. Kondisi ini memunculkan situasi yang menyebabkan para petani kehilangan tanah sebagai alat produksinya sehingga mereka tidak bisa lagi bercocok tanam untuk terus hidup.
Tanah sebagai aset produksi yang telah dirampas dari para petani diubah menjadi pabrik sehingga para petani mau tidak mau harus memilih bekerja di pabrik sebagai buruh. Para buruh yang sebelumnya berprofesi sebagai petani ini telah terbiasa bekerja berdasarkan periode panen setiap musim, tetapi sekarang mereka harus menyesuaikan diri dengan sistem kerja yang baru, yaitu berdasarkan kesepakatan untuk menghasilkan suatu komoditas dalam kurun waktu tertentu dengan pendapatan upah sejalan dengan waktu kerja. Dahulu para petani bekerja menghasilkan gandum dalam kurun waktu tiga bulan, maka mereka menguasai hasil panennya sendiri karena memang alat produksi masih dikuasai oleh mereka. Sekarang mereka harus bekerja selama delapan hingga sepuluh jam dengan upah yang telah ditentukan tetapi komoditas yang dihasilkan bukan lagi milik mereka melainkan milik yang memberikan upah.
Kondisi di atas menciptakan perspektif bahwa buruh dilihat sebagai tenaga kerja dan tak lebih. Tenaga itulah yang dilihat sebagai jasa atau bagian dari modal akumulasi kapital untuk menghasilkan nilai tambah atas suatu barang. Secara lebih sederhana, tenaga merupakan hal yang dijual oleh buruh dalam sistem produksi kapitalisme. Namun, meski para buruh telah berusaha dan berinovasi, tetap saja hasil yang telah mereka produksi masuk ke kantong para kapitalis. Sistem tersebut jelas kontradiktif dengan prinsip kemanusiaan yang menjunjung tinggi kesetaraan antar manusia. Dengan demikian, pemilik modal akan sejahtera dan para buruh akan bergantung pada mereka, sehingga ketimpangan dan kemiskinan akan terlihat jelas di dalam kehidupan masyarakat.
Sosialisme Sebagai Ide
Ide mengenai sosialisme lahir dari semangat primitif yang komunalistik: semua diatur secara kolektif, sehingga tidak ada yang dominan dan didominasi. Menurut pemikiran Njoto, yang bisa diketahui melalui catatannya Marxisme, Ilmu, dan Amalnya (1962), sosialisme merupakan suatu konstruksi sosial atau sistem masyarakat yang berdasar pada kepemilikan bersama atas alat-alat produksi. Lebih jauh, Njoto mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kepemilikan bersama lebih merujuk pada alat-alat produksi dalam usaha ekonomi yang menyangkut hajat hidup orang banyak seperti tanah dan pabrik-pabrik besar, bukan hanya sekadar kepemilikan atas barang-barang pribadi seperti meja, kursi, buku, tempat tidur, sepeda, dan sebagainya. Selain itu, makna kepemilikan dalam konteks ini jauh berbeda dengan arti “sama rata” yang berkembang di khalayak sekarang yang juga telah mengalami simplifikasi makna.
Di dalam sosialisme, proses produksi berlangsung dengan mengedepankan prinsip sosial atau kepentingan dan kebutuhan banyak orang. Dengan demikian, hasil produksi tersebut nantinya dapat digunakan untuk kepentingan sosial. Menurut Njoto, sosialisme tidak boleh disimplifikasikan menjadi hanya sebatas pernyataan “sama rata, sama rasa”. Hal ini karena pernyataan tersebut bisa bermakna bahwa orang yang malas dan tidak mau bekerja pun tetap bisa menikmati hasil dari orang yang bekerja keras hanya karena semua harus sama rata dan membuat kerja keras orang yang rajin terlihat sia-sia.
Ragam interpretasi mengenai sosialisme di atas harus diluruskan karena ragam konsepsi tersebut jelas kontradiktif dengan definisi sosialisme yang sesungguhnya. Sistem sosialisme menekankan pada prinsip keadilan—tempat orang yang bekerja dengan sungguh-sungguh akan mendapatkan hasil dari kerja kerasnya, sementara yang tidak bekerja tidak akan mendapatkan apa-apa. Kondisi itu berlaku secara etis bagi mereka yang mampu bekerja, sementara yang tidak mampu akan menjadi tanggung jawab bersama. Dalam artian mendasar, yang rajin dan ulet akan mendapatkan hasil sesuai kerja. Namun, dalam sosialisme tentunya mereka bekerja secara kolektif dalam kerangka kebersamaan. Suatu tanah atau pabrik dikelola secara kolektif, tanpa ada kepemilikan tunggal. Hal tersebut pada akhirnya memungkinkan pembagian kerja yang sesuai dengan kemampuan setiap individu—serta tentunya waktu kerja dan waktu luang yang disepakati secara bersama. Hak dasar seperti kesehatan, pendidikan, dan jaminan ketersediaan pangan dipenuhi berdasarkan kesepakatan bersama melalui keputusan kolektif bagaimana prinsip dasar sosialisme: keadilan bagi semua. Dalam sosialisme tidak ada individu yang bermalas-malasan, atau dia yang tidak bekerja tapi mendapatkan hasil dari individu yang bekerja. Semua orang harus bekerja untuk hidup mereka dan komunitas. Namun ada kondisi pengecualian, yaitu mereka yang tidak mampu bekerja karena alasan usia atau kondisi kesehatan yang tidak mumpuni akan menjadi tanggungan komunitas yang disepakati secara kolektif.
Marx pernah membahas persoalan tersebut dalam Critique of the Gotha Program (1891). Ia menjelaskan bahwa dalam sosialisme manusia bekerja menurut kemampuannya dan mendapat hasil menurut prestasi atau kerjanya. Secara singkat, jelas, dan padat sosialisme dijabarkan sebagai suatu konsep masyarakat tanpa “exploitation de l’homme par l’homme,” tanpa pengisapan oleh manusia atas manusia lainnya, seperti yang pernah dikatakan oleh Sukarno.
Kapitalisme telah memunculkan individualisme. Dampaknya ialah manusia hanya fokus pada pemenuhan kerjanya sendiri tanpa memikirkan manusia yang lainnya sebagai bentuk keterasingan. Mereka terpisah kehidupannya secara sosial. Kondisi tersebut merupakan implikasi dari sistem kerja kapitalisme yang menghasilkan keterasingan (alienation) sebagai dampak sistem ekonomi di mana minoritas kecil mengontrol alat-alat produksi, dan di mana kebanyakan orang dapat bertahan hidup hanya dengan menjual tenaga kerja mereka sendiri, sebab seorang pekerja di bawah kapitalisme harus bekerja untuk orang lain. Marx dalam Capital, Volume 1 (1867) pada bab Division of Labour and Manufacture, berpendapat bahwa pekerjaan memiliki nilai intrinsik yang kecil atau tidak ada sama sekali bagi pekerja—seperti yang ia katakan, “itu bukanlah pemuasan suatu kebutuhan, melainkan suatu cara semata-mata untuk memuaskan kebutuhan di luar dirinya.” Secara lebih umum, kita menemukan hidup manusia di bawah kapitalisme didominasi oleh kekuatan impersonal, dari labirin birokrasi yang otoritatif hingga kekuatan ekonomi yang tidak dapat mereka kendalikan. Dalam the German Ideology (1970), Marx dan Engels menggambarkan alienasi sebagai “penempatan aktivitas sosial, konsolidasi produk yang kita hasilkan sebagai kekuatan nyata atas kita, tumbuh di luar kendali kita.”
Refleksi atas Ide Sosialisme
Sosialisme adalah suatu cita-cita tentang tatanan masyarakat yang setara dan adil. Sering kali dalam mendorong kehadirannya, salah satu pendekatan dasar yang digunakan untuk mewujudkan sosialisme adalah pemikiran Karl Marx, yang kini dikenal sebagai Marxisme. Marxisme sebagai suatu pemikiran mengarah ke sebuah analisis atas situasi ekonomi politik untuk merumuskan pedoman gerak dan aksi. Marxisme merupakan pedoman umum yang universal. Karena itulah, secara implementasi pemikiran Marxisme beragam—yang selalu disesuaikan dengan adat atau lokalitas dari suatu wilayah. Karena pemikiran Marx beranjak dari kondisi sosial masyarakat Eropa, maka dia mencetuskan sebuah pemikiran yang sangat sesuai dengan kondisi di Eropa. Jika pemikiran Marx diterapkan mentah-mentah, jelas tidak sesuai dengan kondisi di wilayah yang memiliki kondisi material berbeda dengan Eropa semisal di India atau Indonesia. Oleh karena itu, jika Marxisme dipaksakan, tentunya akan penuh kecacatan, kaku, tidak kontekstual dan berujung pada kegagalan penerjemahan ide untuk diimplementasikan—atau malahan terjebak dalam mimpi-mimpi utopis.
Kondisi ini harus menjadi pelajaran bagi penganut sosialisme di Indonesia, yang harus berpegang teguh pada ajaran-ajaran dasar Marxisme. Para penganut Marxisme harus keluar dari kekakuan dan kekolotan. Mereka dituntut untuk lebih membumi dengan belajar dari lokalitas Indonesia, lalu secara kreatif menentukan sendiri “platform” politiknya. Maka dari itu, Marxisme harus berdasarkan pada keadaan-keadaan yang konkret di Indonesia, seperti yang pernah dijabarkan oleh Aidit dalam catatannya yang berjudul Tentang Marxisme (1962).
Hal ini juga dapat dilihat dalam pernyataan mengenai apa sebenarnya pokok sosialisme. Perbedaan pemahaman sosialisme dari Saint-Simon hingga Robert Owen sangat berbeda dengan Marx dan Engels dalam keberhasilan menangkap kenyataan perjuangan kelas proletariat melawan kapitalis. Kerangka Marxisme berbeda dengan pemikiran sosialis “utopia” (mimpi-mimpi indah), karena untuk menuju sosialisme, Marxisme menekankan pada sebuah gagasan terkait pentingnya perjuangan politik revolusioner yang berlandaskan teori dan praksis, seperti solidaritas dan aksi nyata berdasarkan pembacaan situasi dan kondisi dalam pendekatan ekonomi politik. Maka dari itu pokok sosialisme adalah teori yang selalu diperbarui sesuai realitas, didasarkan pada praktik nyata, dan diaktualisasikan dalam langkah kreatif. Maka secara tidak langsung sosialisme harus mampu menjadi sentrum, membuka afinitas, dan memiliki sifat yang kontemplatif, proyektif, serta implementatif.
Di sinilah pentingnya membaca materialisme dialektis dan materialisme historis. Marx dalam pengantar Capital, Volume I (1867), percaya bahwa dialektika seharusnya tidak berurusan dengan dunia ide tetapi dengan dunia material, dunia produksi, dan aktivitas ekonomi lainnya. Bagi Marx hal tersebut adalah transformasi yang sangat penting, karena memungkinkan untuk memindahkan dialektika keluar dari subjek kontekstual filsafat dan masuk ke dalam studi hubungan sosial berdasarkan dunia material. Dialektika bukanlah formula untuk menghasilkan hasil yang telah ditentukan sebelumnya, tetapi merupakan metode untuk studi empiris mengenai proses sosial dalam hal keterkaitan, perkembangan, dan transformasi suatu materi.
Ernest Mandel dalam Introduction to Karl Marx, Capital Volume 1 (2002), menyebutkan ketika metode dialektika diterapkan pada studi yang membahas persoalan dan fenomena ekonomi, maka hal tersebut tidak dapat dilihat secara terpisah satu sama lain atau sepotong-sepotong, tetapi harus dilihat sebagai hubungan erat, sebuah totalitas terintegrasi, terstruktur oleh sebuah mode produksi dasar yang dominan. Karena bagi Marx hal tersebut sejalan dengan pemahaman sejarah manusia dalam hal proses sistemis, berdasarkan mode produksi yang secara umum dapat dilihat dari cara-cara di mana masyarakat diatur dalam menggunakan kekuatan teknologi mereka untuk berinteraksi dengan lingkungan materialnya. Adanya kontradiksi, perubahan, dan negasi menunjukkan bahwa setiap sejarah memiliki pertentangannya sendiri yang menimbulkan beragam pertanyaan: “mengapa ada tuan tanah atau pemodal berkuasa”, “mengapa ada keluarga keraton”, dan “mengapa ada buruh tani”. Ini merupakan contoh dalam melihat basis persoalan serta problem yang aktual, bukan terjebak dalam romantisme anakronis. Maka yang terjadi sekarang tidak serta merta karena takdir, akan tetapi ada hubungan kompleks secara historis dalam bingkai ekonomi politik. Inilah yang disebut oleh Marx sebagai Materialisme Historis yang secara sempit dikhususkan untuk analisis struktur dan perkembangan ekonomi kapitalis.
Sebagaimana pemikiran Njoto, sosialisme harus dijalankan sesuai ilmu dan baru berguna jika diimplementasikan, terutama dalam praktik pembebasan atau perjuangan menuju keadilan sosial. Oleh sebab itu, sosialisme seharusnya tidak sebatas diucapkan di warung-warung kopi, atau hanya didiskusikan di forum-forum ilmiah, tetapi harus benar-benar diamalkan. Pemikiran sosialisme haruslah konsisten dengan prinsipnya, adil dalam pergaulan, tidak semena-mena, dan tentunya tidak patriarkis. Dewasa ini, banyak sosialis bahkan tanpa malu mengaku Marxian, tetapi wataknya masih patriarkis. Bagaimana bisa mendorong keadilan, jika dalam lingkup terkecilnya saja masih belum adil?
Selain itu, paham sosialisme haruslah diimplementasikan secara luas dan membumi, guna memperluas jaringan solidaritas agar ke depan harapan dan tujuan sosialisme dapat diwujudkan. Hal itu ditujukan untuk menciptakan basis-basis pemikiran kritis, memupuk kepedulian, dan menanamkan nilai-nilai lokal yang relevan—hal tersebut merupakan bagian dari perwujudan sosialisme itu sendiri. Namun dari semua itu yang terpenting dalam membahas pemikiran sosialisme ialah pembelajaran bagi kita untuk memperluas wawasan agar dapat menerima seluruh realitas dan mengamalkan di kehidupan pribadi.
Hal terpenting dalam pengamalan prinsip sosialisme adalah dengan mempertajam pemikiran dan gerakan yang konkret, seperti memperluas solidaritas, turun ke masyarakat, dan tidak bias perspektif. Martha Harnecker dalam tulisannya yang berjudul A World to Build: New Paths toward Twenty-first Century Socialism (2015), mengungkapkan jika sosialisme dengan jargon revolusi seharusnya dapat menarik simpati dan empati—jika revolusi sebatas menakuti, maka perlu dipertanyakan lagi kedudukan revolusi tersebut.2
Sejalan dengan kehadiran kaum Bolshevik yang hadir dengan jargon perdamaian, metode pengenalan sosialisme dirasa efektif dengan menggunakan medium analogi. Analogi tanah dan roti—yang tentunya digunakan oleh kaum Bolshevik—adalah sebuah jargon yang membumi dan mudah dipahami. Jargon tersebut merupakan representasi dari nilai dasar sosialisme. Di era kontemporer, praktik dan pengamalan sosialisme secara kontekstual dijalankan oleh Venezuela dan Bolivia yang hadir dengan persatuan nasionalnya—dengan mengombinasikan golongan buruh, tani, kaum adat, dan kaum miskin kota sebagai bagian dari entitas mereka yang terpinggirkan dan harus berjuang merebut lagi hak-hak mereka yang dirampas oleh segelintir orang.
Oleh karena sosialisme bukan sekadar busa romantik dalam drama telenovela yang keberadaannya bukan hanya sekadar mengulang kegemilangan di masa lalu. Sosialisme ada karena pengetahuan, gerak, dan solidaritas. Ia juga diperkuat oleh diskursus yang kontekstual sesuai realitas. Ia bukanlah manifestasi kebebalan dalam ortodoksi pemikiran, menara gading, ruang eksklusif, elitis, ataupun jauh dari solidaritas. Oleh sebab itu, secara riil sosialisme sendiri dapat didefinisikan sebagai cinta, demokrasi, kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan.
Referensi
Aidit, D.N. Tentang Marxisme. Cetakan Kedua. Djakarta: Akademi Ilmu Sosial Aliarcham, 1963.
Harnecker, Marta. A World to Build: New Paths Toward Twenty-First Century Socialism. nyu Press, 2015.
Mandel, E. (2002). An introduction to Marxist economic theory. Resistance Books.
Marx, Karl. Capital Volume 1. Lulu. com, 2018.
Marx, Karl. Critique of the Gotha Program. Wildside Press LLC, 2008.
Marx, Karl., & Engels, F. (1970). The German Ideology (Vol. 1). International Publishers Co.
Njoto. Marxisme: Ilmu dan Amalnya. Jakarta: Harian Rakjat, 1962
Sukarno, President. Deklarasi Ekonomi. Jajasan Prapantja, 1963.
Catatan
- Menurut Marx, akumulasi primitif merupakan penanda awal kapitalisme lahir, karena proses akumulasi primitif adalah transisi sejarah dari feodalisme ke kapitalisme dan transformasi corak ekonomi dari model produksi yang bertumpu pada hasil bumi seperti pertanian dan perkebunan ke arah produksi modern yang menekankan pada produksi komoditas dalam skala besar dan masif dalam wujud model manufaktur. Marx menyebutkan seluruh tujuan akumulasi primitif adalah untuk memprivatisasi alat-alat produksi yang sebelumnya dikuasai oleh petani secara komunal atau digarap secara penuh oleh petani. Dengan diakibatkan kehilangan alat-alat produksi, maka mereka harus bekerja untuk pemilik alat produksi tersebut, lalu para pemilik alat produksi mengeksploitasi mereka untuk menghasilkan uang dari surplus pekerjaannya. Marx mengatakan akumulasi primitif adalah pengambilalihan alat produksi dari produsen langsung (petani), dan lebih khusus lagi berupa penghapusan kerja berdasarkan kepemilikan alat produksi pribadi yang didasarkan pada kerja pemenuhan kebutuhan pribadi (subsitensi) ke arah kerja berdasarkan kepemilikan alat produksi kapitalis yang sistem kerjanya bukan lagi memenuhi kebutuhan pribadi tapi target produksi, di mana mereka hanya dilihat sebagai tenaga (labor) yang menjalankan mesin-mesin dan diberikan upah berdasarkan waktu kerja. Capital I, Chapter 26: The Secret of Primitive Accumulation
- Terkait dengan hal ini, kita membutuhkan kaum kiri yang mulai menyadari bahwa dengan menjadi radikal tidak berarti mengangkat slogan paling radikal atau melakukan tindakan paling radikal—yang hanya disetujui segelintir orang dan menakuti mayoritas. Namun, hal ini berkaitan dengan kemampuan menciptakan ruang untuk menyatukan sektor-sektor populer seluas mungkin—yang memungkinkan tidak hanya pikiran yang dapat bertemu tetapi orang-orang dapat bergabung dalam perjuangan. Menyadari ada banyak yang berjuang, membuat gerakan-gerakan ini kuat, dan sering meradikalisasi mereka. Hal yang dibutuhkan adalah strategi dan taktik yang memungkinkan persatuan dalam tindakan untuk menangani pukulan paling efektif pada musuh pada saat yang menentukan—seperti yang kita lihat di Bolivia misalnya. Adapun demikian, cara untuk maju lebih cepat tidak sesederhana yang diharapkan, berupa hubungan kekuatan internal dan internasional adalah sebuah faktor yang nyata. Kekuatan material dan gerakan pekerja perlu berada dalam posisi untuk memaksakan kekuatannya. Perjuangan untuk melakukan ini tidak sesederhana mengatakan itu perlu terjadi.