Memunculkan Intelektual Islam untuk Sekarang

In The Madrasa karya Ludwig Deutsch
In The Madrasa karya Ludwig Deutsch

Tidak ada cara yang lebih kejam dari langkah melumpuhkan suatu peradaban kecuali membuatnya stag. Peradaban yang sesuai untuk bahan diskusi saat ini tidak lain adalah peradaban Islam. Peradaban Islam adalah salah satu peradaban maju di zamannya, dengan tumbuhnya ilmu filsafat, ilmu tasawuf, dan sains. Peradaban ini dulu bahkan mampu mendahului peradaban Eropa dan menjadi salah satu pusat perdagangan terbesar di daerah Timur. Hemat penulis, masa tersebut merupakan gambaran masa-masa kejayaan yang begitu gemilang dan luar biasa.

Tokoh-tokoh yang waktu itu hidup juga memiliki nama yang tidak kalah menarik dari para tokoh besar di Eropa. Sebut saja Ibnu Sina, Al-Kindi, Al-Farabi, Al-Ghazali, Ibnu Bajjah, Ibnu Thufail, Ibnu Rusyd, dan masih banyak lagi. Corak pemikiran mereka pun tidak bisa dilepaskan dari pemikiran-pemikiran klasik dari filsafat Yunani seperti Plato, Socrates, dan Aristoteles.

Menariknya, kaum intelektual Islam tidak menelan mentah-mentah pemikiran filsuf terdahulu. Mereka mengembangkan dan mencampur filsafat dengan ilmu tasawuf dan fiqih sehingga terlahir filsafat Islam. Dalam pembelajarannya, filsafat Islam mengharapkan seorang intelektual dapat memiliki pikiran rasional layaknya seorang filsuf Yunani. Namun di lain sisi juga memiliki semangat yang tinggi untuk mencari Tuhan, agar para pemikir ini dapat mengenal kebesaran Tuhan.

Skeptisisme terhadap keilahian dalam periode ini bisa saja sangat tinggi. Hal ini terjadi karena dengan adanya perkembangan pengetahuan serta sains. Namun, sesungguhnya dengan cara seperti ini, sebuah zaman justru dapat berkembang secara pesat dan kokoh karena mampu memunculkan kompetisi-kompetisi intelektual yang ketat.

Meskipun peradaban Islam sangat maju namun akhirnya peradaban ini harus menerima sebuah stagnasi intelektual hingga sekarang. Menurut saya awal dari kemandekan ini terjadi akibat dari filsuf Imam Al-Ghazali. Mengapa demikian? Karena Al-Ghazali tidak pernah sekalipun memandang filsafat tanpa adanya ajaran agama, dia tidak sekalipun pernah menjajal filsafat tanpa pandangan filsuf barat selain Plato, Aristoteles, dan Socrates. Padahal masih banyak pemikiran-pemikiran yang perlu dirinya gali seperti Thales, Gorgias, Anaximenes, dsb. Hal ini adalah sebuah kejahatan yang begitu besar, adalah pematenan ilmu tanpa melihat ilmu-ilmu yang lain dari pemikir lain. Ini dapat membuat generasi selanjutnya harus berpikir sama tanpa bisa berpikir secara lebih karena adanya barikade tersebut (pematenan). 

Meski demikian harus penulis akui bahwa Al-Ghazali bukanlah seorang filsuf yang seratus persen salah. Namun dari karya-karyanya yang kontroversial membuat banyak sekali kaum-kaum intelektual menyalahgunakan teori-teorinya, seakan pemikiran ia adalah yang paling absolut. Inilah konsekuensi dari pematenan. 

Peradaban Islam selain stag pada bidang intelektual peradaban ini juga harus menghadapi berbagai konflik dan krisis-krisis yang mulai merebak seperti serangan invasi yang parah yaitu invasi bangsa Mongol di kota Baghdad. Krisis seperti yang terjadi di Baghdad kala itu menghabiskan banyak sekali produk-produk pemikiran (buku-buku) dan perpustakaan yang harus hancur dan hangus oleh api pasukan Mongol. Akibatnya, peradaban ini mau tidak mau harus mengulanginya  lagi dan lagi.

Hal ini menjadi irosni, pudarnya semangat intelektual Islam pada beberapa generasi selanjutnya kurang mampu untuk menjayakan kembali intelektualitas Islam. Kaum intelektual Islam sering kali terlalu sibuk untuk mengkaji pengajaran yang berulang-ulang telah disampaikan. Nalar seakan terkurung tanpa bisa memulihkan kembali kejayaan-kejayaan Islam. Dr. Franz Magnis Suseno juga berkata “Iman yang tidak disertai dengan nalar itu belum bisa dimaksud Iman. Iman hanya utuh jika setiap diri manusia terlibat untuk hal ini nalar juga harus terlibat”. 

Membangkitkan Intelektualitas

Satu-satunya cara untuk memulihkan kembali kejayaan peradaban Islam saat ini adalah membangkitkan nalar skeptis. dengan skeptis kita bisa melihat antara yang absolut dan yang tidak absolut serta antara yang benar dan yang tidak benar. Namun kita juga harus memberi jarak sedikit dari skeptis, karena konsekuensinya adalah kita bisa terperangkap dalam hutan keraguan. Pun hal ini adalah gejala yang wajar, karena jika kita terlalu skeptis kita akan mudah untuk menghancurkan ideologi dan isme yang membelenggu nalar kita, yang pada akhirnya memberi kita jalan keluar untuk menyerap kembali pengetahuan yang baru.

Akan terdapat banyak kompetisi-kompetisi intelektual dari setiap individu untuk berdiskusi dan akan terlihat kembali mahasiswa-mahasiswa serta tokoh-tokoh agama yang memiliki nalar dan ilmu yang lurus, yang tak akan mudah goyah. Naasnya hanya segelintir para pendidik dan para tokoh agama yang menyadari hal ini.

Dalam kasus seperti ini kita tidak boleh mencarinya kedamaian dan tenang. Seorang intelektual harus mencari kekacauan, berani menantang api layaknya Prometheus yang berusaha memberikan api kepada manusia. Karena kedamaian dan ketenangan adalah bentuk representasi dari dekadensi (kemerosotan) itu sendiri. Dewasa ini seharusnya kita sebagai generasi yang mewarisi pengetahuan dan sejarah Islam, seharusnya mampu untuk membangkitkan lagi semangat berdialektika seperti dulu. Bukan untuk mencari kedamaian karena telah mencapai puncak.

Itulah poin pertama untuk kebangkitan intelektual Islam yaitu skeptis seperti yang saya jelaskan di atas. Lalu poin kedua adalah bebaskanlah setiap manusia untuk berpikir dan mempertanyakan fenomena-fenomena yang ada di hadapannya karena orang-orang yang besar pasti dirinya akan skeptis dan orang-orang yang kecil harus membuat argumentasi yang mampu menggoyahkan keragu-raguan. Sehingga, akan terjadi dialektika, akan tercipta diskusi. Poin ketiga adalah berkatalah jujur dan terus terang kepada mereka yang lemah. Membua mereka sadar jika kehidupannya bukan hanya soal kebahagiaan namun juga soal penderitaan. Jangan biarkan mereka memohon namun mereka harus ditempa. Poin-poin ini tidak harus dipatenkan karena setiap zaman pasti memiliki kerumitannya tersendiri namun jadikanlah poin-poin ini sebagai poin terakhir. 

Dengan munculnya semangat intelektual dan tokoh-tokoh besar generasi ini atau selanjutnya akan lahirlah kepercayaan yang tidak mudah ditafsir secara sembarangan dan benar-benar mendidik manusia untuk menjadi yang kuat dan siap untuk menghadapi dunia yang diciptakan oleh Tuhan.

Dan untuk para intelektual baru jadikanlah diri kalian untuk hidup saat ini dan bukan hidup di masa lalu  jadikanlah sejarah kelam itu untuk mengevaluasi dan arit untuk membabat mereka yang berusaha meracuni beserta jangan gunakan sejarah kelam untuk diceritakan saja. Namun aplikasikan teori yang ada dalam kandungannya untuk dijadikan landasan.

Nietzsche dalam bukunya Senjakala berhala mengatakan “Dewasa ini tidak cukup kalau hanya memiliki semangat: orang harus juga memiliki anggapan telah memilikinya…” (Aforisme 1:88). Banyak tokoh dan kaum pendidik mengatakan jika peradaban Islam sangat maju dan mereka berimajinasi seakan mereka mengharap kita tak hanya perlu mengharap tapi kita juga perlu memiliki hak untuk membangkitkan semangat-semangat untuk maju tadi. Albert Camus juga pernah mengatakan bahwa kebebasan tidak hanya diharap namun juga diperjuangkan, namun siapa lagi saat ini yang memperjuangkan kalau bukan kita para pewaris-pewarisnya, apa yang akan dikatakan oleh pewaris jika melihat kita? Inilah kegagalan kita.

Referensi

Nietzsche, 1888, “Senjakala berhala”: Jerman.

Ralip Sakur
Ralip Sakur

Pelajar dan pegiat filsafat dan seni

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.