fbpx

Pierre Bourdieu: Mekanisme Kekuasaan dalam Strukturalisme Genetik

Setiap agen terdominasi mampu untuk membedakan diri, memperbaiki posisi, maupun mendapatkan posisi-posisi yang baru dengan memanfaatkan beberapa modal yang disubversikan ke dalam modal-modal yang lain.
The Gentlemen J.C. Leyendecker
The Gentlemen J.C. Leyendecker

Dalam pengetahuan yang umum, kekuasaan dipahami sebagai kekuatan yang mampu mengontrol dan mengendalikan struktur sosial yang berada pada lingkup kekuasaan tersebut. Istilah kekuasaan biasanya ditempatkan pada terma politik dan memainkan hubungan yang biner—misalnya relasi kekuasaan antara pemerintah dengan rakyatnya. Dalam perspektif yang lain, Foucault memahami kekuasaan sebagai suatu strategi yang produktif dan tidak bersifat sebagai suatu kepemilikan.

Pierre Bourdieu memiliki suatu kebaruan pemikiran dalam membaca mekanisme kekuasaan. Pemikirannya berangkat dari pertentangan antara struktur objektif (sosial) dan struktur subjektif (agen/individu). Suatu individu tidak dapat dikatakan bebas, namun dikondisikan oleh suatu struktur objektif. Dalam tradisi pemikiran sebelumnya, para filsuf eksistensialis seperti Nietzsche, Kierkegaard, ataupun Sartre cenderung menekankan aspek kebebasan, gairah, dan kehendak personal. Bahkan Sartre sedikit banyak mendukung gagasan tentang bunuh diri sebagai bentuk kebebasan yang dikehendaki.

Sedangkan dalam tradisi strukturalisme cenderung menekankan aspek struktur objektif. Pemikiran Bourdieu memang banyak dipengaruhi oleh eksistensialisme Sartre yang menekankan subjektivisme dalam menentukan segala hal yang berada di luar dirinya, dan strukturalisme Claude Levi-Strauss yang menekankan struktur objektif yang membatasi individu di dalam lingkungan sosialnya. Pertentangan antara “kehendak bebas” dan “batasan struktural” disatukan melalui pendekatan pemikiran Bourdieu yang disebut sebagai strukturalisme genetik. Bourdieu tidak mengabaikan peran agen dalam membentuk atau mengubah dunia sosialnya, namun Bourdieu juga menyertakan analisis struktur objektif yang membatasi dan mempengaruhi dorongan individu secara tak sadar.

Habitus adalah konsep yang substansial dalam memahami bagaimana mekanisme kekuasaan beroperasi. Habitus dipahami sebagai sistem disposisi yang dikondisikan secara terus-menerus dan dapat diwariskan.1

Habitus ini dikondisikan sekaligus mengkondisikan struktur objektif. Habitus juga merupakan prinsip yang menggerakkan tindakan dan pemikiran. Habitus dapat menjadi dasar epistemologis yang membentuk kepribadian individu. Jadi habitus dapat disimpulkan melalui dua pengkondisian yang secara timbal-balik menggerakkan realitas sosial, yakni struktur sosial berupa nilai-nilai yang diinternalisasi, dan struktur subjektif berupa pemikiran ataupun tindakan yang memanifestasikan hasil dari nilai-nilai yang telah diinternalisasikan tersebut.2

Di sini habitus mengondisikan kepemilikan modal (kapital) yang oleh Bourdieu sudah dikelompokkan menjadi empat kategori modal, yakni modal ekonomi, sosial, budaya, dan simbolik.3

Modal ekonomi dapat berupa kepemilikan sumber daya ekonomi; modal sosial dapat berupa akses sumber daya yang dimiliki oleh agen terkait dengan relasi sosial sebagai sarana untuk penentuan kedudukan sosial; modal budaya dapat berupa pengetahuan, cara bergaul, cara berbicara, dan sebagainya; dan modal simbolik berupa kepemilikan hal-hal yang bersifat simbolik yang dapat mengkondisikan kekuasaan simbolik—seperti mode fesyen, gelar, status sosial, dan lain-lain.

Kemudian konsep medan (ranah) juga berperan dalam upaya untuk memahami bagaimana kepemilikan modal dipertarungkan atau dinegosiasikan untuk mendapatkan posisi kekuasaan di dalam medan tersebut. Logika yang diterapkan oleh Bourdieu merepresentasikan model permainan hubungan kekuasaan, di mana pemain dengan kepemilikan modal yang besar dapat menentukan posisi-posisi mereka di dalam medan. Bagi agen-agen yang memenangkan permainan kekuasaan di dalam medan, maka mereka akan menduduki kelas dominan. Kelas dominan mampu untuk menentukan visi dan mengkondisikan kelas sosial yang berada di bawahnya untuk melegitimasi budaya dan kebiasaan mereka.

Mekanisme Kekuasaan Melalui Prinsip Diferensiasi

Habitus tidak terbatas pada lingkungan sosial yang tetap karena sifat dinamis yang ada di dalamnya. Seseorang bukan saja mendapatkan habitus yang baik karena dilahirkan dari keluarga yang baik, namun lingkungan yang lain turut mempengaruhi pengkondisian habitus—lingkungan di luar struktur keluarga. Namun tetap saja habitus dikondisikan oleh struktur objektif yang memberikan konsekuensi logis pada peralihan habitus yang lain seiring dengan perkembangan situasional.

Kepemilikan modal-modal yang dikondisikan oleh habitus menjadi modalitas kekuasaan. Di sini kekuasaan beroperasi melalui cara-cara yang seakan-akan alamiah. Sama seperti Marx, Bourdieu juga mengelompokkan kelas-kelas sosial. Jika pendekatan Marx lebih bertumpu pada struktur ekonomi dalam mewujudkan kekuasaan, Bourdieu menjelaskan bagaimana kekuasaan beroperasi melalui prinsip.4 Kelas dominan memiliki distingsi (kekhasan) dalam upaya membedakan diri dari kelas sosial yang lain.

Pilihan jenis makanan, hobi, kecenderungan perilaku, fesyen, hingga kebutuhan sangat dikondisikan oleh habitus. Hal ini memiliki makna terkait relasi kekuasaan. Pilihan mode fesyen, hobi, dan jenis makanan mampu merepresentasikan seseorang berasal dari kalangan mana. Jika selama ini kita memahami selera sebagai sesuatu hal yang bersifat alamiah dan individual, maka Bourdieu berusaha menjelaskan mengapa selera dapat menjadi prinsip pembedaan yang mendasari relasi kekuasaan. Otonomisasi dari pengkelasan hal-hal ataupun barang-barang tertentulah yang memunculkan konsep selera.5 Maka selera selalu terkait dengan struktur kelas.

Misalnya saja selera musik dangdut yang bertemu dengan selera musik jazz. Musik dangdut merepresentasikan kelas populer di mana penikmatnya merupakan kalangan menengah ke bawah. Bahkan istilah kampungan sering disematkan pada musik dangdut. Istilah kampungan juga merupakan kekerasan simbolik karena penciptaan aturan yang menempatkan konsep kampung berada di bawah konsep kota secara biner. Sedangkan musik jazz merepresentasikan selera musik yang berbudaya dan elegan karena berasal dari kalangan menengah ke atas ala perkotaan. Dengan demikian selera sifatnya tidak setara. Selera tercipta dari pengondisian hubungan kekuasaan yang terjadi di medan yang sekaligus dikondisikan oleh habitus. Selera juga menjadi orientasi oleh agen yang sesuai dengan posisi sosialnya di dalam medan.

Prinsip diferensiasi juga terjadi dalam penggunaan bahasa dan pengetahuan. Dalam model dialek terkait penggunaan bahasa tertentu merepresentasikan kedudukan sosial yang bersifat konstruksi. Dialek ini dilegitimasikan oleh kondisi budaya yang telah mapan. Bahasa Indonesia dengan dialek orang Jakarta digunakan sebagai model dialek yang ideal dan sah. Sedangkan dialek Jawa terkait penggunaan Bahasa Indonesia (medhok) dikondisikan sebagai sesuatu yang tidak sah sehingga dapat dikatakan aneh. Produk dominasi politik-linguistis seperti ini direproduksi secara terus menerus hingga mendapatkan afirmasi universal mengenai idealitas penggunaan bahasa. Norma terkait pembedaan ini ditujukan untuk memaksakan afirmasi superioritas bagi kelas dominan. Namun kelas yang terdominasi menerima dominasi tersebut sebagai sesuatu yang wajar.

Kekerasan simbolik yang terjadi dikatakan sebagai sesuatu yang wajar karena penerimaan legitim oleh kelompok yang terdominasi. Konstruksi sosial yang direpresentasikan melalui idealitas selera sosial dan budaya sebagai perwujudan kekuasaan oleh kelas dominan diterima, didukung, dan direproduksi oleh struktur sosial-budaya secara terus menerus. Hal inilah yang disebut Bourdieu sebagai doxa, yaitu suatu konstruksi sosial yang menyejarah yang diterima secara universal sehingga menjadikannya sebagai sesuatu yang benar. Kebenaran sebagai hasil dari konstruksi sosial yang universal ini digunakan untuk memaksa kelas yang terdominasi untuk mengikuti idealitas visi dan budaya kelas dominan.

Setiap agen terdominasi mampu untuk membedakan diri, memperbaiki posisi, maupun mendapatkan posisi-posisi yang baru dengan memanfaatkan beberapa modal yang disubversikan ke dalam modal-modal yang lain. Hal ini dikarenakan kekuasaan dapat diperoleh melalui besarnya struktur modal yang dimilikinya di dalam medan. Ketika agen tidak memiliki modal ekonomi, maka dia bisa memanfaatkan modal budaya atau sosial untuk memperbaiki posisinya di dalam medan.

Namun modal ekonomi juga dipengaruhi dan mempengaruhi modal budaya, sosial, dan simbolik. Maka tidak mengherankan ketika kelas dominan mampu mempertahankan posisi sosialnya karena mekanisme permainan kekuasaan yang ada telah menempatkan mereka untuk menjadi bagian dalam permainan tersebut. Dengan kata lain, mereka telah lahir di dalam permainan yang merupakan bentuk otonomisasi yang panjang di dalam proses yang menyejarah. Bourdieu menegaskan bahwa modal menjadi instrumen utama dalam mekanisme kekuasaan di mana di dalam medan setiap agen saling menegosiasikan modal-modalnya untuk mampu mengambil kedudukan sosial yang lebih tinggi.

Modal merepresentasikan kekuasaan atau kekuatan atas produk yang terakumulasi dari kerja yang dilakukan di masa lalu—terutama atas sekumpulan instrumen produksi—dan karenanya modal merepresentasikan kekuatan atas mekanisme-mekanisme yang cenderung memastikan terus berlangsungnya produksi suatu kategori tertentu barang, dan kekuatan atas sekumpulan pendapatan dan keuntungan direpresentasikan oleh keberadaan modal.6

Rizki Muhammad Iqbal
Rizki Muhammad Iqbal

Mahasiswa Sosiologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Catatan

  1. Bourdieu, P. (1992). The Logic of Practice. California: Stanford University Press. Hal 55
  2. Haryatmoko. (2016). Membongkar Rezim Kepastian: Pemikiran Kritis Post-Strukturalis. PT Kanisius. Hal 41-42
  3. Ritzer,George, dan Jeffrey Stepnisky. (2019). Teori Sosiologi. (Rianayati Kusmini, Penerj.). Pustaka Pelajar. Hal. 581-582.
  4. Siregar, Mangihut. “Teori ‘Gado-gado’ Pierre-Felix Bourdieu.” An1mage Jurnal Studi Kultural: Volume 1 Nomor 2 Juni 2016 1, no. 2 (2016): 84–87.
  5. Bourdieu, P. (1992). The Logic of Practice. California: Stanford University Press. Hal 270
  6. Bourdieu, P. (1992). The Logic of Practice. California: Stanford University Press. Hal 328

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content