Menikmati Dinamika Hidup dengan Stoisisme

Stoisisme mendikotomi kendali dalam hidup kita menjadi dua, yaitu sesuatu yang bisa kita kendalikan, dan sesuatu yang di luar kendali kita.
Marcus Aurelius

Zeno of Elea (336-264 SM) memberikan kita suatu cara atau metode untuk hidup bahagia dengan cara yang paling realistis. Sebuah jalan hidup yang membuat seorang kaisar (Marcus Aurelius) dan bahkan seorang budak (Epictetus) pada zamannya mampu hidup merdeka dengan segala tekanan hidup. Orang-orang menyebut metode Zeno ini dengan sebutan stoisisme. Sebuah aliran filsafat yang sudah ada sejak kurang lebih 2300 tahun yang lalu dan bahkan populer di era kini. Stoisisme merupakan aliran filsafat yang sangat praktis untuk dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Stoisisme sangat mudah diterapkan dan jauh dari bayangan seseorang terkait filsafat sebagai sesuatu yang mengawang-awang dan jlimet.

Kebahagiaan ialah salah satu concern yang sering dibahas, dikaji, dan dikejar dalam kehidupan manusia. Mengejar kebahagiaan adalah sesuatu yang alamiah bagi manusia. Terlepas kebahagiaan itu “apa” serta “bagaimana” setiap orang mengartikan kebahagiaan, manusia menghadapi realitas bahwa terdapat permasalahan untuk mencapai kebahagiaan. Entahlah, tapi memang bagi sebagian orang, untuk bahagia saja rumit, dan beberapa lainnya justru tersakiti oleh sesuatu yang awalnya dianggap sebagai kebahagiaan.

Dari masa ke masa, selalu ada permasalahan baru dalam kehidupan sosial manusia. Mereka yang tidak tangguh menghadapi permasalahan hidup, bisa saja kemudian mengalami depresi, dari depresi tingkat rendah hingga depresi tingkat tinggi. Sudah menjadi hal yang umum, bahwa tekanan hidup, stres, dan depresi adalah tantangan di tengah dinamika yang harus dihadapi manusia selama mereka masih hidup. Namun demikian, kasus depresi semakin meningkat. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melakukan survei dan mendapati bahwa dalam satu dekade saja terdapat peningkatan 20% kasus depresi. Sebuah bukti bahwa di era modern ini telah terjadi peningkatan kasus masyarakat yang mengalami depresi, kekhawatiran, kecemasan, dan sebagainya.

Banyak hal pula yang menjadi sumber emosi negatif, yang nantinya juga berpotensi menjadi gejala stres. Ada yang stres karena sering terjebak macet, pendapat atau komentar buruk dari orang lain, cibiran haters di sosial media, dosen pembimbing skripsi yang kurang asyik diajak konsultasi, tekanan dari atasan di kantor, dan sebagainya. Banyak kejadian random di dunia ini yang tidak bisa kita kendalikan. Anehnya, sebagian memilih untuk bersedih karena sesuatu yang tidak bisa dikendalikan. Adakah yang berubah ketika kita memikirkan terlalu banyak hal yang tidak bisa kita kendalikan? Padahal jika kita renungkan, sesuatu yang tidak bisa dikendalikan memang tidak perlu terlalu dipikirkan karena kita tidak punya kendali untuk mengubahnya. Ya, penulis renungkan, memang hal yang tidak bisa dikendalikan tidak selayaknya mengganggu kedamaian dan ketenangan jiwa kita. Dari sini, kita bisa mulai mempelajari sesuatu dari Stoisisme.

“Terusik atau tidaknya seseorang, bukan dikarenakan oleh tindakan dari luar, melainkan prinsip – prinsip, dan tanggapannya terhadap hal eksternal.” (Enchrideon, 5).

Stoisisme mendikotomi kendali dalam hidup kita menjadi dua, yaitu sesuatu yang bisa kita kendalikan, dan sesuatu yang di luar kendali kita. Sesuatu yang bisa kita kendalikan contohnya persepsi kita, emosi kita, dan upaya kita. Sesuatu yang di luar kendali kita contohnya pendapat orang lain atas usaha kita, kejadian alam dan hidup yang random, macet di jalan dan sebagainya. Ketika orang lain menghina kita, hal itu ada di luar kita dan kejadian tersebut pada dasarnya adalah netral. Ketika persepsi kita negatif atas hinaan orang lain maka kejadian di luar kendali kita yang awalnya netral itu kemudian menjadi negatif pula, mengikuti persepsi atas kejadian yang sesungguhnya adalah hal netral. Persepsi negatif akan kejadian yang di luar kendali, pada satu titik akan membuat kita mengalami emosi negatif berupa kesedihan dan perasaan derita (suffering). Padahal, sebenarnya kita punya kendali penuh pada persepsi kita. Apabila kita memilih untuk mengabaikan hinaan dari orang lain atau mempersepsikan hinaan orang lain sebagai saran untuk memperbaiki diri, maka kita tidak akan menderita karena kejadian tersebut. Kita tidak bisa mengendalikan orang lain untuk terus menerus memuji kita hanya karena kita mempersepsikan pujian sebagai hal yang positif. Padahal pujian belum tentu positif bukan? Persepsi kita saja yang menganggap pujian orang lain itu sebagai hal yang positif dan hinaan orang lain itu negatif. Sesungguhnya kedua hal itu di luar kendali kita dan bersifat netral.

Jadi, bagaimana? Asyik kan belajar filsafat? Sangat praktis bukan untuk hidup sehari-hari? Ayo kita belajar filsafat bersama-sama. Selamat membaca buku-buku stoisisme, selamat berpikir dan selamat belajar. Selamat mengkritisi tulisan sederhana ini dan sampai jumpa di tulisan berikutnya.

Bertens, K. 2013. Etika. Yogyakarta : Penerbit Kanisius

Manampiring, Henry. 2019. Filosofi Teras. Jakarta : PT Kompas Media Nusantara.

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Skip to content