Persaudaraan Alif Laam Meem
Persaudaraan Alif Laam Meem

Apakah mungkin seorang laki-laki menjadi seorang feminis? Sebagai satu klarifikasi awal, kita harus sudah jelas mengenai perbedaan antara feminin dan feminis. Yang pertama merupakan sifat keperempuanan, yang sebenarnya laki-laki sendiri juga memiliki; sementara yang kedua merupakan satu pendirian untuk menyerukan pandangan-dunia feminisme. Lebih lanjut, secara historis, para feminis tidak lain dan tidak bukan adalah para perempuan yang mengadvokasi hak-hak perempuan secara otonom dan melepaskan diri dari supremasi dan eksploitasi laki-laki.

Lalu bagaimana dengan feminis laki-laki, apakah memang mungkin bagi laki-laki untuk menjadi feminis? Artinya di sini akan ada distingsi antara feminis muslim dan feminis muslimah. Nawala patra ini akan secara singkat menarik demarkasi tegas distingsi keduanya, di mana batasan-batasan keduanya membuatnya tidak mungkin, tetapi kemudian mencoba melampaui itu, untuk memberikan secercah sinar bayan bahwa hal itu cukup mungkin, bahkan krusial untuk menjadi mungkin.

Eksklusivitas Feminisme

Feminisme sebagai satu aliran merupakan sebuah upaya mereposisi kondisi masyarakat yang tidak setara yang di dalamnya dimotori oleh para aktivis perempuan. Begitu pula dalam Islam, feminis selalu merupakan muslimah yang menaruh dirinya untuk jeli atas persoalan ketimpangan gender yang ada di lingkungannya, baik itu dikarenakan sosiokultur yang ada atau dikarenakan interpretasi teologis dalam agama.

Feminisme memang cukup eksklusif, artinya ia hanya bisa diserukan oleh para perempuan sendiri karena secara intrinsik pemikiran dan gerakannya berpangkal dari persoalan tentang perempuan dan berujung untuk perempuan itu sendiri. Di sini laki-laki menjadi sangat tidak relevan untuk ikut bertengger di dalamnya, karena laki-laki sama sekali tidak memiliki secuil pun pengalaman kebertubuhan sebagaimana perempuan. 

Pengalaman kebertubuhan perempuan begitu autentik untuk dijadikan sumber dari inspirasi gerakan dan gagasan-gagasan feminisme. Bagaimana mungkin laki-laki memiliki pengalaman opresi, subordinasi, bahkan subjugasi, sebagaimana yang sudah dialami oleh perempuan? Bagaimana mungkin seorang laki-laki bisa merasakan betapa tidak adilnya sistem patriarki itu kalau dia sendiri bukanlah subjek penerima ketidakadilan dari sistem tersebut? Dan bagaimana mungkin laki-laki bisa mengetahui bagaimana rasanya diobjektivikasi kalau ia hanya mengalami dirinya sebagai subjek semata?

Dalam hal ini, feminisme sama sekali tidak bisa menjustifikasi atau mengotorisasi laki-laki untuk berkecimpung di dalamnya karena memang secara intrinsik laki-laki tidak memiliki secuil pengalaman autentik pun yang bisa menjadi basis suaranya. Selain itu, para feminis sendiri pun berkecil hati atas intervensi laki-laki dalam feminisme sebab feminisme yang sebenarnya merupakan ruang khusus bagi perempuan akhirnya juga dianeksasi oleh laki-laki. Itu artinya menjadi potensial bahwa feminisme akan mungkin diinfiltrasi oleh sistem patriarki yang padahal ia sedang lawan.

Lebih dari itu, pertanyaan yang sering disodorkan adalah, “Suara siapa yang digunakan dan imajinasi siapa yang diproyeksikan oleh para feminis laki-laki?” Dengan penuh kecurigaan, para feminis perempuan pun tahu jawabannya, bahwa feminis laki-laki menggunakan suara dan imajinasinya sendiri untuk melegitimasi keterlibatannya dalam gerakan feminisme.

Eksklusivitas feminisme ini tentu satu bentuk kehati-hatian dari para feminis agar tidak serta-merta mempermisikan siapa pun untuk terlibat dalam proyek egalitarianisme ini yang nyatanya kelak malah menghancurkan visi dan misinya sendiri. Karena musuh besar feminisme adalah sistem patriarki atau dominasi laki-laki atas perempuan, bagaimana mungkin laki-laki bisa mau terlibat? Hal ini dengan jelas diucapkan secara satiris oleh Audre Lorde, “Karena buldoser milik tuan rumah tidak mungkin digunakan untuk menghancurkan rumahnya sendiri.” (Lorde, 2007: 110).

Inklusivitas Feminisme

Kendati feminisme begitu eksklusif untuk tidak menerima laki-laki dalam kerja praksisnya, mengingat fakta bahwa tanpa kesadaran dari laki-laki sendiri mengenai stereotip perempuan, misogini, dan ketimpangan gender, masyarakat yang egalitarian menjadi lama terwujudkan, sehingga apakah memang benar bahwa laki-laki sungguh mesti ditampik?

Keterlibatan laki-laki dalam feminisme memang mesti memenuhi prasyarat agar keterlibatannya tidak superfisial semata, alih-alih malah destruktif. Memang secara intrinsik, laki-laki tidak memiliki kapasitas untuk mengevaluasi “pengalaman opresi”-nya sendiri sebagaimana perempuan, tetapi laki-laki bisa menghayati ihwal itu secara mendalam dengan rasa empatinya.

Menjadi seorang fe-men-is (atau feminist) atau feminis laki-laki mengharuskan dirinya untuk dilengkapi dengan seperangkat nilai yang benar-benar autentik. Dengan kata lain, belum tepat dibilang sebagai feminis laki-laki kalau ia hanya bersandar pada “kekaguman” atas perempuan. Ini bukanlah standpoint feminis laki-laki, sehingga mereka tidak bisa disebut sebagai fe-men-is kalau sekadar didasarkan pada identitas dan proyeksinya sebagai pengagum perempuan.

Feminis laki-laki harus berpijak secara solid dalam wawasan dunia feminisme baik secara ontologis, epistemologis, serta aksiologis, untuk bisa melakukan konfrontasi argumen dengan wawasan dunia yang sedang dihadapinya. Jadi, sekadar mengagumi perempuan sama sekali bukan indikator bahwa ia adalah feminis. Seorang feminis laki-laki harus memiliki penalaran internalnya sendiri yang menggerakkan dirinya mengapa ia memang harus terlibat di dalam feminisme. Tanpa itu, prasyarat menjadi feminis laki-laki tidak terpenuhi.

Di titik ini, feminisme memungkinkan laki-laki untuk menaruh dirinya terlibat dalam kerja bersama untuk meredusir sistem patriarki dan ketidakadilan gender yang bercokol di segenap tempat. Bukan saja keterlibatan laki-laki membuat kerja feminisme semakin cepat, melainkan jangkauan yang digulirkan dengan keterlibatan laki-laki bisa menjadi masif dan solid.

Keterlibatan Feminis Muslim

Tak dapat dielak, secara historis, Islam memiliki kecenderungan menjadi agama patriarkis karena memang persoalan agama secara dominan diperbincangkan oleh para laki-laki semata. Bahkan, saking parahnya, term ulama sendiri pun konotasinya selalu memunculkan identitas gender laki-laki. Ulama laki-laki yang tidak memakai lensa baca feminisme tentu gampang terjebak pada interpretasi-interpretasi keagamaan yang bias gender. Orang-orang seperti Kiai Husein Muhammad dan Kiai Nasaruddin Umar merupakan ulama yang memakai kaca baca feminisme sehingga setiap produk penafsirannya tidaklah bias gender.

Feminis muslim amatlah signifikan dalam dunia Islam, baik itu mereka yang menempati posisi prestisius sebagai ulama maupun mereka yang sekadar orang biasa. Sebagai ulama laki-laki yang sekaligus feminis, mereka lebih mudah menyiarkan keadilan gender yang memang secara inheren dibawa oleh Islam untuk kebaikan umat bersama. Di sini para feminis muslimah sungguh terbantu karena memang jangkauan dari kiai feminis, seperti katakanlah, Kyai Husein Muhammad, dapat menetralisasi polemik yang berkembang di masyarakat bahwa feminisme itu produk perempuan Barat yang anti agama dan sebagainya.

Dengan kehadiran kyai atau ustad feminis, syiar keadilan gender dalam Islam dapat menyusup dan menelusup sampai ke relung laki-laki patriarkis yang tidak terjamah oleh ceramah-ceramah ustazah feminis atau para aktivis perempuan. Selain itu, kehadiran para feminis laki-laki sungguh berguna dalam memancangkan konsep keluarga yang egaliter. Bayangkan kalau seorang perempuan (istri) sama sekali tidak diberdayakan oleh pemahaman tentang kesetaraan gender, dan begitu pula dengan si laki-laki (suami). Perkawinan mereka secara mencolok akan berbeda dengan laki-laki yang setidaknya adalah feminis meskipun si perempuan tidak.

Feminis laki-laki juga menopang keberlanjutan pandangan keagamaan yang feministis, egaliter, tidak menstigma perempuan atau misoginis, dan dapat meregenerasi dirinya secara turun-temurun di kemudian hari. Suplai feminis laki-laki dalam hal keagamaan menjadi cukup krusial karena konsep keluarga dalam Islam dapat dibina secara baik oleh laki-laki untuk menghormati dan menganggap perempuan sebagai “pasangan” (azwāj), sebagai “mitra” dalam mengasuh dan mengasah kehidupan rumah tangganya.

Feminisme, hemat penulis, merupakan pandangan yang inklusif untuk menerima laki-laki dalam menyerukan nada yang seirama sebagaimana yang sedang diserukan oleh perempuan. Inklusivitas feminisme ini memang mengharuskan laki-laki untuk memiliki pengetahuan mendasar yang menstimulasinya untuk terlibat dalam kerja feminisme itu sendiri. Jadi, letzbegründung menjadi feminis laki-laki bukanlah atas dasar kekaguman terhadap perempuan, tetapi karena kesadaran ontologis atas kesetaraan perempuan di hadapannya. Dengan demikian, keberadaan feminis muslim dalam hal ini benar-benar menjadi komplementer bagi para feminis muslimah untuk mengakselerasikan syiar-syiar keagamaan yang tidak bias gender.

Referensi

Badran, Margot. 2009. Feminism in Islam: Secular and Religious Convergences. Oxford: Oneworld.

Lorde, Audre. 2007. Sister Outsider: Essays and Speeches. Berkeley: Crossing Press.Luthfiyah, Nafsiyatul. 2015. “Feminisme Islam di Indonesia”, Esensia, Vol. 16, No. 1.

Angga Arifka

Alumnus Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya.

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.