Objektivitas Sebagai Kesetiaan Kepada Fakta

Jika ilmu pengetahuan bukan produk yang melampaui sejarah, mengapa ilmu pengetahuan dapat menciptakan sejarah yang berbeda dari sebelumnya?
Hans-Georg Gadamer - credit Bergische Universität Wuppertal
Hans-Georg Gadamer - credit Bergische Universität Wuppertal

Memandang ilmu pengetahuan dengan perkembangannya sejak berabad-abad, membuat kita menyadari bahwa dalam kehidupan manusia posisi ilmu adalah posisi sentral yang dapat memberi jawaban terhadap rasa keingintahuan manusia tentang segala hal. Dari gagasan-gagasan para intelektual yang berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang segala hal, kita dapat menyebut bahwa sejarah ilmu pengetahuan dengan perkembangannya adalah usaha manusia mencari kebenaran. Mungkin kita bertanya, kebenaran seperti apa yang dicari? Bagaimana kita mencapai kebenaran sejati?

Perkembangan ilmu pengetahuan dengan klaim objektivitasnya seakan memberitahu kepada kita bahwa kebenaran yang seharusnya dicari manusia adalah kebenaran objektif. Apa yang dimaksud kebenaran objektif? Konsepsi umum tentang objektivitas adalah sebuah klaim kebenaran yang dapat menggambarkan fakta apa adanya. “Kesetiaan kepada fakta” adalah kalimat yang sering digunakan untuk menggambarkan konsepsi umum tentang objektivitas, Dengan kata lain sebuah klaim ilmiah dapat dianggap objektif jika dapat menggambarkan fakta. Beberapa filsuf yang percaya terhadap objektivitas ilmiah memandang bahwa ada sebuah fakta di luar kesadaran manusia. konsepsi ini selanjutnya berkembang dalam tradisi Lingkar Wina, mereka memandang bahwa observasi terhadap objek eksternal menghasilkan data empiris yang dapat diverifikasi secara langsung dan tidak dipengaruhi oleh konteks. 

The view from nowhere” merupakan sebuah kalimat yang sering terdengar untuk menggambarkan gagasan dalam mendukung pandangan objektivitas ilmiah. Meskipun terkadang manusia memiliki pandangan subjektif terhadap sesuatu, tetapi dengan metode-metode yang tepat manusia dapat melepaskan pengaruh hasrat, budaya, dan politik yang merupakan unsur subjektivitas dalam proses pencarian kebenaran. Beberapa filsuf yang mendukung pandangan ini, juga mempercayai bahwa meskipun terdapat ragam perspektif di dunia, terdapat kualitas konstan yang tidak dipengaruhi oleh unsur subjektif manusia. Pandangan di atas berusaha melepaskan diri dari konsepsi tradisional tentang objektivitas.

Objektivitas struktural merupakan pandangan lain yang berusaha menawarkan gagasan objektivitas dalam kerangka matematis. Pandangan ini ingin menunjukkan bahwa kebenaran objektif tidak hanya berupa verifikasi terhadap realitas faktual, prediksi yang bersifat matematis juga bisa menghasilkan objektivitas meskipun dalam ranah abstrak. Misalnya bangun ruang dengan empat dimensi yang tentunya tidak kita temukan saat ini di kehidupan nyata, namun ruang tersebut dimungkinkan adanya dengan perhitungan matematis. Gagasan-gagasan tentang objektivitas yang telah disebutkan meskipun tampaknya berbeda-beda, namun gagasan-gagasan tersebut masih dalam pandangan yang menekankan eliminasi unsur-unsur subjektif dalam mencari kebenaran. Bidang-bidang studi seperti sains, matematika, dsb. Mendasarkan landasan kajiannya berdasarkan gagasan-gagasan yang telah disebutkan dan mengalami perkembangan pesat dengan perkembangan teknologi yang dapat kita rasakan berbagai manfaatnya saat ini. Tentunya masih banyak gagasan-gagasan tentang objektivitas yang luput dari pandangan penulis.

Mungkin sebagian orang bertanya, apakah unsur subjektivitas manusia bisa dieliminasi dalam pencarian kebenaran? Pertanyaan seperti ini timbul di benak sebagian para filsuf yang meragukan adanya objektivitas. Beberapa filsuf menganggap bahwa manusia dalam keadaan apa pun tidak mungkin bisa melepaskan diri dari aspek tradisi dan politik. Misalnya Gadamer yang memandang bahwa manusia adalah makhluk historis. Manusia yang berada dalam ruang-waktu tidak mungkin bisa lepas dari tradisi tertentu. Seperti halnya ikan yang hidup di air ia tidak akan bisa hidup di luar air, menurut Gadamer manusia hidup dalam lingkup tradisi yang memenjarakan manusia di segala aspek kehidupannya dan manusia mustahil dapat hidup di luar tradisi. Manusia yang berusaha keluar dari tradisi pastilah terjebak dalam tradisi yang lain. Misalnya transmisi manusia dari mitos ke logos, transmisi tersebut dalam pandangan Gadamer merupakan perpindahan manusia dari suatu tradisi ke tradisi yang lain. 

Terinspirasi dari gagasan pra-pemahaman Heidegger, Gadamer mengembangkan konsep tersebut untuk menjelaskan perbedaan antara kesadaran sejarah dan sejarah pengaruh (Wirkungsgeschichte). Kesadaran sejarah merupakan konsep pengambilan jarak dari tradisi yang melingkupi konsepsi manusia tentang sesuatu. Kesadaran sejarah dalam arti refleksi Cartesian memunculkan klaim objektivitas terhadap hasilnya. sejarah pengaruh (Wirkungsgeschichte) yang merupakan salah satu gagasan Gadamer menjelaskan bahwa kesadaran sejarah itu sendiri tersituasi dalam jejaring pengaruh sejarah. Karena terkadang seorang peneliti tidak menyadari adanya sebuah tradisi yang mengitarinya dalam proses refleksi. 

Gagasan tradisi pada pemikiran Gadamer bukan hendak meruntuhkan klaim objektivitas lalu membawanya pada tataran historis, melainkan hendak merevisi atau memberikan pemahaman yang luas tentang objektivitas. Menurutnya, meskipun manusia berada dalam jejaring tradisi bukan berarti konsep tradisi berada pada posisi deterministik yang selalu mempengaruhi manusia. Gadamer masih mengakui bahwa kita dapat mewaspadai sejarah pengaruh yang bekerja dalam pemahaman kita sehingga hasil ilmu pengetahuan tidak diakui sebagai produk yang melampaui sejarah.

Gadamer hendak menunjukkan bahwa tradisi bukanlah suatu hal yang harus kita hindari, melainkan membiarkan diri dalam peleburan horizon-horizon untuk membuka ruang lebar suatu kebenaran. Kebenaran menurut Gadamer adalah suatu pengetahuan yang terintegrasi dalam peleburan horizon-horizon yang selalu berkembang yang ia sebut dengan bildung. Menurutnya kebenaran tidak dapat diverifikasi, pengetahuan dalam diri manusia akan selalu berkembang melalui peleburan horizon-horizon sehingga tidak mungkin bisa kita putuskan.

Ilmu pengetahuan juga tidak mungkin lepas dari unsur politik. Michel Foucault seorang filsuf postmodernisme memandang bahwa pengetahuan dan kekuasaan adalah dua hal yang saling berkontribusi dalam membentuk peradaban manusia.  Menurut Foucault, ilmu pengetahuan tidak netral dan objektif, melainkan selalu terkait dengan kekuasaan dan politik. Dalam pandangan Foucault, kekuasaan dan pengetahuan saling terkait dan saling mempengaruhi satu sama lain. Kekuasaan dapat mempengaruhi pengetahuan dengan menentukan apa yang dianggap sebagai kebenaran atau fakta, sedangkan pengetahuan dapat digunakan untuk memperkuat kekuasaan.

Foucault juga mengemukakan bahwa pengetahuan tidaklah netral dan objektif, melainkan selalu terkait dengan kekuasaan dan politik. Pengetahuan dapat digunakan untuk memperkuat kekuasaan dan menindas kelompok-kelompok yang dianggap tidak penting atau tidak berkuasa. Oleh karena itu, Foucault menekankan pentingnya kritisisme terhadap pengetahuan dan kekuasaan yang ada.

Foucault juga mengemukakan bahwa kekuasaan tidak hanya berada di tangan satu orang atau lembaga tertentu, melainkan tersebar pada segala aspek kehidupan. Kekuasaan lahir melalui pengetahuan dan pengetahuan itu berada dalam kekuasaan. Pengetahuan tidak netral seperti yang diutarakan kaum modernis. Kebenaran bagi Foucault tidak mutlak dan juga tidak objektif. Kebenaran tergantung dari wacana atau politik elite yang berkuasa pada satu masa tertentu.

Gadamer dan Foucault sangat menekankan aspek tradisi dan politik sehingga melupakan aspek kritis yang dimiliki manusia. Transmisi dari abad pertengahan menuju modernitas adalah aspek kritis manusia terhadap peradaban. Ilmu pengetahuan yang berkembang dalam tradisi pencerahan merupakan produk yang membawa manusia ke peradaban yang lebih maju dari peradaban sebelumnya. Jika ilmu pengetahuan bukan produk yang melampaui sejarah, mengapa ilmu pengetahuan dapat menciptakan sejarah yang berbeda dari sebelumnya? Dengan demikian sejarah seharusnya tidak dipahami sebagai gerak zaman yang bersifat kodrati, melainkan merupakan hasil dari perkembangan ilmu pengetahuan. Demikian juga gagasan Foucault tentang kekuasaan, gagasannya menghasilkan konsep sirkular dan ambigu terhadap konsepsi kekuasaan dan pengetahuan. Bagaimanapun juga praktik kekuasaan yang bersifat manajerial dimungkinkan oleh pengetahuan. Dengan demikian seharusnya kita kembali pada semangat ilmiah sehingga dapat menemukan kebenaran yang merupakan realitas dunia kita.

Kavin Ashfiya

Anggota Lingkar Studi Filsafat Discourse. Mahasiswa Sastra Arab di UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang.

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content