fbpx

Metaepistemologi: Realisme dan Objektivitas

Apakah benar bahwa benda yang sering kita lihat itu merupakan entitas yang nyata dan bukan merupakan halusinasi? Apakah kita bisa mengetahui sesuatu yang tidak bisa kita persepsi?
Hans Georg Gadamer
Hans Georg Gadamer

Sebagai manusia tentunya sehari-hari kita sering melihat sesuatu di luar diri kita, seperti melihat meja, kursi, dan laptop sebagai objek persepsi kita. Namun pernahkah kita bertanya apakah benda-benda yang sering kita lihat merupakan objek yang benar-benar kita ketahui? Apakah benar bahwa benda yang sering kita lihat itu merupakan entitas yang nyata dan bukan merupakan halusinasi? Apakah kita bisa mengetahui sesuatu yang tidak bisa kita persepsi? Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan filosofis yang sudah lama melintas di benak para filsuf, dan gagasan yang berusaha menjawab pertanyaan tersebut cukup subur dalam buku-buku filsafat. 

Mayoritas manusia mungkin percaya bahwa mereka benar-benar mengetahui objek di luar dirinya. Dengan melihat benda-benda seperti meja atau dengan menyentuhnya, kita yakin bahwa meja itu benar-benar ada dan bukan halusinasi kita, dan seandainya kita tidak ada di sana meja itu tetaplah ada. Dengan melihat meja kita bisa mengetahui dari apa meja dibuat, cara membuat meja, berapa lebar atau tinggi meja, dan orang lain juga dapat mengetahui meja tersebut secara objektif dan pengetahuan yang dihasilkan bukanlah interpretasi semata. Asumsi seperti itu merupakan asumsi-asumsi realisme dalam konteks filosofis. Apa yang dimaksud dengan realisme?. Secara umum realisme adalah pandangan yang mendasarkan gagasannya pada dua tesis:

  1. Adanya fakta atau entitas di dunia (existence).
  2. Eksistensi dan sifatnya dalam beberapa hal bersifat objektif dan tidak bergantung pada pikiran (mind-independence).

Tesis (i) merupakan klaim ontologis yang meyakini bahwa fakta atau entitas yang kita ketahui lewat indra merupakan entitas yang eksis dan bukan merupakan halusinasi, sedangkan tesis (ii) merupakan klaim epistemik yang meyakini bahwa kita dapat mengetahui fakta atau entitas lewat indra kita dan hal itu bersifat objektif. Meskipun manusia memiliki keterbatasan persepsi maupun kognitif, dalam beberapa hal para filsuf realis percaya bahwa indra kita merupakan panduan yang dapat diandalkan dalam menghasilkan pengetahuan. 

Berbeda dengan interpretasi yang terkadang subjektif, kaum realis berpendapat bahwa pengetahuan yang diperoleh lewat indra bersifat objektif dan dapat dipertanggung-jawabkan. Apa yang dimaksud objektif? Konsepsi umum tentang objektivitas adalah sebuah klaim kebenaran yang dapat menggambarkan fakta apa adanya. “kesetiaan kepada fakta” adalah kalimat yang sering digunakan untuk menggambarkan konsepsi umum tentang objektivitas, Dengan kata lain sebuah klaim ilmiah dapat dianggap objektif jika dapat menggambarkan fakta. Beberapa filsuf yang percaya terhadap objektivitas ilmiah memandang bahwa ada sebuah fakta di luar kesadaran manusia. Gambaran konsepsi ini bisa kita lihat dalam tradisi Lingkaran Wina, mereka memandang bahwa observasi terhadap objek-objek eksternal menghasilkan data empiris yang dapat diverifikasi secara langsung dan tidak dipengaruhi oleh konteks. 

Gagasan ini tentu berbeda dengan gagasan anti realisme, karena pada dasarnya tesis anti realisme sangat kontras dengan tesis realisme. Secara umum anti realisme memiliki pandangan bahwa segala entitas yang eksis (existence) sangat bergantung pada pikiran manusia (mind dependence). Prinsip-prinsip seperti konstruksi sosial, respons-dependen, dan idealisme adalah prinsip kaum anti realis yang sering mereka gunakan dalam membahas persoalan filosofis. Misalnya Gadamer yang memandang bahwa pengetahuan bersifat historis. Manusia yang berada dalam ruang-waktu tidak mungkin bisa lepas dari tradisi tertentu. Seperti halnya ikan yang hidup di air ia tidak akan bisa hidup di luar air, menurut Gadamer manusia hidup dalam lingkup tradisi yang memenjarakan manusia di segala aspek kehidupannya dan manusia mustahil dapat hidup di luar tradisi. Manusia yang berusaha keluar dari tradisi pastilah terjebak dalam tradisi yang lain. Jika manusia selalu berada dalam ruang lingkup tradisi, maka pengetahuan yang dihasilkan olehnya pastilah merupakan produk tradisi.

Michel Foucault seorang filsuf posmodernisme memandang bahwa pengetahuan dan kekuasaan adalah dua hal yang saling berkontribusi dalam membentuk peradaban manusia.  Menurut Foucault, ilmu pengetahuan tidak netral dan objektif, melainkan selalu terkait dengan kekuasaan dan politik. Dalam pandangan Foucault, kekuasaan dan pengetahuan saling terkait dan saling mempengaruhi satu sama lain. Kekuasaan dapat mempengaruhi pengetahuan dengan menentukan apa yang dianggap sebagai kebenaran atau fakta, sedangkan pengetahuan dapat digunakan untuk memperkuat kekuasaan. Foucault juga mengemukakan bahwa pengetahuan tidaklah netral dan objektif, melainkan selalu terkait dengan kekuasaan dan politik. Pengetahuan dapat digunakan untuk memperkuat kekuasaan dan menindas kelompok-kelompok yang dianggap tidak penting atau tidak berkuasa.

Dari gagasan dua tokoh di atas dapat kita ketahui bahwa gagasan keduanya tidak lepas dari prinsip konstruksi sosial yang telah disebutkan sebelumnya. Dari prinsip tersebut kita dapat mengetahui bahwa kedua tokoh di atas memandang pengetahuan sebagai hasil konstruksi sosial dan bukanlah pengetahuan yang bersifat objektif. Gagasan seperti ini tentunya mengundang perdebatan yang cukup serius di kalangan para filsuf. namun hal perlu diingat, generalisasi realisme dan anti realisme bukanlah generalisasi yang pasti. Karena cukup banyak filsuf yang menganut realisme dalam konteks tertentu dan menganut anti realisme dalam konteks yang lain.

Gagasan realisme dengan semangat objektifnya sama sekali tidak mengizinkan adanya unsur subjektif dalam mencari kebenaran. Meskipun terkadang manusia memiliki pandangan subjektif terhadap sesuatu, kaum realis tetap optimis bahwa dengan metode-metode yang tepat manusia dapat melepaskan pengaruh hasrat, budaya, dan politik yang merupakan unsur subjektif dalam manusia, sehingga dari metode tersebut dapat menghasilkan pengetahuan yang ilmiah. Beberapa filsuf yang mendukung padangan ini, juga mempercayai bahwa meskipun terdapat ragam perspektif di dunia, terdapat kualitas konstan yang tidak dipengaruhi oleh unsur subjektif manusia. Pandangan di atas berusaha melepaskan diri dari konsepsi tradisional tentang objektivitas.

Realisme dalam konteks modern menerima tantangan kaum skeptis yang cenderung meragukan bahwa kita benar-benar mengetahui objek eksternal. Misalnya hipotesis Rene Descartes tentang evil genius, hipotesis tersebut mengandaikan adanya evil genius yang seakan mengelabui indra kita sehingga objek yang kita persepsi tidak lain hanya merupakan halusinasi atau ilusi yang meyakinkan kita bahwa objek yang kita lihat benar-benar ada. Hipotesis seperti ini muncul kembali di ranah kajian filosofis dengan kerangka eksperimen pikiran yang lebih canggih. Misalnya hipotesis tentang brain in a vat, bayangkan saat ini bahwa otak Anda telah dipisahkan dari tubuh oleh para ilmuan lalu otak Anda diletakkan dalam tong eksperimen dimana saat ini otak Anda terhubung dengan program komputer canggih yang bisa memberi simulasi dunia luar kepada Anda, dan Anda tidak mengetahuinya. Saat itu Anda melihat objek seperti meja, kursi, teman atau keluarga Anda, dan hal lain seperti yang biasa Anda temui dalam kehidupan sehari-hari. Anda merasa yakin bahwa semua hal yang Anda lihat kini benar-benar ada. Padahal sebenarnya, objek yang Anda lihat dan diyakini ada hanyalah ilusi dari komputer canggih yang dihubungkan ke otak Anda. Hipotesis tersebut menggambarkan keraguan yang radikal sehingga indra kita bukanlah alat yang dapat diandalkan untuk mencari pengetahuan, dan jika hipotesis tersebut benar mungkin seluruh pengetahuan ilmiah saat ini tak ada bedanya dengan mimpi kita. 

Meskipun pandangan realisme mengalami tantangan skeptis, dan pengetahuan kita saat ini belum menggambarkan fakta secara keseluruhan, para filsuf realis tetap optimis dan yakin bahwa pengetahuan kita saat ini dapat diandalkan, dan teori-teori ilmiah yang telah dihasilkan benar-benar menggambarkan fakta meski belum secara keseluruhan. Pandangan realisme pada umumnya mengandalkan argumen abduktif:

(P1) Teori T adalah penjelasan terbaik untuk fenomena tertentu.

(P2) Kita harus menerima penjelasan terbaik mengenai fenomena yang teramati.

(C)  Maka kita harus menerima teori T.

Argumen tersebut digunakan oleh filsuf realis dalam hal keterbatasan manusia dalam menjelaskan fenomena tertentu. Dengan kata lain, meskipun banyak gagasan yang berusaha menjelaskan fenomena tertentu, kita harus menerima penjelasan dari teori ilmiah karena teori itulah yang dapat mendeskripsikan fakta secara baik. Argumen tersebut hanyalah salah satu argumen kaum realis dan masih banyak argumen dengan kerangka penalaran yang berbeda yang tidak bisa saya sertakan dalam tulisan ini.

Selain itu terdapat beberapa versi realisme, realisme struktural merupakan versi lain dari beberapa jenis realisme. Realisme struktural berusaha menawarkan gagasan objektivitas dalam kerangka matematis. Pandangan ini ingin menunjukkan bahwa kebenaran objektif tidak hanya berupa verifikasi terhadap realitas faktual, prediksi yang bersifat matematis juga bisa menghasilkan objektivitas meskipun dalam ranah abstrak. Misalnya bangun ruang dengan empat dimensi yang tentunya tidak kita temukan saat ini di kehidupan nyata, namun ruang tersebut dimungkinkan adanya dengan perhitungan matematis. Gagasan-gagasan tentang objektivitas yang telah disebutkan meskipun tampaknya berbeda-beda, namun gagasan-gagasan tersebut masih dalam pandangan yang menekankan eliminasi unsur-unsur subjektif, dan mengandalkan penalaran ilmiah dalam mencari kebenaran. 

Lalu bagaimana jika ada dua teori yang memiliki penjelasan berbeda terkait fakta yang sama?. Permasalahan seperti ini bukanlah masalah yang baru, apalagi dalam sains sering kali muncul permasalahan seperti ini. Michela Massimi menawarkan pandangan yang disebut dengan realisme perspektif untuk mengatasi permasalahan tersebut. Realisme perspektif sama halnya dengan realisme yang telah dijelaskan sebelumnya. Realisme perspektif mengakui bahwa terdapat realitas di luar sana yang tidak bergantung pada pikiran manusia (existence). Namun, pada tingkat epistemik realisme perspektif berpendapat bahwa kapasitas kita untuk memperoleh pengetahuan dimediasi oleh perspektif kita. Dengan kata lain, realisme perspektif merupakan model realisme selektif , karena menurut realisme perspektif akses kita terhadap realitas dibatasi oleh keberadaan kita di dunia pada waktu dan tempat tertentu. 

Realisme perspektif tidak dianggap sebagai anti realisme, karena model realisme ini mengakui bahwa seluruh aspek teori ilmiah dapat berbeda-beda antar perspektif, namun standar epistemiknya (simplicity, explanatory scope, accuracy) tetaplah sama. Massimi memberikan contoh sebagai berikut:

  1. Air adalah cairan dengan viskositas
  2. Air adalah kumpulan molekul yang terpisah

Klaim (a) adalah klaim dalam hidrodinamika, sedangkan klaim (b) adalah klaim mekanika statistik dalam fisika. Menurut hidrodinamika klaim (b) salah. Sebaliknya, menurut mekanika statistik klaim (a) salah. Kedua klaim tersebut sangatlah berbeda, lalu mana yang benar? Massimi membedakan context of use dan context of assessment untuk memecahkan permasalahan ini. context of use adalah konteks dalam pernyataan ilmiah yang mana kaidah-kaidah dirumuskan dalam menentukan kebenaran pernyataan ilmiah. sedangkan context of assessment adalah sudut pandang yang digunakan untuk menilai pernyataan ilmiah dari perspektif tertentu dalam kaitannya dengan seberapa memadai kinerja teori tersebut.

Menurut Massimi jika context of use adalah hidrodinamika, maka klaim (a) benar, dan sebaliknya. Namun kita dapat menggunakan mekanika statistik sebagai context of assessment, bahwa Air adalah kumpulan molekul yang terpisah, sekaligus viskositas sebagai sifat turunannya. Dengan demikian maka:

  1. Air adalah kumpulan molekul-molekul yang terpisah, dan bersifat seperti cairan yang memiliki viskositas.

Klaim (c) adalah pernyataan yang dipahami oleh sains terkini. Dengan demikian realisme perspektif dapat menghilangkan konflik yang bertentangan antara hidrodinamika dan mekanika statistik. Dengan cara demikian, kita dapat memecahkan masalah pertentangan antar dua teori ilmiah sekaligus mengintegrasikan keduanya, sehingga dengan demikian dari klaim-klaim yang bertentangan kita mendapatkan pengetahuan tambahan terkait suatu fenomena.

Kavin Ashfiya

Anggota Lingkar Studi Filsafat Discourse. Mahasiswa Sastra Arab di UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang.

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content