Percakapan erotis dua seks

Konsen bukan semata kewajiban perempuan untuk menolak atau menerima, konsen perempuan memang konsen yang sebenarnya.
Marianne Sheridan dan Connell Waldron dalam serial Normal People
Marianne Sheridan dan Connell Waldron dalam serial Normal People

Kasus Harvey Weinstein dan gerakan Me Too mengangkat persoalan pemerkosaan dan kekerasan seksual terhadap perempuan ke permukaan. Tidak hanya di dunia Barat tapi di seluruh belahan dunia. Kenyataan yang menunjukkan bahwa isu pemerkosaan dan kekerasan seksual terhadap perempuan adalah pengalaman universal. Kini perempuan lebih berani bicara, jumlah pelaporan kasus meningkat, yang kembali mengundang perdebatan mengenai konsen. Sebab dalam proses hukum, suatu tindakan seksual baru bisa dinamakan pemerkosaan jika mengandung unsur pemaksaan. Korban harus bisa membuktikan bahwa ia tidak menyetujui tindakan itu atau tidak dalam kapasitas dapat memberikan persetujuan. Konsen kemudian digunakan sebagai pembeda antara tindak pemerkosaan dan aktivitas seksual yang “baik/benar”. Baik/benar karena ada konsen yang berarti dilakukan atas persetujuan bersama. Representasi masyarakat pun dalam kaitannya dengan konsen pun mengambil wujud dua kutub. Kutub pertama adalah pemerkosaan sebagai relasi seksual tanpa konsen. Kutub kedua adalah relasi seksual “normal” yang secara implisit diasumsikan mengandung konsen. 

Kita pun mengembangkan apa yang dinamakan filsuf Prancis Manon Garcia (2021) sebagai intuisi-intuisi yang menyesatkan. Relasi seksual dengan persetujuan adalah sah, dan relasi seksual yang sah adalah relasi seksual dengan persetujuan. Relasi tanpa konsen adalah pemerkosaan, dan ini adalah kasus eksepsional (pengecualian, tidak biasa) yang kita temukan dalam berita-berita kriminalitas. Kita lantas membayangkan pemerkosaan terjadi di tempat parkir pada malam hari atau tempat-tempat lain yang gelap dan menyeramkan, dilakukan oleh orang tak dikenal yang wajah atau postur tubuhnya memang mengerikan, laki-laki “sakit” dan cabul, pengangguran, dan stereotip lain yang membentuk profil fantasi tentang pelaku pemerkosaan. Kita membayangkan relasi dengan konsen adalah relasi yang umum terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Ini adalah relasi seksual yang dilakukan oleh dua orang yang saling mencintai, yang saling berhasrat satu sama lain. Zaman ini, kita bayangkan juga relasi dengan konsen sebagai relasi antara dua orang yang bertemu di aplikasi kencan di internet, saling tertarik, dan setuju melakukan hubungan seks atas dasar keinginan segera yang kemudian juga direalisasikan dengan segera. 

Tetapi intuisi-intuisi ini menyesatkan karena pemerkosaan pada kenyataannya tidak bersifat eksepsional, kasus-kasus pemerkosaan banyak terjadi, dan 90% pelakunya adalah orang yang dikenal korban, dengan 47% di antaranya adalah pasangan (pacar atau suami). Pemerkosaan bisa terjadi di mana saja, di kantor oleh atasan/kolega, di rumah oleh suami, di kamar teman, dan tempat-tempat lain yang akrab bagi korban. Intuisi-intuisi ini menyesatkan karena dalam relasi seksual dengan pasangan yang diyakini melibatkan konsen ternyata sering kali tidak demikian adanya. Persoalannya adalah tidak pernah kita mempertanyakan bahwa dalam relasi seksual dengan konsen, mengapa seseorang konsen? Sangat mungkin karena ada relasi kuasa, antara atasan-bawahan, guru-murid, ketua-anggota dalam komunitas. Dalam relasi seksual dengan pasangan, kita cenderung berpikir bahwa relasi ini adalah aktivitas alami, normal, yang pasti dilakukan dengan konsen. Kita berpikir bahwa karena keduanya saling cinta, otomatis saling menginginkan, dan tidak akan ada masalah dalam hal konsen. Padahal dalam kehidupan rumah tangga, dengan kesibukan profesional, dengan persoalan entah dengan rekan kantor, entah dengan urusan anak, dsb., baik istri maupun suami tidak selalu bergairah. 

Dalam kebanyakan kasus, gairah suami cenderung stabil tetapi gairah istri menurun setelah beberapa tahun perkawinan. Dalam masyarakat patriarkal, gairah dan kenikmatan perempuan tidak diakui, bahkan tidak dikenal oleh perempuan itu sendiri. Akibatnya tidak banyak laki-laki berpikir bahwa relasi seksual itu adalah untuk kenikmatan bersama, dan karena itu ia juga harus dapat memberikan kenikmatan pada pasangannya. Di sisi lain, kebanyakan perempuan tidak mengenal tubuhnya, tidak pernah berpikir bahwa dirinya punya hak atas kenikmatan, atau menganggap seks hanya milik laki-laki atau perempuan muda (di bawah 40 tahun misalnya). Tidak sedikit perempuan mengatakan “Aduh, saya sudah umur segini, ya sudah tidak berpikir seks, malu sama umur, malu sama anak, dsb.” Perempuan mengasosiasikan seks sebagai yang tidak baik, memalukan. Pada akhirnya sikap-sikap semacam ini tidak membantu kedua belah pihak untuk memiliki relasi seksual yang memuaskan. Trinitas perawan-ibu-pelacur telah mengacaukan seksualitas perempuan. Istri menempatkan diri dalam kategori Madona (bunda Maria, ibu sekaligus perawan) dan tidak pernah berpikir akan seksualitasnya. Hasilnya, hanya sedikit perempuan yang benar-benar mendapatkan kenikmatan dari relasi seksual. Alih-alih menjadi sumber kepuasan dan dinanti-nantikan perempuan, mereka sedapat mungkin menghindari acara bercinta dengan suami. 

Dalam relasi seksual dengan pasangan (pacaran atau menikah), tidak jarang seseorang (dan ini terutama perempuan) menerima ajakan melakukan hubungan seksual meskipun tidak menginginkan. Pada pasangan tradisional, sangat mungkin ada relasi dominan-subordinasi antara suami-istri. Istri masih menganggap semua permintaan suami adalah perintah yang harus dituruti. Tetapi juga dalam kebanyakan pasangan modern, bisa jadi atas dasar cinta, tidak tega menolak ketika melihat pasangan sangat berhasrat. Tidak enak karena sudah dua hari berturut-turut menolak suami. Atau bisa pula karena tersentuh dengan pasangan yang menatapnya dengan gairah, ia lantas bergairah. Bisa pula karena meyakini lebih baik segera saja memuaskan keinginan pasangan agar setelah itu justru bisa tenang dan bebas melakukan hal lain, bisa tidur tanpa lagi diganggu oleh desakan suami. Bukankah tidak sedikit laki-laki yang akan terus meminta pada istrinya sampai keinginan untuk bercinta dikabulkan? Memang tidak selalu istri yang “mengalah” pada suami, bisa jadi seorang suami juga tidak ingin menyakiti hati istrinya. Contohnya istri yang sudah mengenakan lingerie seksi yang baru saja ia beli untuk membuat kejutan, akan konsen untuk melakukan relasi seksual (dan juga bisa tetap bergairah dan ereksi) meskipun saat itu sebenarnya ia tidak menginginkan. Tidak selalu laki-laki menginginkan seks seperti keyakinan umum. 

Tidak pernah pula kita mempertanyakan karakter spesifik konsen, maksudnya konsen yang diberikan pasangan atau mitra seksual kita itu untuk melakukan apa, konsen pada tahapan mana dalam aktivitas seksual itu? Apakah ketika seseorang konsen untuk kencan, dicium di bioskop, sampai masuk ke kamar kos atau hotel, berarti ia harus konsen untuk relasi seksual? Apakah konsen di awal harus terus konsen sampai akhir hubungan? Bagaimana jika tiba-tiba ia tidak menginginkan lagi hubungan itu karena satu dan lain hal? Karena mitra seksual yang mencium lembut di awal tiba-tiba menjadi kasar? Atau mungkin tanpa bermaksud kasar, ia melakukan gerakan yang menimbulkan rasa sakit seperti menekan pada bagian tubuh tertentu, atau gerakan lain yang membuat mitranya kehilangan gairah? Ketika akhirnya hubungan seksual dilanjutkan karena satu dan lain hal, apakah hubungan ini dapat dinyatakan sebagai relasi seksual  dengan konsen? 

Bayangkan istri yang tiba-tiba kehilangan gairahnya karena suaminya yang punya masalah dengan ereksi terus menatap dan mengelus penisnya, atau bau tubuh suami malam itu terasa menyengat, atau memang sudah tidak tahan lagi terus dimintai melakukan seks oral, dst. Apapun penyebabnya, istri kemudian menolak untuk melanjutkan hubungan seksual. Lantas suami yang sedang menikmati, berang dan mengatakan, ”Tidak bisa begitu. Tadi kamu mau, mengapa sekarang tidak?” Istri merasa tidak enak, merasa bersalah karena memang tadi iya juga menginginkan, karena ia sudah “membangkitkan” gairah suami, dan bukankah: laki-laki kalau sudah ereksi memang harus sampai selesai, kalau tidak nanti kasihan pasti sakit sekali rasanya (demikian pengajaran turun temurun kepada perempuan yang membuatnya merasa wajib untuk memuaskan kebutuhan seksual suami). Jadi bukan hanya kita punya representasi yang salah tentang pemerkosaan, kita juga mengabaikan bahwa banyak relasi seksual yang kita kira dilakukan berdasarkan konsen padahal sebenarnya tidak sepenuhnya dengan konsen. Tetapi bisakah relasi seksual tanpa konsen sepenuhnya ini dianggap sebagai pemerkosaan? Dalam relasi suami istri, sebagian besar istri tidak menamakannya sebagai pemerkosaan, meskipun mereka merasa “seperti” diperkosa khususnya ketika suami masih mendesak untuk melanjutkan meski keberatan sudah secara eksplisit dinyatakan. Suami sendiri tidak merasa memperkosa sebab “tadi” istri mau. Dan kalau memang benar-benar tidak mau melanjutkan, “Ya harusnya tadi ditegaskan, aku juga pasti hentikan…”  (Perempuan lagi yang bersalah?) 

Dalam budaya kita yang mengagungkan keperawanan dan mengutuk seks pra nikah, ketika seorang anak perempuan melaporkan pacarnya sebagai pemerkosa, yang sering terjadi adalah ia ditertawakan, dihina, “lho wong suka sama suka kok sekarang jadi bilang diperkosa?” Kalaupun tidak memperlakukan demikian, laki-laki terkejut, tidak menyangka bahwa relasi seksual yang terjadi ternyata bukan cuma tidak diinginkan, tapi bahkan dihayati sebagai pemerkosaan oleh kekasihnya. Tidak sedikit tertuduh pemerkosaan bersikeras dan meyakini bahwa yang terjadi adalah relasi seksual atas keinginan bersama. Mereka sendiri tidak pernah punya keinginan memperkosa dan tidak membayangkan diri mereka sebagai pemerkosa. Mereka tidak merasa telah memaksa “korban” dan tidak melihat penolakan “korban” sewaktu relasi seksual berlangsung. “Korban” tidak dengan tegas mengatakan tidak, tidak melakukan gerakan yang memang secara eksplisit dapat dipahami sebagai penolakan. 

Lantas menjadi pertanyaan, bagaimana menyampaikan keberatan atau penolakan, supaya mereka yang memang tidak bermaksud memperkosa dapat memahami bahwa sesungguhnya mitra seksual mereka tidak menginginkan relasi seksual yang sedang berlangsung. Bagaimana menyampaikan keberatan atau penolakan jika perempuan sendiri selalu diajarkan untuk tunduk dan patuh pada dominasi maskulin, termasuk pada gairah dan kenikmatan laki-laki? Dalam kasus-kasus pemerkosaan yang tidak ambigu, dalam arti jelas melibatkan tindak kekerasan dan ancaman, banyak korban tidak melawan seperti yang telah dibahas pada pembahasan sebelumnya (bagian ini dijelaskan dalam bab pertama buku – diterbitkan oleh EA Books, 2022 .ed). Perlawanan seperti apa yang bisa diharapkan dari korban yang sedang ketakutan, yang bahkan mungkin berpikir mereka akan mati, yang sedang melakukan disosiasi dengan tubuhnya sebagai bentuk pertahanan diri untuk mengalami pemerkosaan tanpa merasa mengalaminya? Perlawanan dan penolakan seperti apa yang diharapkan dari perempuan yang tidak pernah dididik untuk melawan dan memberontak, yang selalu dididik untuk patuh, yang diajarkan kepadanya bahwa nafsu syahwat laki-laki memang tidak bisa dikendalikan dan karenanya harus dipuaskan? Penolakan seperti apa yang diharapkan dari perempuan yang selalu diajarkan bahwa jika mencintai berarti memberikan segalanya? Bahwa kepentingan suami adalah di atas kepentingannya? Bahwa suami harus dipuaskan dan kepuasannya sendiri ia tidak kenal? Belum lagi jika relasi tersebut melibatkan relasi kuasa yang mana posisi korban semakin rentan.   

Tetapi pertanyaan ini bukankah juga bisa dibalik: bagaimana agar laki-laki dapat memahami bahwa sesungguhnya mitra seksualnya tidak menginginkan relasi seksual itu? Tetapi laki-laki sebagai kelompok privilese cenderung dituruti keinginannya sejak masih anak-anak, ia sudah istimewa dengan sendirinya sebagai anak laki-laki. Ia jadi kurang peka menangkap sinyal emosional, termasuk kelak untuk memahami kebutuhan, keinginan, dan hasrat pasangannya. Kepada anak laki-laki diajarkan ketegasan, kebebasan untuk tampil sebagai dirinya, untuk menyatakan terus terang dan dengan tegas apa yang ia inginkan. Ia tidak berfungsi atas dasar penilaian orang lain, seperti yang dituntut dari perempuan. Ia dididik untuk mampu mengambil keputusan, untuk asertif, agresif. Ia mengatakan ya jika iya, tidak jika tidak. Bagaimana ia dapat memahami bahwa ketika perempuan tidak melawan dan tidak menolak secara eksplisit itu bukan berarti ia setuju? Di sisi lain, ia diajarkan untuk menjadikan perempuan sebagai objek, objek tatapan, objek gairah. Ia dididik untuk menaklukkan. Ia diajarkan melalui berbagai budaya populer yang ditegaskan oleh obrolan sesama lelaki bahwa resistensi perempuan hanyalah undangan perempuan agar ia sedikit lebih mendesak, agar perempuan merasa semakin diinginkan. Ia diajarkan perempuan tidak tahu apa yang diinginkan, atau keinginannya berubah sesuai suasana hati. Ketika ia mengatakan tidak, belum tentu itu tidak, bahkan sering kali justru iya. Sikap menolak perempuan adalah karena ia malu tetapi sebenarnya mau. Laki-laki harus aktif, supaya perempuan tidak malah jadi betulan malu sebab rahasia keinginannya berhasil disingkapkan.  

Sebenarnya kelompok feminis Barat sudah cukup lama mengadopsi konsep konsen. Wacana konsen diyakini dapat menjadi alat pembebasan bagi perempuan, memungkinkan relasi asmara dan relasi seksual yang setara dan tidak menindas. Dengan konsen, perempuan dapat menyatakan persetujuan atau penolakannya pada aktivitas seksual, dan bahwa pasangan (seksual)-nya menghargai keinginannya ini. Hal ini diyakini sebagai dasar dari relasi seksual yang bebas dan setara. Kurang lebih sudah 30 tahun ini, konsep konsen afirmatif juga diterapkan oleh kampus-kampus di Amerika. Pemerintah bahkan mewajibkan semua kampus menerapkan konsen afirmatif jika ingin mendapatkan tunjangan dana. Mereka mewajibkan semua orang dewasa, pelajar ataupun dosen, memiliki persetujuan sadar dan sukarela dari mitra seksualnya :  pernyataan iya secara resmi dari mitra seksual. Ada pembalikan tanggung jawab pembuktian di sini, bukan lagi korban yang harus membuktikan bahwa telah terjadi pelecehan/kekerasan/pemerkosaan tetapi pelaku harus membuktikan bahwa ia telah mendapatkan konsen afirmatif. Tentu ini merupakan kebijakan positif dalam rangka melindungi korban. Namun dengan konsep konsen semacam ini, persoalan-persoalan yang telah dibicarakan di atas tetap tidak mendapatkan jawabannya. 

Kelompok feminis juga telah menetapkan aturan dasar konsen bahwa konsen harus mengandung setidaknya 5 elemen ini. Pertama, bebas, tanpa pemaksaan, tanpa ancaman, tanpa ada penyalahgunaan kekuasaan, tanpa ada pemanfaatan rasa percaya. Kedua, jelas. Dalam hal ini konsen memerlukan verifikasi, seperti menanyakan persetujuan mitra, termasuk untuk mengirimkan SMS bernuansa erotis. Jika tidak ada jawaban, itu bukan berarti iya. Ketiga, terdefinisi. Bisa setuju pada satu aktivitas tetapi tidak pada aktivitas lain. Seperti menerima untuk dicium tetapi bukan berarti oke untuk yang lain. Keempat, bisa ditarik kembali. Seseorang bisa berubah pendapat saat aktivitas seksual berlangsung. Bisa jadi tidak menikmati di tengah-tengah aktivitas karena satu dan hal lain hal. Kelima, dalam kondisi mampu memberikan persetujuan:  bukan pada saat tertidur, tidak sadar, di bawah pengaruh obat, hipnotis, dll. Kelima elemen ini tentu membantu memperjelas apa yang diinginkan dalam konsen, namun kembali masih mengandung risiko dalam pelaksanaannya selama dominasi maskulin masih menempatkan laki-laki sebagai superior dan perempuan inferior. Kita tahu bahwa sering kali tidak butuh “ancaman” eksplisit untuk mengancam perempuan atau pihak yang lemah lainnya. 

Kita mengartikan konsen secara sederhana sebagai “setuju”. Kita menerjemahkan konsen sebagai persetujuan. Relasi seksual dengan persetujuan adalah sah, dan relasi seksual yang sah adalah relasi seksual dengan persetujuan. Entah korban harus menunjukkan bahwa ia tidak konsen, entah pelaku harus menunjukkan bahwa korban konsen. Korban umumnya perempuan dan pelaku laki-laki. Sementara dalam budaya patriarki, yang memainkan peran aktif dalam relasi seksual selalu laki-laki. Laki-laki yang melakukan pendekatan, laki-laki yang mengambil inisiatif. Gairah selalu datang dari laki-laki dengan objek gairah selalu perempuan. Dalam kamus sejarah bahasa Prancis le Robert historique de la langue française, kata konsen yang diartikan sebagai menerima relasi asmara atau seksual hanya berlaku untuk perempuan. Sebab laki-laki tidak memberikan konsen, ia beraksi. Permainan kata dalam bahasa Prancis adalah l’homme propose, la femme dispose (laki-laki menawarkan, perempuan menyediakan diri/menyondongkan diri kepada tawaran yang diberikan). Dengan semua persoalan ini, apakah masih memungkinkan kita menggunakan konsep konsen tanpa membahayakan perempuan yang posisinya lemah? 

Konsen berasal dari bahasa Latin consentire dengan con (bersama) dan sentire (merasakan), kata ini dapat diartikan sebagai merasakan bersama, menginginkan bersama. 

Etimologi kata consentir ini membuka jalan “baru” yang mungkin untuk kita, meminjam istilah Gloria Steinem, meng-erotisasi kesetaraan dan bukan meng-erotisasi dominasi dan kepasifan. Konsen bukan sekedar partner seksual setuju atau tidak setuju pada aktivitas seksual yang kita inginkan dan kita “tawarkan” kepadanya, tetapi bahwa kedua pihak sama-sama menginginkan, sama-sama berhasrat untuk melakukannya. Dan saya kira ini hanya mungkin bila setidaknya empat kondisi ini tercapai. Kelima elemen dalam aturan dasar konsen di atas bisa efektif jika empat kondisi di bawah ini sudah terpenuhi. 

Pertama, bila laki-laki tidak lagi menjadikan pemisahan seks dan cinta sebagai privilese kaumnya dan perempuan berhasil memisahkan seks dengan cinta. Perempuan dibesarkan dengan anggapan bahwa seks identik dengan laki-laki, bahwa laki-laki ingin seks dan perempuan ingin cinta, dan untuk mendapatkan cinta laki-laki, untuk berelasi dengannya perempuan harus melakukan hubungan seks. Perempuan ingin cinta, tapi belum menginginkan seks secara otonom, ia masih melekatkan relasi seks yang ia inginkan dengan cinta. Selama perempuan belum memisahkan seks dengan cinta, konsen yang ia berikan akan bersifat ambigu. Dengan demikian, perempuan harus belajar memisahkan antara seks dan cinta. Bukan karena cinta, perempuan akhirnya melakukan seks padahal tidak berhasrat ataupun tidak menginginkannya (manusia bisa jadi berhasrat tapi tidak ingin atas satu dan lain hal). Seks adalah seks, cinta adalah cinta. Kita bisa melakukan hubungan seks dengan orang yang kita cinta, tetapi hendaknya tidak melakukan seks atas nama cinta. Perempuan perlu melakukan seks atas dasar keinginan, bukan bentuk pelayanan. Perempuan harus belajar menginginkan sesuatu, bukan sekedar melakukan apa yang diinginkan orang lain. Laki-laki harus menerima bahwa pemisahan seks dan cinta bukanlah privilesenya tetapi juga milik perempuan. Dalam dunia yang seksis ini, laki-laki bisa melakukan hubungan seks tanpa cinta, tetapi tidak demikian dengan perempuan. Pelekatan seks dengan cinta pada perempuan adalah upaya patriarki untuk menyangkal kenikmatan perempuan sebagai sesuatu yang otonom dari laki-laki, patriarki ingin meyakinkan perempuan bahwa ia tidak bisa mendapatkan kenikmatan kecuali dalam ikatan dan ketergantungannya secara sentimental kepada laki-laki.  

Kedua, bila laki-laki dan perempuan mengakui sepenuhnya kedaulatan perempuan atas tubuhnya. Sebagaimana perempuan harus mulai menunjukkan diri sebagai subjek, laki-laki harus berhenti memperlakukan perempuan sebagai objek. Perempuan bukan objek tatapan, bukan objek gairah, bukan objek yang harus ditaklukkan. Saatnya sudah tiba bagi laki-laki untuk melihat perempuan bukan lagi sebagai tubuh, tetapi individu yang bertubuh. Demikian pula perempuan harus memiliki kembali tubuhnya untuk Diri, bukan untuk orang lain. Pertemuan dua tubuh atas dasar keinginan dua individu adalah jauh lebih seksi dan menggairahkan ketimbang tindak penetrasi satu tubuh ke dalam tubuh lain. Dengan laki-laki mengakui kedaulatan penuh perempuan atas tubuhnya, laki-laki akan dapat menerima bahwa konsen tidak pernah definitely acquired, maksudnya konsen untuk suatu tindakan bukan berarti konsen untuk tindakan lain. Perempuan bisa jadi ingin minum segelas anggur atau bir bersama laki-laki tanpa bermaksud untuk melanjutkannya di tempat tidur. Bisa jadi ia ingin tidur di samping laki-laki tanpa bermaksud lebih. Ingin dibelai tapi cukup sampai di situ, ingin diciumi tapi tidak ingin dipenetrasi. Perempuan ataupun laki-laki berhak mengatakan stop kapan pun ia merasa tidak nyaman atau tidak ingin lagi. 

Dengan laki-laki dan perempuan mengakui kedaulatan penuh perempuan atas tubuhnya, dengan laki-laki dan perempuan tidak menjadikan seks sebagai privilese kaum laki-laki, maka laki-laki dan perempuan juga akan sampai pada kondisi ketiga : mengakui bahwa perempuan bisa punya gairah yang otonom dari gairah laki-laki. Maksudnya perempuan bisa bergairah terlepas dari laki-laki bergairah atau tidak. Bukan karena laki-laki bergairah, perempuan jadi harus ikut bergairah. Ketika gairah tidak hanya datang dari laki-laki dan perempuan sudah bisa menjadi subjek atas gairahnya, bukan lagi sekedar mampu mengatakan setuju atau tidak setuju, ketika ia sudah bisa mengungkapkan ini tanpa ia dianggap sebagai Pelacur, tanpa laki-laki terserang kejantanannya, laki-laki dan perempuan akan memasuki kondisi keempat yang akan memungkinkan konsen perempuan tidak lagi ambigu dan dapat menjadi pembebasan bagi perempuan. 

Percakapan tentang seks antara dua individu setara yang saling menghormati

Laki-laki dan perempuan dalam budaya patriarki tidak memiliki posisi yang setara dan tidak dibesarkan dengan cara-cara yang sama. Pengalaman dan penghayatan satu sama lain berbeda dalam seks dan seduksi. Hubungan seksual dengan ataupun tanpa cinta hendaknya melibatkan percakapan tentang apa yang diinginkan kedua rekan seksual. Jika seksualitas menempati posisi penting dalam hidup kita, ia seharusnya bisa menjadi sumber kegembiraan dan kenikmatan. Ia bisa memberikan keindahan meski relasi hanya untuk beberapa jam, untuk beberapa hari, untuk memberikan yang terbaik yang bisa diberikan satu sama lain hanya pada waktu yang sementara itu, meskipun setelah itu mungkin tidak akan pernah lagi berjumpa, meskipun rasa cinta itu tidak atau belum hadir. Namun untuk seksualitas dapat memenuhi janjinya ini, kedua pasangan harus saling diakui sebagai individu, subjek yang bergairah, punya keinginan, punya fantasi dan imajinasi, dan mengekspresikannya dengan bebas dalam atmosfer kesetaraan (Garcia, 2021). 

Bertolak belakang dari keyakinan umum bahwa laki-laki sebab punya kehidupan seks yang lebih bebas, ia bisa lebih paham tubuh perempuan, tahu bagaimana cara memuaskan pasangan. Pertama, setiap perempuan berbeda, meski seluruh tubuh perempuan dapat menjadi zona pemberi sensasi, tetapi masing-masing  perempuan (ataupun laki-laki), tidak punya fantasi dan keinginan yang sama akan sentuhan laki-laki.  Kedua, laki-laki tidak selalu peka dan atentif dengan apa yang bisa mendatangkan kenikmatan bagi pasangannya. Di sini kita tidak bicara mengenai budaya patriarki yang membentuknya jadi makhluk yang cenderung egois yang hanya memperhatikan kepuasannya. Kita bicara laki-laki yang sudah melampaui empat kondisi tadi. Dengan tubuh yang baru, setiap dari kita perlu beradaptasi, perlu mengenal tubuh pasangan, apa yang memberinya sensasi lebih, dsb. 

Banyak pasangan tidak ingin bicara saat melakukan hubungan seksual sebab khawatir membunuh gairah. Seri televisi Normal People menunjukkan bahwa percakapan saat melakukan hubungan seksual bisa menjadi erotis. Tentu bukan dengan mengucapkan kata-kata kasar dan kotor yang cenderung merendahkan perempuan seperti yang dilakukan sebagian laki-laki. Percakapan erotis yang setara yang dimaksud di sini diperlihatkan khususnya ketika Connell dan Marianne melakukan hubungan seksual, dan ini adalah pengalaman pertama untuk Marianne. Marianne sempat menghentikan aktivitas seksual ketika ia meminta Connell untuk menggunakan kondom. Connell memenuhi permintaan Marianne. Ia tidak terganggu dengan interupsi itu. Sepanjang adegan seksual, kita bisa melihat Connell menanyakan kepada  Marianne apakah posisi tertentu enak dan nyaman, apakah ia suka, apakah ia justru sakit, dsb. Adegan ini sama sekali tidak kehilangan sisi erotisnya dengan percakapan mereka. Sebaliknya konsen keduanya terjamin. 

Apa yang dilakukan tokoh Connell menunjukkan bahwa laki-laki, kelompok privilese yang punya power lebih besar, tidak harus menunjukkan kekuasaannya dengan mendominasi tetapi justru dengan menunjukkan tanggung jawab yang lebih besar dalam menjamin konsen pasangan seksualnya. Ini yang kiranya dapat dan perlu dilakukan laki-laki hari ini. Konsen dalam masyarakat patriarki bukan semata kewajiban perempuan untuk bisa menolak atau menerima, tetapi justru menjadi persoalan laki-laki untuk menjamin bahwa konsen perempuan memang konsen yang sebenarnya, persetujuan perempuan adalah memang keinginan, ungkapan dari gairahnya, bukan sebagai wujud kepatuhan yang mencirikan jiwa feminin konstruksi patriarki. Percakapan erotis antara dua seks yang setara dan saling menghormati kiranya dapat memberikan jaminan ini. 

Catatan: Jika saya menuliskan secara dikotomis laki-laki dan perempuan, pembahasan konsen ini juga berlaku pada hubungan sesama jenis. Laki-laki yang memenuhi kriteria jantan seringkali menindas laki-laki yang kurang/tidak memenuhi standar kejantanan. Konsep bahwa laki-laki pemangsa mengaburkan kenyataan bahwa laki-laki lemah atau yang dianggap lemah (homoseksual, trans) juga cenderung menjadi korban pelecehan, penganiayaan, dan pemerkosaan dari laki-laki yang “kuat”. 

Referensi

Garcia, Manon, La Conversation des sexes, Paris, Climats, Flammarion, 2018. 


Artikel ini merupakan bagian dari buku yang akan diterbitkan oleh EA Books di penghujung tahun 2022.

Ester Lianawati

Psikolog, peneliti, dan penulis.

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Skip to content