fbpx

Membaca kekecewaan bersama Marcus Aurelius

Bukankah sebuah kekecewaan kita rasakan saat sesuatu atau seseorang tidak sesuai dengan apa yang diinginkan?
Sketsa Marcus Aurelius di Atas Kuda karya Anonimus diambil dari The Metropolitan Museum of Art
Sketsa Marcus Aurelius di Atas Kuda karya Anonimus diambil dari The Metropolitan Museum of Art

Kekecewaan adalah minuman yang harus kita reguk. Dalam hidup yang sekali dan singkat ini, kekecewaan memiliki hak berdaulat untuk memeluk kita karena kecewa adalah bagian dari hidup manusia. Lalu timbul pertanyaan besar: Apakah kecewa sama dengan kalah?

Penulis teringat pada sepenggal puisi “Derai-derai Cemara” karya Chairil Anwar, “…hidup hanya menunda kekalahan… Ada yang tetap tidak diucapkan, sebelum pada akhirnya kita menyerah.” Ya, hidup memang penundaan yang terus menerus terhadap kekalahan: kematian. Tapi kecewa bukanlah sebuah kekalahan. Kecewa merupakan satu langkah meraih kemenangan. Kemenangan atas apa? Kemenangan saya, kamu, dan kita atas diri sendiri. Kemenangan atas ego yang merongrong atau kemenangan atas keegoisan kita.

Bukankah sebuah kekecewaan kita rasakan saat sesuatu atau seseorang tidak sesuai dengan apa yang diinginkan? Kita merasa kecewa karena ini dan itu harus berdasarkan “aku”. Ini dan itu harus berjalan atas kehendakku. Itulah akar sebuah kekecewaan yang acapkali tidak kita renungkan dalam keheningan.

Merawat kecewa

Lantas, apakah kita tak boleh kecewa? Sebagaimana disinggung di atas, kecewa merupakan satu langkah untuk meraih kemenangan. Toh, kecewa juga merupakan bagian dari hidup, dan kita perlu itu. Jadi kecewa itu harus tetap ada dalam hidup. Pertanyaan berikutnya adalah, mengapa?

Pertama, dengan kecewa kita akhirnya tersungkur. Terdiam dan membisu ditelan takdir. Akhirnya ada waktu senggang untuk memikirkan ulang, mengapa kita kecewa? Bagaimana kita agar tak kecewa, atau bagaimana kekecewaan ini bisa segera beralih menjadi kebahagiaan? Dengan kondisi ini kita akan menghela napas panjang. Mengistirahatkan langkah dan mengatur ulang ritme hidup yang harus dijalani setelah ini.

Kedua, kecewa akan menjadi sebuah ukuran bagi ke-aku-an dan kesombongan kita. Semakin sering kita kecewa, hati-hati, jangan-jangan kita sangat haus akan ke-aku-an dan lapar eksistensi. Padahal kita bukanlah apa-apa dan kita bukanlah siapa-siapa. Seperti pernyataan Soe Hok Gie, kita tak pernah menanam apa-apa, dan kita tak pernah menghasilkan apa-apa. Sebesar-hebat apapun diri kita, dalam cengkeraman maut, kita akan selesai. Lantas, apa yang masih diharapkan? Melalui pertanyaan tersebut dapat diketahui bahwa merasakan kecewa dapat menjadi tolok ukur bagi kita untuk menegosiasikan ke-aku-an dan eksistensi kita agar kita tak menjadi orang yang buas akan perhatian.

Ketiga, tanpa kekecewaan, kita semua tak akan mampu memaknai kebahagiaan, kelegaan, dan kepuasan—meskipun pada dasarnya manusia tak akan pernah merasa puas. Bagaimana manusia mengetahui makna bahagia jika kecewa hingga menderita pun belum pernah? Serupa halnya kematian, manusia akan memaknai hidupnya karena ia sadar bahwa ia akan mati.

Dari ketiga alasan di atas, masihkah kita kelabakan menghadapi kekecewaan dalam hidup? Jika masih, kebijaksanaan kuno rasa-rasanya masih relevan untuk kita pelajari. Kebijaksanaan tersebut merupakan hasil refleksi-refleksi salah seorang kaisar Romawi bernama Marcus Aurelius, yang kesepian dan berkat ketabahannya hingga ia dikenal hingga saat ini.

Menegosiasikan kekecewaan bersama Marcus Aurelius

“…Awali pagi hari dengan mengatakan pada dirimu sendiri: hari ini aku akan bertemu orang-orang yang suka ikut campur, tidak tahu terima kasih, arogan, penuh tipu daya, penuh iri dengki, maupun orang-orang yang tidak peduli dengan sekeliling mereka…”—Marcus Aurelius, dalam buku Meditations (Jakarta: Noura Books, 2021) hlm. 37.

Marcus Aurelius merupakan nama yang tak asing dalam gelanggang filsafat dunia. Selain seorang filsuf, Marcus Aurelius yang dilahirkan pada tanggal 26 April 121 M juga merupakan seorang kaisar di Romawi. Sebelum menjadi seorang kaisar, Marcus sangat sering menelan kekecewaan dalam hidupnya, lebih-lebih ketika ia mulai menetap di istana—di bawah kekaisaran Hadrianus (Robertson 2019).

Kekecewaan yang dihadapi oleh Marcus Aurelius dikarenakan ia mengetahui intoleransi serta penganiayaan yang dilakukan oleh Kaisar Hadrianus di istana. Selain itu, Marcus juga kecewa dengan sikap Hadrianus yang penuh kecurigaan terhadap mereka yang dianggapnya musuh. Hal semacam itu sangat membuat Marcus terpukul dan terbelenggu oleh kekecewaan.

Menariknya, setelah ia  bertahta sebagai kaisar, kekecewaan yang dihadapinya terus datang bertubi-tubi. Kekecewaan yang dihadapinya sebagian berasal dari orang kepercayaannya sendiri dan dari hal-hal eksternal (pengaruh alam). Bahkan ketika lawan politiknya menghujat dan mengkritiknya secara pedas, Marcus hanya membalasnya melalui pidato dan pamflet yang santun serta bijak. Tak sedikitpun terbesit raut kekecewaan serta niat hati untuk membalas dendam kepada lawan-lawannya. Marcus menuangkan refleksi dan renungan-renungan yang sebagian didapatkannya karena rasa kecewa itu dalam catatan harian yang berjudul Ei Heauton (Add se ipsum, To Himself) yang di kemudian hari populer dengan judul Meditations (Wibowo 2019).

Lalu bagaimana Marcus berdamai dengan kekecewaan? Awal kali dan mula-mula kita harus mengamini kutipan Marcus Aurelius di atas. Bertemu dengan orang-orang yang suka ikut campur, tidak tahu terima kasih, arogan, iri dengki, orang-orang yang tak memiliki kepedulian, dan mereka yang penuh tipu daya, merupakan sesuatu yang memuakkan. Ketika bertemu dengan orang-orang seperti itu, kita kerap menyimpan perasaan kecewa dan pada suatu waktu, perasaan kecewa itu meledak menjadi bom waktu. Sungguh berbahaya.

Setelah mengamini bahwa setiap hari kita akan bertemu orang-orang yang memperpanjang rasa kekecewaan kita, Marcus kembali membisikkan dengan lirih dan mesra: “Ketika seseorang berbuat salah padamu, pertimbangkan persepsi mereka tentang baik dan buruk yang mendorongnya untuk menyakitimu. Ketika engkau telah memahaminya, kau akan merasa iba kepada orang tersebut, dan tak lagi merasa marah.”(Aurelius 2021:178)

Ketika kita telah dikecewakan, kita harus masuk ke dalam diri sendiri. Mempertimbangkan dan mengembangkan. Bisa jadi sesuatu yang mengecewakan kita memang merupakan kemalangan yang diderita akibat ketidaktahuan, misalnya. Oleh karena itu kita tak akan marah, justru malah merasa iba kepadanya.

Berjabat tangan dengan kekecewaan

Setelah dirawat dengan segenap pilu, sedikit angin dari masa lalu yang turut dihembuskan oleh Marcus Aurelius, sudah saatnya kita menjabat erat dan memeluk nasib yang berwajah kekecewaan. Hari ini kekecewaan telah menenggelamkan wajah riang manusia, baik di dunia korporeal maupun dunia digital.

Kekecewaan yang dialami manusia saat ini seperti barang obralan yang dijual di perempatan jalan, “kekecewaan… kekecewaan… 5000 dapat 3.” Bedanya, ketika di dunia digital kekecewaan dijual dengan jumlah likes dan jumlah komentar. Kekecewaan dikontenkan, bahkan dikapitalisasi. Orang-orang yang menjual kekecewaan dan penderitaannya di sosial media acapkali membuat hati tergetar, sekaligus membuat jari semakin gentar—untuk menjustifikasi, misalnya.

Ruang-ruang privasi dan ruang refleksi menjadi semakin pengap. Manusia juga menjadi gagap ketika telah dikecewakan. Rasa kecewa yang tak dikenali dengan baik hanya akan menyebabkan kekecewaan lain. Kekecewaan akan terus menggunung dan kebahagiaan makin enggan berkunjung.

Diperlukan perawatan, negosiasi, dan pengenalan lebih lanjut terhadap kekecewaan yang kita rasa. Sebab bagaimanapun rasa kecewa mutlak bagian hidup dari manusia. Kita tidak bisa berpaling, karena pada dasarnya setiap hal dalam hidup, secara ringkas, adalah rasa saling, atau kesalingan. Ketika kecewa, kita saling menguatkan, saling mengingatkan. Ketika kiita kecewa, maka kita adalah manusia.

Referensi 

Aurelius, Marcus. 2021. Meditations. diterjemahkan oleh Gita Widya L. S. Jakarta: Penerbit Noura Books.

Robertson, Donald. 2019. How To Think Like A Roman Emperor The Stoic Philosophy Of Marcus Aurelius. New York: St. Martin’s Press.

Wibowo, A. Setyo. 2019. ATARAXIA: Bahagia Menurut Stoikisme. Yogyakarta: Kanisius.

Ainu Rizqi

Mahasiswa dan Freelancer

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content