Dunia saat ini sangat merindukan ketentraman dan kedamaian. Namun di sisi lain yang terjadi justru kecurangan, ketidakadilan, kekerasan, penyiksaan, penyulikan, dan pembunuhan. Kemudian kita sama-sama bertanya mengenai, apa itu perdamaian? Apakah kita tak bisa berdamai saja? Apa itu damai? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul di benak kita secara radikal setelah kita mencoba berkenalan dengan pemikiran Eric Weil yang memfungsikan filsafat sebagai perlawanan terhadap kekerasan.
Eric Weil lahir di Perchim, Jerman, pada 8 Juni 1904 dari pasangan Luis dan Ida Lowenstein. Dalam asuhan kedua orangtuanya yang merupakan pedagang, ia belajar mengenai arti perdamaian, arti bekerja, dan bergaul dengan beberapa lapisan masyarakat. Sejak kecil, Weil hidup dalam ikllim persaudaraan dan perdamaian. Hidup di tengah masyarakat majemuk mengharuskan seseorang untuk membangun iklim yang lebih menghargai perbedaan. Di rumah, Weil mempelajari makna keluarga sebagai sekolah untuk menumbuhkan dan menghayati nilai-nilai hidup bersama yang menghargai perbedaan, keragamaan, dan dialog.
Pada tahun 1910 Weil masuk sekolah dasar, dan di sinilah ia mulai berkenalan dengan manusia dengan latar belakang yang berbeda. Pengalaman tersebut menyakinkan Weil bahwa di sinilah timbul semangat untuk hidup bersama. Dari masa sekolah dasar hingga sekolah menengah atas Weil semangat dalam belajar dan ia memilih Jurusan Sastra. Minatnya pada filsafat tumbuh ketika ia mengusai bahasa Yunani dan Latin. Pada tahun 1922, setelah menyelesaikan pendidikan menengah atas, Weil mengambil dua fakultas yakni kedokteran dan filsafat di Berlin dan Hamburg. Namun minat pada filsafat mendorong Weil untuk berkenalan dengan pemikiran Plato, Aristoteles, Immanuel Kant, Hegel, dan Karl Marx. Pemikiran para filosof tersebut memberi pengaruh terhadap dirinya, terutama untuk menumbuhkan pemikiran dan moral. Tokoh-tokoh filsafat inilah yang menimbulkan ide bahwa kehidupan yang damai menjadi lahan sumbur untuk mewujudkan diri dan mengembangkan segala potensi yang dimilikinya.
Weil selanjutnya berhasil dan mendapatkan gelar doktor filsafat di Hamburg pada tahun 1928 atas bimbingan Ernst Cassirer, filosof yang mendalami pemikiran manusia tentang bahasa, simbol, dan budaya. Setelah selesai dari bangku kuliah, semangat belajar Weil semakin tumbuh. Menurutnya seorang ilmuwan adalah orang yang bisa membumi dan memberikan respons refleksi-kritis untuk memecahkan persoalan-persoalan sosial.
Ketika terjadi penganiayaan keturunan Yahudi yang dilakukan oleh Nazi, Weil pergi ke Paris. Kehidupannya di Prancis diwarnai jatuh dan bangun akan tetapi karena kehidupan inilah dia selalu tenang, membaca, dan menulis. Pada tahun 1950, Weil berhasil menerbitkan karya yang mendasari pemikirannya mengenai perjuangan perdamaian yang berjudul Logique de la Philoshopie, kemudian pada tahun 1957 ia menerbitkan Philosophie Politique (Filsafat Politik) dan Philosophie Morale (Filsafat Moral) tahun 1961. Kedua karya inilah menegaskan kepedulian dan ketegasan pada persoalan-persoalan kemanusiaan, yang lebih utama adalah tentang perdamaian.
Pada tahun 1966 Weil pensiun dari mengajar di Nice. Kegemarannya dalam berdiskusi, membaca, dan menulis adalah jalan damai yang tak bisa dibeli oleh siapapun. Pada tanggal 1 Febuari 1977 ia meninggal dan mewariskan perjuangan perdamaian yang harus diperjuangkan.
Filsafat Perdamaian Sebagai Perlawanan
Di antara literatur atau buku berbahasa Indonesia yang mengenalkan pemikiran Weil adalah Filsafat Perdamaian Menjadi Bijak Bersama Eric Weil ditulis oleh C.B Mulyatno diterbitkan oleh Kanisius tahun 2012. Buku tersebut terdiri atas delapan bab. Dari bab satu hingga lima, Mulyatno mengajak kita lebih mendalami dan berkenalan dengan Weil. Weil tak sepopuler filsuf barat lainnya seperti Albert Camus atau Jean Paul-Sartre namun gagasan dan pemikirannya nampak lebih besar bagi usaha mewujudkan perdamaian. Bab enam hingga delapan menyoroti konsep-konsep seperti melawan kekerasan, hidup bermoral, filsafat perdamaian.
Pada dasarnya, manusia sebagai mahluk yang tak bisa hidup sendiri, tidak setuju dengan perilaku-perilaku irasional atas dasar kemandekan berpikir. Kekerasan yang dilakukan oleh manusia berakal budi tidak akan disetujui dalam bentuk apapun. Namun jika kita lihat akhir-akhir ini, akal budi dikesampingkan. Hal inilah yang membuat Weil meninggalkan Jerman.
Penolakan terhadap kekerasan adalah dasar filsafat Weil. Weil banyak terinspirasi oleh Sokrates. Menurut Mulyatno “Sokrates merupakan tokoh yang berpengaruh terhadap pemikiran Weil. Sokrates telah mengalami penderitaan besar hingga ia mengorbankan nyawanya demi menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan.” Ia mencerminkan filsafat sebagai perjuangan untuk mencari kebenaran, di mana ia sering berhadapan dengan kebodohan yang keras kepala, kemapanan kuasa, dan kekerasan. Bukankah hidup enak lebih menggiurkan, walaupun harus berkompromi dengan setiap bentuk ketidakbenaran (kekerasan)?
Tindakan kekerasan menimbulkan amoralitas yang pada akhirnya menghantam nilai-nilai moralitas. “Pribadi bermoral dan bermartabat adalah pelaku sejarah hidup damai yang peduli terhadap pengembangan hidup bersama yang damai di tengah dunia ini” ungkap Mulyatno.
Filsafat kedamaian Weil hadir sebagai jawaban atas permasalah manusia yang pada dasarnya takut akan kekerasan. Menurut Weil, manusia memilih dua kemungkinan, kemungkinan pertama menjadi keras atau hidup irasional. Kehidupan seperti ini didasari pada insting-insting hawa nafsu dan egoisme. Kemungkinan kedua ialah kehidupan rasional, yang merupakan kehidupan yang terbuka pada dialog serta usaha konkret untuk membebaskan diri dari kekerasan. Memilih untuk membebaskan diri dari kekerasan berarti hidup dalam jalan filsafat.
Mentalitas pragmatis, mencari jalan pintas, dan budaya instan sering melemahkan semangat bersusah payah dalam mencapai sesuatu perkembangan hidup, baik secara kuantatif maupun kualitatif. Di tengah berkembangnya mentalitas pragmatis, Weil mengenalkan model berfilsafat yang humanis, edukatif, soliter, dan mendepankan kerja keras untuk mencapai suatu perkembangan hidup yang damai. Berfilsafat merupakan proses untuk memperkembangkan kehidupan pribadi-pribadi yang rasional-dialogis-sosial berdaya juang serta tahan uji dalam memperjuangkan kedamaian.
Jalan filsafat yang diusulkan Weil terdiri dari tiga bagian: 1) pertama, filsafat adalah jalan berpikir logis-rasional. 2) Kedua, filsafat adalah dialog untuk menemukan makna hidup. 3) Ketiga, proses filsafat berlangsung dengan dialog di tengah dunia ini. Di tengah kehidupan politik dan menciptakan sejarah untuk proses kebermaknaan hidup. Hidup bermakna atau bermoral adalah proses menciptakan hidup damai.