Salah satu kata yang sering diucap sebagai doa maupun pengharapan manusia di setiap harinya adalah agar ia hidup bahagia. Segala macam aktivitas yang dilakukan, entah itu bekerja, belajar, pergi ke suatu tempat, seluruhnya merupakan upaya menggapai tujuan sesudah itu; bekerja agar menghasilkan uang, belajar supaya mendapat nilai bagus. Tujuan juga dilakukan karena manusia seakan membutuhkan hal yang membahagiakan. Namun, apa itu kebahagiaan? Apakah bahagia sama dengan perasaan senang?

Meski keduanya sama dalam membuat hati berbunga-bunga, tetapi keduanya tidak serupa.

Pada umumnya, rasa senang muncul pada saat seseorang mendapatkan sesuatu. Contohnya: Akbar baru saja memperoleh buku. Karena Akbar menginginkan buku maka ia menjadi senang, selanjutnya ia akan melakukan hal-hal tertentu sebagai wujud kegembiraan, misalnya tersenyum-senyum sendiri, menceritakan kepada temannya bahwa ia telah menerima buku, atau mem-posting foto buku tersebut dalam instastory­-nya. Perasaan ini berlangsung sementara saja, jadi ketika euforia tersebut mulai padam, maka selesai sudah makna dari perasaan senang tersebut.

Kondisi bahagia sebenarnya tidak jauh berbeda, hanya saja durasi kebahagiaan cenderung lebih lama/berkelanjutan. “Keindahan” yang dirasakan saat bahagia menggerakkan diri untuk turut membagi perasaan tersebut. Dengan kata lain, kita “menerima” lalu ingin menyebarkannya (take and give).

Seperti yang telah sedikit disinggung pada paragraf pertama, bahwa kita melakukan upaya-upaya untuk mengharapkan muara yang lebih besar, yaitu kebahagiaan. Boleh dikatakan bahagia adalah garis finish, sementara kerja keras merupakan jalan menuju ke sana. Kerja keras di sini adalah usaha menuntaskan tujuan kita sebagai manusia untuk kemudian memeluk kebahagiaan. Meski muara masing-masing manusia sama, namun terdapat banyak jalur yang bisa ditempuh untuk menuju garis final. Tidak mengherankan bila persepsi tiap orang dalam menganggap suatu hal sebagai sumber kebahagiaan berbeda-beda. Jika demikian, masih mungkinkah ada satu tujuan pasti manusia untuk mencapai kebahagiaan?

Menurut Aristoteles, dalam pandangannya mengenai eudemonisme menggambarkan kemungkinan manusia untuk bahagia. Kondisi tersebut akan tercapai jika hidupnya telah menjalankan fungsinya dengan sebaik mungkin. Sementara keunggulan manusia yang membedakannya dengan makhluk lain adalah akal budi dan rasio. Maka manusia dapat meraih kebahagiaannya bila ia menjalankan dengan paling baik kegiatan-kegiatan rasionalnya secara konsisten1. Aristoteles menyontohkan teori tersebut seperti, tujuan terakhir seorang tukang sepatu adalah dengan membuat sepatu yang baik. Namun, bagaimana jika sang tukang sepatu tersebut semula bercita-cita menjadi polisi, tapi karena suatu kondisi ia mengharuskan angan-angannya lenyap.

Menurut Aristoteles, dalam pandangannya mengenai eudomonisme menggambarkan kemungkinan manusia untuk bahagia. Kondisi tersebut akan tercapai jika hidupnya telah menjalankan fungsinya dengan sebaik mungkin. Sementara keunggulan manusia yang membedakannya dengan makhluk lain adalah akal budi dan rasio. Maka manusia dapat meraih kebahagiaannya bila ia menjalankan dengan paling baik kegiatan-kegiatan rasionalnya secara konsisten[1]. Aristoteles menyontohkan teori tersebut seperti, tujuan terakhir seorang tukang sepatu adalah dengan membuat sepatu yang baik. Namun, bagaimana jika sang tukang sepatu tersebut semula bercita-cita menjadi polisi, tapi karena suatu kondisi ia mengharuskan angan-angannya lenyap.

Apakah ia tidak bahagia? Tentu saja, kebahagiaan bisa terjadi tidak hanya bergantung pada satu sudut pandang filosof saja. Ada banyak aspek yang menjadikan manusia bahagia atau tidak.

Apabila ditelik lebih lanjut, banyak dari usaha pemenuhan tujuan justru bersifat individual. Individu berupaya “memenangkan” diri sendiri daripada orang lain. Walau sebenarnya ada tujuan lebih besar yang ingin diraih. Contoh, seorang pengrajut akan mati-matian membeli benang wol yang tersisa pada sebuah toko karena di tempat lain benang wol habis terjual. Ia tidak peduli jika harus berdebat dengan pembeli lain. Di balik itu si pengrajut ingin berkarya dan membagikan kebahagiaannya pada khalayak. Tentu, persaingan terus terjadi dan tidak selalu berakhir dengan ruginya salah satu pihak, misalnya saja pada strategi yang dipakai antar perusahaan untuk menaikkan laba, strategi ini bisa bermacam-macam tanpa merugikan salah satu di antara mereka. Jika tadi contoh dari usaha yang nampak individual namun terdapat tujuan besar di balik itu (memberi kebahagiaan pada orang lain), bagaimana dengan sebuah kasus di mana seseorang sangat bekerja keras karena pernah direndahkan dan ia menghalalkan semua cara mencapai semua goals tanpa memikirkan orang lain. Usai mendapat satu reward ia terus menjangkau reward lain. Segala hasil jerih payah ia telan dan rasakan sendiri. Dari sini, take and give mengenai kebahagiaan sebenarnya masih bisa dipertanyakan lagi.

Jika tadi tujuan maupun proses mencapai tujuan diasumsikan seolah rintangan menuju kebahagiaan (yang merupakan garis finish), bagaimana bila perasaan bahagia diciptakan pada proses menuju itu sendiri. Sebab, garis finish bisa diartikan sebagai detik-detik terakhir atau masa setelah kehidupan; kematian. Kala perjalanan usai maka menguaplah segala kewajiban dan kepentingan-kepentingan. Selama manusia hidup ia terus terikat akan dua hal itu (kewajiban dan kepentingan), maka diperlukan kemahiran dalam memprioritaskan apa yang dianggap penting, mungkin ini memang tidak mengurangi beban/kewajiban, akan tetapi dengan memprioritaskan ataupun memilah hanya pada hal yang perlu diperhatikan akan membantu kita fokus terhadap tujuan.

Karena masih sukar menemukan apa itu tujuan sejati manusia, mari bergeser sedikit terlebih dahulu, anggap saja persoalan itu selesai, dan kini kita sedang hidup dalam kebahagiaan. Ternyata, setelah waktu demi waktu, cerita demi cerita, rasa bahagia bisa berubah menjadi sedih, kecewa, marah, dan perasaan tidak mengenakkan lainnya. Kebahagiaan itu dinamis, naik turun, menguat melemah. Saat mengalami fase sulit tersebut, diperlukan tiang kokoh tempat kita berpegang erat. Tiang tersebut adalah prinsip kehidupan. Prinsip bisa tercipta karena kita menganut suatu paham, meraciknya dari pengalaman, atau percampuran dari keduanya. Ketika kita sudah memiliki prinsip dalam menghadapi situasi sulit (terutama pada kondisi yang amat susah dirubah) maka layaknya seorang penghuni kapal karam yang bertahan menggunakan pelampung di badan, yang bisa dilakukan hanya bertahan menerima gelombang. Sebuah penerimaan. Menerima suatu kondisi tidak sama dengan menyerah. Penerimaan di sini bermaksud pada menerima keadaan tanpa kehilangan pengharapan. Di situlah keajaiban demi keajaiban berdatangan. Dalam prosesnya, penerimaan juga dapat diartikan laksana garis finish, sebab penerimaan adalah salah satu titik mempercayakan hal di luar kuasa kita, manusia, serta menjadi sinyal agar terus bergerak. Final untuk memutuskan terus berjalan. Penerimaan final ini akan lebih terasa “lega” bila ada cinta di dalamnya. Karena jikalau sudah cinta, tenggelam menikmati proses menuntaskan tujuan bisa terjadi tiap detiknya. Jadi, apa tujuan hidup manusia sesungguhnya?


[1] Bertens. 2013. Etika. Yogyakarta: Penerbit PT Kanisius

Pelajar di SMA Islam Malang

satu Respon

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.