Problem Emansipasi dalam Linearitas Louis Althusser dan Alain Badiou pada Marxisme

ILGWU Local 145 Strike Outside of Besserman's Dress Factory
ILGWU Local 145 Strike Outside of Besserman's Dress Factory

Kebaruan acap ditafsir sebagai gerak transformasi progresif dalam temporalitas. Bahkan, kebaruan dianggap niscaya. “Mentari baharu tiap harinya” dan “yang tak berubah ialah perubahan itu sendiri”, merupakan salah dua keyakinan para pembaharu. 

Perihal itu pula yang menjadi visi emansipasi dari sosok pemikir marxian kelahiran Maroko, Alain Badiou. Dunia lama telah ada sebagai situasi untuk dinegasikan oleh peristiwa menuju kelahiran dunia baru.

Tak hanya itu; dalam relung problematiknya, sebagaimana pengondisian sebelum dunia baru mewujud, juga menampakkan kebaruan. Kebaruan tersebut terurai melalui sebutan materialisme baru seperti paparan Geoff Pfeifer di bukunya berjudul The New Materialism (2015, p. 5). Alih-alih terbenam pada pembedaan antara materialisme kontra idealisme sehingga problem ekonomi-politik menguak, materialisme baru justru mengurai jerat struktur ekonomi-politik guna mengembangkan keluasan analisis di luar ekonomi-politik itu sendiri sampai kepada otonomi relatif dari superstruktur.

Tendensi demikian tampak menggejala sebagai upaya menciptakan sains ilmiah bagi Marxisme. Sains ilmiah sejauh memproduksi pengetahuan teoretis guna melihat dunia material lebih riil. Ialah Louis Althusser, di mana ia memberikan tesis keilmiahan bagi Marxisme lewat pembacaan terhadap patahan epistemik periode ideologis sampai saintifik dari Karl Marx dan rekonstruksi terhadap materialisme dialektis (diamat) beserta materialisme historis (histomat). Kemudian dari padanya hal tersebut menjadi inspirasi bagi Badiou untuk diradikalkan. Bilamana Althusser memberikan penjelasan bagi keilmiahan Marxisme melalui kebaruan problematik, Badiou lantas menerapkannya pada landasan teori-praktik produksi pengetahuan emansipatoris dengan mendedah hukum internal situasi sampai pada patahannya guna mewujudkan dunia baru.

Badiou mengurainya lewat peran matematika, terkhusus himpunan. Matematika ditempatkan pada pendasaran ontologis. Selayaknya tafsir Muhammad Al-Fayyadl bahwa Badiou telah mengurai sebuah “matematika materialis” di mana matematika dengan aneka postulatnya mampu memberi penjelasan bagi kemungkinan patahan radikal melalui revolusi sosial (2023, p. 179).

Jika dan hanya jika materialisme baru, menyangkut linearitas antara Althusser dan Badiou, menjadi ihwal krusial dalam menjelaskan proyek emansipasi yang konsekuensinya mengeliminasi persoalan ekonomi-politik demi keluasan, kebaruan, dan keilmiahan analisis Marxian; Lantas, sejauh apa emansipasi menyangkut kerangka itu mungkin?

Althusser dan Badiou dalam Persimpangan Materialisme Baru

Selain memiliki hubungan guru-murid, Althusser dan Badiou juga saling mengandaikan dalam korpus teoretisnya. Althusser telah membuka ruang teoretik yang darinya Badiou bertolak. Sementara, Badiou mampu mempertajam serta meradikalkan problem Althusser menyangkut produksi pengetahuan revolusioner pada Marxisme yang telah direkonstruksi sebelumnya oleh “guru”-nya itu.

 Sebagai pengondisian atas latar belakang pemikiran hingga kemungkinan emansipasi dari teorisasi Badiou, rekonstruksi Althusser terhadap Marxisme patut terlebih dahulu untuk dijelaskan.

Rekonstruksi bermula lewat sederet gugus pengetahuan baru guna menjawab aneka problem menyangkut pergulatan teoretik Marx dalam kerangka Althusser. Setiap gugus pengetahuan baru terdedah problem yang ingin dijawab. Setiap problem spesifik mengandaikan pengetahuan baru. Lantas setiap kebaruan teoretik terdapat “patahan epistemologis” di dalamnya (Althusser, 2005, pp. 32-38). Patahan itu tampak bagi Althusser tatkala pengembaraan teoretik Marx bergerak dari periode ideologis menuju saintifik (2005, p. 34). Pada periode ideologis, Marx masih berkutat dalam problem humanisme, rasionalisme, dan idealisme Jerman (Althusser, 2005, pp. 35-36). Sementara, periode saintifik memuat problem yang sama sekali lepas dari perkara ideologis sebelumnya menuju dan tiba pada diamat maupun histomat. Jadi, pengembaraan teoretis Marx ialah jejak langkah menemukan diamat sekaligus histomat.

Soal terakhir itulah yang kemudian dirumuskan oleh Althusser dengan keperluan mempurifikasi sains Marxis dari ideologi (borjuis), terkhusus Hegelianisme, sekaligus menerapkannya pada konstruksi sistematik terhadap transformasi sejarah. Diamat dimengerti sebagai filsafat maupun praktik teoretis Marxis; sementara histomat ialah konstruksi sistematik, yang sudah dikondisikan medan teoretisnya oleh diamat, mengenai transformasi sejarah: perihal relasi basis dan superstruktur. Oleh karenanya, diamat terlebih dahulu mengamankan basis teoretis agar histomat selaku konstruksi sistematik perihal transformasi sejarah menjadi mungkin.

Karena diamat mengondisikan histomat, maka mari bermula dari padanya. Mengenal diamat secara umum tak bisa terpisahkan dari filsafat Hegel persis karena Marx (maupun Engels) mengambil inspirasi soal dialektika Hegel. Hal demikian juga eksplisit tatkala Engels menuliskan tiga hukum diamat: 1) perubahan dari kuantitas ke kualitas; 2) negasi atas negasi; 3) kesatuan dari ihwal yang bertentangan (Suryajaya, 2014, p. 56). Ketiga hukum tersebut dapat dilihat korelasinya dalam “logika Hegel”. Kendati begitu, bagi Althusser di antara keduanya terdapat perbedaan tajam.

Perbedaan populer dapat dilihat dari pembalikan dialektika Hegel pada Marx: bilamana Hegel menyematkan dialektika pada roh atau ide untuk menyadari dirinya; berkebalikan dari itu, Marx menyisir dialektika pada alam material secara historis yang mengondisikan kesadaran. Tetapi, menurut Althusser pembedaannya tak sesederhana itu. Althusser melihatnya secara lebih radikal bahwa perkara dialektika Marx adalah sesuatu yang sama sekali berbeda dari Hegel (2005, p. 93).

Pertanyaan kemudian tersemat: dari manakah mesti memulainya? Hegel bermula dari perkara pure-being menuju kompleksitas dengan menempuh proses diferensiasi internal berupa kontradiksi (Suryajaya, 2014, p. 58). Soal ini kemudian ditulis oleh Althusser sebagai the auto-genesis of the concept (2005, p. 189). Konsep mencipta dirinya sendiri untuk menelurkan konsep-konsep lain sampai (kompleksitas) kenyataan. Oleh karenanya tak terlampau berbeda antara pikiran dan kenyataan itu sendiri. Hal demikianlah yang dituliskan oleh Althusser tatkala mendedahkan ungkapan Marx saat mengurai filsafat spekulatif Hegel: … Marx explains this to us quite clearly in The Holy Family where we see, in Hegelian speculative philosophy the abstraction fruit produce the apple, the pear and the almond by its own movement of auto-determinant auto-genesis… (2005, p. 190).

Berbeda dari Hegel, persoalan diamat Marx menurut Althusser berangkat dari perihal abstrak sampai pada produksi sesuatu konkret dalam pikiran (2005, p. 185). Hal ini mengandaikan bahwa persoalan konkret terdiri dari rangkaian abstrak yang kompleks. Sebut saja saat Marx berbicara soal komoditas; ia tak mengurai komoditas dari objek empiris melainkan konstruksi teoretis seperti kerja, nilai, dan sebagainya (Suryajaya, 2014, p. 60).

Lantas apa yang disebut sebagai dialektika Hegel menyangkut pure-being sampai pada diferensiasi internalnya untuk menelurkan konsep-konsep lain hingga (kompleksitas) kenyataan dinyatakan Althusser sebagai sebuah mitos ideologis (2005, p. 191); di mana telah mencampurkan konsep (selaku pure-being) dengan kenyataan sehingga terperosok pada klaim idealis atas kenyataan. Maka darinya, agar tak terperosok pada klaim idealistis itu, Althusser tak memaksakan diamat selaku kategori berpikir ke dalam kenyataan. Konsekuensinya diamat hanyalah pendekatan intra-teoretik yang berguna untuk mempurifikasi mitos ideologis maupun klaim idealistis seperti terurai dalam dialektika Hegel.

Pencampuran konsep atas kenyataan dalam Hegel terlihat pada seluruh kontradiksi; entah itu konflik, perang, atau (bahkan) perjuangan kelas yang hanya direduksi sebatas bayang-bayang pengenalan-diri dari Roh. Berkenaan dengan problem kenyataan inilah lalu Althusser merekonstruksi histomat. Jadi, konsekuensinya histomat akan melibas tendensi yang melihat kenyataan dari “esensi terselubung” lalu kemudian menerapkannya pada kenyataan transformasi sejarah; menyangkut relasi basis dan suprastruktur.

Termasuk pembalikan sederhana Marx atas Hegel bagi Althusser memiliki tendensi “esensi terselubung”. Jika dan hanya jika dinyatakan bahwa Marx membalik Hegel: dari pereduksian roh hingga determinasi ekonomis, maka masih mengandaikan suatu “esensi terselubung”. Hanya perkaranya saja yang berpindah menjadi ekonomisme (Althusser, 2005, p. 108). Agar berbeda sama sekali menyangkut perkara dasar “esensi terselubung” itu Althusser membedah otonomi relatif dari suprastruktur (2005, p. 111). Jadi, kenyataan tak hanya ditentukan oleh modus produksi ekonomistik, melainkan terdapat kemungkinan “otonomi relatif” dari suprastruktur yang mengondisikan basisnya (Althusser, 2005, p. 100). Soal ini secara tekstual mengacu pada surat Engels untuk Joseph Bloch; yang isinya kurang lebih menyatakan bilamana elemen penentu ialah perihal ekonomistik saja ia tak ubahnya seperti frase yang tak masuk akal (1986, p. 682). Ditambah kenyataan sejarah, menurut Althusser, mewujudkan-dirinya melalui dunia suprastruktur multi-bentuk (2005, p. 112).

Aneka perkara demikian yang kemudian menjadi landasan bagi Badiou untuk menuntaskan medan problematik Althusser ke dalam produksi pengetahuan revolusioner dengan menaruhnya pada kerangka matematis, lebih khusus himpunan, guna menunjukkan penetapan situasi status quo sampai patahan radikal atasnya.

Sebagaimana rekonstruksi Althusser mengenai diamat dan histomat; di mana diamat ialah medan teoretis untuk membersihkan mitos ideologis, sementara histomat berkenaan dengan konstruksi sistematik transformasi sejarah menyangkut otonomi relatif suprastruktur terhadap basisnya. Badiou kemudian merangkum persoalan pertama pada problem kejamakan yang mungkin dalam semesta matematis (teori himpunan) dan merangkum persoalan kedua terkait membuncahnya peristiwa emansipatif pada ranah penetapan situasi.

Soalnya tak seperti Martin Suryajaya dalam bukunya berjudul Alain Badiou dan Masa Depan Marxisme. Ia membentangkan histomat menyangkut situasi dalam semesta matematis (2014, p. 103), sementara diamat pada peristiwa emansipatif (2014, p. 149). Apabila demikian, terdapat perkara ketertukaran di mana diamat seharusnya berkenaan dengan medan teoretis malah ditempatkan pada kenyataan peristiwa emansipatif, begitu sebaliknya tatkala histomat selaku konstruksi sistematik sejarah menyangkut peristiwa emansipatif justru berada dalam ranah teoretik perihal situasi di semesta matematis. Perkara selanjutnya juga tak seperti pernyataan tertulis dari Danny Pattiradhawane pada laman Indoprogress yang menyatakan bahwa seluruh proyek Badiou di bukunya Being and Event ialah traktat teoretik dan oleh karenanya patut ditempatkan di ranah diamat saja (2011). Apabila demikian, lantas bagaimana konstruksi Badiou soal kenyataan peristiwa emansipatif tatkala ia menyinggung Revolusi Perancis ditempatkan (2005, p. 180)?

Untuk menelusur perihal kejamakan yang mungkin dalam semesta matematis melalui teori himpunan; selaku kajian intra-teoretik, pertama-tama Badiou mengafirmasi soal kejamakan-yang-majemuk atau kejamakan inkonsisten (inconsistent multiplicity). Hal demikian menandaskan bahwa ia mungkin di dalam pra-penghitungan sebelum menjadi yang-satu. Sehingga tatkala penghitungan menuju yang-satu terjadi, sebelumnya terlebih dahulu dikondisikan oleh kejamakan-yang-majemuk (Badiou, 2005, pp. 24-25). Lewat operasi penghitungan menuju yang-satu lantas menghimpun kejamakan inkonsisten tersebut menjadi kejamakan konsisten (consistent multiplicity) atau presentasi yang-telah-terhitung (Badiou, 2005, p. 24). Dalam koridor himpunan, struktur kejamakan konsisten memiliki relasi keanggotaan (belonging) dengan semesta yang terhitung menjadi satu. Unit daripadanya kemudian disebut sebagai elemen. Soal ini nampak memiliki kemiripan dengan Althusser saat membilang bahwa sesuatu yang-satu terdiri dari aneka konstruksi majemuk yang melingkupinya terlebih dahulu.

Lalu; menyangkut keanggotaan tadi, sekaligus unitnya yakni elemen, senantiasa memunculkan ekses ketercantuman (inclusion) yang memiliki unit bagian. Hal ini terdedah melalui sistem aksioma himpunan pangkat (power set axiom) dari Zermelo-Fraenkel (Devlin, 1993, p. 40).

Apabila keanggotaan menghitung yang-satu dari kejamakan-yang-majemuk; sedangkan, ketercantuman ialah kasus khusus dari keanggotaan atau keanggotaan yang diperanggotakan (Suryajaya, 2014, p. 95). Oleh karenanya, alih-alih sebagai presentasi, ketercantuman nampak merepresentasikan presentasi itu sendiri.

Melalui rumusan himpunan inilah penetapan situasi (Suryajaya, 2014, p. 106); beserta konsistensi pemadatannya lewat representasi (Setiawan, 2020), selaku status quo, dapat terlihat.

Namun, secara inheren pula, himpunan terkandung di dalamnya sebuah himpunan kosong. Himpunan kosong-lah yang mendasari himpunan. Penghitungan dari sebuah himpunan secara laten meninggalkan sisa bagi ketakterhitungan karena himpunan pada-dirinya tak dapat menghitung keseluruhan bagian sampai elemen yang ingin dihimpunnya. Soalnya terdapat inkonsistensi seperti terdedah pada paradoks Russell (Setiawan, 2020, pp. 17-18). Dapat dimisalkan sebagai berikut:

R = \{A | A \notin A\}

Berarti A elemen R jika dan hanya jika A bukan elemen dari A. Lalu, akan timbul paradoks apabila mengajukan sebuah pertanyaan: apa hanya A elemen dari R tersebut, apakah mungkin R elemen dari R itu sendiri?

Bertolak dari ketakterhitungan laten tersebut kemudian memungkinkan untuk lahirnya peristiwa emansipatif. Kemungkinan bagi kemunculannya terletak pada tepi sebagai potensialitas dari peristiwa emansipatif itu sendiri. Ia potensialitas yang bisa menjadi aktual atau bahkan impoten. Oleh karenanya, peristiwa emansipatif bisa dikatakan telah-ada secara historis (kendati pada mulanya juga sesuatu yang-akan-ada), atau hanya sekedar potensialitas saja.

Perkara pertama dicontohkan oleh Badiou sendiri terkait keterhubungannya dengan Revolusi Perancis (2005, p. 180). Mereka yang tak terhitung seperti petani dan rakyat miskin lainnya mampu membuncahkan sebuah revolusi di negeri bekas pimpinan Raja Louis XVI itu.

Sementara, perkara kedua hanya dimungkinkan sejauh sebagai potensi. Artinya, peristiwa emansipatif dari yang-tak-terhitung belum mewujud. Daripadanya patut dinyatakan bahwa peristiwa emansipatif mustahil untuk dibahasakan karena sama sekali lain dengan situasi atau aparatus pengetahuan dominan (juga disebut: ensiklopedia) (Setiawan, 2020, p. 24). Situasi yang darinya aparatus pengetahuan dominan mewujud selalu mendeterminasi dan melarang transformasi progresif sekaligus radikal dari peristiwa emansipatif. Bila demikian, lantas memungkinkan untuk berpaling guna melihat positivitas dari subjek selaku penyongsong peristiwa emansipatif itu (Al-Fayyadl, 2023, p. 188).

Tak tanggung, subjek di sini bisa dikatakan sebagai subjek radikal yang militan karena kesetiaannya pada gagasan dasar peristiwa emansipatif menyangkut transformasi progresif dan kemudian bersimpati, mengikuti, hingga memperjuangkan pada titik terjauhnya guna (balik) mendeterminasi bahkan membongkar situasi. Positivitas dari subjek serta kesetiannya pada gagasan dasar peristiwa emansipatif menyangkut transformasi progresif memperbesar kemungkinan bagi kehadiran peristiwa emansipatif itu.

Problem bagi Emansipasi

Mari kita bertolak dari syarat material bagi kemungkinan histomat, sejauh konstruksi histomat berdasar linearitas Althusser-Badiou. Lebih jauh, mari kita bertanya: apa syarat material agar histomat itu mungkin? Bila dikatakan suprastruktur bisa melakukan umpan balik dan lalu mengondisikan basisnya (disebut Althusser sebagai overdeterminasi (2005, pp. 87-128)) atau ketakterhitungan laten penyebab kemunculan bagi potensialitas peristiwa emansipatif, lantas apa yang harus disyaratkan secara material agar hal tersebut mungkin?

Overdeterminasi hanya nampak sebagai sebuah postulat sehingga secara objektif tak dapat dipertanggungjawabkan prakondisi penopangnya secara material. Bilamana suprastruktur memiliki otonomi relatif terhadap basisnya (Althusser, 2005, p. 111), bagaimana suprastruktur memiliki otonominya sendiri terhadap basis? Padahal, ia terkondisikan juga sebelumnya oleh basisnya. Bahkan, Althusser sendiri tak menampik bahwa suprastruktur terbentuk dari basis (determining instance) (Suryajaya, 2014, p. 70). Artinya pula bisa saja apa yang disebut sebagai otonomi relatif tak sepenuhnya otonom dan relatif karena sudah terkontaminasi sebelumnya oleh basis. Perkara sejauh mana dan pada tingkatan seperti apa suprastruktur memiliki otonomi relatif tak secara koheren terjelaskan dalam rekonstruksi Althusser terhadap histomat tersebut.

Hal demikian, di mana suprastruktur tak terjelaskan secara spesifik mengapa dikatakan otonom terhadap basisnya, akan kebingungan dalam melihat relasi antara kesadaran, realitas ekonomi, dan realitas biologi sebagai sebuah perubahan emansipatif. Sebuah relasi yang dirangkum oleh Martin Suryajaya tatkala menuliskan penutupan syarat material sebagai proses klasifikasi atas totalitas kenyataan berdasarkan kriteria tertentu (2016, p. 70), selaku metode dari Marxisme itu sendiri. Terkatakan relasi antara basis dan suprastruktur yang terjejer dalam realitas biologi, realitas ekonomi, dan kesadaran. Di mana relasi tersebut terstruktur berdasar bentuk hubungan spesifik antar elemennya berlandaskan pengondisian absolut maupun relatif.

Basis secara niscaya mengondisikan secara absolut suprastrukutur. Artinya, basis mengondisikan suprastruktur secara absolut jika dan hanya jika agar suprastruktur mungkin, keberadaan basisnya niscaya diandaikan. Sementara, pengondisian relatif dari suprastruktur ke basisnya jika dan hanya jika suprastruktur mengondisikan basis sejauh dalam batasan yang dimungkinkan oleh basis.

Bila dikontekstualisasi melalui stratifikasi kenyataan realitas biologi, realitas ekonomi, dan kesadaran maka relasi basis dan suprastruktur akan dilihat sebagai berikut:

Realitas biologi merupakan prakondisi absolut dari keberadaan ekonomi, karena agar realitas ekonomi mungkin mesti terdapat konstruksi alam biologis sebagai penopangnya. Meskipun begitu, realitas ekonomi juga dapat mengondisikan secara relatif realitas biologi selaku penampangnya, bisa dimisalkan tatkala penerapan proses produksi dan reproduksi ekstraktif dalam kapitalisme yang memengaruhi kerusakan ekosistem biologis. Soal ini tetap berada pada kenyataan alam biologis tentunya.

Selanjutnya, realitas ekonomi mengondisikan secara absolut kesadaran, sebagaimana proses produksi dan reproduksi kapitalisme memproduksi hasrat “kekurangan” pada komoditas sehingga intensi terhadap konsumerisme yang akan berpengaruh terhadap eksploitasi realitas biologis untuk memenuhi intensi tersebut tak terelakan. Sebaliknya, kesadaran mengondisikan secara relatif realitas ekonomi. Intensi terhadap perubahan emansipatif dari proses produksi dan reproduksi kapitalisme akan mungkin terjadi saat kapitalisme itu sendiri, dengan kontradiksi internalnya, mendegradasi pemenuhan hidup subsisten semesta ekosistem biologis.

Soal demikian yang tak tampak dalam overdeterminasi-nya Althusser. Seperti dikemukakan di muka mengenai relasi antara kesadaran, realitas ekonomi, dan realitas biologi: akan seperti apa syarat kemungkinan otonomi relatif dari realitas ekonomi ke realitas biologi maupun dari kesadaran ke realitas ekonomi? Kemudian, sejauh mana laku otonomi dan relatif dalamrangkai kata “otonomi relatif” itu dalam batasan yang dimungkinkan oleh basisnya? Dan yang lebih penting lagi, bagaimana emansipasi pada kenyataan terdedah atas nama otonomi relatif dalam rangkaian basisnya? Pertanyaan menggantung tatkala otonomi relatif diandaikan sebagai postulat layaknya rekonstruksi Althusser terhadap histomat.

Sementara itu, pada rumusan visi emansipatorisnya, Badiou nampak menjelaskan ketakterhitungan tersemai hanya sebagai aksioma dari kerangka matematisnya sajasehingga persoalan emansipasi rawan tergelincir pada pengulangan gagasan yang tak menjelaskan apapun, seperti tautologi: apa yang mendasari ketakterhitungan ialah ketakterhitungan itu sendiri. Hal tersebut juga memiliki andil pada semesta subjek yang tak memiliki basis material sama sekali. Subjek emansipasi tak lebih sebagai subjek dengan kesetiaan ideologis saja lantaran tak terkondisikan lewat analisis mengenai syarat material bagi emansipasi. Lalu, apa yang mau disertai apabila syarat material sama sekali luput dari analisis dan hanya berpegang pada aksioma ketakterhitungan saja? Tak ada batasan serius siapa subjek dalam peristiwa emansipatoris, lantas apa perbedaan objektif antara subjek emansipasi dengan teroris reaksioner yang tak terhitung pada rezim kedaulatan sekaligus memiliki kesetiaan radikal bahkan militan? Soal inilah yang kemudian menjadi hutang tak terselesaikan dalam persoalan Badiou mengenai histomat bagi peristiwa emansipatif.

Pertanyaan di muka soal apa yang harus disyaratkan secara material agar overdeterminasi maupun ketakterhitungan laten penyebab kemunculan bagi potensialitas peristiwa emansipatif nampak tak terjawab pada histomat berdasar linearitas Althusser-Badiou. Lantas, daripadanya memang perkara basis material yang menyangkut syarat keberadaan seperti ekonomi maupun realitas semesta fisik tak bisa diceraikan begitu saja sebagai analisis bagi kemungkinan emansipasi itu sendiri. Konsekuensinya apa yang disebut sebagai kenyataan fisik pada histomat mau tak mau memengaruhi landasan teoretik kemudian untuk dijadikan bahan analisis sehingga terlihat mustahil apabila mendistingsikan antara ranah teoretik saja selaku diamat dengan kenyataan fisik selaras histomat. Lalu; bila begitu, apakah memang sepatutnya perlu dibedakan secara ketat antara diamat dan histomat sebagai yang-intra-teoretik dan yang-nyata-historis? Penulis tak akan merekonstruksi sebuah jawaban darinya di sini, kini pertanyaan tersebut hanya perlu untuk dijadikan diskursus sembari penulis mencari konstruksi jawabannya kelak.

Ambrosius Emilio

Ambrosius Emilio adalah seorang mahasiswa ilmu politik di UPN Veteran Jakarta

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.