Keadilan. Sebuah terma sekali lalu peristiwa yang tak mudah dikurung pada sebuah definisi. Lebih-lebih di dunia serba pasca saat ini, penundaan atas definisi menjadi semacam mantra sehingga ketakterdefinisian menjelma kebenaran dalam versi alternatifnya. Namun, ketakterdefinisian membawa konsekuensi bagi peluruhan semesta keadilan; entah konsep, momen, maupun laku keadilan itu sendiri. Padahal keadilan senyatanya konkret, sekonkret mereka yang tercerabut dari sumber penghidupan akibat perampasan demi akumulasi kekayaan.
Apa itu keadilan? Pertanyaan mengakar pemicu saling silang pendapat yang usianya selaras dengan kehidupan manusia itu sendiri. Tak terhitung sudah berapa banyak jawaban darinya. Hukum Hammurabi menyingkap keadilan lewat sebuah pengandaian: “jika seseorang mematahkan gigi, giginya mesti dipatahkan pula.” Abad modern membasiskan keadilan pada imperatif kesetaraan martabat manusia. Belakangan, keadilan didekati lewat ketakterbatasan sehingga yang-lain dapat mendedahkan diri dalam kekhasan yang sebelumnya terkungkung oleh keterbatasan.
Kemajemukan perihal keadilan memang tak perlu dicari mana yang paling benar dan ajek dari zaman ke zaman. Hanya mesti diterima melalui keterbukaan sembari ditelaah secara kritis. Membuka diri bagi semesta keadilan di satu sisi, mereguk tanpa kehilangan rasa pada sisi lainnya.
Salah satu diskursus soal keadilan yang amat mempengaruhi dunia kontemporer tidak bisa tidak apabila kita tak menaruh perhatian perihal teori keadilan besutan John Rawls. Bak oase di padang gurun, gugus teori dalam A Theory of Justice seakan menjadi penyegar dahaga selama periode dehidrasi filsafat politik berkenaan dengan tema keadilan selama abad ke-20. Saking masyhurnya bahkan pengkritiknya memberikan sematan bahwa A Theory of Justice merupakan karya mendalam menyangkut filsafat politik (Nozick, 1974). Keadilan ialah jantung filsafat politik Rawls. Lebih spesifik perihal keadilan sosial sebagai substratum keadilan.
Rawls dan Keadilannya
Keadilan adalah kebajikan utama dalam institusi sosial, sebagaimana kebenaran dalam sistem pemikiran. Suatu teori, betapapun elegan dan ekonomisnya, harus ditolak atau direvisi jika ia tidak benar; demikian juga hukum dan institusi, tidak peduli betapapun efisien dan rapinya, harus direformasi atau dihapuskan jika tidak adil.
Rawls, 1999 [ 1971]
Mari kita dasarkan lewat pekikan populer di muka guna mengarungi keadilan yang terkandung dalam rahim A Theory of Justice.
Seperti kebenaran pada sistem pemikiran, bagi Rawls persoalan ‘apa yang adil’ tak mengarah ke permasalahan ‘yang baik’ melainkan ‘yang benar.’ Olehnya, ‘yang benar’ selalu mendahului ‘yang baik’ dan tak semata ‘yang benar’ juga ‘yang baik.’ Karena itu pandangan tentang kebaikan tertinggi melalui terma eudaimonia lekas ditampik. Konsekuensi daripadanya terlihat lewat kritik terhadap pandangan utilitarianisme. Dalam pandangan utilitarianisme ‘yang adil’ ialah ‘yang baik,’ ‘yang baik’ selaras dengan manfaat (utility) bagi kemaslahatan sebanyak mungkin orang. “The greatest happiness of the greatest number,” itulah slogannya. Selain rawan terjatuh pada tirani mayoritas akibat klaim kemaslahatan bersama sehingga mengorbankan hak dan kebebasan orang atau kelompok di luar mayoritas, lebih khusus lagi, menaruh ‘yang adil’ juga ‘yang baik’ akan menemui problem menyangkut paham monistik tentang kebaikan. Sekalipun ‘yang benar’ tak kalah problematikanya setidaknya ia masih dapat diverifikasi dan difalsifikasi letak kebenaran dan ketidakbenaran nya. Lantas, apa ‘yang benar’ bagi ‘yang adil’ menurut Rawls?
Apabila peranan subjek selalu mendahului dan didahului maka subjek menyangkut keadilan perlu untuk dijelaskan terlebih dahulu. Berkenaan dengan subjek keadilan perkaranya terletak pada dimana subjek keadilan itu mesti ditempatkan. Karena teori keadilan Rawls berada dalam diktum keadilan sosial maka ia menempatkan subjek keadilan pada institusi-institusi sosial. Selain memungkinkan untuk mengakomodir banyak individu tatkala mengejawantahkan praktik sosial sesuai prinsip yang-sosial, menaruh subjek keadilan dalam problem institusi juga akan memahami sistem aturan publik mana yang adil dan tidak adil. Lantaran daripadanya relasi individual dapat dikatakan adil kendati secara institusi bertolak belakang sehingga memicu persoalan ketidakadilan struktural. Institusi sendiri berperan untuk mendistribusikan hak serta kewajiban fundamental sekaligus penentuan pembagian keuntungan atas kerja sama sosial. Institusi yang dimaksud berkenaan dengan konstitusi politik, prinsip ekonomi, dan tatanan sosial. Kebebasan berpikir, pasar kompetitif, beserta kepemilikan privat alat-alat produksi merupakan penjabaran dari institusi sosial utama.
Untuk menata keadilan dalam subjek keadilan itu disemai dua prinsip mendasar, yakni:
- Pertama, setiap orang mempunyai hak setara atas kebebasan dasar paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang.
- Kedua, ketimpangan sosial dan ekonomi mesti diatur sedemikian rupa sehingga:
- Diharapkan memberi keuntungan bagi semua orang terkhusus dampak menguntungkan bagi anggota masyarakat yang paling tidak beruntung;
- Imperatif dikaitkan dengan jabatan beserta posisi terbuka bagi semua berdasar kesetaraan kesempatan yang fair. (Rawls, 1999 [1971])
Prinsip keadilan pertama menyangkut kesetaraan dalam kebebasan dasar. Sementara prinsip keadilan kedua poin pertama berkenaan dengan perbedaan, sedangkan poin keduanya disebut kesetaraan kesempatan.
Yang dimaksud sebagai kesetaraan dalam kebebasan dasar sebagaimana prinsip pertama ialah kesetaraan perihal: kebebasan politik (hak untuk memilih dan dipilih untuk menduduki jabatan publik) bersama dengan kebebasan berbicara dan berserikat, kebebasan berkeyakinan dan berpikir, kebebasan dalam mempertahankan hak milik (personal), dan kebebasan dari penangkapan sewenang-wenang.
Problem kesetaraan secara luas dimengerti sebagai perlakuan sama bagi semua orang. Sebuah kesetaraan dimungkinkan karena sebagai manusia ia tak dapat memilih untuk dilahirkan dalam kondisi seperti apa, bisa saja seseorang dilahirkan di posisi sosial yang tak menguntungkan dan kontras dengan itu seseorang lainnya diberkahi keberlimpahan sekali lalu keuntungan sejak kelahirannya. Oleh karenanya kesetaraan ialah situasi aksiomatik dalam mengurai distingsi atas posisi sosial di mana manusia dilahirkan.
Selain daripadanya, kesetaraan dalam kebebasan dasar hanya mungkin bahwa kebebasan dasar pada-dirinya merupakan kebebasan jika dan hanya jika dibatasi demi kebebasan itu sendiri. Kebebasan yang harus memperkuat sistem bagi penikmatan kebebasan semua orang.
Meskipun begitu, tak segala aspek harus benar-benar setara selain kemelekatannya dengan situasi sosial di mana seseorang dilahirkan maupun kebebasan dasar yang dimilikinya. Justru ketimpangan sosial dan ekonomi dapat dimungkinkan. Kendati demikian, hadirnya ketimpangan tersebut bukannya tanpa syarat. Ketimpangan secara imperatif ditata sedemikian rupa dengan desain; menguntungkan kondisi mereka yang menderita dan tersisih dari masyarakat, serta posisi-posisi jabatan maupun otoritas institusional mesti terbuka tanpa diskriminasi apapun sehingga setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengakses posisi institusional tersebut.
Problem ketimpangan yang ditata sedemikian rupa ternyata terkandung di dalamnya kaidah pengutamaan atau prioritas keadilan (Rawls, 1999 [1971]). Skema urutan berdasar prioritas nampak sedikit agak berbeda dibanding prinsip keadilan sebelumnya. Berkenaan dengan peluang dalam kesetaraan kesempatan senyatanya mendahului perkara perbedaan atas ketimpangan bagi penguntungan masyarakat menderita dan tersisih. Tak sampai di situ, problem ketimpangan juga mesti didahului prinsip pertama (Rawls, 1999 [1971]). Jadi, perkara perbedaan atas ketimpangan bagi penguntungan masyarakat menderita dan tersisih terlebih dahulu dikondisikan oleh kemungkinan ketimpangan dengan peluang dalam kesetaraan kesempatan dan dikondisikan pula melalui hak kesetaraan atas kebebasan dasar paling luas. Maka dari itu, tak mungkin adanya perbedaan atas ketimpangan bagi penguntungan masyarakat menderita dan tersisih tanpa didahului kemungkinan ketimpangan dengan peluang dalam kesetaraan kesempatan, sama halnya tatkala problem ketimpangan itu hadir tanpa didahului hak kesetaraan atas kebebasan dasar paling luas.
Argumen Posisi Asali
Aneka soal terhadap prinsip keadilan seperti di muka menjadi mungkin bilamana terlebih dahulu melewati kesepakatan atas pengaturan struktur masyarakat dari orang-orang dengan kehendak bebas dan setara sebagai pelaku moral di dalam situasi fair antar mereka. Laksana tradisi kontrak sosial, kesepakatan menjelma sebagai tiang pancang bagi pengaturan struktur masyarakat yang adil. Agar menciptakan struktur masyarakat yang adil ketersituasian atas kesepakatan itu haruslah fair. Rawls menggagas ketersituasian tersebut dengan mengandaikan suatu rekaan ‘posisi asali’ (original position). Posisi asali hanya murni sebagai situasi pengandaian awal dan memang secara historis tak pernah terjadi sama sekali (Rawls, 1999 [1971]). Posisi asali digunakan Rawls pula untuk menengahi perbedaan posisi dalam situasi sosial masyarakat politis. Lalu, apa itu sebenarnya posisi asali?
Bayangkan saat pembentukan sebuah tatanan politis serupa negara. Semua orang yang kelak akan menjadi bagian dari warga negara tersebut tak tahu dan tak mengenal segala perbedaan seperti posisi kelas dan status sosial, distribusi aset, identitas, situasi khusus tatanan politis, tingkat pendidikan, maupun unsur perbedaan lainnya. Situasi tak mengenal segala perbedaan itulah yang dinamakan sebagai posisi asali. Tetapi posisi asali tak serta merta dimungkinkan begitu saja tanpa adanya peranti metodologis yang melingkupinya. Agar posisi asali dimungkinkan perlu cadar ketidaktahuan selaku peranti metodologis guna melepaskan segala perbedaan pada masyarakat politis.
Berada pada posisi asali dengan peranti metodologis cadar ketidaktahuan memungkinkan apabila semua orang membentuk sebuah tatanan politik yang adil. Sebab akan menjamin bahwa tak seorangpun diuntungkan atau dirugikan berdasar perbedaannya. Karena semua orang berada di situasi yang sama, maka memungkinkan bagi setiap orang untuk tidak terjatuh ke dalam bias mendukung kondisi maupun kepentingannya sendiri lewat perbedaan khas masyarakat politis (kaya atau miskin, laki-laki atau perempuan, dan mayoritas atau minoritas). Posisi asali melalui sokongan metodologis cadar ketidaktahuan memang bermaksud untuk mengantisipasi situasi aktual karena pada situasi aktualnya seorang kaya bisa saja menyematkan keadaan adil kendati hanya bermaksud mengakumulasikan kekayaannya semata, laiknya orang miskin yang mengaitkan keadilan dengan memeras orang lain seraya ongkang-ongkang kaki. Dengannya pula memungkinkan setiap orang memiliki rencana hidup rasional tatkala mengonstruksikan perihal keadilan dalam tatanan politik kelak karena mengedepankan problem sosial primer universal alih-alih partikularitas.
Problem Posisi Asali
Sudah dikatakan sebelumnya bahwa posisi asali merupakan ketersituasian awal di mana tatanan politis kelak dapat dimungkinkan untuk adil. Memang posisi asali hanya sekedar rekaan bagi prakondisi keadilan tanpa benar-benar terjadi secara historis di dunia faktual. Namun, persis di situlah letak masalah bagi keseluruhan bangunan teori keadilan. Selain imajinatif, perihal keberpikiran dalam posisi asali sedikit banyaknya membuat prinsip keadilan yang dicipta menjadi absurd dan tumpul.
Dijelaskan bahwa posisi asali dengan peranti metodologis cadar ketidaktahuan telah membuat pihak-pihak di dalamnya berada pada kondisi tanpa pengetahuan menyangkut perbedaan situasi aktual masyarakat politis. Tetapi mereka diandaikan begitu saja tahu mengenai fakta-fakta umum soal politik dan prinsip-prinsip teori ekonomi; mengetahui basis organisasi sosial maupun hukum psikologi manusia dan mengetahui fakta umum apapun yang mempengaruhi pilihan bagi prinsip keadilan (Rawls, 1999 [1971]). Pertanyaannya, dari mana pengetahuan yang diandaikan begitu saja itu dimungkinkan dalam keadaan-tanpa-pengetahuan akibat cadar ketidaktahuan? Lantas, jika dan hanya jika mereka tahu mengenai keumuman perihal politik maupun prinsip teori ekonomi bukankah pada-dirinya aktualitas masyarakat politis telah menerobos situasi keadaan-tanpa-pengetahuan sebab problem tentang politik sekaligus prinsip ekonomi tak bisa serta merta terlepas dari faktualitas masyarakat politis termasuk perbedaannya kendati mereka hanya dibutakan perihal posisi sosialnya dalam masyarakat politis? Jika dan hanya jika para pihak telah dibutakan mengenai posisi sosialnya (lagi-lagi) dari mana mereka tahu apabila terdapat posisi sosial–jika tak mau dikatakan stratifikasi–dalam tatanan politik kelak? Jangan-jangan cadar ketidaktahuan menidak pada ketidaktahuan karena telah membiarkan kondisi faktual masyarakat politis menerobos ke keadaan-tanpa-pengetahuan?
Bilamana diringkas, problem di muka berawal dari argumen Rawls mengenai cadar ketidaktahuan sebagai peranti metodologis bagi posisi asali dan di dalam posisi asali semua orang adalah makhluk rasional sehingga mampu mencipta konsep keadilan bagi tatanan politis kelak (Rawls, 1999 [1971]). Perkara keadilan dari posisi asali mewujud dengan terciptanya dua prinsip keadilan yang masyhur itu. Menyangkut hal ini, selain beberapa pertanyaan kritis sebelumnya, penulis sedikitnya juga meragukan perihal sejauh mana teori keadilan (termasuk prinsip keadilan) Rawls dapat menjadi laku emansipasi atas keadilan itu sendiri di dunia faktual. Keraguan utamanya berkenaan dengan aspek pembayangan akan rasionalitas tanpa mencoba bertolak dari pengondisian dunia materi sebagai ruang konkret untuk diemansipasikan atas nama keadilan.
Selaiknya kritik terhadap para idealis persis tatkala Marx memberi catatan terhadap idealisme Hegel, yang dicatat pula oleh Colletti, selaras dengan sergahan Aristoteles pada konsep idea Plato (Colletti, 1975). Menandaskan “ada” pada pikiran, di mana merupakan inti dari idealisme, telah membuang ada-yang-berpikir. Padahal mustahil apabila (predikat) berpikir ada tanpa (subjek) makhluk-yang-berpikir (dalam konteks ini manusia). Bukan berpikir sebagai landasan keberadaan bagi makhluk-yang-berpikir tetapi karena makhluk-yang-berpikir “ada” (terkhusus menyangkut yang-riil) maka berpikir menjadi mungkin. Bagi Rawls pembayangan rasionalitas dalam posisi asali memungkinkan bagi hadirnya prinsip keadilan, namun apa mungkin rasionalitas bagi prinsip keadilan “ada” tanpa makhluk rasional (manusia) yang menginginkan keadilan?
Dibutuhkan prakondisi material agar berpikir menjadi mungkin oleh makhluk-yang-berpikir. Tetapi sebelum berpikir menjadi mungkin oleh makhluk-yang-berpikir tentu keberadaan makhluk-pada→bagi-dirinya (dibaca: manusia) merupakan pengkondisian atas makhluk-yang-berpikir. Sebagai makhluk-pada→bagi-dirinya ia dikondisikan oleh berbagai entitas seperti ekonomi, biologi, kimia, dan fisika. Entitas ekonomi terkait dengan pemenuhan kebutuhan dasar melalui aras produksi dan reproduksi; entitas biologi selaras sebagai lingkungan biotik maupun abiotik; entitas kimia menyangkut elemen kimiawi penyusun alam semesta; dan, entitas fisika berkenaan soal struktur sub-atomik. Aneka entitas tersebut memberi implikasi bahwa “agar sesuatu keberadaannya dimungkinkan secara riil, kondisi material apa yang menyusunnya?” Bila dikontekstualisasi dengan laku berpikir tadi maka didapati sebuah “syarat material” sebagai berikut: agar berpikir mungkin, harus ada makhluk-yang-berpikir; agar ada makhluk-yang-berpikir, harus ada makhluk-pada→bagi-dirinya yang hidup; agar ia hidup, segala kebutuhan dasar mesti terpenuhi; kebutuhan dasar itu tersituasikan oleh alam biotik maupun abiotik sekaligus unsur-unsur kimiawi di dalamnya; agar ada alam biotik dan abiotik beserta unsur kimiawi di dalamnya, harus ada struktur subatomik yang menjadi dasar baginya.
Bertolak dari “persyaratan material” di muka jelas memberikan pendasaran mengapa makhluk-pada→bagi-dirinya yang hidup dimungkinkan untuk ada. Bilamana hanya serta-merta rasionalitas dalam posisi asali dengan bantuan peranti metodologis cadar ketidaktahuan tanpa “syarat material” agar rasionalitas itu mungkin senyatanya telah melenyapkan bagaimana makhluk-pada→bagi-dirinya dikondisikan. Menjadi konsekuensi pula apabila lenyapnya rasionalitas karena makhluk-yang-berpikir dari makhluk-pada→bagi-dirinya yang hidup serta “syarat material” bagi pengkondisiannya telah terlebih dahulu dilenyapkan atas nama rasionalitas fakta-fakta umum politik dan ekonomi yang diandaikan begitu saja. Dengan begitu posisi asali menjadi absurd tatkala ingin membentuk sesuatu ‘yang adil.’
Pelenyapan “syarat material” di situasi posisi asali memiliki konsekuensi pula bagi hilangnya pengutamaan prinsip keadilan menyangkut pemenuhan kehidupan dasar agar makhluk-pada→bagi-dirinya (kemudian mewujud sebagai makhluk-yang-berpikir) menjadi ada. Bertolak dari prinsip pertama yang dicipta–setidaknya ini merupakan prinsip utama berdasar kaidah pengutamaan atau prioritas keadilan menurut Rawls–sama sekali tak menaruh syarat keberadaan dari makhluk-pada→bagi-dirinya. Prinsip keadilan pertama ada tanpa pemenuhan kehidupan dasar sebagai “syarat material” dari keberadaan makhluk-pada→bagi-dirinya. Hal demikian tercermin pada pengandaian atas kebebasan dasar universal seperti kebebasan politik (hak untuk memilih dan dipilih untuk menduduki jabatan publik) bersama dengan kebebasan berbicara dan berserikat, kebebasan berkeyakinan dan berpikir, kebebasan dalam mempertahankan hak milik (personal), dan kebebasan dari penangkapan sewenang-wenang. Padahal, penautan berbagai soal sebagai “kebebasan dasar” tersebut tak serta-merta ada tanpa keberadaan makhluk-pada→bagi-dirinya. Seakan mustahil apabila “kebebasan dasar” tersituasikan tanpa makhluk-pada→bagi-dirinya yang melekat bersama “kebebasan dasar” itu sendiri. Tentu agar “kebebasan dasar” yang melekat bersama makhluk-pada→bagi-dirinya menjadi mungkin, maka keberadaan atas makhluk-pada→bagi-dirinya harus dikondisikan terlebih dahulu.
Katakanlah pengandaian atas “kebebasan dasar” tersebut benar melekat dalam makhluk-pada→bagi-dirinya, problemnya apakah “kebebasan dasar” itu dapat dilepaskan begitu saja dari keberadaan makhluk-pada→bagi-dirinya?
Kendati “syarat material” menjadi prakondisi atas keberadaan makhluk-pada→bagi-dirinya–jika tak dikondisikan oleh “syarat material” maka keberadaan makhluk-pada→bagi-dirinya tak dimungkinkan–tetapi keduanya tetap berada dalam relasi dialektis. Artinya, biarpun makhluk-pada→bagi-dirinya tersituasikan oleh totalitas kenyataan yang melingkupinya (ekonomi, biologi, kimia, dan fisika) tetapi totalitas kenyataan itu dapat dikondisikan, kendati secara relatif, oleh makhluk-pada→bagi-dirinya. Katakanlah sejumlah 55-78% secara absolut tubuh manusia dikondisikan oleh air sebagai pemenuhan kebutuhan dasar sekaligus totalitas kenyataan, namun secara relatif, air tersebut tak serta-merta “hadir” secara alamiah dikarenakan melibatkan laku produksi di dalamnya sebab dibutuhkan proses konversi lahan pada daerah tangkapan air hingga teknologi pemipaan. Inilah yang disebut pula dengan istilah “socionatural” (Angelo & Wachsmuth, 2014). Selain mengurai oposisi biner antara natur versus kultur, “socionatural” dalam konteks tulisan ini juga digunakan untuk mempertebal gugatan atas prinsip pertama keadilan Rawls yang tercipta lewat pengandaian begitu saja rasionalitas fakta-fakta umum perihal politik dan ekonomi.
Untuk mendedahnya mari bertolak dari domain faktual masyarakat politis kita lewat peristiwa pengembangan pariwisata eksklusif di Teluk Benoa, Bali. Entah harus disyukuri atau tidak, lokasi Teluk Benoa yang berada di semenanjung selatan Pulau Bali itu dihimpit oleh “segitiga emas” pariwisata Tanah Dewata–Nusa Dua, Kuta, dan Sanur–sehingga kerap menjadi target pengembangan wisata eksklusif. Kala Orde Baru bertakhta setidaknya terjadi dua investasi penting bagi pengembangan wisata eksklusif di Teluk Benoa. Kedua investasi tersebut kemudian dilekatkan dengan istilah “Koloni Jakarta” (Aditjondro, 1995). Bagaimana tidak, nama Keluarga Cendana langsung mencuat atas nama PT Bali Turtle Island Development (BTID) dan PT Bali Benoa Marina (BBM). PT BTID merupakan perusahaan konsorsium yang dipimpin Bimantara Group kepemilikan Bambang Trihatmojo, sekaligus Gajah Tunggal kepemilikan Siti Hardiyanti Rukmana, serta PT Pembangunan Kartika Udayana milik Kodam IX Udayana (Aditjondro, 1995). Sementara PT BBM ialah joint venture antara Humpuss Group milik Hutomo Mandala Putra dan PT Mandira Erajasa Wahana Transportation Aerowisata selaku divisi dari Garuda Indonesia (Aditjondro, 1995). Aneka resort mewah sekaligus reklamasi pulau ditargetkan sebagai rencana pembangunan. Namun segala proyek resort mewah sekaligus reklamasi itu mesti terhenti–meski saat itu tengah berjalan–akibat kejatuhan Orde Baru karena terjadi krisis ekonomi dan politik. Akibatnya banyak sisa-sisa proyek pembangunan yang terbengkalai mencemari lingkungan (Wardana, 2017). Belum lagi dampak sosial lain seperti kooptasi elit, intimidasi, hingga penggusuran saat proyek wisata eksklusif itu berjalan (Wardana, 2017).
Memasuki abad reformasi kondisi pencemaran semakin tak terbendung. Selain karena bekas proyek pembangunan wisata eksklusif peninggalan era Orde Baru, pencemaran di sekitar Teluk Benoa belakangan kian diperparah akibat tumpahan minyak dari kapal yang berlalu-lalang di sekitaran Pelabuhan Benoa, limbah perusahaan pengolah ikan, hingga beban ekologis Pembangkit Listrik Tenaga Diesel Gas (Wardana, 2017). Persoalan demikian lantas menggerakkan–tak terlepas dari posisi strategis Teluk Benoa pulau–enam perusahaan berbeda yang ingin menawarkan solusi lewat pengembangan kawasan perairan wisata terpadu. PT Bangun Segitiga Emas, PT Wijaya Property, PT Garuda Jaya, PT Bali Benoa International, PT Bali Benoa Resort, dan PT Tirta Wahana Bali Internasional ramai-ramai membuat proposal guna memperebutkan izin pemanfaatan dan pengembangan di Teluk Benoa.
Akhirnya persaingan dimenangkan oleh PT Tirta Wahana Bali Internasional (selanjutnya: PT TWBI). Surat Keputusan bernomor 2138/02-C/HK/2012 kemudian menjadi legitimasi bagi izin PT TWBI untuk memanfaatkan dan mengembangkan kawasan perairan wisata terpadu di Teluk Benoa. Perusahaan milik konglomerat Tomy Winata itu mengemas rencana pembangunan kawasan perairan wisata terpadu di Teluk Benoa sebagai wujud dari pelestarian lingkungan. Citra pelestarian lingkungan kemudian dikumandangkan lewat “klaim” keberhasilan dari corporate social responsibility (CSR) Yayasan Artha Graha Peduli melalui program Tambling Wildlife Nature Conservation (TWNC) guna pelestarian hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), Lampung. Padahal program TWNC tersebut senyatanya telah meminggirkan masyarakat lokal karena dianggap sebagai penyebab kerusakan hutan sehingga penjagaan oleh petugas keamanan bersenjata menjadi solusi (Wardana, 2017).
Di dalam masterplan-nya, PT TWBI memiliki rencana untuk merancang Sembilan pulau buatan dengan reklamasi seluas 700 hektar atau 40% luas kawasan Teluk Benoa (Wardana, 2017). Dari 40% luas keseluruhan pulau yang direklamasi diklaim akan menjadi “area hijau” dan sisanya dimanfaatkan sebagai area komersial, residensial, hotel, dan resort.
Kendati diklaim tetap memperhatikan kelestarian lingkungan akan tetapi dalam sebuah kajian yang dilakukan oleh Badan Riset dan Sumberdaya Manusia Kelautan dan Perikanan menunjukkan bahwa akibat reklamasi setidaknya ditemukan masalah ekologis seperti: menurunnya volume air laut yang keluar masuk ke dalam perairan teluk sehingga berakibat pada salinitas air dan kemudian berpengaruh terhadap ekosistem di Teluk Benoa serta mengakibatkan kenaikkan muka air akibat hujan sebanyak 67% jika dibandingkan sebelum reklamasi (Tanto, Putra, Husrin, & Pranowo, 2018). Perihal dampak ekologis akibat reklamasi setidaknya dapat bertolak dari proyek yang sempat berjalan sebelumnya–kendati tak bisa dikatakan sama persis tetapi sangat mungkin dijadikan pertimbangan untuk melakukan reklamasi–melalui proyek reklamasi Pulau Serangan oleh PT BTID. Akibat reklamasi tersebut ternyata memiliki dampak ekologis pada Pulau Pudut (pulau kecil di sebelah barat kawasan Teluk Benoa). Terjadi pendangkalan dan pengikisan sehingga pulau yang dahulu memiliki luas 8 hektar belakangan hanya tersisa kurang dari 1 hektar (Wardana, 2017).
Selain itu, karena PT TWBI ingin membangun wisata terpadu nan eksklusif dengan reklamasi yang bertumpu pada privatisasi dan komersialisasi secara pasti akan menerapkan mekanisme kontrol melalui pengetatan akses masuk pulau beserta perairan di sekitarnya. Perihal akses dan eksklusi kemudian menjadi semacam dua sisi pada satu koin yang sama. Akses semakin ketat dibangun maka proses eksklusi tak terhindarkan karena eksklusivitas dari akses itu sendiri. Pengetatan akses tentu berpengaruh terhadap nelayan. Daerah tangkapan mereka berubah menjadi pulau buatan dengan pengawasan ketat akibat laku eksklusivitas terhadap pemilik akses tertentu. Wilayah perairan yang dahulu bisa diakses oleh siapa saja, ketika reklamasi selesai, menjadi tertutup hanya bagi mereka pengakses wisata eksklusif tersebut. Karena semakin ketatnya akses terhadap daerah tangkapan dan eksklusi sebagai konsekuensi lanjutannya maka bukan tak mungkin mata pencaharian nelayan terancam dan bahkan kehilangan “kondisi produksi”–sebagaimana terma O’Connor (1988). Inilah salah satu contoh perihal socionatural: keberadaan nelayan– sebagai makhluk-pada→bagi-dirinya–dikondisikan oleh kondisi produksi guna mata pencaharian dan kondisi produksi itu terkait dengan lingkungan biofisik sebagai penampangnya tetapi kondisi produksi tersebut mengkondisikan secara relatif lewat open access dalam memanfaatkan lingkungan biofisik, sementara saat wisata eksklusif reklamasi dari PT TWBI mewujud maka nelayan terancam kondisi produksinya lantas sebagai akibat mereka terancam pula mata pencahariannya karena pengkondisian relatif tata kelola exclusive access terhadap lingkungan biofisik (berupa perairan daerah tangkapan).
Melihat hal demikian tentu masyarakat sekitar tak tinggal diam. Jauh sebelum PT TWBI terlegitimasi untuk pengelolaan dan pengembangan pariwisata eksklusif di Teluk Benoa, masyarakat sekitar telah beberapa kali menyurati Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Badung yang kemudian diteruskan pada pemerintah pusat agar Pulau Pundut direhabilitasi sebagai akibat dari proyek reklamasi Pulau Serangan oleh PT BTID (Wardana, 2017).
Tatkala PT TWBI berhak atas pengelolaan dan pengembangan pariwisata eksklusif di Teluk Benoa masyarakat juga ramai memberikan penolakan terhadap rencana reklamasi yang diinisiasi sebagai perwujudan pariwisata eksklusif. Perlawanan yang cukup mendapat sorotan adalah gerakan Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBALI). ForBALI terdiri dari berbagai elemen seperti para nelayan, warga desa adat, lembaga swadaya masyarakat, mahasiswa, hingga akademisi. Guna menyampaikan pesan penolakan, selain mengadakan aksi demonstrasi, mereka kerap menggelar aktivitas kesenian misalnya lewat acara Teluk Benoa Art. Selain itu, pada tingkat akar rumput yang melakukan perlawanan di pinggiran terartikulasi melalui basis Tanjung Benoa Tolak Reklamasi (TBTR).
Kendati TBTR tetap mempertahankan gerakan mengakar di tingkat lokal yang membedakanya dengan ForBALI yang sempat memakai strategi elektoral pada Pilpres 2014, terlepas dari friksi itu, mereka mampu setidaknya mempengaruhi keputusan atas ketidaklayakan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) sehingga (kala itu) proyek reklamasi dihentikan (CNN Indonesia, 2018). Sebagai konsekuensi lanjutan darinya kemudian diterbitkan Keputusan Menteri Nomor 46/KEPMEN-KP/2019 perihal Kawasan Konservasi Maritim Teluk Benoa. Oleh karenanya wilayah perairan Teluk Benoa ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Maritim (KKM). Tetapi, meskipun setelah keputusan itu ditetapkan–melalui konkretisasi lewat penunjukan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali untuk mengelola wilayah perairan Teluk Benoa sebagai daerah perlindungan budaya maritim, bayang-bayang Peraturan Presiden No.51/2014 (Perpres No.51/2014) yang mengubah status Teluk Benoa dari zona inti menjadi zona pemanfaatan senyatanya masih mendekap.
Dengan melihat fenomena di muka mari kembali pada prinsip keadilan pertama Rawls. Diawali perihal kebebasan dasar berkenaan soal kebebasan untuk mempertahankan hak milik pribadi. Memang benar apabila dikatakan bahwa tesis soal hak milik pribadi Rawls tak bisa disamakan begitu saja dengan mistifikasi hak milik ala libertarian. Bilamana kaum libertarian menyandarkan hak milik pribadi secara mutlak pada kebebasan individu melalui initial acquisition entah ada maupun tiadanya kerja sama sosial (Nozick, 1974), sementara bagi Rawls perihal hak milik pribadi tetap mengakar pada ikhtiar kooperatif demi keuntungan bersama (Rawls, 1999 [1971]). Tetapi, persis karena Rawls melenyapkan “syarat material” dengan mengandaikan begitu saja rasionalitas fakta-fakta umum perihal politik dan ekonomi, lantas dari mana keuntungan bersama itu dikondisikan?
Dalam konteks kasus Teluk Benoa pasca pengesahan Perpres No.51/2014 pihak PT TWBI dapat dikatakan memiliki hak kepemilikan atas pengembangan wisata eksklusif di Teluk Benoa–selain izin dari Surat Keputusan bernomor 2138/02-C/HK/2012–sebab Perpres itu sendiri mengubah status kawasan konservasi sebelumnya menjadi zona pemanfaatan. Tentu berdasar pandangan Rawls bahwa hak milik pribadi tak dapat dipisahkan dari kepentingan bersama. Tetapi bila keuntungan bersama tak didasarkan pada pengkondisian “syarat material” maka keuntungan bersama itu menjadi mudah untuk ditarik berdasar kepentingan yang justru membelakangi pengkondisian “syarat material”. Saat forum konsultasi publik terkait Amdal pihak PT TWBI–berdasar pada cuplikan film dokumenter “Kala Benoa”–jika diparafrasekan tetap akan memperhatikan keuntungan bersama masyarakat sekitar dengan mengutip pepatah “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”. Selain itu, Tomy Winata juga menyatakan proyek reklamasi di Teluk Benoa bermanfaat untuk kemajuan Bali sebagai tujuan destinasi wisata bahkan ia khawatir di balik penolakan itu terdapat campur tangan oknum yang tak ingin wisata Bali maju (ANTARA, 2015). Jika bertolak dari keuntungan bersama yang berkelindan dengan hak milik pribadi ala Rawls aneka pernyataan di muka bisa saja dibenarkan sebab hanya menandaskan pada konsep abstrak “keuntungan bersama”–lebih-lebih tatkala Bappenas membingkai penolakan terhadap reklamasi hanya sebatas penataan ruang saja sehingga Perpres No.51/2014 dapat dikeluarkan–dan tak didasarkan pada “syarat material” bagaimana makhluk-pada→bagi-dirinya dikondisikan. Padahal, privatisasi–lema khusus mengenai hak milik pribadi–terhadap wilayah perairan sekitar Teluk Benoa guna pengembangan wisata eksklusif melalui reklamasi telah mengetatkan akses di wilayah perairan pulau reklamasi sehingga para nelayan terancam mata pencahariannya. Mereka yang terhempas dari kondisi produksinya kemungkinan besar hanya menjadi “angkatan kerja cadangan” bagi industri pariwisata. Hal demikian selanjutnya menimbulkan pertanyaan lanjutan atas prinsip pertama keadilan Rawls: lantas bagaimana jika hak milik pribadi yang sudah terlegitimasi sebagai kebebasan dasar bermula dari sesuatu yang dimiliki bersama dan setiap orang dapat mengaksesnya? Selain itu akibat dari reklamasi terdedah dampak ekologis yang mempengaruhi lingkungan biofisik. Bukan tak mungkin, kendati tak sama persis, apabila peristiwa seperti di Pulau Pudut kembali terjadi.
Meskipun gerakan penolakan (kala itu) dapat menghentikan proyek reklamasi dan mampu menelurkan Keputusan Menteri Nomor 46/KEPMEN-KP/2019 di bawah panji kebebasan berbicara dan berserikat, tetapi Perpres No.51/2014 senyatanya masih mengintai. Artinya, penetapan Teluk Benoa sebagai Kawasan Konservasi Maritim belum sepenuhnya membuktikan rencana reklamasi yang membawa dampak bagi pengkondisian “syarat material” itu pasti batal.
Daftar Pustaka
Aditjondro, G. (1995). Bali, Jakarta’s Colony: Social and Ecological Impact of Jakarta-based Conglomerates in Bali Tourism Industry. Perth, Australia: Murdoch University.
Angelo, & Wachsmuth. (2014). Urbanizing Urban Political Ecology: A Critique of Methodological Citysm. International Journal of Urban and Regional Research, 16-27.
ANTARA. (2015, April 12). ANTARA. Retrieved from antaranews.com: https://www.antaranews.com/berita/490409/tomy-winata-pertanyakan-motif-penolakan-revitalisasi-benoa
CNN Indonesia. (2018, August 28). CNN Indonesia. Retrieved from cnnindonesia.com: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180828082316-20-325397/reklamasi-teluk-benoa-disetop-berkat-penolakan-warga-bali
Colletti, L. (1975). Introduction. In Marx’s Early Writings (pp. 7-56). London: Penguin.
Nozick, R. (1974). Anarchy, State, and Utopia. New York: Basic Books.
O’Connor, J. (1988). Capitalism, Nature, Socialism: A Theoretical Introduction. Capitalism Natural Socialisme (Taylor & Francis Group), 11-38.
Rawls, J. (1999 [1971]). A Theory of Justice. Massachusetts: The Belknap Press of Harvard University Press.
Tanto, Putra, Husrin, & Pranowo. (2018). Reklamasi di Perairan Teluk Benoa Bali. Jakarta: AMAFRAD PRESS.
Wardana, A. (2017). Neoliberalisasi Kawasan Perairan Teluk Benoa: Sebuah Catatan Kritis atas Praksis Perlawanan di Bali. Wacana, 55-90.