Dalam salah satu kisah rakyat Tiongkok tersebutlah dua orang sahabat yang saling menyayangi. Keduanya meninggal dalam kurun yang sama dan karena kesetiaan satu sama lain para dewa sepakat untuk mereinkarnasikan dua sahabat itu dalam rupa burung punik merah berkepala dua. Burung itu lalu hidup di tengah hutan dan menjadi bahan pembicaraan para pemburu hingga terdengar oleh sang kaisar. Oleh rasa ingin tahu, kaisar memerintahkan penangkapan atas burung tersebut namun setelah burung tersebut ditangkap, kaisar kemudian meminta kepada para penasihat untuk membelah burung tersebut menjadi dua ekor. Meski enggan, salah seorang penasihat berani menyanggupi titah kaisar dan berhari-hari ia mencoba memikirkan siasat yang tepat. Suatu hari penasihat tersebut membisikkan kata tak beraturan seperti “wus..wus..” di telinga salah satu kepala burung punik. Kepala burung yang lain menanyakan hal apa yang dikatakan oleh si penasehat dan sahabatnya menjawab sejujurnya, bahwa ucapan penasihat hanyalah sebuah kata tak bermakna. Demikian tiap hari penasihat membisikkan kata yang sama hingga mulai menimbulkan saling tidak percaya di antara kedua kepala burung. Ketika ketidak percayaan memuncak, kedua kepala burung berkelahi hingga badannya terpisah dan menjadi dua ekor burung. Sang kaisar yang puas akan hal ini menanyakan bagaimana cara memisahkan kedua burung tersebut. Jawaban penasihat adalah bahwa ia tidak dibingungkan dengan wujud aneh, melainkan memikirkan esensi dari keberadaan burung berkepala dua tersebut. Penasihat menyisihkan apa yang nampak dan berusaha memahami karakter dari burung tersebut, ialah bahwa walau satu badan mereka pasti memiliki jiwa berbeda.
Kisah rakyat Tiongkok ini menggambarkan hubungan objektif antara penasihat dan burung punik. Pengamatan penasihat menunjukkan bagaimana seorang pengamat sebaiknya melakukan penelitian fenomenologis sebagaimana yang diungkapkan dalam tiga bagian teori Edmund Hussrel yaitu: reduksi fenomenologis, reduksi eidetis, dan reduksi transendental. Tahap pertama dilakukan si penasehat dengan menanggalkan segala penampakan aksidental baik fisik burung berkepala dua, bulunya yang merah, atau imbalan yang dijanjikan kaisar. Tahap kedua dilakukannya dengan memilah hal primer dan sekunder untuk mencari esensi dari penyaringan pertama. Pada titik ini penasihat menepikan tujuan penelitian atau legenda yang meliputi objeknya dan mengutamakan proses pencarian kebenaran. Penasehat mengutamakan esensi dari keberadaan objek di depannya yang merupakan kenyataan bahwa burung punik menjadi bahan sayembara karena keunikan kepalanya. Ia telah menemukan bahwa jumlah kepala burung menjadikan hewan tersebut sentral dan esensial dalam tugas kaisar. Tahap ketiga dilakukan melalui kemampuan intuitif penasehat yaitu dengan mengenali bahwa keberadaan dua kepala menjadi permasalahan, sehingga dua kepala tersebut mewakili sesuatu yang tak nampak yaitu kepribadian.
Kepribadian menjadi satuan pengamatan yang transendental apabila ia tidak terkait dengan kriteria lain. Siasat penasihat untuk memisahkan dua kepala punik tersebut merupakan pemilahan kesamaan berdasarkan kriteria perbedaan kepribadian. Hal ini merupakan noumena yang ditangkap oleh penasihat. Dengan semakin berbedanya disposisi kepribadian masing-masing kepala keduanya dapat terpisahkan. Keberhasilan penasihat didasari atas kemampuannya melakukan suatu penelitian fenomenologis berupa tiga tahap reduksi Hussrel yang tetap mempertahankan intensifitas terhadap apa yang ‘ada dalam dirinya’ pada burung kepala dua, dan bukan dengan apa yang nampak dalam pengamatan empiris semata. Kisah rakyat Tiongkok ini membuktikan bahwa pengamatan fenomenologis dapat menjadi perangkat dalam memahami intisari dari suatu hal yang majemuk dan kompleks.
Pendiri LSF Discourse dan saat ini menjadi penasihat lembaga. Pimpinan Redaksi lsfdiscourse.org dan penerbit Discourse Book. Mengajar di Universitas Bina Nusantara Malang.
- 29/03/2018
- 30/03/2018
- 08/09/2020
- 24/09/2020