“Sebuah objek yang telah ada – sebuah vas bunga atau seseorang yang kita kenal – tidak bisa di-re-kreasikan. Mereka harus dihancurkan terlebih dahulu agar dapat di-re-kreasikan.”
Susanne K. Langer
Terik matahari minggu menemani seorang artis yang berdiri tegak di tepi taman Monkasel. Ia tengah menghadap easel plein air yang menahan kanvas kecilnya, disertai gelombang air Kalimas yang ragu beriak, gelagar tua Jembatan Pemuda, dan beberapa anak-anak serta orang tua yang sedang berjaga. Mereka sesekali menyibukkan diri bertanya-tanya mengenai aktivitas pelukis di samping sungai keruh tersebut. Bagi sang pelukis hal yang nyata adalah realitas di hadapannya; ialah kanvas, kuas, pigmen-pigmen, cahaya, bentuk dari objek yang ia coba pahami, serta forma baru yang telah ia ciptakan. Namun bagi banyak pengunjung taman Monkasel atau para penikmat seni yang mencoba memahami aktivitas kreatif dari seorang artis, realitas adalah benda atau objek yang tengah digambar oleh artis tersebut.
Dua sudut pandang yang dimiliki oleh perupa dan para pengamat atas realitas proses re-kreasi (atau penciptaan kembali) sering kali berbeda bahkan bertolak belakang. Para perupa; pelukis, pematung, atau pengukir sering menerima pujian serangkap dengan pertanyaan mengenai hasil karya mereka seperti; “Gambar yang bagus, sangat mirip dengan aslinya.” atau “Patungnya indah dan terlihat nyata.”. Kalimat-kalimat tersebut di satu sisi sangat berarti bagi seorang perupa, namun di sisi lain justru menimbulkan pertanyaan bagi para re-kreator ialah; Apa yang disebut sebagai yang real atau nyata?
Seorang pengajar, penulis dongeng anak, ibu rumah tangga, pemusik, sekaligus filsuf Jerman-Amerika Serikat bernama Susanne K. Langer memiliki kegelisahan yang sama saat ia berhadapan dengan sebuah karya seni. Langer merupakan seorang pemikir rasionalis yang menjunjung imajinasi setara dengan logika maupun cara berpikir ilmiah. Baginya; karya seni ialah hasil proses penciptaan kembali yang dilakukan oleh manusia seturut dengan hal-hal yang dimengerti. Pengertian manusia sendiri tertanam dalam benak (mind) sebagai susunan (atau sistem) dari gambar, kata-kata, ritme, serta berbagai tanda lain yang dapat membangun konsep tertentu atas suatu objek.
Contohnya ialah ketika seorang anak gadis menerima sebuah balon merah dari saudara tuanya. Realitas bagi gadis kecil tersebut ialah sosok kakak yang baik dan balon merah yang telah menjadi miliknya. Hal ini memunculkan perasaan senang sekaligus bertanggung jawab agar balon tersebut tidak segera meletus atau kempis. Kesenangan dan rasa tanggung jawab gadis kecil merupakan hasil dari pertemuan beberapa informasi; kakak yang baik, kepemilikan barang pemberian, sifat rentan balon, maupun warna merah. Seluruh informasi tersebut merangkai bentuk (forma) kata atau visualisasi dalam benak gadis tersebut.
Berbeda dengan para perupa, anak gadis di atas tidak sedang menciptakan sebuah karya seni. Ia memproses dan menata realitas sehingga memunculkan pemahaman baru atas perasaannya, ialah proses yang sama seperti saat kita melihat dan berusaha memahami marka jalan atau pergantian warna lampu APILL. Namun hal yang lebih kompleks terjadi dalam benak seseorang saat ia tengah menjadi seniman. Misalnya dalam proses artistik seorang pelukis atau fotografer. Keduanya berusaha menangkap apa yang pada tahap pertama dipahami sebagai realitas hingga hasil karya mereka mewujud sebagai realitas baru berdasarkan konsep yang telah mereka proses. Pilihan objek, komposisi, intensitas cahaya, atau tekanan goresan merupakan usaha seorang artis untuk merealisasikan konsep yang ia pahami. Lukisan dalam kanvas, foto dalam frame, ritme dalam partitur, atau susunan kalimat dalam sajak merupakan realitas baru dari konsep-konsep yang tersusun dalam benak manusia. Manusia seni (man of art) mampu menciptakan realitas baru di atas realitas yang hadir pra-konseptual dalam karya-karyanya, ialah yang selanjutnya disebut Langer sebagai proses re-kreasi. Ketika seorang pelukis sedang memindah realitas Kalimas di hadapannya menuju selarik kanvas, peristiwa kelahiran realitas baru di atas kanvas tengah berlangsung di saat yang sama. Realitas yang dipahami sebagai forma tiga dimensi mewujud melalui kuas kayu para pelukis dalam dunia dua dimensi. Peristiwa tersebut tidak serupa perulangan-rekursi dalam perhitungan faktorial yang terpetakan dan seirama. Proses re-kreasi melibatkan kekayaan pemahaman konseptual yang selanjutnya direduksi dalam istilah subjektivitas atau perasaan. Sebuah objek yang telah ada – kegelisahan masyarakat kota, sebuah vas bunga, sambatan seorang kerabat, atau kehangatan cahaya matahari yang jatuh di permukaan Kalimas pukul setengah tiga sore– merupakan realitas tidak dapat di-re-kreasikan oleh manusia-perupa. Semua objek tersebut adalah realitas yang akan melebur dalam pemahaman kita hingga tertata sebagai konsep-konsep dan akhirnya terlahir kembali dalam proses re-kreasi sebuah karya seni.
Pendiri LSF Discourse dan saat ini menjadi penasihat lembaga. Pimpinan Redaksi lsfdiscourse.org dan penerbit Discourse Book. Mengajar di Universitas Bina Nusantara Malang.
- 29/03/2018
- 30/03/2018
- 08/09/2020
- 24/09/2020