Le philosophe français Jean-Paul Sartre chez lui. (Photo by James Andanson/Sygma via Getty Images)

Berbicara perihal Quarter Life Crisis, bagi sebagian orang mungkin sudah tidak asing dengan kalimat tersebut dan mungkin sudah pernah atau justru sedang mengalami krisis ini. Lantas, sebenarnya apakah Quarter Life Crisis  itu? Quarter sendiri merupakankata dalam bahasa inggris yang berarti seperempat, life berarti hidup atau kehidupan dan crisis  berarti krisis. Sehingga  secara bahasa dapat diartikan sebagai krisis pada masa seperempat kehidupan manusia. Menurut Robins & Willner (2011) disebut sebagai Quarter Life Crisis  karena krisis fenomenal ini  biasa dialami oleh seseorang pada rentang usia 25 sampai dengan 33 tahun. Identik dengan usia manusia yang ke 25, maka hal ini juga dapat diartikan sebagai krisis seperempat abad manusia.

Quarter Life Crisis  merupakan krisis emosional yang melibatkan perasaan kesedihan, keterisolasian, ketidakcukupan, keraguan terhadap diri, kecemasan, tak termotivasi, kebingungan, serta ketakutan akan kegagalan. Hal ini biasanya dipicu oleh permasalahan finansial, relasi, karier, serta nilai-nilai yang diyakini (Kirnandita. P, 2019). Menurut Stapleon. A (2012) Quarter Life Crisis ­ mulai muncul ketika fokus seseorang hanya pada dirinya sendiri, kemudian mulai introspeksi terhadap apa yang diyakini serta ansietas dan krisis emosional.  Biasanya seseorang yang sedang mengalami krisis seperempat kehidupan ini merasa bahwa hidupnya sedang pada titik terendah kehidupan, karena merasa dirinya tidak berguna, kesulitan untuk bangkit dari permasalahan, dan menutup diri dari orang lain.

Gejala yang timbul pada seseorang yang mengalami Quarter Life Crisis  menurut Jennyfer (2019) di antaranya adalah yang pertama, ‘mulai mempertanyakan hidup’. Menurutnya fase ini sering disepelekan oleh seseorang yang mengalami krisis seperempat abad kehidupan ini, pertanyaan-pertanyaan yang timbul di kepala biasanya seputar: apa itu tujuan hidup, apa saja pencapaian yang sudah diraih. Gejala selanjutnya adalah ‘merasa hanya jalan di tempat’,  seseorang yang mengalami gejala ini akan merasa terjebak pada situasi apa pun, dan merasa apa yang telah dilakukan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Gejala selanjutnya adalah ‘kurang motivasi’, yakni seseorang yang merasa tidak bersemangat dalam melakukan aktivitas apa pun, sekalipun melakukan hobinya. Kemudian gejala selanjutnya adalah ’bingung memilih keluar dari zona nyaman atau tidak’, seseorang dengan gejala ini merasa bosan dengan pekerjaan yang itu-itu saja, atau sudah nyaman dengan pekerjaan tetapi tidak membuatnya berkembang, sehingga bingung menentukan pilihan.

Gejala selanjutnya adalah ‘tidak bahagia dengan pencapaian yang didapat’ lalu ‘ merasa terombang-ambing’, perasaan terombang-ambing karena masalah percintaan maupun finansial, meragukan apakah memilih pasangan yang tepat, serta ketidakseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran keuangan yang membuat seseorang tidak memiliki tabungan untuk masa depan. Gejala yang terakhir adalah ‘tertekan dengan lingkungan sekitar’, tekanan lingkungan sekitar bisa didapatkan dari tekanan dalam pertemanan mau pun keluarga yang membuat dirinya merasa tidak puas dan tidak mampu.

Ada beberapa hal yang dapat memicu seseorang mengalami Quarter Life Crisis yaitu, sering bermain media sosial, hal ini berpengaruh pada pola pikir seseorang yang berkecenderungan untuk membandingkan dirinya dengan orang lain. Selanjutnya adalah bermain game sampai lupa waktu, yang menyebabkan produktivitas menurun, kecuali jika seseorang itu merupakan pemain e-sport. Sering mengeluh juga dapat menghambat produktivitas seseorang, dengan sering mengeluh tanpa melakukan apa pun untuk menyelesaikan masalah yang dikeluhkan, dan yang terakhir adalah menutup diri dari orang lain, dengan menutup diri dari orang lain akan mempersempit peluang jaringan koneksi dengan orang lain yang akan menyebabkan diri sulit untuk berkembang.

Lalu apa relasi antara Quarter Life Crisis  dengan Eksistensi manusia itu?. Sebelum menginjak pada pembahasan relasi antara Quarter Life Crisis  dengan Eksistensi manusia, akan lebih mudah dengan terlebih dahulu mengetahui tentang apa yang dimaksud dengan eksistensi manusia itu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan eksistensi berarti hal berada; keberadaan. Apabila diartikan eksistensi manusia berarti keberadaan manusia dalam suatu lingkungan atau dalam dirinya sendiri. Sedang berbeda dengan makna dari eksistensialisme itu sendiri, menurut KBBI eksistensialisme berarti aliran filsafat yang pahamnya berpusat pada manusia sebagai individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar.

Eksistensialisme sendiri mulai lahir oleh pemikiran filosof Denmark Soren Kierkegaard (1813-1855) mengenai filsafat Kristiani, sehingga ia disebut sebagai bapak eksistensialisme. Karya Kierkegaard digambarkan sebagai Eksistensialisme Kristen dan Psikologi Eksistensial tentang individu.  Akhir abad XVIII –XX filsafat eksistensialisme semakin berkembang. Pada abad XX, lahir seorang filosof eksistensialisme manusia yang terkenal asal Perancis bernama Jean Paul Sartre. Jean Paul Sartre lahir di Perancis pada tanggal 21 Juni 1905. Ia lahir di tengah pergolakan Perang Dunia I yang mempengaruhi gaya berpikirnya mengenai eksistensialisme yang agak pesimistik terhadap hubungan antar individu.  Pada masanya, ia berhasil mengangkat aliran pemikiran yang menjadi gaya hidup manusia.

Menurut Sartre, Eksistensialisme merupakan filsafat tentang ‘ada’ atau ‘being’. Ia menganggap bahwa eksistensialisme merupakan pengalaman personal manusia sebagai subjek sehingga ia mengatakan ‘eksistensi mendahului esensi’. Bagi Sartre, manusia merupakan eksistensi yang bebas yang memiliki kemauan untuk berkembang sebagai individu tanpa terbelenggu masa lalu. Menurutnya manusia bebas memilih jalan hidupnya sendiri, namun kebebasan bukan berarti lepas sama sekali dari kewajiban dan beban. Menurut Sartre, kebebasan merupakan sesuatu yang sangat berkaitan dengan tanggung jawab dan tidak bisa dilepaskan satu sama lain (dalam Tambunan. S. F, 2016). Eksistensialisme Sartre mempermasalahkan kondisi manusia secara holistik atau keseluruhan bukan hanya esensialistik menurut cara berpikirnya yang empiristik (manusia dipandang sebagai makhluk yang utuh/ secara holistik). Eksistensialisme mendorong manusia untuk memilih pilihannya sendiri, dengan konsep tersebut setiap pribadi yang disebut eksistensi itu mempunyai keunikannya masing-masing yang dapat bertentangan satu sama lain. Manusia sebagai eksistensi memiliki kekhasan masing-masing sebagai individu, antara lain dalam hal rasio, intuisi, perasaan, kemauan, intelektual, dan lain sebagainya. Konsep eksistensialisme bersifat aktual, bebas dan mengandung kreativitas si pemikir. Eksistensialisme merupakan aliran yang mengutamakan kebebasan subjek secara pribadi dalam melakukan kreativitas.

Menurut eksistensialisme manusia merupakan makhluk yang “keluar” atau dapat dipisahkan dari makhluk lain yang non manusia bila dilihat dari cara beradanya. Eksistensi manusia sendiri merupakan cara manusia berada yang khas dari manusia. Meskipun manusia merupakan satu-satunya makhluk yang terlihat bereksistensi di dunia, akan tetapi ia tidak bisa lepas dengan keberadaan makhluk lain, karena ia memiliki lingkungan. Dengan demikian manusia mempunyai caranya yang unik untuk bereksistensi yang berbeda dengan manusia lainnya. Sedang hakikat manusia itu sendiri ialah kemampuan untuk menyadari diri, kemampuan bereksistensi, memiliki kata hati, memiliki moral, kemampuan bertanggung jawab, rasa kebebasan, menyadari hak dan kewajiban, dan kemampuan menghayati kebahagiaan (Kusdaryani, 2009).

Dapat disimpulkan bahwa eksistensialisme dengan keberadaan manusia memiliki hal yang berkesinambungan. Manusia ada dengan eksistensinya, dan bebas memilih apa yang diingini, ia unik sebagaimana pilihannya, dan berhak serta bertanggung jawab atas dirinya, serta bereksistensi di antara manusia lain.

Dari uraian di atas dapat kita lihat relasi antara Quarter Life Crisis  dengan eksistensialisme ialah sesuatu yang berhubungan namun berlawanan. Dengan adanya konsep eksistensialisme, seseorang dengan permasalahan Quarter Life Crisis  dapat mengatasi permasalahan dengan mempertimbangkan konsep eksistensialisme dengan tanpa melepaskan hakikat manusia itu sendiri. Hal ini dapat ditinjau dari penyebab terpicunya seseorang dengan krisis ini. Misalkan seorang manusia yang mempertanyakan tujuan hidupnya, tentang apa yang telah diraihnya. Hal ini tampak wajar bagi seseorang, setelah muncul pertanyaan tersebut, coba kita kembalikan lagi, mengapa manusia hidup?. Pertanyaan  tentang apa tujuan hidup dari individu itu sendiri, berarti ia mempertanyakan apa esensi dari dirinya.

Dari pendapat Sartre bahwa “eksistensi mendahului esensi”, manusia tentunya tidak lepas dari pengalaman-pengalamannya yang juga menjadi bagian dari esensi dirinya. Dalam eksistensialisme tentunya seseorang akan dihadapkan pada berbagai macam pilihan yang harus diambil, apakah harus hidup dalam kompleksitas atau tetap bertahan dengan eksistensinya. Bagi Sartre, final dari sebuah eksistensi manusia adalah ‘mati’, ketika manusia mati, maka berakhirlah esensi manusia tentang absurditas manusia dalam eksistensinya. Jika manusia pada akhirnya mati, maka tujuan hidup dari seorang manusia adalah ia yang menjalani hidupnya  dengan eksistensi yang dibuatnya itu sendiri, manusia bebas menentukan pilihannya untuk bereksistensi dan memiliki kewajiban untuk mempertanggungjawabkan apa yang telah dipilihnya.

Manusia menurut Eksistensialisme, tidak hanya dapat dilihat dari cara berpikirnya, akan tetapi ia dilihat secara holistik sebagai eksistensi yang memiliki kekhasannya masing-masing antara lain dalam hal rasio, intuisi, perasaan, kemauan intelektual dan lain sebagainya. Dengan memandang manusia secara utuh, tanpa membandingkan dengan ke-eksistensian manusia lain, dapat meningkatkan harga diri seseorang dari  perasaan kesedihan, ketidakcukupan, serta keraguan dalam diri. Lantas Apakah harga diri itu? Apa kaitannya dengan perasaan kesedihan. Ketidakcukupan, serta keraguan diri?. Harga diri atau self esteem ialah penilaian individu terhadap hasil yang dapat dicapainya. Komponen dari harga diri adalah kebutuhan manusia yang penting yang sangat vital bagi kelangsungan hidup normal, harga diri muncul berdasarkan keyakinan dan kesadaran seseorang, harga diri seiring dengan pikiran, perilaku, perasaan dan tindakan seseorang.

Kaitan antara harga diri dengan permasalahan di atas adalah, ketika seseorang dapat menemukan aspek positif dalam dirinya maka mustahil bagi seseorang mengalami krisis. Ialah dengan memahami eksistensi pada dirinya berdasarkan pilihannya dan aspek positif yang ada, dan mengembangkannya menjadi sesuatu yang unik pada dirinya.

Eksistensi merupakan pengalaman personal manusia sebagai subjek. Eksistensi manusia itu dalam kenyataan sebagai etre-en-soi dan etre  pour~soi, pernyataan itu berarti ‘kesadaran’ dan ‘yang disadari’. Seseorang berjalan pada kehidupannya dapat memilih antara ia menyadari akan sesuatu atau memisahkan diri dari yang disadarinya. Etre-en soi (ujud), manusia tidak sadar apakah ia berperan sebagai subjek atau objek, bahkan ia tidak sadar dengan lingkungannya. Etre~en soi tak sadar akan apa pun, ia hanya penuh dengan dirinya dan tanpa bersangkutan dengan  hal apa pun lain. Seda Etre~pour soi (kesadaran) adalah ada untuk dirinya.

Permasalahan pada Quarter Life Crisis  yang dipengaruhi oleh nilai-nilai keyakinan yang dimiliki. Setelah kita memandang manusia sebagai sesuatu (individu) yang unik, maka sudah pasti eksistensi satu manusia dengan lainnya memiliki perbedaan. Krisis keyakinan yang dialami seseorang biasanya timbul karena perbedaan keyakinan antara manusia satu dengan lainnya. Mengacu pada manusia yang bebas mengadakan penyangkalan terhadap suatu di luar dirinya, karena sadar akan setiap perbedaan dan ketidaksamaan. Kesadaran yang melihat kemungkinan ketidaksamaan tersebut, akan mendorong untuk menyatakan perbedaan tersebut, karena kebebasan merupakan hakikat manusia.

Setelah permasalahan perbedaan keyakinan, jika diyakini, seseorang akan cenderung untuk membandingkan dirinya dengan orang lain. Berdasar pada hakikat manusia itu sendiri dan juga eksistensialisme yang memiliki hak dan kebebasan untuk menentukan dirinya. Manusia lahir sebagai sesuatu yang holistik dan dapat menjadi sesuatu yang otentik. Sesuatu yang otentik pastinya memiliki perbedaan, dengan kesadaran yang dimilikinya manusia dapat menjadi sesuatu yang utuh dan unik sebagaimana ia menjadikan dirinya seperti eksistensi yang diciptakannya tanpa pengaruh manusia lain, dan akan tetap berlangsung hidup dilingkungannya.

Artinya Quarter Life Crisis dengan eksistensialisme hadir sebagai sesuatu yang ada untuk memecahkan permasalahan harga diri manusia dengan mempertahankan individualitas serta ke-otentikan manusia sebagai makhluk yang bebas dan bertanggung jawab terhadap pilihan serta hal unik yang dimilikinya.

Daftar Pustaka

Kirnandita. P. (2019). Quarter Life Crisis : Kehidupan Dewasa Datang, Krisis pun Menghadang

(https://tirto.id/quarter-life-crisis-kehidupan-dewasa-datang-krisis-pun-menghadang-dkvU) diakses pada 7 November 2020

Jennyfer (2019). Tanda anda sedang dalam Quarter Life Crisis  dan cara bijak menghadapinya. (https://hellosehat.com/hidup-sehat/psikologi/quarter-life-crisis-adalah/)

Kusdaryani, Wiwik. (2009). Landasan Kependidikan. IKIP PGRI Semarang Press

Pandanari. D. S. (2020).  Beberapa menit bersama Sartre. (Lsfdiscourse.org)

Robinson, O. (2015). Emerging Adulthood, Early Adulthood, dan Quarter-Life Crisis. Muncul kedewasaan dalam konteks Eropa .

Thorspecken, JM (2005). Krisis Quarterlife: Fenomena yang belum terselesaikan. George M. Kapalka, PhD, ABPP , 120 .

Tambunan. S. F. (2016). Kebebasan individu manusia abad dua puluh: filsafat eksistensialisme Sartre. Jurnal Masyarakat.

Tirtawinata. M. (2020). Apakah Harga Diri itu (Self Esteem). (https://binus.ac.id/character-building/2020/04/apakah-harga-diri-itu-self-esteem/#:~:text=Pengertian%20Harga%20Diri%20(Self%20Esteem,jauh%20perilaku%20memenuhi%20ideal%20dirinya.)

Siregar. M. (2015). Filsafat Eksistensialisme Jean-Paul Sartre

Stapleton, A. (2012). Coaching Clients through the Quarter-Life Crisis: Whats Work?. Jurnal Internasional Pembinaan & Mentoring Berbasis Bukti .

Dea Novita Wulandari

Dea Novita adalah pengkaji filsafat manusia di LSF Discourse

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.