Evolusi Sedang Mengetuk Pintu: Telaah Poshumanisme

Mesin bombe pemecah kode enkripsi mesin enigma
Mesin bombe pemecah kode enkripsi mesin enigma

Keistimewaan manusia paling spektakuler adalah mengenai kemampuan untuk beradaptasi. Manusia mampu menempatkan pola berpikir dan berkehidupan pada tingkat penyesuaian tertinggi (fleksibel). Suatu bentuk kemampuan memukau dibandingka dengan spesies lain.

Dalam ancaman kepunahan keenam pun, manusia masih terlihat begitu bersemangat melanjutkan hidup. Bahkan Sang Futuristik, Elon Musk telah bersiap membawa koloni spesies manusia ke Mars, sebuah lahan baru peradaban.

Kecerdasan fleksibel ini rasanya memang  hanya dimiliki manusia. Menurut Sahakian, Langley, dan Leong, beragam prestasi terbaik umat manusia utamanya lebih dipengaruhi oleh atribut seperti kreativitas, imajinasi, rasa ingin tahu, dan empati.

Beberapa penelitian mereka juga menyebut kemunculan sifat-sifat tersebut sebagai “fleksibilitas kognitif”. Suatu kemampuan untuk bisa menggunakan berbagai konsep yang berbeda, atau beradaptasi untuk mencapai tujuan tertentu dalam suatu lingkungan yang baru atau senantiasa berkembang.  

Lebih lanjut menurut mereka, fleksibilitas kognitif ini lebih berperan dalam perkembangan manusia itu sendiri ketimbang intelligence quotient (IQ). Fleksibilitas kognitif membekali manusia dengan kemampuan belajar dan melihat keberhasilan melalui langkah-langkah strategi. Sederhananya, fleksibilitas kognitif menjadikan apapun pemodelan masalah yang dihadapi manusia menjasi selalu memungkinkan untuk teratasi.

Jauh sebelum itu, Charles Darwin telah mengatakannya bahwa yang bertahan bukanlah spesies terkuat ataupun terpintar, melainkan yang pandai beradaptasi. Lalu, apa dasar adaptasi itu  terjadi?

Teknologi dan Persepsi Manusia

Api membuka wawasan tentang pemodelan berburu; roda membuka wawasan mengenai perpindahan gaya dan gerak; mesin uap dan kertas membuka wawasan tentang keindustrian dan ekonomi; teleskop dan mikroskop membuka wawasan tentang alam semesta dan alam mikroskopik.

Hal pertama yang perlu kita pahami dari perkembangan ini adalah bahwa teknologi ternyata bukan sekadar alat (instrument dan device) atau penopang (infrastruktur), melainkan suatu perangkat mekanik yang juga mengubah cara pandang manusia tentang dunia (realitas alam semesta). Konsep ini melekat pada perkembangan manusia sepanjang peradabannya.

Terkini, mesin-mesin komputasi berkapasitas besar memungkinkan manusia mengkalkulasi begitu banyak data dalam hitungan detik, dan menyimpannya dalam puluhan tahun; kecerdasan buatan memungkinkan membuat robot humanoid yang menyerupai kesadaran manusia; bioteknologi memungkinkan penanaman “jantung buatan” yang dapat memperpanjang umur manusia; teknologi kecantikan dan citra mengubah penampilan manusia dan membentuk tampilan tubuh.

Adaptasi manusia terhadap hasil temuannya merupakan bentuk konsekuensi linier. Selalu memiliki dua wajah  (manfaat dan masalah), seperti kedua kaki saat melangkah. Sederhananya, teknologi menghasilkan teknologi: jalan keluar menghasilkan masalah: masalah menghasilkan jalan keluar. Persis seperti angin yang menghapus jejak kaki. Masyarakat informasi menyebut proses (konsekuensi linier) itu dengan disrupsi.

Pada kasus mesin-mesin temuan Alan Turing pada Perang Dunia 2 misalnya, dan sebuah teknologi Jerman, ialah mesin enigma yang saat itu begitu superior. Mesin enigma adalah sebuah mesin penyandi yang digunakan untuk mengenkripsi dan mendekripsi pesan rahasia. Mesin tersebut selama Perang Dunia 2 menjadi andalan Jerman dan dianggap sebagai mesin kriptografi teraman di dunia. Dengan mesin tersebut, Jerman begitu menguasai medan peperangan. Pihak sekutu frustasi dan menghadapi masalah besarnya.

Sandi enigma begitu rumit dan kompleks. Perhitungan peluangnya begitu lebar dan besar. Para ilmuwan pihak Sekutu hampir putus asa dan merasa mustahil memetakan kerangka kerja dan polanya, hingga akhirnya mesin turing ditemukan dan mampu memecahkan sandi rahasia enigma. 

Cara kerja mesin Turing adalah mampu mengkomputasi apapun yang dapat dihitung. Mesin itu dianggap sebagai pendahulu komputer modern. Menurut banyak pengamat, mesin Turing membuat Perang Dunia 2 berakhir lebih cepat 2 tahun. Jerman berhasil dikalahkan oleh Sekutu. Dari kejadian itu kita bisa melihat bahwa teknologi menghasilkan teknologi dalam dua wajahnya (manfaat dan masalah).

Banyak contoh lain yang serupa dalam perkembangan sejarah peradaban. Di antara wilayah samar-samar tersebut, proses adaptasi bekerja sebagai penjembatan atau penghubung linier. Fleksibilitas Kognitif berperan besar dalam praktik metodologinya. Konsep ini terus bergerak maju dalam skala kompleks dan eksponensial (maju dan semakin cepat).

Runtuhnya Hierarki Subjek-Objek Menuju Posthumanisme

Perlu sejuta tahun bagi manusia purba untuk menemukan api hingga menciptakan roda. Sedangkan, perlu beberapa ribu tahun untuk menciptakan mesin percetakan. Kemudian, hanya perlu beberapa ratus tahun untuk menyusun teleskop. Selanjutnya, dalam jangka waktu yang semakin singkat, manusia melompat dari mesin uap ke pesawat ruang angkasa. Sekarang, hanya perlu dua dekade bagi kita untuk mulai memodifikasi DNA kita sendiri.

Fakta sejarah yang tidak pernah bisa terbantahkan bahwa dari zaman batu sampai era informasi sekarang, manusia bersama teknologinya berkembang dan berpadu. Ibarat dua mata uang yang tidak bisa dipisahkan dari salah satunya.

Dalam On Technoethics, Galvan menyatakan manusia tidak dapat menjauh dari dimensi teknis (technical dimension), sebab pada dasarnya manusia sudah terkonstruksi secara teknis. Teknologi bukan tambahan pada manusia, tetapi fakta manusia itu sendiri, sebagai salah satu pembeda manusia dengan makhluk lainnya.

Technicus mencerminkan kondisi keterjalinan antara perkembangan manusia dengan masyarakat-teknologis. Acuan gagasan ini karena adanya manusia secara teknologis dibentuk oleh alam dan berkembang bersama dengan teknologi. 

Pernyataan tersebut seperti guncangan pada keyakinan eksistensi manusia selama ini. Bagi manusia, teknologi selama ini dipahami dalam skala ruang objek. Sehingga membentuk keterputusan antara dirinya (manusia) dan alam (teknologi). Pemahaman tersebut bisa kita sebut dengan hierarki fungsi. Jika kita memahami kerja teori chaos, hierarki fungsi ini sebenarnya tidak pernah terjadi. Singkatnya menurut teori tersebut, bahwa segala jenis partikel di alam semesta ini nyatanya berhubungan dan saling mempengaruhi, tidak bekerja secara parsial dan menyendiri, terlebih lagi dalam struktur hierarki.

Lebih lanjut, diilustrasikan bahwa sebuah kepakan sayap kupu-kupu di Bandung bisa menghasilkan tornado besar di daerah Jakarta, atau di daerah lain yang lebih jauh. Entah dalam proses keterjalinan yang bagaimana, semua hal itu cukup kompleks dan rumit dijelaskan. Jangkauan pikiran kita agak susah menerima ilustrasi fakta sains tersebut. Bagaimana mungkin kepakan sayap kupu-kupu bisa mengakibatkan tornado di tempat lain yang berjauhan? Kalau memang demikian, bagaimana hubungan itu dijelaskan?

Namun, kompleksitas keterjalinan rumit tersebut dapat dipahami dalam dunia mikroskopik (subatomik). Kita bisa memulainya dari fenomena quantum entanglement atau disebut juga bell state, suatu fenomena fisik yang terjadi ketika sepasang atau sekelompok partikel saling mempengaruhi walaupun dipisahkan oleh jarak yang sangat jauh. Lebih membuat heran, proses interaksi tersebut terjadi begitu luar biasa cepat. 

Begitulah fisika kuantum bekerja, deterministik dan keteraturan tidak pernah terjadi. Yang ada justru probability. Konsep ini memang sulit dipahami nalar dan perhitungan matematis manusia (setidaknya berdasarkan perkembangan sains saat ini-baca kasus Turing). Dan itu menjadi kajian utama para ilmuwan abad ke-20.

Dapat ditarik pemahaman bersama bahwa alam ini ternyata bekerja dalam ranah kompleksitas rumit, saling terjalin, dan terpengaruh. Hubungan mereka sudah bukan lagi pada tataran hirarki dan determinisme seperti pandangan selama ini. Batas pemisah subjek-objek tidak lagi terbentuk. Keduanya melebur menjadi satu kesatuan jaringan kompleks dan rumit.

Seperti yang sudah-sudah dalam periode sejarah panjang, semua teknologi selalu memperluas jangkauan kapasitas indra, persepsi, dan pikiran manusia. Hal itu pada akhirnya membawa perubahan dalam cara pandang manusia atas dirinya sendiri. Manusia harus mulai menerima semua itu sebagai konsekuensi linier keadaptifan dirinya.

Agama dan Sains

Meleburnya batas hierarki subjek-objek menimbulkan “konsep” krisis bagi kehidupan itu sendiri.  Di antara lainnya, justru manusia yang paling terguncang akibat cara pandang baru ini. Hal itu mudah dipahami dikarenakan manusia selama ini menempatkan dirinya pada ruang subjek dan determinan. Di sinilah ditemukan alasan kuat mengapa agama itu senantiasa hadir pada cara pandang (persepsi) manusia.

Apa Anda pernah melihat awan? Tentu bentuk awan sangatlah kompleks, acak, dan tak teratur. Tetapi, apakah pernah kalian merasa bentuk awan mirip sebuah pola atau bentuk? Entah dalam bentuk kambing, sapi, gajah, kupu-kupu, dsb. Pikiran kitalah yang berusaha memaksa dan  mencari keterpolaan tersebut.

Begitulah cara kerja otak manusia, selalu berpikir mengenai keteraturan dalam realitas  ketidakteraturan (entropi). Sifat menjadi-ingin teratur ini ternyata sejalan dengan hukum termodinamika dua dalam konsep entropi.

Hukum kedua termodinamika dalam konsep entropi mengatakan, “Sebuah proses alami yang bermula di dalam satu keadaan keseimbangan dan berakhir di dalam satu keadaan keseimbangan lain akan bergerak di dalam arah yang menyebabkan entropi dari sistem dan lingkungannya semakin besar”.

Jika entropi diasosiasikan dengan kekacauan maka pernyataan hukum kedua termodinamika di dalam proses-proses alami cenderung bertambah ekivalen dengan menyatakan, kekacauan dari sistem dan lingkungan cenderung semakin besar.

Jadi, pada dasarnya selama perjalanan panjang semesta sejak Big Bang, ketidakteraturan dalam wujud energi sejatinya sudah, sedang, dan akan berlangsung dalam geraknya yang menyebar dan mengembang.

Dari cara kerja yang mencari keteraturan inilah agama hadir dalam bentuknya. Dari pemahaman definitif dan praktiknya, agama hadir sebagai keteraturan itu sendiri untuk memahami realitas alam semesta.   

Jadi, tidak mengherankan bila hari ini agama merupakan ruang yang paling terdobrak dan merasakan krisis dari sains. Alam semesta sekarang dipahami sebagai sistem yang jauh lebih cair, dinamis, dan saling bergantung. Singkatnya, tidak pernah ada andil dari esensi yang disebut Tuhan dalam prosesnya.

Dengan mengacu atribut data garis perkembangan sains yang eksponensial, periode kesadaran universal sudah mendekat. Apakah siap kita dengan semua itu?

Pada titik terakhirnya, agama benar-benar akan memudar dan menghilang (entah itu kapan di masa depan), diganti oleh pemahaman tentang keteraturan berbasis sains murni.

Posthuman: Evolusi Sedang Mengetuk Pintu

Era posthuman dimulai sepenuhnya ketika kita tidak lagi merasa perlu membedakan manusia dan alam. Lalu, menurut para pemikir transhumanis, posthuman adalah makhluk masa depan, suatu hipotesis yang memiliki kapasitas dasar begitu radikal melebihi keadaan manusia saat ini. 

Tapi poin posthuman lebih menarik bila kita membaca pikiran Mary Belknap dalam Homo Deva. Dikatakan, segala permasalahan yang dihadapi Homo sapiens hari ini (krisis) sulit untuk dipungkiri untuk diselesaikan.

Belknap mendasarkan pemikirannya pada konsep psikologi perkembangan dan biologi.  Ketika setiap tingkatan mencapai krisis terdalamnya, solusinya dapat ditemukan pada tingkat berikutnya yang lebih tinggi. Pada poin ini segalanya menjadi berterima dan terang. Secara singkat menurut Belknap manusia membutuhkan lompatan ke tingkat lanjutan yang lebih tinggi.

Modernisme (sampai teknologi informasi) menghasilkan konsekuensi linier yang begitu kompleks. Hal itu telah diteliti dan didokumentasikan secara luas. Mulai dari krisis personal (privat), krisis moral, krisis pangan, kriris populasi, krisis ekonomi, krisis lingkungan, krisis energi, hingga krisis identitas manusia itu sendiri sudah banyak dirasakan.

“Krisis-krisis” tersebut tidak perlu diulangi dan dijabarkan lebih jauh di sini. Yang jelas, sekaranglah saatnya bagi kita untuk bergerak maju. Persimpangan utama lain di sepanjang jalan telah tiba. Peningkatan jumlah manusia telah mencapai ambang batas kritis, siap untuk tanda baca evolusi lainnya. Kita tidak dapat menyelesaikan masalah yang dibuat oleh Homo Sapiens  di tingkat Homo Sapiens. Secara biologis itu tidak mungkin.

Tetapi, bagaimana bila sebenarnya yang disebut krisis itu tidak pernah ada? Apa kemenjadian ini benar-benar hanyalah sebatas konsekuensi linier kompleks dari sebuah sistem rumit yang besar sekali?

Ini menarik untuk kita coba pikirkan sebagai persepsi baru. Pemahaman krisis mungkin hadir karena manusia masih terjebak pada ranah keteraturan (hierarki). Sehingga sesuatu yang kompleks ini (entropi-kekacauan) dirasa perlu diatur.

Saat disimak lebih objektif, kehadiran Internet Lot of Thing, Big Data, komputer kuantum, Artificial Intelligence, teknologi nano, dan rekayasa genetik merupakan wujud nyata atas pijakan manusia ke tahap evolusi lanjutan. Teknologi tersebut semacam formula yang memang mampu menjadi kendaraan menggapai harapan ke depan.

Kecanggihan teknologi-teknologi tersebut melebihi konsep matematis jangkauan manusia. Walaupun saat ini segalanya masih begitu sederhana, sangat tidak menutup kemungkinan segalanya menjadi semakin luar biasa di masa depan. Ini hanya masalah waktu.

Cepat atau lambat manusia akan terdisrupsi oleh kemenjadian dirinya sendiri (teknologi). Menuju penyatuan bentuk (hibrid). Saat ini saja, hasil olahan teknologi informasi seperti Google, WhatsApp, Instagram, TikTok, Facebook, dsb telah perlahan menyerap ketergantungan hidup manusia. Kita bisa melihat dampaknya saat aplikasi tersebut trouble untuk beberapa menit saja. Dunia seperti berhenti bekerja dan bersimultan.

Begitu sulit mengatakan “tidak” pada fakta sains. Bagaimanapun sepanjang peradaban alam semesta proses kemenjadian tersebut sudah, sedang, dan akan terjadi. Lalu, seberapa fleksibel pikiran kita menyambut itu semua?

Tawaran telaah posthuman ini memang rumit dan mengguncang. Begitulah sains (ketidakteraturan) dan agama (keteraturan) bekerja, berproses, dan berpengaruh sepanjang kehadiran dan kemenjadiannya. Untuk menyikapi segala hal yang kita anggap kriris ini, sains selalu memberi jalan keluar terbaik.

Evolusi sedang mengetuk pintu kehidupan kita. Hanya manusia yang membuka pintu yang akan meneruskan estafet kehidupan. Meminjam kata Joseph Campbell dalam pembuka Origin, kita harus rela membuang kehidupan yang telah kita rencanakan, demi memiliki kehidupan yang menanti kita.

Mungkin saat ini fakta perkembangan sains (teknologi) yang mengikis sendi-sendi kehidupan dan agama sulit kita terima, tetapi perlu disadari bersama bahwa kehidupan akan menyesuaikan dirinya sendiri. Disetujui ataupun tidak oleh manusia, itu hanya perkara waktu. Begitulah adaptasi bekerja dengan kefleksibelannya.

Alfian Bahri

Alfian Bahri adalah seorang guru bahasa Indonesia. Ia menulis antologi cerpen Bau Badan Yang Dilarang (2018). Ia juga menulis di berbagai media daring seperti sanglah institute dan buruan.co.

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.