Di lembah sungai kembar Eufrat-Tigris orang Sumeria merubah tanah genting menjadi lahan pertanian menetap. Konon, munculnya lahan pertanian ini mengakhiri era hidup nomaden sekaligus membuka gerbang baru dalam penguasaan teknologi dan menghadirkan tatanan hidup manusia yang lebih kompleks. Sejajar dengan fenomena itu, di puncak Gunung Karang terdapat sebuah petilasan (rumah kuno) yang merupakan artefak dari upaya manusia menakhlukkan tanah Jawa. Tempat ini bernama Sentono Genthong. Tepatnya berada di sebelah barat kota Pacitan, Desa Dadapan, Kecamatan Pringkuku. Sedikit berbeda dengan orang Sumeria yang melawan batas kosmosentris, figur di tanah Jawa itu menakhlukkan tanah dari penguasaan mitis yang dalam kepercayaan masyarakat lokal merupakan bentuk kepercayaan atas hadirnya makhluk gaib yang mendiami tanah Jawa. Mitos mengenai Sentono Genthong sebagai tumbal Pulau Jawa masih eksis hingga hari ini.
Sentono Genthong merupakan bangunan purba berupa petilasan yang di dalamnya terdapat genthong[1] berisi tulang. Tulang itu dipercaya memiliki pesan-pesan ajaib. Dalam mitosnya bila pengunjung menyaksikan tulang itu berbentuk silindris, tegak, panjang dan berwarna putih maka dapat ditafsirkan bahwa seseorang itu akan panjang umur dan murah rejeki. Sebaliknya, jika sesorang melihat bentuk tulang yang pendek dan kecil, maka akan pendek umurnya dan kurang rejeki. Menurut cerita rakyat, tulang tersebut merupakan tulang Raja Brawijaya V yang berniat mengorbankan tangannya saat menjelang moksa.
Menurut Babad Tanah Pacitan, keberadaan Sentono Genthong dikaitkan dengan cerita dari Kerajaan Ngerum. Dahulu kala, seorang raja dari Ngerum merasa kagum dengan keelokan tanah Jawa yang belum pernah ia jumpai sebelumnya. Baginya tanah Jawa adalah tanah surgawi, menyimpan keragaman plasma nutfah dalam keanggunan ibu alam. Sayangnya, tanah itu masih kosong belum ada manusia yang menghuni. Kemudian beliau mengirim pasukannya yang disebut wadyo bolo untuk mengekspansi wilayah dan menjadikan tanah Jawa sebagai tempat tinggal. Namun, jauh di luar ekspektasi, justru wadyo bolo yang berjumlah 40.000 pasang itu tidak mampu bertahan hidup. Kabar burukpun diterima oleh Sang Raja. Di balik citra elok, tanah Jawa menunjukkan ke-wingit atau angker-nya. Ternyata tanah Jawa dihuni oleh berbagai makhluk halus (metafisika) yang mampu memporak-porandakan kehidupan manusia hingga mati tak tersisa. Kemudian Sang Raja meminta ahli nujum kerajaan untuk memberikan tumbal kepada tanah Jawa agar dapat dihuni oleh manusia.
Selain kisah raja dari Ngerum, rupanya ada pula kisah dari Raja Brawijaya V. Saat itu Kerajaan Majapahit hampir runtuh, Raja Brawijaya V bersama seorang abdi dalem (pengawal) berkelana ke arah Barat (Pacitan) guna melakukan semedi. Dipilihnya Pacitan kemungkinan karena daerah ini banyak ditemukan goa yang cocok untuk menyepi. Baginya, menyaksikan alam Pacitan adalah sesuatu yang menarik dan sangat layak dihuni manusia kelak. Namun, sama halnya dengan raja Ngerum, Pacitan dinilai sangat mistis. Sehingga belum ada manusia yang dapat tinggal di sana. Maka, sebelum moksa Sang Raja berpesan kepada abdi dalem untuk memotong tulang tangan kanannya (tangan Raja Brawijaya V) untuk kemudian dimasukkan ke dalam genthong yang lalu diletakkan di puncak Gunung Karang agar tanah Pacitan dapat dihuni manusia dengan selamat.
Mitos tentang Sentono Genthong sebagai tumbal Pulau Jawa membawa alam pikir jauh ke dalam bayang-bayang seram, angker, mistis dan sakral. Namun, bila ditilik dari sejarah asal muasalnya, seakan ada makna lain yang tersirat dari bangunan purba tersebut. Seperti halnya yang dikatakan oleh Christian Norberg-Schulz (1975).
“… Manusia hadir dalam bahasa, seperti alam dan Tuhan. Namun, arsitektur juga sebuah bahasa. Jika kita pelajari arsitektur sebagai sejarah bentuk-bentuk yang bermakna, kita juga akan menemukan manusia, alam, dan Tuhan (di situ). Jadi kita akan pelajari siapa kita ini sebenarnya, dan terbantu dalam mengambil sikap, dan dengan demikian arsitektur menjadi suatu moda keteradaan.”
Realitas dari rumah kuno Sentono Genthong beserta mitos maupun sejarahnya mengajak manusia untuk kembali ‘pulang’ sekaligus mengaktifkan daya nalar menuju ‘rumah makna’ sesungguhnya. Sebab tidak mungkin Sentono Genthong hadir begitu saja, hingga dalam perjalanan selanjutnya mengalami destruksi makna, mengalami berbenturan dengan pengetahuan-pengetahuan baru. Dalam Elemen-Elemen Semiologi (2017) Roland Barthes mengatakan bahwa, “Tidak ada makna yang tidak ditandai, dan dunia petanda tak lain adalah bahasa.” Dalam narasi ini, Sentono Genthong tak ubahnya sebuah bahasa dalam sistem tanda yang mengandung unsur petanda dan penanda. Sentono Genthong adalah objek fisik (penanda) sedangkan pesan-pesan yang terurai dalam pemahaman masyarakat adalah petanda. Lalu, petanda apa yang bisa dipetik dari kisah Sentono Genthong?
Bila ditelisik lebih lanjut, baik kedua versi dari cerita Raja Ngerum dan Raja Brawijaya V menggambarkan nilai moral yang sama, yaitu tentang pengorbanan. Istilah pengorbanan berasal dari kata korban, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti: pemberian untuk menyatakan kebaktian, kesetiaan, dan sebagainya. Sedangkan tumbal berarti sesuatu yang dipakai untuk menolak (penyakit dan sebagainya); tolak bala atau kurban (persembahan dan sebagainya) untuk memperoleh sesuatu (yang lebih baik). Dapat dimaknai bahwa pengorbanan yang dimaksud adalah kerelaan hati sang Raja Ngerum maupun Raja Brawijaya V untuk mengerahkan seluruh kemampuannya demi hajat hidup orang banyak. Sementara itu tumbal dimaksud sebagai piranti (alat) untuk berkorban.
Pengorbanan yang dilakukan bukan semata-mata sebagai niat kedigdayaan. Baik Raja Ngerum dan Raja Brawijaya V dimungkinkan memiliki konsep tentang keberadaan makhluk yang berbeda dengan manusia, para liyan yang berbeda dunia. Bagi mereka, liyan yang hidup di luar dirinya dianggap sebagai manusia lain, alam, tuhan dan makhluk-makluk lainnya. Begitupun dengan pandangan Imanuel Levinas tentang liyan yang sebagai Wajah. Levinas mengejewantahkan Wajah dalam bentuk-bentuk rupa yang dia temui. Pertemuan dengan Wajah layaknya bertemu dengan liyan yang murni. Sang Wajah adalah sosok yang bukan saya dan tak bisa direduksi oleh konsep saya. Ketika saya adalah bentuk ego yang mutlak dan tak tergugat, maka saat berjumpa dengan Wajah, seketika saya telah runtuh. Levinas dalam Al-Fayyadl (2005) mengatakan bahwa:
“Wajah tidak menunjuk pada kualitas fisik dari orang lain yang saya temui, melainkan suatu fenomena unik yang tak terselami oleh diri saya. Ketika saya berjumpa dengan Wajah sang Wajah menjaga otonominya dari saya. Ia tinggal sendiri, di seberang saya, tak terjamah oleh saya. Wajah tampak begitu saja, dalam keadaan polos, telanjang. Ia muncul secara langsung dan tak terduga oleh saya, tanpa mediasi, konteks, atau perantara.”
Konsepsi Wajah dan liyan telah membaur dalam penyikapan adiluhung Sang Raja. Kemampuan memahami Sang Liyan tergambar dalam tata laku dan terekam dalam jejak-jejak sejarah. Ketajaman berfikir akan hak hidup manusia setelahnya membawa Sang Raja kepada situasi lenyap dari saya yang mutlak dan terganti dengan sikap bijak.
Sentono Genthong dan segala yang melekat padanya adalah keping-keping puzzle yang siap disusun untuk mencapai puncak makna seutuhnya. Istilah tumbal sendiri dapat diartikan sebagai fungsi simbolik yang berfungsi menyampaikan warisan luhur berupa keutamaan hidup kepada peradaban manusia dari generasi ke generasi. Dengan kata lain Sentono Genthong juga merupakan alat pedoman untuk menjadikan manusia semakin manusia melalui sifat rela berkorban untuk sesama. Tumbal yang diletakkan di puncak Gunung Karang ditafsirkan sebagai puncak gunung yang merupakan tempat tertinggi dari bumi sehingga sifat rela berkorban (yang ditujukan bagi kepentingan bersama) itu hendakknya diletakkan di puncak (atas) atau melampaui ke-aku-an (kepentingan pribadi). Dengan demikian, konsep liyan turut membentuk karakter manusia yang tepo sliro, tidak tamak dan saling menghargai dalam menapaki kehidupan bersama.
Mitos Sentono Genthong mengalami kebaruan makna sekaligus inspirasi bagi kehidupan selanjutnya. Meskipun makna bersifat subjektif dan cenderung multitafsir kembali kepada kemurnian, dan otonom dari obyek itu sendiri: Sang Wajah. Jika saat ini Sentono Genthong menjadi tujuan plesir primadona, maka harapannya menjelajahi Gunung Karang tidak hanya menjadi perjalanan fisik nan estetik melainkan juga menjadi perjalanan pendakian puncak makna di balik risalah bangunan purbakala.
[1] Genthong (Bahasa Jawa) yang artinya tempat penyimpanan air yang terbuat dari tanah liat.
Daftar Pustaka
Al-Fayyadl, Muhammad. 2011. Derrida. Yogyakarta: PT LkiS Printing Cemerlang.
Barthes, Roland. 2017. Elemen-Elemen Semiologi. Basa Basi: Yogyakarta.
Masinambow, E.K.M dan Rahayu S. Hidayat. 2001. Semiotik Mengkaji Tanda dalam Artifak. Balai Putaka: Jakarta.
Sartono, Qomaruddin, dkk. 2005. Babad Tanah Pacitan dan Perkembangannya. Pacitan: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Pacitan.
Toynbee, Arnold. 2005. Sejarah Umat Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
- Penulis ini tidak memiliki artikel lain.