fbpx

SNEAKERHEAD: Kebutuhan yang melampaui keperluan

Kegelisahan Sneakerhead muncul karena ada rasa kekurangan dalam diri dan selalu ingin dipenuhi bukan karena kebutuhan akan penggunaan sepatu.
KJ Takahashi dalam Diamond Heart Alan Walker

Sneaker telah memiliki penggemar di Indonesia.  Menjamurnya  sneaker  sudah bukan hal yang baru lagi. Sneaker yang ada di pasaran juga sudah tidak lagi dibanjiri dari merek luar, merek – merek lokal pun telah memiliki pasar dan penggemarnya masing – masing. Di tahun 2021, sneakerhead  (orang yang menggemari sneaker) di  Indonesia  juga merayakan kecintaan mereka melalui sebuah acara USS, Jakarta. Kegiatan tersebut menjadi salah satu ajang bagi Sneakerhead  di Indonesia untuk bertemu dan berbagi.

Perkembangan Sneaker

Perkembangan Sepatu kets dimulai ketika Wait Webster pada tahun 1832 mematenkan proses penyatuan sol karet ke bagian upper alas kaki sehingga menjadi benda yang kini disebut sebagai sepatu atau boots. Sepatu tersebut awalnya begitu tipis dan rapuh, hingga kemudian setelah tahun 1862, Charles Goodyear mengembangkan proses vulkanisasi yang dapat memperkuat karet. Proses vulkanisasi melibatkan proses industri di mana campuran belerang dan getah karet dipanaskan sehingga menghasilkan bahan yang lebih stabil dan lentur. 

Di Inggris, Liverpool Rubber Company  mengembangkan sepatu yang lebih ringan. Menggabungkan upper dengan kanvas katun dan sol karet, yang selanjutnya dikenal sebagai sand shoes dan menjadi sepatu yang umum dikenakan oleh kelas pekerja, para penggemar wisata tepi laut, serta para pelancong kereta api. Sandshoes mudah rusak karena  dan harganya yang relatif  murah.  Perkembangan industry alas kaki selanjutnya memperkuat kekuatan upper dan sole, berbagai perusahaan mulai menggunakan karet yang dililitkan antara upper dan sole yang kemudian disebut sebagai plimsoll.

Pada tahun 1890, Joseph William Foster, pendiri perusahaan Boulton di Inggris (sekarang bernama Reebok) dan juga seorang pelari, menambahkan paku pada bagian bawah sepatu plimsolls sehingga ia dikenal sebagai penemu sepatu paku lari pertama.  Pada tahun 1916, Goodyear dan US Rubber Company memutuskan untuk memproduksi sepatu dengan menggunakan sol karet yang kemudian disebut dengan sepatu “Keds”. Sepatu tersebut, ini menjadi model sepatu kets yang asli  dan menjadi bentuk sepatu atletik pertama pada tahun 1917. Keds kemudian  meluncurkan sepatu tipe Pro Keds untuk sepatu bermain basket.

Di tahun 1917 sepatu Converse  juga mengembangkan sepatu basket yang dikenal sebagai All Star, kemudian berganti nama menjadi Converse All Star Chuck Taylor. Converse membuat sepatu kets khusus  untuk bermain basket. Charles H. Taylor mantan pemain basket dan tim Firestone bergabung dengan Converse sebagai tim penjualan. Mereka berkeliling  untuk mempromosikan sepatu tersebut hingga pada tahun 1923, ia mulai terlibat dalam proses produksi dan desain sepatu. Sepatu tersebut  dikenal sebagai “Chucks” karena memilki warna hitam dan kemudian mulai memudar. Pada tahun 1968, Converse telah mendominasi 80 persen industri sneaker dan Converse memiliki tag line “limosines  for the feet”  untuk menggambarkan  prestise dan ketenaran yang terkait dengan pemain basket terkenal. 

Menurut sosiolog Yuniya Kawamura perkembangan sneaker hari ini terjadi karena adanya tiga gelombang yang mempengaruhi industi sneaker. Fenomena gelombang yang pertama terjadi di New york sekitar tahun 1970 yang berakar di daerah selatan Bronx, ialah awal subkultur sneaker dengan bertumbuhnya budaya hip hop. Sneaker dianggap sebagai budaya yang keluar dari lingkungan miskin dan minoritas di mana penggemar sneaker muncul dari subkultur bawah.

Fenomena gelombang kedua terjadi setelah kemunculan sneaker yang bernama  Nike Air Jordan yang dinamai dengan nama pemain basket NBA, Michael Jordan. Sepatu ini mengubah sudut pandang tentang sneaker dan membawa sneaker dari subkultur bawah menjadi subkultur atas sehingga menjadi subkultur yang dikenal oleh banyak orang.

Fenomena gelombang ketiga dimulai dengan munculnya internet dan perkembangan smartphone serta media sosial. Penyebaran popularitas sneaker menjadi semakin meningkat dan tren teknologi baru menjadi jembatan  untuk  memperbanyak munculnya sneaker dengan merk baru. Hal ini juga dapat kita lihat  dengan membanjirnya sneaker lokal di Indonesia dengan para kolektornya.

Pengaruh media sosial membawa industri sneaker lokal  menjadi komoditas yang dipacu untuk terus memberikan model baru dan pengalaman bagi pemakainya. Tidak heran jika banyak sneaker bermunculan dan berkolaborasi dengan para artis, musisi, seniman, atau korporasi besar. Industri sneaker berharap hal ini bisa terus memberikan dorongan bagi penggemar sneaker, untuk membeli dan mempertahankan pasar. Seperti yang sudah disinggung di atas, kegiatan sneaker juga banyak menjamur sebagai bentuk eksistensi pasar. Dengan banyak, masyarakat berlomba- lomba untuk membeli. Pada perkembangannya penjualan sepatu sneaker telah mengalami peningkatan penjualan t pada tahun 2019 dengan  penjualan mencapai US$ 6 miliar dan diperkirakan akan mencapai US$ 30 miliar pada tahun 2030.

Kian banyak orang yang berebut untuk mendapatkan sneaker dengan model yang sangat langka seperti Nike Air Yezzy 2 , Red October,  dan Air Jordan x 1 Off  White. Salah satu fenomena yang pernah terjadi di Indonesia adalah event sepatu lokal yang diadakan di tahun 2019, di mana ratusan orang dengan rela menghabiskan waktu dan tenaganya untuk mengantri perilisan sepatu sneaker  Compass yang berkolaborasi dengan beberapa merk pakaian. Para sneakerhead  mau mengkoleksi dan  rela menghabiskan pendapatan mereka untuk memiliki sneaker supaya dapat memuaskan hasrat persepatuan.

Hasrat Persepatuan 

Sneakerhead   menghabiskan waktu mereka untuk berselancar di media sosial agar  tidak ketinggalan model sepatu yang sedang kekinian. Seperti ada kegelisahan dalam batinnya jika sneakerhead   ketinggalan tren,  ada  sesuatu yang kurang dalam diri sneakerhead   jika tidak mendapatkan sneaker yang diinginkannya.

Kegelisahan ini disebabkan karena adanya kebutuhan yang menjelma menjadi sebuah tuntutan  yang harus dipenuhi.  Dalam sudut pandang Jacques Lacan, fenomena seperti muncul karena adanya kesenangan yang tertanam dalam diri orang lain. Perasaan bahagia Ketika mendapat pengakuan dari yang lain, dapat disamakan seperti seorang anak kecil yang mendapatkan kesenangan dari ibunya (orang lain). Tetapi anak ini mengalami keterpisahan dengan ibunya.  Kekurangan si anak karena terpisah dari Ibunya ini  adalah Phallus. Phallus adalah simbolik dari kesenangan yang hilang  dan tidak dimiliki oleh anak, sehingga anak tersebut tentu tidak akan pernah bisa bersama dengan  Ibu. Hasrat ini adalah keinginan untuk memiliki kesenangan milik orang lain atau yang dikenal sebagai Ibu simbolik . 

Kebutuhan akan hasrat ini disebut sebagai objet petit a (objek kecil). Ini adalah objek yang membuat subjek menjadi kekurangan pada dirinya, Lacan menyebut ini sebagai objek penyebab hasrat. Kegelisahan Sneakerhead muncul karena selalu ada rasa kekurangan dalam diri dan selalu ingin dipenuhi bukan karena kebutuhan akan penggunaan sepatu. Tetapi lebih kepada keperluan untuk menjadikan Sneaker sebagai penambah nilai dalam diri sehingga pengakuan orang lain atas dirinya atau ingin menjadi orang yang terkenal seperti influencer, sneaker enthusiast yang menjadi pengejarannya. Objet petit a sendiri tidak akan pernah dipuaskan dan terus menerus  minta untuk dipenuhi sebagai sesuatu yang melampaui dari kebutuhan itu sendiri. Hasrat pemenuhan ini menjadikan sneakerhead  mendorong konsumerisme yang tiada habisnya dan menimbulkan kekosongan dan kekurangan dalam diri seseorang. Hal ini mengingatkan kita pada pernyataan Agustinus dari Hippo, bahwa selalu ada satu tempat kosong bagi sang pemilik hidup. 

Referensi

Kawamura, Yuniya. Sneaker : Fashion, Gender and Subculture . Bloomsbury publishing. 2016Lemaire, A. (1970). Jaques lacan. London : Routledge.

Mika Sudira

Mika Sudira adalah seorang pekerja sepatu komersil.

One Response

  1. Pasar bebas telah mengalami metamorfosis mengerikan. Anda bebas memilih mau pergi ke pusat belanja yg mana tapi toko-tokonya sama dan merk-merknya juga sama. Yg diinginkan pasar raksasa adalah mengubah semua kepulauan ini menjadi pusat-pusat belanja bukan bangsa. Orang bisa pergi dari satu negara ke negara lainnya dan menemukan produk yg sama. Tidak ada lagi bedanya. Inilah akhir dari umat manusia yg menyusunnya. Yg penting adalah hukum pasar dan itulah yg menetapkan seberapa banyak Anda berproduksi, berapa hargamu, berapa banyak Anda beli.
    Martabat, perlawanan, solidaritas semuanya merecoki. Segala sesuatu yg mencegah seorang manusia berubah jadi mesin produksi dan konsumsi tergolong musuh dan harus dienyahkan. Inilah sebabnya spesies manusia adalah musuh. Ia tidak menghancurkan secara fisik, tapi menghancurkan kemanusiaannya.

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content