Totalitas Dasein

Being-in-the-world (selanjutnya disebut Dasein) merupakan struktur kehidupan manusia secara keseluruhan. Keberadaan tatanan kosmik berbeda dengan Dasein yang mencirikan keberadaan manusia sebagai penanda sesuatu yang mengada. Dengan kata lain, Dasein merupakan sebuah penyikapan ontologi-eksistensial. Penyikapan tersebut menyangkut apa pun yang dilakukan manusia, baik perenungan, pertimbangan, pemikiran, pilihan, perlakuan, pengalaman dan seterusnya. Penyikapan ini merupakan sebagian kecil dari pemaknaan keberadaan Dasein. Being berbeda dengan entitas; entitas merupakan segala yang hadir dalam keberadaan, bersifat jamak dan bergerak berdasarkan kodrat yang membatasinya. Sementara itu, Dasein merupakan entitas yang memiliki kemampuan melampaui entitas lain, terutama dalam memahami apa yang dia alami. Dasein tidak mampu mengkonseptualisasi dirinya, namun pada proses berikutnya ia akan selalu mendapatkan makna untuk menjelaskan konsep atas dirinya.

Penyikapan ontologi-eksistensial hadir secara nyata dalam hidup manusia. Fakta tersebut dibuktikan dengan keberadaan Dasein lain, sebuah hidup komunal dan intersubjektif. Dasein tersebut ada secara independen, ia terlempar dalam dunia sebagai yang tunggal, namun akan selalu memiliki keterkaitan dengan yang lainnya. Walau keterlemparan Dasein akan menghadapi warna-warni posibilitas, tetapi yang pasti ialah bahwa posibilitas tersebut pasti dihadapi. Posibilitas tersebut dapat digambarkan sebagai hal-yang-akan-datang, yang tidak dapat diketahui oleh manusia hingga saat ia mencapainya. Posibilitas berubah menjadi pengetahuan pada saat manusia mengalaminya, namun dengan berjalannya waktu, pengetahuan akan menghasilkan posibilitas baru. Perjalanan hidup manusia adalah perjalanan posibilitas (Heidegger menyebutnya sebagai “faktisitas”).

Cara Berada Dasein sebagai Care

Sebagaimana dijelaskan dalam Being and Time, kematian merupakan momen megah Being dalam menemukan otentisitasnya. Being akan terus berjalan selama belum berhadapan dengan kematian. Proses ini, yang merupakan bagian dari faktisitas beserta posibilitasnya, memiliki konsekuensi khusus pada manusia. Konsekuensi ini disebut Heidegger sebagai “Angst” atau “anxiety” dalam bahasa Inggris. Nantinya Angst akan melahirkan Sorge atau Care (Latin: Cura) dalam bahasa Inggris sebagai bentuk pemenuhan eksistensi Dasein.

Angst dimengerti sebagai kegelisahan manusia yang muncul dari ketakutan terhadap posibilitas. Manifestasi posibilitas merupakan kondisi yang tidak pasti, namun posibilitas itu sendiri pasti dilalui oleh manusia. Ia menimbulkan keresahan, kemawasan, ketakutan atas apa yang akan terjadi di masa depan. Pertanyaan manusia seperti, “Apakah tarikan nafas yang berikutnya akan menghantar uap merkuri ke dalam paru-paruku?”, “Apakah potongan baguette yang kumakan nantinya dapat menghidupkan sel kangker di lambungku?”, atau “Apakah keputusanku akan diterima oleh sebagian besar mahasiswa?” Terdapat pertimbangan mengenai “akan”, “nanti”, “jika.. maka” yang merupakan bahan pertanyaan mengenai upcoming events: usaha manusia menjawab apa yang akan terjadi.

Manusia kemudian berusaha menjawab keresahannya melalui refleksi atau peramalan. Refleksi merupakan kegiatan yang membawa manusia ke pemahaman atas fenomena masa lalu, dan, dari pemahaman itu, manusia mempertimbangan jawaban persoalan di masa depan. Refleksi diusulkan Alfred North Whitehead sebagai cara manusia untuk menyikapi kemajuan ide di masa depan[1]. Angst selain dipahami seperti makna anxiety, juga dipahami melalui kata dread (sebagaimana juga digunakan dalam terjemahan The Concept of Anxiety karya Soren Kierkegaard). Keresahaan ini juga dapat digambarkan sebagai malaisse (Perancis: tidak nyaman) atau unseasiness (Inggris: ketidak-nyamanan). Anxiety di sini tidak berarti ketidaknyamanan akibat gangguan neurosis atau psikologis sebagaimana yang dijelaskan oleh Sigmund Freud; Angst ini bersifat tetap (tidak temporal), sebagaimana gambaran ilmu psikis tentang ketidak-nyamanan yang timbul atas rangsangan dari luar. Angst selalu ada pada diri manusia dan mendorong manusia untuk bertanya, berpikir, menjawab, meramalkan, mencoba, dan merasakan.

Simpul dari Angst berupa Sorge atau Care. Care dalam pemahaman ini bukan merupakan Care yang digunakan dalam bahasa Inggris yang berarti perhatian, kasih sayang, kehati-hatian, atau perlindungan, melainkan sesuatu yang bersifat intensional. Manusia memusatkan diri pada keberadaannya kini. Dengan kata lain, Sorge merupakan semua ide yang melibatkan aspek lain dari Dasein. Ini mengandaikan bahwa bukan hanya seorang ibu, bidan, guru, atau perawat yang memiliki Sorge. Adolf Hitler dan Klaus Barbie pun memiliki Sorge terhadap partai Nazi dan barisan tentara SS. Namun intensionalitas Sorge bukan merupakan intensionalitas yang dipaksakan, intensi ini muncul dengan sendirinya ketika manusia hidup sebagai Dasein. Sorge menjadi sifat utama Dasein karena merupakan jalan dari pemaknaan diri sebelum keberadaannya terpenuhi (pra-ontologi).

Tiga Struktur Sorge

Selanjutnya Heidegger merumuskan struktur Sorge yang terdiri dari tiga aspek yaitu: faktisitas, kejatuhan, dan eksistensialitas. Faktisitas dapat dimaknai sebagai sebuah keberadaan-yang-nyata, yang-telah-hadir karena memang demikian adanya. Sebuah aspek yang tidak dapat dirubah, baik dengan pilihan maupun ramalan. Namun faktisitas bukan merupakan masa lalu (historisitas). Faktisitas dimengerti sebagai apa-yang-hadir, preset-at-hand sebagai lingkungan keseharian. Seorang bayi misalnya, memiliki faktisitas bahwa ia dilahirkan oleh ibunya yang merupakan seorang pilot perempuan. Pada saat ia dilahirkan, faktisitasnya adalah ia lahir dari rahim ibunya, ibunya merupakan seorang pilot di mana kenyataan tersebut tidak dapat dirubah oleh bayi tersebut. Faktisitas berikutnya bahwa, misalnya, ibu tadi harus berhenti menjadi pilot karena telah memiliki anak, bukan karena kesadaran dan kehendak si bayi. Namun secara mendasar, faktisitas dapat dipahami sebagai kenyataan yang ada begitu saja saat manusia lahir.

Berikutnya adalah falleness atau kejatuhan. Kejatuhan merupakan kondisi ke-tidak-otentikan manusia, yakni kondisi saat ia belum memperoleh kepenuhannya yang terakhir (kematian). Dengan kejatuhan (biasa juga disebut keterlemparan) ini manusia menjadi sebuah Dasein yang tidak bermakna penuh. Untuk mempermudah memahami kejatuhan, takdir yang dialami para pahlawan Nordik, atau The Vikings bisa menjadi contoh. Para prajurit dan lelaki Viking dimitoskan terlahir ke dunia sebagai penakluk dan tentara perang. Dengan demikian, semenjak mereka mampu, mereka harus mempelajari strategi perang dan belajar berkelahi. Pada saat yang ditunggu-tunggu, mereka akan menghadiri sebuah setra untuk berperang dengan monster, raksasa, suku musuh, penjajah, bahkan dewa sekalipun. Para pahlawan ini bertekad penuh untuk berperang, karena bagi mereka, itulah tugas mereka di dunia. Mereka yang tewas di medan perang akan mati bahagia karena jiwanya akan kembali ke Valhalla, merayakan kepenuhan dirinya dalam meja makan Odin, bersama-sama menyantap makanan dan merasakan kebahagiaan bersama para korban selama di dunia. Sementara itu, para Viking yang pengecut dan menghindari perang, akan mati karena sakit. Mereka yang meninggal sedemikian rupa akan merasakan penderitaan di Helheim selamanya, karena tidak memenuhi panggilan dirinya sebagai seorang Viking yang selalu bertarung dan mempertahankan diri dengan berani.

Melalui contoh di atas dapat dilihat bahwa kejatuhan adalah kondisi di mana manusia memiliki rentang kehidupan. Kondisi ini mengharuskan manusia untuk menjalani hidup sampai akhir. Para pahlawan yang berpesta di Hall of Odin adalah mereka yang tewas karena berusaha meraih kepenuhan dirinya, sementara orang yang menderita di Helheim merupakan mereka yang menghindari kepenuhan dan justru semakin tersiksa. Kejatuhan adalah suatu yang pasti, yang terjadi pada saat faktisitas hadir bersama dengan keberadaan Dasein. Kejatuhan membangun jarak di antara manusia dengan diri sepenuhnya sehingga memberi manusia kesempatan untuk menjalani pemaknaan hidup. Jarak ini disebut Heidegger sebagai temporalitas, yaitu jarak waktu yang tersedia bagi manusia untuk melakukan pemenuhan diri. Bagi Heidegger Angst menimbulkan usaha manusia untuk menjalani (care) sebagai konsekuensi kejatuhannya, sebagai perjalanan memahami apa yang membuat manusia pertama-tama merasa takut.

Aspek terakhir Sorge adalah eksistensialitas. Eksistensilitas merupakan mode manusia untuk berada dalam faktisitas. Ia juga merupakan kecenderungan manusia untuk mengurangi jarak dari kematian. Eksistensialitas menentukan kemana manusia sebagai Dasein berjalan. Eksistensialitas menimbulkan kepedulian manusia atas apa yang membentuk dirinya, serta bagaimana sesuatu itu membentuk dirinya. Pertanyaan eksistensialitas bersangkutan dengan bagaimana manusia dapat hidup dalam faktisitasnya. Contoh pertanyaan eksistensialitas misalnya: “Mengapa aku harus mengakui keberadaan orang tuaku?”, “Apakah yang harus dilakukan untuk memenuhi peran sebagai seorang anak?”, “Bagaimana harus menyikapi pilihan orangtuaku untuk bersekolah di sekolah publik? alih-alih homeschooling?” Pertanyaan eksistensialis pada mulanya beranjak dari diri sendiri. Pada selang waktu berikutnya, orang lain berkontribusi membentuk pertanyaan-pertanyaan baru. Usaha manusia untuk dapat menemukan eksistensialitasnya, mengerti apa yang dihadapinya, atau bebas dari batasan-batasan yang ia inginkan merupakan salah satu jalan Care sebagai Dasein.

Proses di atas dapat disebut sebagai proses perjalanan fenomenologi-ontologis menuju keotentikan. Manusia dapat saja hidup tanpa menghormati eksistensinya melalui perusakan diri, atau merendahkan eksistensi orang lain dengan persekusi atau terorisme. Namun, perjalanan demikian merupakan perjalanan manusia yang tidak fenomenologis. Dalam artian lain, manusia yang sedemikian rupa tidak menghargai kodratnya sebagai Being-with-others dan Being-in-the-world. Dengan demikian ia tidak melakukan pembacaan atas kehidupan sehingga hidupnya tidak bermakna. Walaupun dalam pemahaman feneomenologi, manusia akan menemui otentisitasnya melalui kematian, namun ia tidak memiliki makna ontologis. Eksistensialitas di sini berfungsi sebagai petanda sekaligus penanda dari kehadiran manusia yang resah, yang bagi Heidegger menjadi salah satu bentuk sikap manusia dalam menjawab potensialitas. Eksistensialitas sebagai salah satu bentuk Sorge menjadi cara manusia untuk berpartisipasi menjadi Being-a-Whole.

Sorge sebagai Selfhood dan Lifehood

Sorge merupakan Dasein itu sendiri, yang menjadi sifat mutlak dari Dasein, dan yang menjawab bagaimana Dasein berada. Sorge sendiri membawa manusia kepada intensi yang berbeda dari intensi hewan. Sorge meletakkan manusia pada intensionalitasnnya dalam memahami suatu hal. Pada saat manusia berusaha mengenali suatu hal, maka secara langsung ia akan memahami bahwa ia sedang melakukan perjumpaan dengan dunianya (world). Dengan demikian, Sorge menyimpulkan Dasein dengan dunia-nya. Selain itu, intensi yang dialami manusia adalah yang membuatnya memahami pertemuan dengan Dasein. Di lain sisi, hal tersebut sekaligus mengafirmasi ketakutan yang menyebabkan ia memunculkan eksistensinya. Fenomena ini merupakan mode manusia untuk mengenali dirinya sendiri. Sebuah mode Selfhood atau dunia diri-nya. Secara umum, penjabaran mengenai Sorge menjawab pertanyaan awal dalam Being and Time yaitu, the questiong of Being in general.

Daftar Pustaka

Heidegger, Martin. Being and Time. John Macquarrie and Edward Robinson (trans.). Blackwell, Oxford: 2000.

———. Dialektika Kesadaran: Perspektif Hegel. Saut Pasaribu (terj.). Ikon Teralitera. Yogyakarta: 2002.

Smith, John Edward. The Spirit of American Philosophy. Suny Press, New York: 1983.

Catatan:

[1] John E. Smith. The Spirit of American Philosophy. Suny Press, New York: 1983.

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.