Temporalitas (tempo dalam bahasa latin berarti waktu), sebagaimana yang dinyatakan Martin Heidegger, berbeda dengan konsep waktu kosmologi dan fisika. Dalam kosmologi, waktu merupakan satuan yang ditentukan oleh manusia untuk memahami kejadian-kejadian yang terjadi pada alam. Sedangkan dalam fisika, waktu dipahami sebagai pergerakan benda-benda yang membentuk peristiwa sehingga menjadi penentu manusia untuk memahami suatu hal. Dua pemahaman ini berhubungan dengan temporalitas Heidegger. Namun, keduanya berbeda secara nyata karena, bagi Heidegger, temporalitas menyatakan aspek ontis-ontologis dari keberadaan Dasein. Untuk memahami lebih lanjut konsep waktu Heidegger, maka perlu sekiranya kita mengupas struktur dari temporalitas dan pada gilirannya membahas hubungan temporalitas dengan Dasein.

Tiga Struktur Temporalitas

Temporalitas terdiri dalam tiga susunan yang membentuk suatu konstitusi eksistensial: masa lalu, masa kini, dan masa depan. Pada kesempatan tertentu, Heidegger membantah pemahaman Aristoteles yang hanya berpatokan pada masa kini. Bagi Aristoteles masa kini adalah masa kini yang mengalir ke masa lampau. Masa lampau adalah masa lalu yang telah mengalir. Sementara masa depan adalah masa kini yang akan hadir. Patokan Aristoteles pada masa kini bagi Heidegger menekan realitas sebagai yanghadir pada masa ini saja. Atas dasar penolakan tersebut, ia mengajukan konsep temporalitas yang berbeda sama sekali.

Heidegger menyatakan bahwa temporalitas adalah kesatuan masa lalu, masa kini, dan masa depan di mana manusia sebagai yang-ada bergerak, melaju, dan melakukan perjalanan. Dengan kata lain, manusia hidup di dalam tiga susunan tersebut. Hal ini disebabkan oleh pemahaman atas manusia sebagai Dasein atau yang-berada-di-sana. Dimanapun manusia berada, ia akan menyadari apa yang pernah dialami, sedang alami, dan akan alami. Manusia memiliki pengalaman di masa lampau, lalu pengalaman tersebut akan menjadi ingatan. Dimensi masa lampau tersebut menggiring manusia kepada manusia yang kini, sehingga menambah bentuk otentik manusia (walaupun belum secara utuh). Selanjutnya, masa depan diandaikan sebagai perjalanan manusia dalam upaya menambah pengalaman masa lampau (sekaligus menambah pengalamannya) yang menuju kepada keotentikan yang utuh dalam bentuk kematian. Kematian, sebagaimana dinyatakan Heidegger, adalah bentuk dari utuhnya keotentikan manusia. Kematian bukan hanya pencapaian, namun juga akumulasi pengalaman. Dengan demikian, masa kini hanyalah titik di mana manusia melakukan perjalanan, suatu titik kesadaran yang berdiri dependen dengan masa lampau dan masa depan.

Pemahaman Heidegger atas waktu dapat dinarasikan melalui kisah Scrooge dalam A Christmas Carol karya Charles Dickens. Scrooge digambarkan sebagai seorang pengusaha tua kaya raya, kikir, soliter, dan tidak menghargai apapun baik manusia maupun pengalaman hidupnya. Ia skeptis menghadapi hidup dan lingkungan sosialnya. Di malam Natal, Scrooge menghabiskan malam sendirian sementara orang lain dengan tetangga atau keluarganya. Malam dihabiskan Scrooge dengan tidur. Namun, dalam tidurnya, ia didatangi oleh Hantu Masa Lampau, Hantu Masa Kini, dan Hantu Masa Depan. Hantu Masa Lampau mengajak Scrooge untuk kembali pada masa kecilnya yang getir, masa-masa di mana Scrooge muda mengalami banyak kekecewaan yang mengubahnya menjadi seorang pembenci. Selanjutnya Hantu Masa Kini mengajak Schrooge kembali ke masa kini dan memperlihatkan bagaimana kehidupan malam Natal para tetangga, pegawai-pegawainya, dan semua orang di lingkungan sekitar Scrooge. Hantu ini memperlihatkan bagaimana salah satu pegawainya ditemani oleh istrinya, dan berbahagia. Pegawainya yang lain bersantap malam dengan sederhana, walaupun ia memiliki seorang putra yang sedang sakit keras. Semua tampak bahagia dan menghargai apa yang ada walau dalam kesusahan dan kemawasan atas masa depan.

Hantu yang terakhir, Hantu Masa Depan akhirnya datang pada malam yang sama. Hantu ini membawa Scrooge ke masa depan di mana para pegawainya mengalami kelaparan, dan kesedihan karena kematian anak yang semalam tengah sakit. Hantu itu memperlihatkan bagaimana konsekuensi Scrooge bila tetap bersikap seperti ini. Di neraka, Hantu tersebut memperlihatkan Scrooge yang tengah terikat oleh rantai-rantai yang terhubung dengan brankas besi miliknya. Prosesi kematian Scrooge juga tidak dihadiri oleh siapapun selain pengacara yang mengurus kekayaannya setelah meninggal. Scrooge ketakutan. Semenjak malam itu Scrooge ingin berubah. Keesokan harinya, ia menyapa siapapun yang ditemui, mendatangi rumah-rumah pegawainya, melakukan derma dan bersantap bersama secara sederhana dengan para pegawainya. Semua heran dengan perubahan Scrooge, namun bersyukur dengan keadaaan yang demikian.

Melalui narasi ini, kita mengerti bahwa masa lampau membentuk seseorang melalui pengalamannya; masa kini membentuk masa depan hingga berakhir dengan kematian. Scrooge tidak ingin kematiannya tidak bernilai, ia ingin orang lain memahami arti kepergiaannya. Dengan demikian, ia memahami bahwa banyak sikapnya harus berubah, yaitu menjadi manusia yang lebih baik. Hal ini dinyatakan Heidegger sebagai Sorge atau Care.

Pengungkapan temporalitas secara umum

Heidegger menyatakan bahwa temporalitas dapat dialami manusia dengan beberapa syarat, yaitu bahwa manusia memiliki pemahaman pada apa yang ia alami dan apa yang akan ia tuju. Selain itu, temporalitas dapat terjadi bila manusia memiliki intensionalitas atau pemusatan pikiran terhadap kejadian yang sedang terjadi: suatu bentuk kesadaran pada dirinya dalam konteks masa dan juga waktu. Lalu, temporalitas akan benar-benar hadir ketika manusia memahami kejatuhan yang ada pada dirinya, bahwa dirinya adalah manusia yang terlempar sedemikian rupa dan akan menuju suatu titik akhir yaitu kematian. Tahap terakhir adalah bahwa temporalitas dapat nyata hadir dalam diri manusia apabila ia memiliki kebaruan sebagai tanda utama bahwa manusia tersebut sedang melakukan perjalanan. Dengan kata lain, temporalitas ada ketika manusia memaknai hidupnya baik atas keberadaannya, asal-usul dan tujuannya. Makna manusia ini kemudian membentuk pengalaman yang membuatnya terus berubah. Manusia dalam hal ini merupakan sosok yang bergantung pada waktu sehingga perubahan waktu juga harus menjadikan dirinya melakukan suatu proses antisipasi (Angst, kemawasan atau keputusasaan) atas kematian dengan rupa perubahan. Heidegger menjelaskan hal ini melalui istilah Hegelian sebagai “thoroughgoing skepticism. Berikut Heidegger menuliskan:

Penyajian pengetahuan fenomenal menyelam secara total ke dalam keadaan putus asa. Ia adalah perwujudan keputusasaan. Ia adalah, kata Hegel, “skeptisisme yang menyeluruh” (thoroughgoing skepticism). Skeptisisme dalam penyempurnaannya. Dengan demikian, kita memulihkan makna asli kata “skeptis”, yang berarti melihat, mengawasi, mengamati dengan seksama, melihat pertanyaan apa dan bagaimana para pengada sebagai pengada.

Martin Heidegger. Being and Time. John Macquarrie and Edward Robinson (trans.). Blackwell, Oxford: 2000. Pg. 323.

Manusia yang tidak memiliki penambahan kesadaran atas pengalamannya merupakan manusia yang tidak memiliki Gewesenheit atau bekal bagi kematian (manusia yang Tidak Ada karena tidak bermakna).

Makna Temporalitas Keseharian Dasein dalam Dunia

Temporalitas memutlakkan kemawasan pencarian manusia terhadap makna objektif. Yang dimaksud dunia bagi Heidegger adalah kesatuan dari keberadaan dan fenomena yang mengelilinginya. Dengan kata lain, dunia adalah dimensi luar (outside-itself) dan dimensi dalam (being-itself) dari seorang manusia. Dunia yang dimaksud bersifat transenden sekaligus nyata, yaitu pada satu titik ketika manusia akan memahami bahwa spasialitas yang ia hadapi merupakan sebuah totalitas yang menyeluruh sekaligus mendetail, atau paradigma luas dan sederhana dari manusia. Dikatakan sederhana karena dunia merupakan kejadian yang berhubungan langsung dengan manusia tanpa tambahan nilai dari apapun juga. Manusia ada atas pemaknaannya seturut segala hal berdasarkan abstraksi atas apa yang menjadi it-self.

Manusia tidak hanya dapat menilai sesuatu berdasarkan untung rugi melainkan berdasarkan posisi segala fenomena objektif yang ia pahami sebagai dunianya. Manusia tidak dapat hidup hanya dengan masa kini sebagai seorang hedonis yang mementingkan kebahagiaan saat ini (dengan atau tanpa melakukan sesuatu) karena ia merupakan manusia yang memiliki kodrat pencapaian tersendiri. Manusia sebagai homo faber atau yang melakukan sesuatu untuk menjadi sesuatu, sebuah pencapaian eksistensial. Demikian Heidegger menyatakan:

If in our analysis of having to do with things, we aim at what we have to do with, so our existent being together with being taken care of must be given an orientation not toward an isolated useful things.

Martin Heidegger. Dialektika Kesadaran: Perspektif Hegel. Saut Pasaribu (terj.). Ikon Teralitera. Yogyakarta: 2002. Hlm. 71

Singkat kata, manusia yang hidup dalam temporalitas merupakan manusia yang ber-Ada. Pemaknaan temporalitas tersebut tidak didapat dari hal yang berada jauh dari hidupnya melainkan berasal dari kehidupannya sehari-hari. Hal ini juga disebut sebagai temporalitas spasial di mana manusia yang terus berusaha memahami segala sesuatu dalam temporalitas tidak akan terlepas dari dunia. Apapun yang ia temui dalam keseharian merupakan bahan utama untuk intensionalitas, pemahaman, dan pertimbangannya bagi hari akhir. Tanpa memandang pada keseharian, maka manusia tidak berada dalam dunia atau dengan kata lain tidak ber-Ada. Intensionalitas membentuk pengalaman yang selanjutnya menjadi pemahaman dan penyikapan pada perjalanannya. Perjalanan manusia merupakan bagian penting hidupnya, dan juga kematiannya, atau dengan kata lain merupakan keseluruhan dari keber-Ada-annya.

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Skip to content