Sosialisme Marx di negara dunia ketiga mewujud atau dikodifikasi ulang melalui interpretasi berdasarkan nilai-nilai lokal masyarakat negara dunia ketiga, misalnya marxisme dalam doktrin nasionalisme yang dikenal sebagai nasakom. Begitupun yang disebarkan di Tiongkok oleh Mao Zedong yang sedikitnya telah memfusikan nilai lokal Konfusianisme. Selain itu muncul spirit ajaran Gandhi di India, dan tentunya negara-negara Islam di sebagian negara di Asia. Di negara dunia ketiga tersebut, sosialisme menampakkan diri sebagai hasil kombinasi antara gagasan-gagasan ideal Marx dengan cita-cita anti kolonialisme, land reform, dan beragam lokalitas tradisi yang mengandung nilai pembebasan.
Kemunculan sosialisme di negara Islam tidak semulus kemunculan sosialisme di beberapa negara lain. Adagium Marx yang terkenal bahwa “Agama itu candu” menjadi penyebab sulitnya sosialisme Marxian berkembang dan menjiwai perjuangan negara muslim. Walau terdapat beberapa ketidaksepakatan, namun ide ataupun konsepsi yang dihadirkan Marx dalam kerangka khazanah pemikiran sosialisme lantas menstimulasi sebagian dunia pemikiran Islam untuk berupaya menghubungkan kembali kepekaan dalam memandang realitas sosial, di mana realitas tersebut menyandera kehidupan manusia dengan segala macam dominasi politik, ekonomi, dan politik imperialisme barat.
Berangkat dari keadaan tersebut, wacana untuk menghadirkan konsepsi nilai pembebasan yang sejatinya memang terkandung dan melimpah di dalam tradisi atau ajaran pokok Islam yang mulai digalakkan. Mendudukkan Islam kemudian menjadi ajaran ataupun agama yang emansipatif dan membebaskan terakumulasi dari spektrum munculnya istilah sosialisme Islam. Sosialisme Islam yang kemudian berkembang merupakan buah dari pakem ataupun ajaran sosialisme yang mengandung syarat sikap anti penindasan, ketidakadilan, dan segala hal yang progresif. Hal – hal ini diterjemahkan sebagai nilai universal melalui konseptualisasi ideologis untuk menopang perjuangan pembebasan umat Islam. Lewat kontekstualisasi literasi historis, semangat pembebasan Islam yang telah direkonstruksi harapannya menjadi paradigma dan legitimasi pergerakan Islam dalam menumpas dominasi imperialisme barat.
Perkembangan doktrin pembebasan dalam wacana keIslaman itu terjadi di beberapa wilayah yang tengah bergelut dan terjerumus dalam despotisme yang dipicu oleh dominasi barat. Salah satunya di wilayah Persia, atau Iran yang telah menjadi representasi atas pencapaian revolusioner umat Islam; representasi yang berhasil mengguncang dunia kontemporer. Dipelopori oleh ulama atau pemimpin agama yang berkendara di atas kemudi Ideologi Islam, mereka berhasilkan meledakkan revolusi yang bercorak religius dalam menumbangkan rezim diktator Syah Pahlevi (yang telah lama berkuasa dan menjadi negara boneka). Imperialisme Amerika menjalani penjajahan multi aspek seperti ekonomi, politik dan budaya yang menyandera masyarakat Iran diakhiri dengan Revolusi yang diarahkan oleh ajaran religius agama, yang arsiteknya adalah intelektual-intelektual muslim, mereka yang menghadirkan konsep sosiologi Islam atau sosialisme dalam Islam sebagai paradigma ideologi pembebasan revolusioner. Salah seorang tokoh yang terkenal adalah Ali Syariati, pembawa solusi progresif dalam menghadirkan sajian ideologi untuk menjawab kebutuhan perjuangan dan pergerakan umat Islam, khususnya di Iran.
Sekapur Sirih tentang Ali Syariati
Tepat pada tanggal 24 November 1933 di negeri Khurasan Iran, siapa sangka sosok pencetus perubahan dan pelopor revolusi Islam lahir. Tumbuh dan berkembang dalam latar belakang lingkungan yang bernuansa intelektual Ali Syariati membentuk karakter dan kepribadian progresif yang diwarisi dari ayahnya. Budaya pemikiran yang terbangun dalam iklim keluarga Ali Syariati berangkat dari ayahnya. Taqi Syari’ati merupakan seorang guru dan mujahid besar yang mendirikan Lembaga (Markaz Nasyr Ar-Haqa’iq Al Islamiyah) dakwah kritis yang menjadi pusat penyebaran kebenaran sosialis Islam. Kecendekiawanan dalam mengembangkan pemikiran Islam menjadi poros bangkitnya tradisi intelektualitas dalam Islam syiah di Iran yang kemudian dilanjutkan oleh Ali Syariati sendiri.
Semasa perkembangannya, Ali Syariati mengasah pemikirannya di sekolah menengah atas dengan menggandrungi pelajaran filsafat dan mistisme bercorak sufistik Islam. Pikiran maju yang mengendap di kepalanya merupakan hasil dari buah intelektual untuk mengeksplorasi pikiran filsafat yang terbuka sehingga membentuk cara pandang Ali Syariati terhadap agama khususnya Islam. Pandangan ini bisa dibilang jauh dari konservatisme, bahkan sarat akan penghormatan pada pemikiran dan pengetahuan. Sosoknya muncul sebagai pencerah di tengah stagnasi dan kegelapan pemikiran dunia Islam. Masa di mana pemikiran Islam menjadi entitas yang digerogoti penindasan sistemik dunia barat. Islam yang diwarisi merupakan kompilasi Islam kesejatian yang bertanggung jawab akan keadaan social tanpa sedikitpun menanggalkan etika dan pokok ajaran teologi.
Menjelang dewasa, semangat dan ghiroh aktivisme yang diwarisi dari ayahnya semakin berkembang. Dalam masa ini Ali Syariati menyibukkan dirinya sebagai mahasiswa di perguruan tinggi pendidikan guru yang berkecimpung dalam berbagai aktivitas pengabdian, baik sosial, politik maupun keagamaan, dia turut terlibat dalam kelompok dan organisasi perjuangan yang dirintis bersama ayahnya bernama “sosialisme penyembah Tuhan”. Di usianya yang ke-20, sebagai mahasiswa ia menyaksikan kondisi negerinya dilanda gejolak politik akibat dari rezim otoriter dan tirani Reza Syah Pahlevi, rezim yang melahirkan berbagai gerakan politik perjuangan di berbagai penjuru di Iran. Semenjak itu juga Ali Syariati mulai terlibat dan aktif dalam gerakan penyadaran dan pencerdasan massa dengan mendirikan Asosiasi Pelajar Islam. Krisis yang menyandera Iran kemudian mendorong Ali Syariati untuk bergerak melalui ceramah-ceramah propaganda penyadaran di masjid-masjid, juga melalui tulisan-tulisan kritis terhadap rezim, kemudian keterlibatannya dalam pengorganisiran massa yang pada akhirnya mengakibatkan ia menjadi buronan oleh rezim kala itu. (Supriyadi, 2012)
Aktivisme yang digeluti Ali Syariati semakin teradikalisasi, beberapa tahun setelah itu ia terlibat dalam gerakan politik dengan menggabungkan diri bersama kelompok pro-mossadeq, oposisi rezim penguasa, serta di bawah Gerakan Perlawanan Nasional atau NRM (National Revolution Movement) yang mengorganisir Gerakan perjuangan rakyat Iran untuk melawan tirani rezim Syah Pahlevi, aktivitas yang akhirnya menggiring ia ke dalam penjara selama 8 tahun. Selepas dari penjara, perjalanan intelektual Ali Syariati terus berlanjut. Cita-cita pembebasan masih terpatri. Untuk melepaskan diri dari intimidasi penguasa Iran, ia Hijrah ke Paris, Ali Syariati melanjutkan studinya di Universitas Sorbonne Prancis. (Ridwan, 1999)
Selama lima tahun di Prancis, Ali Syariati semakin mematangkan pemikirannya dengan menelaah berbagai aliran pemikiran dan berteman dekat dengan beberapa filsuf terkenal seperti Camus, Sartre, dan Jean Berck. Semasa itu pula kajian-kajian Ali Syariati mengarah pada tema-tema sosiologi dan pengembangan pemikiran Islam. Akibat dari ketidakpuasannya pada paradigma positivistik dan material yang populer di dunia Eropa, ia sempat menelaah secara kritis ide dan pandangan Karl Marx yang baginya, terlalu sempit-terkungkung dalam determinisme ekonomi yang kurang mampu menganalisis fakta serta kenyataan kejiwaan sosial negara dunia ketiga. Dari situ, ia kemudian intens melibatkan dirinya pada kajian-kajian ilmu sosial tanpa berpijak pada solusi-solusi yang diajukan oleh bangunan masyarakat kapitalis maupun komunis.
Setelah berkelana di Paris, ia pulang kembali di Iran dan kembali terjun di tengah gejolak persiapan revolusi. Pengaruh yang kuat Ali Syariati dianggap memberikan ancaman serius terhadap penguasa saat itu. Kuliah-kuliah yang sering dilakukan bersama pemuda semakin membahayakan sekaligus semakin memperkuat gelombang perlawanan dan pemberontakan. Akibatnya, ia kerap kali ditangkap dan diasingkan. Namun teologi Islam progresif yang dikembangkan menjadi tawaran yang diminati dan digandrungi oleh pemuda dan rakyat Iran. Konfrontasi sering dilakukan tanpa meninggalkan sedikitpun tradisi ke-Islaman syiah sehingga ia digambarkan sebagai wajah pemberontak yang saleh dengan slogan revolusionernya yang menggugah “setiap hari adalah asyura, setiap tempat adalah karbala”. Ideologisasi Islam progresif yang emansipatif sukses menjadi paradigma gerakan revolusioner Islam di Iran. Namun di balik itu, mimpinya untuk menyaksikan revolusi berakhir. Ia dieksekusi mati oleh intelijen penguasa Iran bersama Amerika tepat ketika ia diasingkan dua tahun sebelum revolusi meledak pada 19 Juni 1977 sehingga Ali Syariati dijuluki mujahid yang telah syahid.
Islam sebagai ideologi pembebasan
Memahami ide sosialisme Islam dalam perkembangan wacana yang direkonstruksi Ali Syariati bisa dibilang, merupakan upaya reformasi yang mengubah wajah Islam dalam kancah dialektika besar ideologi dunia. Usaha yang ia lakukan untuk merumuskan dan mengembangkan paradigma pembebasan sebagai norma mutlak dalam teologi Islam merupakan fungsionalisasi Islam sebagai ideologi pembebasan revolusioner. Transformasi karakter Islam tradisional ke Islam progresif adalah pencapaian mentereng dan penyegaran pemikiran dalam menjawab kebutuhan ideologi dan pemikiran yang diharapkan, dapat memimpin perjuangan umat Islam kontemporer. Sikap pesimistis dalam melihat reputasi dari pemikiran dan ideologi yang dikembangkan di dunia barat, yang ia dapatkan selama menjalani pengembaraan intelektual di Eropa, berbuah penelaahan kritis ragam pemikiran alternatif. Sebab itu, pembaharuan yang diusulkannya muncul untuk menghadirkan paradigma sosialistik baru yang berbasis pada pengembangan ide dan tradisi, suatu pendekatan yang inheren dengan aspek pembebasan dalam Islam secara sosiologis.
Kehadiran peralatan ideologis, merupakan hal yang paling pokok dalam upaya transformasi politik umat Islam secara eternal. Selain daripada keinginan untuk menunjukkan karakteristik revolusioner, pentingnya ideologi bagi Ali Syariati dilihat dari keterangan dan pandangannya terkait ideologi. Ideologi baginya adalah akumulasi gagasan, keyakinan dan cita-cita yang berfungsi untuk memandu dan melandasi semua aktivitas kelompok manusia. Ia melihat peran ideologi berbeda dengan ilmu, filsafat yang senantiasa tidak memberikan komitmen utuh terhadap perubahan. Sosok ideolog baginya adalah, keberpihakan dalam menentukan masa depan dan menggugat secara kritis status quo. Alhasil, dari situ ia menyimpulkan bahwa yang mencetak revolusi perubahan, pemberontakan dan sejarah pengorbanan adalah ideologi. Bukan ilmu atau filsafat yang hanya berhenti pada etika penemuan tanpa ada komitmen dalam menjarah kembali tatanan yang baik.
Dalam mengkonstruksi ideologi Islam progresif, Ali Syariati memperhatikan dan menyandarkan analisisnya pada beberapa pandangan yang ia pahami dalam Islam. Pertama, terkait dengan konteks historis di balik turunnya Islam. Dalam proses mengidentifikasi sejarah dalam Islam, ada upaya pembebasan yang digulirkan dalam pengutusan Nabi yang muncul dari lapisan paling bawah struktur masyarakat untuk membimbing masyarakat dari despotism tirani kebudayaan dan politik. Itu disimbolkan dari beberapa peristiwa penting seperti kehadiran kekuasaan Firaun yang tamak, perlawanan nabi Isa atas kekaisaran Romawi, serta pembebasan nabi Muhammad sebagai kesejatian transformasi universal umat manusia, serta pembebasan atas kebudayaan jahiliyah yang melekat pada manusia komunal primitif. Bagi Ali Syariati itu merupakan nilai monumental yang mewariskan semangat progresif dalam bertanggung jawab atas tatanan sosial.
Kedua, interpretasi terhadap ajaran pokok Islam. Repolitisasi yang digaungkan untuk mengembalikan peran vital Islam dalam menentukan arah perubahan diterjemahkan dalam rekonstruksi doktrin pokok yang teologis dalam Islam. Dimulai dari doktrin syahadat atau ketauhidan. Ia menafsirkan bahwa syahadat merupakan pernyataan kosmologis yang menyatakan ketundukan manusia hanya pada kepada Tuhan, yang dengan itu muslim harus memerangi keberadaan ketuhanan palsu yang kontradiksi di tengah masyarakat. Dimensi pembebasan yang terkandung merupakan narasi yang mengantarkan pada penghapusan dominasi dan disparitas kelas sosial dihapuskan diganti dengan persamaan di hadapan Tuhan. Sehingga dapat disimpulkan, Islam melarang disparitas kelas bahkan tidak mengenal kelas. Kemudian, pemantapan terhadap perhatian pada doktrin kesyahidan juga menjadi pelengkap ideologisasi Islam sebagai agama penggerak revolusi, amar ma’ruf nahi munkar atau kewajiban memerangi kemungkaran menyambung hubungan koheren konsepsi kesyahidan. kesyahidan didudukkan sebagai doktrin manifestasi totalitas penyerahan diri, baik fisik, jiwa maupun materi, demi tercapainya suatu tujuan mulia yang membebaskan. Sementara, premis sosialistis di beberapa ajaran Islam seperti mekanisasi zakat, infaq dan sedekah menjadi pelengkap bangunan ideologi Syariati.
Secara gamblang pokok-pokok pijakan bangunan ideologis yang diuraikan diatas menunjukkan fakta sosiologis bahwa Islam merupakan agama yang revolusioner dan berpihak pada kaum tertindas (Mustadafin). Ideologisasi yang dirancang Ali Syariati merupakan produk intelektualitas yang diharapkan mampu menjadi pegangan atau pedoman paradigmatik perjuangan umat Islam. Karakter progresif yang disajikan adalah ihwal untuk membangkitkan kesadaran dalam reposisi peran Islam dalam bertanggung jawab dalam mengagendakan perubahan sosial. Ideologisasi ini diharapkan mampu untuk menjiwai dan mengilhami perjuangan revolusioner dalam Islam untuk memerangi tirani dan penjajahan yang didominasi oleh imperialisme barat. Penjajahan budaya dan politik, kemudian disparitas ekonomi yang membelenggu sudah sepatutnya ditumpaskan dalam kerangka misi pembebasan yang dimaksud sehingga pembebasan adalah selalu menjadi agenda keumatan secara integral dan universal di tengah situasi dunia yang dihegemoni oleh imperialisme barat di era mutakhir.
Referensi
Ridwan, D. (1999). Ali Syariati ; Biografi Intelektual. Jakarta: Lentera.Supriyadi, E. (2012). Sosialisme Islam; Pemikiran Ali Syariati. Yogyakarta: Rausyan Fikr Institut.
Muh Abdillah Akbar
Penulis merupakan mahasiswa jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
- 03/04/2022