Teori kritis Mazhab Frankfurt merupakan teori yang diyakini mampu untuk mengkritis kondisi perkembangan sosial politik. Teori kritis bukan hanya berguna sebagai pengetahuan saja. Melainkan teori kritis ini memiliki peran untuk menyentuh ranah tindakan yang real. Oleh karena itu, teori kritis kerap digunakan untuk mengkritis segala hal yang membelenggu masyarakat dalam berbagai sisi kehidupan (Luthfiyah, 2018:276). Dalam menggunakan teori kritis ini, penulis mencoba mengkaji isu neoliberalisme. Isu neoliberalisme merupakan isu yang mengaitkan antara politik dan ekonomi suatu negara. Semenjak abad ke-20, neoliberalisme mencoba untuk menempatkan diri sebagai pandangan yang fundamental pada pasar bebas.
Keberadaan neoliberalisme dalam kehidupan masyarakat menuai berbagai macam perdebatan akademik. Melalui perdebatan tersebut, keberadaan neoliberalisme dianggap sebagai suatu fenomena konstruksi modernisasi model sosial, politik, dan ekonomi. Dengan adanya konstruksi tersebut, neoliberalisme secara ekstrim membajak segala hal dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, neoliberalisme dapat dilihat sebagai paradigma yang mendominasi model sosial, politik, dan ekonomi.
Dalam konteks negara, neoliberalisme dapat dipandang sebagai sistem yang berdaulat secara politik-ekonomi. Hubungan neoliberalisme dan negara merupakan interaksi ekonomi global yang tersentralisasi oleh elit global. Oleh karena itu, neoliberalisme menghambat banyak negara yang berdaulat untuk menentukan kemandirian ekonomi. Melalui adanya sentralisasi ekonomi tersebut, negara dipaksa merespon fenomena neoliberalisme. Dengan demikian, negara dituntut untuk beradaptasi untuk mempertahankan diri dari praktik politik dan visi neoliberalisme (Persunay,2022:4).
Kritik Theodor Adorno Atas Neoliberalisme (Corak Teori Kritis Generasi Pertama)
Neoliberalisme yang berkembang di masyarakat membuat moda kehidupan masyarakat terdampak langsung khususnya dalam paradigma budaya. Jika neoliberalisme berkembang secara masif di masyarakat, maka rakyat akan kehilangan daulatnya atas ekonomi politik dan akhirnya akan merembet pada bidang budaya sebagai pembentuk dunia kehidupan.
Melalui perkembangan neoliberalisme semacam ini, kita dapat analisis neoliberalisme sebagai ilmu yang abstrak tentang masyarakat. Landasan abstrak tersebut terjadi karena dalam mengkaji neoliberalisme, objek utama yang dikaji ialah masyarakat dan perkembangan pasar. Interaksi antara masyarakat dan pasar ini terjadi begitu cepat dengan dalam hitungan waktu. Oleh karena itu, fenomena perkembangan neoliberalisme dianggap abstrak.
Namun anggapan bahwa neoliberalisme dianggap sebagai sesuatu yang abstrak dibantah oleh salah satu filsuf Mazhab Frankfurt. Tokoh tersebut ialah Theodor Adorno. Dalam bantahannya, Adorno menggunakan teori kritis sebagai alat pembedah neoliberalisme. Adorno memandang bahwa, hal imanen atas fenomena neoliberalisme dapat untuk diperiksa lewat klaim-klaim yang bersifat alamiah. Adorno juga memandang neoliberalisme berdampak pada komodifikasi budaya massa.
Melalui buku yang ditulis Adorno dan Max Horkheimer yang berjudul Culture Industry, Adorno mengkritik neoliberalisme dalam perspektif kapitalisme budaya. Adanya neoliberalisme pada dinamika pasar mendorong dominasi produksi budaya sebagai bentuk komoditas yang dikonsumsi massa. Adorno menilai adanya neoliberalisme pada masyarakat tidak menjadi hal abstrak. Hal ini karena terdapat pemusatan kekuasaan dalam sistem neoliberal, Adorno menilai masyarakat merupakan hasil produk kapitalis pada kebijakan ekonomi. Kebijakan tersebut memiliki kecenderungan untuk membuat ketimpangan kekuasaan ekstrim di masyarakat.
Dalam memahami fenomena neoliberalisme, perspektif yang digunakan bukan hanya dari rumpun ilmu ekonomi. Salah satu pendekatan lain yang bisa digunakan menurut Adorno ialah pendekatan sosiologis. Fenomena neoliberalisme dalam masyarakat yang dikaji secara sosiologis menghasilkan reduksi kehidupan sosial masyarakat akibat kapitalisme. Reduksi tersebut terjadi karena adanya konstruksi sosial yang didominasi oleh kapitalisme ekonomi. Hal ini menjadi sebab adanya masyarakat yang tidak mengetahui kapitalisme ekonomi yang digerakan dalam fenomena neoliberalisme. Kehidupan masyarakat akan selalu mengikuti fenomena neoliberalisme itu sendiri sehingga, membuat kehidupan sosial dinilai abstrak. Selain itu, adanya titik fokus dominasi kapitalisme ekonomi membuat masyarakat menjadi objek penerimaan yang cukup naif. Oleh karena itu, kapitalisme yang diterima masyarakat menjadi sebuah takdir.
Melalui karya yang berjudul “It is Blind Anonymity Could the Economy Appear as as”, Adorno menjelaskan bahwa, masyarakat dan individu dalam neoliberalisme diperhadapkan dalam kuantitas abstrak yang tidak memahami substansi dan kerja pasar itu sendiri. Oleh karena itu, seolah-olah masyarakat dipaksa menempatkan diri sebagai subjek ketidakjelasan, ketidaktentuan, dan ketidakteraturan. Ketidakpahaman masyarakat atas skema neoliberalisme tersebut membuat masyarakat sebagai subjek akan kehilangan rasionalitas kritis dan daya reflektifnya. Hal ini juga akan diperparah ketika masyarakat menerima neoliberalisme sebagai hal yang objektif. Jika hal tersebut terjadi maka masyarakat akan menempatkan neoliberalisme sebagai sumber otoritas rasional.
Adorno memandang neoliberalisme ini dapat dibongkar dengan mempresentasikan neoliberalisme tersebut dalam wujud yang rasional. Melalui wujud yang rasional, fenomena neoliberalisme tersebut dapat dikritik. Adorno mengkritik fenomena neoliberalisme bukan sebagai sesuatu yang abstrak. Melainkan neoliberalisme adalah hasil dari pemusatan ekonomi dari golongan kapitalisme. Berangkat dari kritik tersebut, Adorno memandang neoliberalisme dapat ditempatkan sebagai klaim terhadap pasar yang mengatur diri (self-regulating market).
Adorno menganggap bahwa, kapitalisme merupakan sesuatu yang tidak natural dari neoliberalisme. Ketidaknaturalan tersebut berasal dari kritik pada neoliberalisme yang dianggap menyimpang atau tidak alami dari keadaan semula. Dikarenakan ketidaknaturalan tersebut, masyarakat dalam interaksinya dengan ekonomi akan terdampak. Dampak dari ketidaknaturalan ini membuat masyarakat terjebak individualisme berlebihan. Kemudian, dengan individualisme yang berlebihan tersebut, masyarakat akan terdekontruksi solidaritas sosialnya. Dalam kritiknya Adorno menegaskan bahwa, neoliberalisme merupakan naturalis dari ekonomi yang tidak natural. Neoliberalisme bagi para penganut pasar bebas dianggap sebagai kebebasan pasar dalam cerminan keadaan alamiah dari interaksi ekonomi (naturalis). Namun, anggapan para penganut pasar bebas itu dibantah. Neoliberalisme dikritik karena kebijakan ekonomi terlalu liberal. Klaim tersebut didukung karena dalam neoliberalisme privatisasi terjadi dan diyakini sebagai bentuk intervensi buatan manusia yang tidak sesuai dengan hukum alam ekonomi (tidak natural).
Melalui pembedahan neoliberalisme tersebut, Adorno memperluas kritiknya dengan memandang neoliberalisme secara naturalisasi. Adorno menilai naturalisasi dari neoliberalisme akan menumbuhkan tanda kecenderungan positivistik terhadap perilaku rasional kehidupan sosial ekonomi. (Persunay, 2022:9). Naturalisasi neoliberalisme merujuk pada upaya untuk mengartikan prinsip-prinsip neoliberal sebagai sesuatu yang alamiah. Adanya prinsip yang alamiah ini menimbulkan konsekuensi kondisi sosial dan ekonomi sehingga, melibatkan argumen bahwa kebijakan neoliberal seperti privatisasi akan sejalan dengan hukum alam. Argumen pembenaran hukum alam ekonomi terjadi karena pasar bebas berjalan tanpa adanya intervensi yang menjadi keseimbangan alami dan memberikan hasil pasar terbaik. Naturalisasi neoliberalisme juga memberikan dukungan pada kebijakan liberal. Melalui naturalisasi neoliberalisme, pendukung pasar bebas akan meyakinkan bahwa, prinsip golongnya adalah respon alamiah terhadap dinamika sosial dan ekonomi. Dengan prinsip tersebut, pendukung pasar bebas menilai intervensi yang berlebihan dari pemerintah dapat dianggap sebagai gangguan buatan yang merusak dinamika perekonomian. Oleh karena itu, dengan adanya pembenaran hukum alam ekonomi dan naturalisasi kebijakan maka, akan menumbuhkan kecenderungan positivistik akan menggambarkan fenomena sosial. Melalui kecenderungan ini dalam konteks kehidupan sosial ekonomi diasumsikan sebagai suatu kepastian. Pengasumsian tersebut terjadi karena individu membuat keputusan ekonomi dengan cara rasional dan berorientasi pada keuntungan pribadi mereka.
Kegiatan ekonomi dalam masyarakat neoliberal tidak memediasi subjek dengan nilai yang umum. Dengan tidak adanya mediasi subjek tersebut maka, subjek akan terjebak dalam beragam abstraksi-abstraksi. Selain itu, interaksi antara manusia dan neoliberalisme akan mengalami reduksi. Bahkan, dapat dikatakan neoliberalisme akan melenyapkan subjek manusia dengan diganti pada relasi pertukaran. Neoliberalisme menempatkan diri pada komoditas ekonomi. Dengan demikian, relasi sosial yang terjadi akan ditentukan oleh komoditas. Pada neoliberalisme terdapat berbagai macam abstraksi pertukaran komoditas yang menghasilkan penampakan nilai sebagai yang otonom. Dengan tampaknya nilai yang otonom itu, neoliberalisme berusaha untuk melakukan pertukaran komoditas dalam relasinya sebagai objektif dan alamiah tidak dapat diterima. Praktik pertukaran komoditas dalam kapitalisme kontemporer bekerja melalui abstraksi dari kenyataan sosial-ekonomi konkret. Informasi sebagai konsep lantas tampak sebagai yang objektif yang muncul sebagai data. Reifikasi terhadap informasi menjadi tidak terhindarkan dalam ekonomi neoliberal.
Kritik Jurgen Habermas Atas Neoliberalisme (Corak Teori Kritis Generasi Kedua)
Selain kritik Adorno, pemikir teori kritis generasi kedua Habermas juga mengajukan kritik dalam aspek kebahasaan terhadap neoliberalisme. Habermas memandang dalam neoliberalisme komunikasi yang digunakan oleh orang berkepentingan disana hanya berorientasi pada aspek pasar sehingga, komunikasi mengalami distorsi. Dengan demikian, Habermas memandang komunikasi dalam neoliberalisme adalah komunikasi yang abstrak dan tidak objektif dalam menangkap relasi ekonomi (Persunay, 2022:10).
The Eurozone thus develops in a neocolonial manner, along the lines of a core-periphery relationship between ‘creditor’ and ‘debtor’ nations. Germany becomes the ‘reluctant hegemon’, and he Greek people are ‘punished’ for electing a left-wing government that dared to oppose the austerity agenda of the Troika and Euro-group, only to capitulate eventually to the‘TINA’ narrative (‘There Is No Alternative’ to neoliberal structural reform). The domestic clash between capitalism and democracy is displaced by an imperial regime of integration; democracy pays the price.
Wilkinson,2019:1031
Habermas memandang ekonomi hanyalah milik negara maju dan tidak ada cermin kebebasan. Melalui teknik delinguistifikasi, Habermas memandang neoliberalisme menjadi ruang untuk proses menghapus unsur-unsur linguistik dari suatu teks bahasa tertentu dengan tujuan tertentu. Maka dari itu, salah satu cara dalam melanggengkan pengaruh neoliberalisme adalah delinguistidfikasi sebagai komunikasi yang cukup efektif. Dengan demikian, komunikasi pelaku utama dari neoliberalisme mengalami distorsi dan apa yang terjadi pada neoliberalisme ini hanyalah sebatas praksis sosial ekonomi. Dengan adanya delinguistidkasi ini, neoliberalisme membuat wacana baru dalam dimensi otonomi-politik dan budaya masyarakat dengan menggunakan metode relinguistifikasi. Metode relinguistifikasi adalah suatu proses mengembalikan unsur linguistik dalam konteks tertentu. Hasil yang terjadi dari adanya wacana baru adalah ekonomi dalam neoliberalisme hanyalah ekonomi yang tidak bersifat normatif sesuai dasar pada ekonomi liberal.
Habermas memandang secara kebahasan anggapan neoliberalisme dalam ekonomi ini merupakan praktik politik ekonomi dengan menggunakan religuistifikasi. Sehingga, ekonomi yang terjadi adalah ekonomi kolonial. Melalui ekonomi kolonial ini, Habermas memandang ada problem yang tidak seimbang antara kehidupan (Lifeworld) dan Sistem (system). Melalui sistem yang tidak seimbang ini maka negara dan pasar lantas merusak dunia sosio-kultural (Persunay, 2022:11). Selain itu, ekonomi neoliberalisme merupakan ekonomi yang meruntuhkan nilai demokrasi. Hal ini dikarenakan masyarakat menanggapi neoliberalisme dengan apatis. Sehingga menimbulkan adanya paradigma baru yang masuk pada kehidupan manusia terkait hilangnya kesadaran manusia atas kedaulatan ekonomi dan politik.
Pandangan neoliberalisme Habermas dipengaruhi oleh dominasi pengetahuan. Berangkat dari kritik Marxian atas kapitalisme Habermas memandang kapitalisme pada neoliberalisme ditunjukan pada proses finansialisasi dan komodifikasi masyarakat. Masyarakat dapat terpengaruh proses finansialisasi dan komodifikasi masyarakat ini merupakan hasil dari penggunaan bahasa yang abstrak dari kaum elit. Habermas juga memandang masyarakat sengaja didistorsikan untuk meruntuhkan kondisi sosial kultural yang ada. Habermas menggunakan teori kritis dalam neoliberalisme ini dengan menggunakan subjek dan kehidupan ekonomi. Adanya subjek dan kehidupan ekonomi ini merupakan bentuk analisis marxian pada pelanggengan praktis finansialisasi.
Selain itu, Habermas juga menggunakan analisis Foucauldian yang berfokus pada wacana pengetahuan dalam finansialisasi. Kemudian, kedua analisis itu didialektikakan dengan menimbulkan kritik baru. Dalam kritik baru Habermas mengkritik neoliberalisme secara normatif. Dengan demikian, pembacaan kritis atas neoliberalisme menekan kembali pada syarat dan distingsi wilayah dan fungsi kehidupan manusia. Melalui kritik Habermas ini, dua analisis pemahaman difokuskan pada kehidupan dan sistem yang relevan dalam menangkap kritik fenomena kapitalisme kontemporer (Persunay, 2022:12).
Secara lebih mendalam Habermas menaruh fokus kritik pada proses kolonisasi sistem. Pada proses tersebut Habermas memandang teori kritis sangat efektif untuk mengkritisi relasi antara dimensi non-normatif, material faktual, normatif dan ideal simbolik. Dengan demikian, Habermas mengajak masyarakat yang merupakan objek dari neoliberalisme untuk tumbuh sendiri. Habermas juga mengharapkan demokrasi perlu diperkuat dalam menghadapi pengaruh neoliberalisme ini. Dengan semakin kuatnya demokrasi maka, masyarakat yang ideal akan berusaha memperjuangkan hidupnya untuk mencapai keseimbangan dalam kehidupan (lifeworld) dan sistemnya.
Kritik Axel Honneth Atas Neoliberalisme (Corak Teori Kritis Generasi Ketiga)
Generasi ketiga ini merupakan sosok pemikir teori kritis yang berangkat dari kritik generasi sebelumnya. Dengan adanya perkembangan generasi, teori kritis ini dapat dijustifikasikan sebagai teori yang mengkritik dirinya sendiri. Inilah bentuk utama dari ciri khas teori kritis. Pada generasi ketiga ini teori kritis sudah mulai masuk ke dalam ranah hubungan individu dalam kekuasaan, pengakuan, dan penghargaan. Generasi ketiga teori kritis merupakan bentuk semangat emansipatoris yang baru. Dalam konteks hubungan teori kritis generasi ketiga dan neoliberalisme, ada salah satu tokoh teori kritis yang cukup terkenal. Tokoh tersebut bernama Axel Honneth.
Dalam pemikiran Honneth argumen utama yang coba disasarkan ialah argumen tentang teori kritis pada aspek pengakuan individu. Honneth memandang dalam analisis neoliberalisme perlu mempertimbangkan adanya keterlibatan individu sebagai aspek utama. Selain itu, Honneth juga memandang bahwasanya, perlu ada batasan dalam memahami dunia rasionalitas dan dimensi manusia. Berangkat dari pemikiran Hegel, Honneth memandang konsep kesadaran diri memerlukan adanya timbal baik. Adapun maksud dari pemikiran Honneth ini ialah seorang manusia pasti memiliki sebuah kesadaran. Namun, kesadaran ini perlu adanya hubungan timbal balik dari objek yang mempengaruhinya.
There can be no doubt that the current economic system in the developed countries of the West in no way represents a “relational” institution and is thus not a sphere of social freedom. It lacks all the necessary characteristics of such a sphere: It is not anchored in role obligations to which all could agree, and which interweave with each other in a way that allows subjects to view each other’s freedom as the condition of their own freedom; it therefore lacks antecedentelation of mutual recognition from which the corresponding role obligations could draw any validity or persuasive power.
Giladi, 2021:248
Berangkat dari argumentasi di atas, Honneth memandang perekonomian negara maju menghancurkan sisi relasional. Dengan demikian, perekonomian neoliberalisme merupakan produk politik ekonomi yang meninggalkan aspek kebebasan manusia. Honnent memandang manusia perlu pengakuan untuk menunjukan eksistensinya dari sistem yang ada. Dengan berangkat dari pemikiran Adorno yang menyuarakan tesis neoliberalisme telah mengontrol manusia dan manusia harus membalikan kontrol neoliberalisme pada kontrol kesadaran manusia. Kemudian, tesis Habermas terkait pemikiranya tentang mundurnya demokrasi karena neoliberalisme dan manusia perlu menguatkan demokrasi. Honneth menemukan titik temu dari dialektika tersebut. Titik temunya ialah Honneth merefleksikan secara positivik bahwasanya, manusia perlu memikirkan tentang pengakuan.
Pemikiran tentang pengakuan ini merupakan hasil dari kekosongan peran manusia yang secara sadar memikirkan pengakuan. Honneth memandang kehidupan dan sistem yang ada ialah dengan berusaha mencapai sistem yang absolut dengan tidak adanya penekanan pada subjek individu. Dengan demikian, individu merasa kosong dan tidak diakui. Kekosongan inilah yang membuat Honneth berpikir bahwa, manusia justru kebebasanya terbelenggu karena tidak adanya pengakuan. Melalui kekosongan ini manusia dituntut mempersiapkan syarat kebebasan yang benar-benar bebas di luar aspek yang telah disepakati tanpa keterlibatan pengakuan.
Manusia bukan tempat eksploitasi atas neoliberalisme. Dengan adanya neoliberalisme, manusia perlu menumbuhkan kesadaran dengan tidak terbawa terus atas sistem yang ada. Dengan demikian, teori pengakuan Honneth memiliki tujuan akhir untuk memberikan validasi persuasif manusia dalam menanggapi isu yang berkembang di lingkungan ekonomi.
Daftar Pustaka
J Persunay, A. (2022). Sage Handbook Neoliberalisme Buku Rujukan Neoliberalisme Kontemporer (Terjemahan Bahasa Indonesia). Pustaka Pelajar Yogyakarta.
Luthfiyah, L. (2018). Kritik Modernitas Menuju Pencerahan: Perspektif Teori Kritis Mazhab Frankfurt. Tajdid: Jurnal Pemikiran Keislaman dan Kemanusiaan, 2(1), 275-285.
Giladi, P. (2021). Ethical Life, Growth, and Relational Institutions: Intersubjectivity, Freedom, and Critique. Etica e Politica/Ethics and Politics, 23(2), 233-253.
Wilkinson, M. A. (2019). Authoritarian liberalism in Europe: A common critique of neoliberalism and ordoliberalism. Critical Sociology, 45(7-8), 1023-1034.