Hannah Arendt: Menimbang Kembali Apa yang Sedang Kita Lakukan

Hannah Arendt
Hannah Arendt

“…for although Christians have spoken of the earth as a vale of tears and philosophers have looked upon their body as a prisoner of mind or soul, nobody in the history of mankind has ever conceived of the earth as a prison for men’s bodies or shown such eagerness to go literally from here to the moon. Should the emancipation and secularization of the modern age, which began with turning-away, not necessarily from God, but from a god who was the Father of men in heaven, end with an even more fateful repudiation of an Earth who was the Mother of all living creatures under the sky?” 

Arendt, 1958:2

Pada pembuka awal karya, Hannah Arendt mengklaim bahwa penemuan-penemuan dalam sains dapat mengantar manusia pada pemberontakan atas makna eksistensinya, yang semula terberi (human nature), entah dari agama dan para filsuf. Para filsuf, misalnya, melihat manusia dalam distingsi antara jiwa dan tubuh, di mana tubuh adalah penjara bagi jiwa. Kepercayaan pada kondisi yang terberi tersebut membuat umat manusia mengalami dekadensi karena menganggap dirinya terperangkap ketidakberdayaan. 

Dalam perkembangan peradaban manusia, sains memiliki pengaruh yang cukup besar. Menurut Arendt, sains berkonsekuensi pada lahirnya situasi dengan signifikansi politik. Penemuan dalam sains merupakan bagian dari “suara” (speech), yang tidak boleh diabaikan, sama seperti “suara” dalam aspek lain seperti ekonomi, sosial, atau politik itu sendiri. Arendt sendiri menarik kembali definisi politik dari Aristoteles bahwa tujuan politik bukanlah pengetahuan, melainkan tindakan (Pasaribu, 2016). Politik bertujuan untuk memperoleh kebaikan bersama dan tertinggi. Dalam definisi tersebut, selama sains bertujuan untuk kemajuan peradaban manusia, maka signifikansinya perihal politik tidak bisa diabaikan. 

Menurut Arendt, karakter sains di masa modern masih belum cukup kuat. Sains seakan kehilangan daya (power) untuk bersuara. Sebagai contoh adalah penemuan bom atom yang akhirnya melahirkan tragedi besar Hirosima dan Nagasaki di tahun 1945, atau peristiwa peluncuran roket pertama kali saat perang dingin di tahun 1957, demi menunjukkan kekuatan di hadapan lawan politik. Dalam isu terkini, misalnya tentang lingkungan hidup, penemuan para saintis telah menjadi pertimbangan penting, namun di masa Arendt hidup, masalah utama yang dihadapi adalah teror dari beragam ideologi yang mengancam kebebasan ruang publik. 

Selanjutnya Arendt membahas tentang manusia sebagai makhluk politik, di mana manusia dengan keunikan latar belakang dan pengalaman hidupnya merupakan entitas politik. Menurut penulis, Arendt hendak mengatakan bahwa setiap suara mempunyai hak yang setara dalam ruang publik. Setiap orang harus berpartisipasi mengingat Arendt mempercayai bahwa kemenjadian hanya dapat diperoleh melalui “suara” dan “tindakan”. 

“Men in the plural, that is, men in so far as they live and move and act in this world, can experience meaningfulness only because they can talk with and make sense to each other and to themselves”

Arendt, 1958:4

Namun manusia modern masih belum sampai pada ruang kebebasan dan pluralitas. Sebagian besar manusia masih berjuang melawan beban tertua dan alamiahnya, yaitu beban kerja-buruh (laboring) dan kebutuhan dasar. Dalam mengeksplorasi tentang kondisi manusia modern yang teralienasi ke dalam kelas buruh ini, Arendt mendapat pengaruh dari Karl Marx, meskipun akhirnya Arendt akan mengkritik dan menggagas ide baru. Menurut Marx, hal yang paling fundamental dari manusia adalah kerja (work), sedangkan menurut Arendt adalah tindakan (action)

Meskipun masalah masalah perlawanan buruh telah dihadapi jauh oleh perdaban manusia, bagi Arendt, modernisasi berkontribusi besar dalam melahirkan masyarakat buruh tersebut secara menyeluruh. Kita bisa merasakan hal tersebut dengan menilik ruang kampus, misalnya, yang bertujuan untuk mencetak tenaga kerja alih-alih menjadi ruang untuk kemenjadian individu. Karena itu, alienasi menjadi masalah serius yang dihadapi oleh manusia modern. 

Masalah lain adalah masyarakat modern sendiri tidak menyadari bahwa mereka sedang teralienasi. Konsep egalitarian seakan telah termanifestasi, di mana setiap orang bebas dan setara. Bagi Arendt, egalitarian di era modern tidak lebih sebagai jalan untuk membuat masyarakat hidup bersama dalam kondisi sebagai buruh, di mana tidak ada kelas, aristokrasi atau semangat politik dan rohani untuk merestorasi kapasitas untuk menjadi (Arendt, 1958:5)

Menariknya dalam buku The Human Condition adalah Arendt sendiri mengklaim bahwa dirinya tidak memberikan metode atau jawaban pasti. Ia ingin mengajak pembaca untuk merekonsiderasi ulang kondisi manusia; persoalan politik dan ketakutan yang sedang kita hadapi. Aspek ini menurut penulis membuat pemikiran Arendt masih tetap relevan meskipun kita hidup di masa yang berbeda dengannya. Oleh karena itu Arendt mengatakan bahwa tema besar karyanya tersebut adalah “what we are doing?” Dalam mengkaji persoalan tersebut, Arendt membatasi diskusi pada pembahasan mengenai labor, work, dan action

Latar Belakang Kehidupan dan Karya

Hannah Arendt Lahir dari keluarga Yahudi di Königsburg, Jerman, pada 14 Oktober 1906. Arendt mempelajari filsafat di bawah bimbingan Heidegger dan Bultmann di Marburg dan kemudian di bawah bimbingan Husserl dan Jaspers di Freiburg dan Heidelberg. Selanjutnya Arendt pindah ke Berlin, di mana ia banyak menghabiskan waktunya untuk menganalisis tentang Nazisme. Selain aktif sebagai pemikir, ia juga ikut bergerak sebagai aktivis politik. Ia sempat ditangkap dan ditahan pada tahun 1933, namun segera dapat melarikan diri ke Prancis. Dia sempat diinternir di kamp penjara Prancis, lalu melarikan diri ke AS pada tahun 1941. Dia memegang berbagai posisi akademis di sana, yang terakhir di Pusat Penelitian Sosial Baru. Dia secara teratur menulis tentang isu-isu publik tetapi tidak aktif secara politik.

Arendt menghasilkan beberapa karya seperti The Origin of Totalitarianism (1951). Karya tersebut membahas mengenai anti-semitisme, imperialisme, dan rasisme, atau ‘three elements of shame’ dalam terma dari Arendt. Menurutnya, ideologi adalah dasar dari totalitarianisme. Ideologi sendiri memuat sebuah ide tentang ras, kelas, dan bangsa. Ketika ideologi diterima secara berlebihan, akibatnya adalah kemunculan teror besar, yang tersistematis, terinstitusi, dan terpola. Hali ini yang terjadi ketika Nazisme melahirkan ketakutan masal di Eropa pada saat Perang Dunia II. Menurut Arendt, totalitarianisme menemukan lahan subur dalam lingkungan masyarakat telah terpecah menjadi massa yang lepas dan tak berakar, serta negara yang dikuasai oleh aparat koersif yang tak terkendali. Dalam karya ini, Arendt hendak menjawab beberapa pertanyaan mengenai apa makna menjadi manusia secara individu dan kelompok, dunia seperti apa yang mungkin untuk membawa kita pada kehidupan yang bermakna, mengapa manusia melakukan kejahatan, bagaimana berpikir berkaitan dengan tindakan, dan sebagainya.

Karya Arendt selanjutnya adalah Betwen Past and Future (1961), karya yang memuat enam esai yang mengajak kita untuk mengeksplorasi hakikat dari otoritas, kebebasan, penilaian dan budaya politik, dan catatan berisi simpati Arendt terhadap Imannuel Kant. Secara garis besar, Arendt menilai bahwa pemikiran politik bersifat publik dan representatif yang seharusnya memberikan kesempatan pada setiap karakter masyarakat yang beragam. Beberapa karya Arendt lainnya adalah On Revolution (1963), Eichmann in Jerusalem (1963), The Human Condition (1958).

Pembahasan

Arendt mengklaim bahwa terdapat tiga aktivitas fundamental manusia, yaitu labor (kerja), work (karya), dan action (tindakan). Ketiga aktivitas itu merupakan upaya Arendt untuk memberikan gambaran fenomenologis tentang komponen dasar kehidupan aktif (vita activa). Ia hendak membedakan kapasitas manusia untuk berbicara (speech) dan bertindak (action) secara politik melalui dorongan-dorongan yang memotivasi tindakan manusia. Arendt berpendapat bahwa tradisi pemikiran politik Barat telah secara progresif menggabungkan komponen-komponen berbeda dari kehidupan aktif (kerja, kerja, dan tindakan), sehingga menciptakan jaringan konsep yang secara mendasar mendistorsi pengalaman politik dan pemahaman kita. itu. Yang lebih meresahkan lagi, konsep-konsep ini cenderung menghasilkan kengerian moral setiap kali diterapkan secara terprogram pada bidang tertentu (Villa, 2006: 6-8 ). 

Kerja merupakan aktivitas yang berhubungan dengan proses biologis manusia yang didasari oleh kebutuhan dasar untuk memproduksi demi keberlangsungan hidup mereka. Kerja adalah apa yang kita lakukan untuk bertahan hidup, untuk makan, meraih kesehatan, mendapat tempat tinggal, dan menjaga kehidupan tetap berkembang. Aktivitas ini penting, tetapi masih belum cukup untuk merengkuh aktivitas tertinggi manusia, dikarenakan aktivitas kerja juga dilakukan oleh hewan. 

“Labor is the activity which corresponds to the biological process of the human body, whose spontaneous growth, metabolism, and eventual decay are bound to the vital necessities produced and fed into the life process by labor. The human condition of labor is life itself.”

Arendt, 1958: 7

Karya merupakan aktivitas yang berhubungan dengan eksistensi manusia yang tidak alamiah. Kerja menciptakan hal-hal yang artifisial, yang berbeda dengan segala hal yang alamiah. Misalnya adalah sebuah meja, rumah, buku, dan mobil. Kerja membuat manusia dapat merekayasa sesuatu sehingga membuat aktivitas manusia menjadi lebih mudah dan efektif. 

Singkatnya, apa yang kita kerjakan membentuk realitas kemanusiaan yang kita semua miliki bersama. Kerja adalah bagian dari apa yang disebut Arendt sebagai “kecerdasan manusia”: artinya kita lebih dari sekedar alam, dan kita telah menciptakan sesuatu yang bertahan lama. Kita bekerja karena kebutuhan; kami bekerja untuk menciptakan realitas kemanusiaan. Karya bersifat permanence dan durability, artinya mampu menciptakan sesuatu sebagai instrumen untuk menghindari kesia-siaan mortalitas. Berbeda dengan aktivitas kerja untuk memenuhi kebutuhan (necessity), aktivitas karya bertujuan untuk menciptakan realitas manusia. Definisi ini dapat digambarkan melalui adagium dari Hippocrates, ars longa vita brevis (karya seni itu bertahan lama, hidup itu singkat)

“Work is the activity which corresponds to the unnaturalness of human existence, which is not imbedded in, and whose mortality is not compensated by, the species’ ever-recurring life cycle. Work provides an “artificial” world of things, distinctly different from all natural surroundings. Within its borders each individual life is housed, while this world itself is meant to outlast and transcend them all. The human condition of work is worldliness.” 

Arendt, 1958: 7

Terakhir adalah tindakan. Tindakan merupakan aktivitas tertinggi manusia, aktivitas yang menghubungkan manusia dengan dunia secara langsung dan menggambarkan kondisi pluralitas. Aktivitas tindakan hanya mungkin ketika manusia secara kolektif berada bersama di dalam lingkungan sosial, di mana ia berbagi keunikan, bakat, kualitas, keprihatinan, dan memikirkan perubahan. Dalam dua aktivitas sebelumnya, khususnya aktivitas kerja, manusia terjebak dalam kebutuhan dan tidak bebas karena ia masih menjadi bagian dari struktur. Dua kondisi sebelumnya memang berkaitan dengan  politik, namun aktivitas tindakan secara spesifik berbeda. Menurut Arendt, aktivitas tindakan bersifat conditio sine qua non (syarat mutlak), tetapi conditio per quam (syarat itu sendiri). Arendt memberi contoh kehidupan masyarakat di Romawi, di mana dikenal istilah “to live” dan “to be among men” (inter homines esse) atau “to die” dan “to cease to be among men” (inter homines esse desinerre).

“Action, the only activity that goes on directly between men without the intermediary of things or matter, corresponds to the human condition of plurality, to the fact that men, not Man, live on the earth and inhabit the world.”

Arendt, 1958:7

Pemikiran Arendt sebetulnya bisa dikategorikan ke dalam aliran eksistensialisme. Namun, berbeda dengan J. P. Sartre yang melihat manusia lain secara pesimis, misalnya, dengan adagium terkenalnya “other people is hell”. Arendt justru cukup optimis dalam memandang manusia lain. Menurutnya, manusia justru akan senantiasa berada dalam proses kemenjadian (becoming) ketika ia menghadirkan dirinya secara intersubjektif di ruang publik. 

Meskipun terdapat distingsi spesifik antara ketiganya, Arendt secara umum memiliki kesamaan perihal eksistensi manusia, ialah dalam hal kehidupan dan kematian, kelahiran dan mortalitas. Kerja, misalnya membuat manusia tetap bisa melangsungkan kehidupan karena sifatnya sebagai kebutuhan vital. Selanjutnya karya, membuat manusia dapat mengabadikan suatu hal, baik gagasan dan material, karena sifatnya yang permanen (permanence) dan kekal (durability). Sedangkan tindakan, membuat manusia menemukan dan melestarikan kehidupan politik sehingga mampu menciptakan sejarah baru (Arendt, 1958:9)

Human Condition Berbeda dengan Human Nature

Arendt mengatakan bahwa manusia selalu terkondisi (conditioned being). Artinya dunia di sekitar selalu mempengaruhi bagaimana manusia mengada. Di satu sisi, dunia memberi kondisi tertentu pada manusia, namun di sisi lain hasil kreasi artifisial manusia juga akan mempengaruhi keberadaannya. Oleh karena itu manusia selalu berada dalam situasi yang dinamis atau terkondisi. Dengan cara apa pun, realitas akan terus memaksa manusia untuk menyesuaikan diri sepanjang hidupnya. Dalam hal ini, kita bisa melihat pengaruh fenomenologis dalam pemikiran Arendt, di mana ia melihat kesadaran manusia selalu dalam intensi dengan dunia, vice versa. 

“The objectivity of the world–its object- or thing-character–and the human condition supplement each other; because human existence is conditioned existence, it would be impossible without things, and things would be a heap of unrelated articles, a non-world, if they were non the conditioners of human existence.” 

Arendt, 1958:9

Berbeda dengan human condition, human nature memandang manusia mempunyai hakikat yang bersifat mendasar dan tetap. Adapun Arendt mengatakan bahwa satu-satunya kondisi alamiah manusia adalah kenyataan bahwa ia adalah entitas fenomenologis atau entitas yang terkondisi. Dalam menyoal human nature lebih jauh, Arendt meminjam asumsi dari Agustinus, “quatio mihi factus sum” (“a question have I become for myself”). Pertanyaan tentang human nature tidak bisa terjawab, baik secara individual dan general. Hal ini sama saja dengan mereduksi konsepsi manusia ke dalam sifat kebendaan. Arendt mengatakan bahwa usaha tersebut sia-sia, sama seperti melompat ke dalam bayangan kita sendiri. Memang, eksistensi manusia selalu terkondisi, namun ia tidak pernah terkondisi sepenuhnya, dikarenakan eksistensi itu berkaitan – natalitas dan mortalitas, keduniaan (worldlideness), pluralitas, dan bumi – keadaan yang berubah dan mempengaruhi eksistensi manusia (Arendt, 1958: 10-11).

Referensi

Pasaribu, S. (2016). Politik Aristoteles. Yogyakarta: Narasi-Pustaka Promothea.

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.