Pelukis John MacDonald
Pelukis John MacDonald

Dewasa ini, ada kecenderungan dalam masyarakat kita, dan dengan demikian juga siswa serta para mahasiswa kita, untuk memandang bahwa ilmu pengetahuan yang berguna adalah ilmu pengetahuan yang dapat menghasilkan uang, dapat menghasilkan mesin produksi atau dapat menghasilkan produk yang dijual. Sebaliknya, ilmu pengetahuan yang kurang mampu mendukung kita untuk mendulang uang, akan dianggap sebagai pengetahuan yang tidak berguna sehingga mempelajarinya hanya menghabiskan waktu dan tenaga.  

Kita bisa dengan mudah menemukan kecenderungan semacam ini dari ungkapan-ungkapan julid keluarga, teman maupun tetangga kita. Ungkapan itu biasanya berbunyi “percuma sekolah tinggi-tinggi kalau gajinya sama kayak orang yang pendidikannya rendah” atau juga “belajar begituan buat apaan sih toh juga gak bisa ngasilin duit juga”. Jika kita mungkin adalah mahasiswa filsafat, sastra, atau sejarah mungkin ungkapan semacam ini setidaknya pernah kita dengar meski hanya sekali. 

Tak hanya dalam bentuk ungkapan, kecenderungan semacam ini juga tergambar dalam bagaimana seseorang memilih program studi (prodi) untuk meneruskan pendidikannya. Saat ingin memilih prodi, apa yang menjadi pertimbangan utama dari orang tua maupun calon mahasiswa bukanlah apakah si calon mahasiswa menyukai prodinya, atau apakah ia memiliki keahlian yang dapat diasah jika ia mengambil prodi tersebut. Melainkan, apakah prodi yang akan diambil memiliki prospek kerja yang bagus, yang memungkinkannya mendapatkan gaji yang tinggi setelah lulus. Sehingga hari ini bisa kita lihat di kampus manapun di negeri ini, bahwa prodi semisal Filsafat, sastra, sejarah, dan antropologi adalah prodi yang sepi peminat karena tidak memiliki prospek kerja yang memadai.  

Kecenderungan semacam ini sebenarnya sangat bisa dipahami dan dimaklumi, karena tentu hal semacam ini sangat realistis. Kita tentu sepakat bahwa di zaman sekarang akan cukup sulit untuk hidup nyaman jika tanpa uang yang memadai. Sehingga, wajar saja jika muncul kecenderungan semacam ini. Namun apakah benar demikian? Apakah ilmu yang layak dipelajari hanyalah ilmu yang mampu memberi kita sebuah wadah untuk mencari rupiah?, lalu bagaimana dengan ilmu-ilmu yang kurang memungkinkan kita untuk berkelindan dengan cuan? Apakah memang ilmu  semacam ini benar-benar tidak berguna? Atau apakah sebenarnya ilmu semacam ini juga memberi manfaat pada kita tapi dalam bentuknya yang lain? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini saya kira sangat layak untuk didiskusikan, karena akan sedikit banyak mempengaruhi cara pandang masyarakat kita terhadap ilmu pengetahuan.  

Keraguan terhadap kebermanfaatan ilmu pengetahuan semisal filsafat, sastra dan sejarah sebenarnya telah dijawab oleh seorang filsuf masyhur asal Britania Raya yakni Bertrand Russell. Dalam sebuah esainya yang berjudul “useless knowledge”, Russell mengklasifikasikan ilmu pengetahuan menjadi dua kategori, yakni “useless knowledge” dan “useful knowledge”. Saat mengatakan “useless knowledge” Russell merujuk pada ilmu-ilmu semisal; filsafat, sastra, sejarah dan ilmu-ilmu lainnya yang kurang mampu memberikan dampak ekonomi dan solusi praktis bagi kehidupan manusia.  Sedangkan saat mengatakan “useful knowledge” Ia merujuk pada ilmu-ilmu yang dapat menciptakan solusi praktis pada kehidupan manusia dan memberikan dampak ekonomi yang signifikan, semisal; fisika, biologi, kimia, ekonomi dll. Namun, dengan mengidentifikasi suatu pengetahuan sebagai “useless knowledge” Russell tidak bermaksud mengatakan bahwa itu adalah jenis pengetahuan yang benar-benar tidak berguna dan sia-sia. Russell menggunakan istilah “useless knowledge” hanya dalam artian bahwa jenis pengetahuan ini memiliki fungsi terbaik tidak pada sisi-sisi praktis dan ekonomis, namun pada hal-hal lain yang lebih bersifat non-praktis. 

Tapi apa manfaat non-praktis dari “useless knowledge”? Manfaat dari “useless knowledge” yang dimaksud Russell adalah mendorong dan mendukung kebiasaan berpikir secara kontemplatif. Berpikir yang kontemplatif adalah cara berpikir yang mendalam, yang memungkinkan kita untuk menimbang sebuah pernyataan dengan  sikap yang tidak dogmatis dan objektif. Untuk menjadi seorang yang tidak dogmatis kita tidak diperkenankan untuk meyakini sebuah proposisi sebagai suatu kebenaran yang pasti, karena menurut Russell tidak ada proposisi yang benar seutuhnya, semua pasti memiliki kesalahan dan sisi ketidakjelasan. Sedangkan untuk menjadi objektif, aksi serta pendapat kita harus terbebas dari emosi serta nafsu yang seringkali terlibat tanpa kita sadari. Dan menjadi tidak dogmatis serta objektif dapat dimungkinkan jika kita mau dan mampu untuk berdiskusi dengan seseorang yang berada di lain sisi dengan kita, lalu bersedia merevisi dan membuang keyakinan kita, bila ditemukan bukti yang tidak memadai pada keyakinan kita. Tidak hanya diskusi, menjadi tidak dogmatis dan objektif hanya dimungkinkan jika kita memiliki kebebasan, baik kebebasan dari luar maupun  kebebasan dari dalam. Kebebasan dari luar berarti tidak ada sanksi legal maupun konsekuensi ekonomi yang menanti ketika kita memegang suatu pendapat. Sedangkan kebebasan dari dalam berarti kita terbebas dari ego ataupun emosi saat kita meyakini suatu pandangan tertentu.  

Kebiasaan berpikir kontemplatif akan sangat berpengaruh pada kehidupan kita sendiri khususnya dan kemajuan peradaban pada umumnya. Manfaat paling besar dari kebiasaan berkontemplasi adalah mencegah kejahatan, kekejaman, kematian dan penderitaan umat manusia. Russell percaya bahwa segala jenis kejahatan yang ada di dunia ini mayoritas bersumber dari kecenderungan untuk bertindak tanpa memiliki pertimbangan yang memadai terhadap tindakannya. Sehingga menurutnya kejahatan semacam ini akan reda bahkan mungkin hilang jika kita mau berkontemplasi sebelum bertindak, mematangkan pemikiran sebelum tindakan.  

Contoh nyata yang bisa kita amati adalah terorisme yang mengatasnamakan agama. Para teroris yang mengatasnamakan agama jelas tidak menerapkan cara berpikir yang kontemplatif. Mereka terjebak dalam cara berpikir yang dogmatis dan jelas sama sekali tidak objektif. Mereka enggan berdiskusi dengan pihak yang berlawanan dengannya, dan bahkan jika mereka mau untuk berdiskusi, mereka tidak akan meninggalkan kepercayaannya setelah terbukti tidak memadai. Padahal jika mereka mau berpikir secara kontemplatif, sedikit menurunkan ego dan amarah, dan menyadari bahwa kebenaran bisa saja mengejawantah dalam beraneka macam pandangan. Saya kira tidak akan ada lagi gerakan terorisme yang menewaskan banyak orang tak bersalah. Ini hanyalah satu contoh, akan ada lebih banyak lagi kekejaman yang musnah jika kita mau menerapkan cara berpikir yang kontemplatif.  

Lalu, manfaat lain dari kebiasaan berpikir yang kontemplatif adalah kemampuannya untuk mengantarkan manusia menuju kebahagiaan yang hakiki. Hari ini banyak orang yang mencoba mengejar kebahagiaan melalui sesuatu yang menghasilkan kesenangan semisal kekayaan, kepopuleran dan barangkali juga kekuasaan. Namun, pengejaran kebahagiaan semacam ini tentu tidak akan pernah ada ujungnya dan hanya mengantarkan manusia sampai pada kebahagiaan yang sementara.  Dengan memiliki harta, popularitas dan kuasa kita mungkin akan bahagia dalam beberapa waktu, namun jika semua itu hilang, masihkah kebahagiaan akan tetap bertahan? Berpikir kontemplatif adalah cara yang tepat untuk menggapai kebahagiaan yang sejati, meski tentu ini bukan satu-satunya cara. Orang yang terbiasa berpikir kontemplatif tidak akan terjebak dalam pencarian kebahagiaan yang sementara dan tak berkesudahan, mereka akan menyadari bahwa kebahagiaan sebenarnya terletak pada penerimaan yang paripurna atas dirinya sendiri. Sehingga mereka akan bahagia meski tanpa harta dan bahkan dalam keadaan menderita 

Akhir kata setelah semua uraian diatas, saya kira kita sampai pada satu kesimpulan bahwa tidak hanya ”useful knowledge” yang layak dimiliki dan menjadi bahan kajian. Tetapi “useless knowledge” juga layak untuk dimiliki dan dikaji dengan cara yang memadai. Sehingga sudah selayaknya pendidikan kita mengajarkan keduanya secara serasi. Russell telah menunjukkan bahwa peran yang dimainkan oleh “useless knowledge” yakni mendukung dan mempromosikan kebiasaan berpikir secara kontemplatif tidak dapat diabaikan. Ia begitu optimis dunia akan menuju kearah yang lebih baik ketika dipenuhi dengan orang yang memiliki kebiasaan berpikir secara kontemplatif.  

Referensi 

Russell, Bertrand. The Will to Doubt. 1958. New York, Philosophical Library. P. 69-80 

Deka, J. (2021). A Russellian Plea for ‘Useless’ Knowledge: Role of Freedom in Education. Studies in Philosophy and Education, 40, 23-37. 

M. Ja'far Baihaqi

Mahasiswa Aqidah Filsafat di UIN SATU Tulungagung

2 Responses

  1. Izin bertanya, terkait kematian apa yang dapat dicegah datangnya oleh kemampuan berpikir kontemplatif? yang menurut saya pribadi kemampuan berpikir ini setidaknya mampu menghantarkan seseorang dalam mengingat kematian, bukan mencegah proses kematian itu sendiri… Tetapi, apakah saya yang salah dalam memahami tulisan saudara yang begitu bagus ini…. mohon penjelasannya

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.