Tidakkah kehidupan ini bermakna, dengan demikian, juga layak dijalani? Bagi Albert Camus itulah satunya-satunya problem filosofis yang paling mendesak untuk diberi jawaban. Dampaknya yang sedemikian signifikan bagi kehidupan, menjadi dasar pertimbangan. Bagaimana dengan problem filosofis lain, problem tentang Tuhan, kebenaran, pengetahuan, dan barangkali juga kebaikan serta kejahatan? Pertanyaan semacam itu bukannya tidak berarti ataupun sama sekali tidak layak dikaji. Orang tidak akan mati karena salah mempercayai argumen ontologis maupun epistemologis, tetapi banyak orang mati karena percaya bahwa hidup tidak bermakna dan tidak layak dijalani. Memang, beberapa kali kita temukan bahwa ada orang yang rela mati karena menaati gagasan yang ia percayai, seperti halnya para martir. Namun itu masih kalah jauh jumlahnya dengan orang yang mati bunuh diri, yang karena merasa hidupnya tidak berarti dan tidak layak dijalani, memilih memutus urat penderitaannya atau menggantung kehidupannya di atas seutas tali. Singkatnya pertanyaan ini layak dikaji dengan cara yang paling memadai karena berkaitan dengan hidup dan mati.
Banyak orang mengatakan bahwa kehidupan ini berarti dan bermakna. Para agamawan, misalnya, mengatakan bahwa makna hidup kita adalah untuk taat dan beribadah pada Tuhan. Sehingga, mereka akan hidup dengan sebisa mungkin mematuhi perintah Tuhan, dan berharap bahwa setelah mati akan ada hal indah yang mereka dapati. Atau juga para motivator yang mengatakan dengan suara penuh semangat, bahwa tidak ada yang terlahir dengan sia-sia, setiap dari kita terlahir untuk suatu hal hebat. Bagi keduanya, hidup ini sangat-sangat bermakna, berarti juga layak dijalani, karena menawarkan sesuatu yang mungkin bisa diraih dengan upaya yang gigih. Lalu bagi sementara yang lain, yang percaya akan ketidakbermaknaan hidup, yang menganggap bahwa penderitaan yang mereka alami adalah kesia-siaan, kehidupan mekanis yang dijalani setiap hari adalah takdir tragis, lebih memilih bunuh diri sebagai perlawanan atas kehidupan.
Tawaran Camus
Lalu di mana posisi Camus dalam menanggapi persoalan semacam ini? Posisi Camus berada di antara keduanya. Ia menentang upaya untuk memberikan makna pada hidup atau yang ia sebut sebagai bunuh diri filosofis, pun juga menolak bunuh diri secara eksistensial. Bagi Camus, kehidupan tidak memiliki makna secara inheren, sehingga segala upaya untuk memaknai kehidupan akan jatuh pada kesia-siaan.
Persis di sinilah letak absurditas menurut Camus, hasrat manusia akan selalu mengejar sesuatu yang bermakna, namun dunia yang tidak mampu memfasilitasinya. Dan tak hanya itu, yang absurd juga mengejawantah dalam pelbagai hal, misalnya saja hasrat manusia akan kebahagiaan dan dunia yang menawarkan pelbagai penderitaan, keinginan manusia akan kebenaran dan kehidupan yang menyediakan ketidakpastian, hasrat manusia akan kehidupan dan dunia yang menjamin kematian dan masih banyak lainnya. Betapa pun manusia berusaha memenuhi hasrat dan keinginannya, pada akhirnya ia akan bertemu dengan sesuatu yang sama sekali tidak pernah ia harapkan. Perjumpaan dengan absurditas semacam ini, akan menimbulkan perasaan keterasingan, kumuakkan, kebencian dan barangkali penolakan akan hidup. Tapi, bagi Camus, menerima absurditas sebagai realitas tidak berarti mengamini bunuh diri sebagai jalan pintas. Alih-alih menjemput maut, absurditas justru mengandaikan tiga hal berikut: pemberontakan, kebebasan, dan antusias.
Camus percaya bahwa karena hidup ini absurd, sia-sia, dan sama sekali tidak bermakna, kita justru harus memberontak dengan menolak menyerah kepadanya, sehingga bunuh diri dalam segala rupa dan bentuknya bukan cara yang memadai untuk menghadapi absurditas. Lalu, karena kita tahu bahwa makna hidup hanyalah ilusi yang kita ciptakan sendiri, dan harapan, Tuhan, serta keabadian hanyalah proyeksi dari eksistensi yang menolak mati, kita bisa hidup sebebas-bebasnya. Kita bisa hidup tanpa terikat dengan aturan yang diberikan oleh tradisi, dogma, maupun ideologi, kita bebas menciptakan kebenaran dan kehidupan kita sendiri. Dan meski absurd, kita juga harus menjalani hidup dengan penuh antusias. Hidup dengan antusias berarti menghayati dengan sepenuh-penuhnya kekinian hidup kita. Merasa tragis akan masa lalu dan khawatir akan masa depan memang sering kali membuat kita murung. Tapi, hanya dan pada saat inilah kita hidup. Sehingga, kita harus terus-menerus menghayati dan menghargai kekinian kita. Menyadari absurditas berarti menjadi tragis tapi bukan murung.
Alegori Mite Sisifus
Pandangan Camus dalam menghadapi absurditas bisa kita gambarkan dengan sangat baik, melalui tokoh dalam mite Yunani, tokoh yang ia populerkan sendiri, Sisifus. Dikisahkan bahwa karena kesalahan yang ia perbuat terhadap dewa-dewa, Sisifus dihukum dengan hukuman yang paling mengerikan yang pernah ada di dunia. Bukan dengan hukuman bui, atau hukuman cambuk seribu kali pun juga hukuman mati, hukumannya adalah menjalani kesia-siaan eksistensi, menjalani rutinitas tidak berarti hingga ia mati. Sisifus dihukum untuk terus menerus mendorong batu besar ke puncak gunung, lalu setelah sampai ke puncak gunung, batu besar itu akan menggelinding lagi ke bawah, lalu Sisifus akan kembali mendorongnya dengan susah payah, dan tetap saja batu besar itu akan menggelinding kembali ke dasar gunung paling bawah, begitu seterusnya hukuman itu dijalani Sisifus hingga Ia mati. Meski hukuman itu tidak berarti dan sia-sia, Sisifus memilih untuk terus menjalaninya, sebagai bentuk pemberontakan atas absurditas. Dan menurut Camus, upaya Sisifus untuk mendorong batu besar hingga sampai ke puncak gunung dan juga langkah terayun untuk menjemput batu besar di dasar gunung, cukup untuk mengisi kekosongan hidupnya, harus dibayangkan Sisifus bahagia.
Sisifus adalah simbol manusia yang memberontak dari absurditas. Hidup kita dan hukuman Sisifus sama sekali tidak berbeda, keduanya tidak berarti dan sia-sia. Keduanya adalah kutukan dan hukuman. Batu besar yang didorong ke atas gunung adalah metafora dari kecenderungan manusia, kerinduan manusia akan sesuatu yang ideal. Dan batu besar yang terus menerus menggelinding ke bawah adalah kenyataan pahit yang disajikan dunia. Kita yang menghasrati kebahagiaan dan dunia yang selalu menyajikan penderitaan. Kita yang selalu menginginkan kebenaran dan dunia yang menampilkan ketidakpastian. Hasrat kita akan arti dan ketiadaan makna itu sendiri. Kita yang mendambakan kehidupan dan dunia yang menghadirkan kematian sebagai kepastian. Tapi, bagi Camus upaya kita untuk mencari sesuatu yang barangkali ideal dan tamparan menyakitkan dari kenyataan yang sama sekali tidak kita harapkan, cukup untuk mengisi kekosongan dan kesia-siaan eksistensi kita. Kita harus membayangkan diri kita bahagia, kiranya itulah yang ingin disampaikan Camus melalui Alegori mite Sisifusnya.
Sisifus-Sisifus Kontemporer
Dewasa ini, kita seperti dikutuk untuk menjadi Sisifus-Sisifus kontemporer. Persis sama seperti Sisifus, kita dituntut untuk menjalani rutinitas mekanis yang tidak berarti. Setiap hari bangun pagi, sarapan dengan segelas kopi, pergi untuk bekerja, terjebak dalam kemacetan, bekerja selama enam jam, makan siang, bekerja tiga jam di sore hari, pulang, lalu untuk sekali lagi bergelut dengan kemacetan, tiba di rumah dalam keadaan kelelahan, tidur, lalu bangun pada keesokan pagi. Menerima gaji di awal bulan, membelanjakannya untuk keperluan sebulan dan tak jarang masih harus berhutang di pertengahan bulan.
Rutinitas yang membosankan ditambah dengan masalah dan tuntutan pekerjaan, belum lagi harus menanggung masalah kehidupan yang macam-macam. Tak jarang membuat orang berpikir bahwa kehidupan tak ubahnya kutukan, menimbulkan keputusasaan dan sering kali memantik tindakan bunuh diri. “untuk apa sebenarnya aku menjalani semua ini? Jika tidak berarti, apa tidak lebih baik mati? Begitulah kira-kira pertanyaan dari orang-orang ini.
Menghadapi situasi semacam ini, absurdisme menemukan kembali relevansinya. Untuk siapa pun yang berpikir bahwa hidup ini tidak berarti dan menuntut kita untuk bunuh diri. Absurdisme layak untuk dijadikan bahan refleksi. Melalui Absurdisme, kita diajak untuk memberontak, menolak menyerah pada kehidupan yang tak terarah. Di depan dunia yang tak bertujuan, di hadapan kehidupan yang mengandaikan kematian, absurdisme mengajak kita untuk melawan kehidupan dengan terus-menerus hidup. Bagaikan Sisifus yang tanpa lelah, mendorong batu besar sampai ke puncak gunung meski pada akhirnya batu itu akan terus menerus tergelincir. Kita juga harus terus-menerus berusaha mendorong beban-beban kita, menyelesaikan masalah-masalah yang menghampiri. Meski, pada akhirnya beban dan masalah akan terus-menerus berdatangan silih berganti. Dan, kata Camus, segala upaya kita yang tampak sia-sia itu, cukup untuk mengisi kekosongan hidup kita, harus dibayangkan diri kita bahagia.
Mengamini absurditas berarti meyakini bahwa dunia tidak memiliki kompas yang jelas. Dengan demikian, kita bisa hidup dengan bebas tanpa harus terikat dengan pelbagai konsep abstrak yang telah dikonstruksi oleh masyarakat. Dalam konteks hari ini, itu berarti, kita tidak perlu lagi berpusing-pusing berupaya memenuhi kriteria masyarakat yang sering kali membelenggu kita. Misalnya konsep tentang kekayaan, kecantikan atau barangkali juga kesuksesan. Kita bebas menciptakan standar kesuksesan kita sendiri, menciptakan kriteria kecantikan kita sendiri, dan standar kekayaan kita sendiri. Kita bebas mengkreasi hidup kita sendiri.
Absurdisme, bagi saya, mengajari cara untuk ikhlas, berlatih kecewa sebelum benar-benar dikecewakan oleh kehidupan itu sendiri. Jika hari ini, saya stres dengan pelbagai masalah yang saya hadapi, saya akan ingat bahwa memang demikianlah kehidupan, apa yang bisa saya harapkan? Dengan pandangan semacam ini saya kira hidup tidak pernah lagi semenyeramkan itu.
Setelah berpanjang lebar tentang absurdisme, saya ingin merangkumnya dalam satu paragraf pendek. Jadi sederhananya, Camus mengajak kita untuk memikirkan kembali kehidupan ini. Hidup memang dipenuhi dengan hal absurd, tapi tidak ada jalan lain kecuali menghadapinya. Bagaikan Sisifus yang terus menjalani hukumannya, kita pun juga semestinya demikian. Menjalani hidup memang tidak pernah mudah, beban adalah hal niscaya yang akan terus berkelindan dengan kehidupan, tapi bagaimanapun juga, kata Camus, kita harus membayangkan diri kita bahagia. Hidup memang sedemikian adanya, tugas kita hanya menjalaninya.
Referensi
Camus, Albert. (1999) Mite Sisifus: Pergulatan dengan Absurditas. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
- 19/02/2024