fbpx

Wacana Sekularisme “Islam, Yes. Partai Islam, No!”

Sekularisme tidak menjadi ancaman bagi eksistensi agama, melainkan menjadi tantangan berat yang seharusnya dihadapi dengan penuh kesiapan.
Nurcholish Madjid
Nurcholish Madjid

Tulisan kali ini akan memaparkan dan menjelaskan terkait narasi apa saja yang terkandung dalam diktum “Islam, yes. Partai Islam, no!” Penulis mendapati bahwa, sekurang-kurangnya, terdapat dua wacana besar yang termuat di dalamnya, yakni sekularisme dan desakralisasi simbolisme Islam yang terdapat pada partai-partai Islam. Sebagai catatan diktum ini dikeluarkan oleh Nurcholish Madjid. Kendati maksud awal Cak Nur, atau sapaan akrab Nurcholish Madjid, untuk mengkritik kinerja partai-partai Islam saat itu yang belum bisa menampung aspirasi masyarakat Muslim Indonesia. Namun, tidak dapat dimungkiri bahwa efeknya meluas hingga memengaruhi cara pandang masyarakat terkait kehadiran simbol-simbol keagamaan di Indonesia.

Karenanya, penulis mengangkat beberapa masalah terkait diktum Cak Nur tersebut dengan menitikberatkan pada sekularisme yang hadir akibat pernyataan tersebut, di antaranya:

  1. Sejarah “Islam, yes. Partai Islam, no!” dengan memperhatikan linearitas yang sesuai dengan linimasa dinamika politik Indonesia. Dengan hadirnya sub bab pertama, maka akan didapatkan keterangan mengapa Cak Nur menyatakan demikian.
  2. Sekularisme beserta kaitannya dengan pernyataan Cak Nur—sebagai dampak dari sub bab pertama.
  3. Sikap yang seharusnya diambil oleh umat Islam terkait problematika yang disajikan dalam tulisan ini.

Kendati menyertakan narasi sekularisme, penulis mengambil perspektif Barat sebagai rahim daripada konsep dan gagasan di samping. Sehingga, yang menjadi salah satu perbedaan antara tulisan di bawah dengan yang ada, terletak pada rujukan konsepnya. Karenanya, secara eksplisit tulisan ini tidak berkonsentrasi pada pemikiran Cak Nur, melainkan ide dan/atau konsep yang terkandung dalam pernyataannya (baca: sekularisme). Diharapkan tulisan ini mampu memberikan kontribusi intelektual nun informatif kepada para pembaca.

Sejarah “Islam, Yes. Partai Islam, No!”

Pidato Cak Nur pada tahun 1970 dengan tajuk “Keharusan pembaharuan pemikiran Islam dan masalah integrasi umat” cukup menggemparkan dunia perpolitikan Indonesia saat itu. Pasalnya Cak Nur dengan terangnya mengucapkan diktum“Islam, yes. Partai Islam, no!”ketika pemilu akan diselenggarakan pada tahun berikutnya. Pidato itu disampaikan olehnya ketika sedang menjabat sebagai ketua umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) bersama dengan Gerakan Pemuda Islam (GPI), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), dan Pelajar Islam Indonesia. Tentunya, Cak Nur berkata demikian bukan tanpa alasan, mengingat kondisi sosio-historisnya hari itu berkaitan erat dengan tegangan yang terjadi antara Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) hingga Orde Baru. 

Tepat pada 17 Agustus 1960, menjadi masa yang berat bagi Masyumi lantaran pembubarannya yang dilakukan secara langsung oleh Soekarno dengan pertimbangan Mahkamah Agung. Masyumi, begitu pula Partai Sosialis Indonesia (PSI), disebut-sebut sebagai pelaku yang terlibat dalam pemberontakan melawan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Kejadian yang menimpa Masyumi ini dinilai publik dan terutama pengamat demokrasi, seperti Usman Hamid, sebagai penyempitan demokrasi. Selain itu, publik melihat fenomena ini sebagai usaha pemerintah dalam membungkam suara Islam—yang diwakili oleh Masyumi—oleh pemerintahan Soekarno. Perjuangan Masyumi tak sampai di sini, ia [kembali] mengajukan rehabilitasi di masa Orba, dan, hasilnya nihil! Oleh karena itu, Orba menjadi ‘hantu’ bagi umat Islam untuk berkontestasi di dunia perpolitikan Indonesia.

Prasangka dan ketakutan umat Islam saat itu (baca: Orba) ternyata tak berdasar. Sebab, zaman Demokrasi Terpimpin dan Orba, sesungguhnya sama sekali tidak melarang berdirinya partai Islam. Hal ini dibuktikan dengan kehadiran dua partai Islam, yakni Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan Partai Nahdlatul Ulama (NU), pada Demokrasi Terpimpin; dan tiga partai Islam pada Orba, yakni Partai NU, Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), dan Partai Tarbiyatul Islam (Perti)—yang nantinya berkoalisi menjadi satu partai, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada tahun 1973. Terlepas dari kondisi demokrasi Orba yang memanas, Cak Nur melihat beberapa kejanggalan yang muncul dari berdirinya partai-partai Islam di samping. Yang menjadi sasaran kritik Cak Nur, ialah bagaimana beragam partai Islam yang ada saat itu justru menggunakan kekuatan politiknya untuk melanggengkan kekuasaannya sendiri dan turut serta ‘menjaga stabilitas politik’. Melihat pandangan dan pendapat Cak Nur berkenaan dengan kondisi politik Indonesia saat itu, apakah Cak Nur menolak keberadaan atau ‘membuang muka’ terhadap partai Islam?

Cak Nur sesungguhnya masih menaruh harapan kepada partai Islam agar cita-cita demokratis masyarakat turut diperjuangkan, khususnya yang Muslim. Hal ini terlihat ketika ia memberikan dukungan politiknya kepada PPP pada pemilu 1971. Kejadian (dukungan) ini dikenal dengan istilah ‘memompa ban kempes’ yang bermaksud untuk melawan suara dominan partai Golkar. Selanjutnya, ‘simpati’ Cak Nur kepada PPP juga bertujuan menghindari ketimpangan suara agar pemerataan atau distribusi ‘kursi politik’ merata kepada semua partai, terutama partai Islam yang mulai kehilangan pamornya.

Selanjutnya, tahun 2004, menjadi masa yang cukup menggelitik. Hal ini dikarenakan kejutan yang diberikan oleh Cak Nur: ia mengajukan diri untuk menjadi calon presiden dengan afiliasi kepada Golkar dan [meminta] dukungan dari Partai Keadilan (PK)—sekarang Partai Keadilan Sejahtera (PKS)—pada pemilu 2004. Hidayat Nur Wahid, Wakil Ketua Dewan Syuro PKS, jelas keheranan melihat tindakan Cak Nur yang ironis ini. Selaras dengan permintaan dukungan Cak Nur ke PK, Wahid mempertanyakan konsistensi dan maksud deklarasi ‘Islam, yes. Partai Islam, no!’ 34 tahun silam. Dalam wawancaranya dengan Detikcom, pada Sabtu, 17 Maret 2018, Wahid bertanya “bagaimana Anda (Cak Nur) meminta dukungan dari kami yang partai Islam, sementara Anda pernah mengatakan, Islam, yes. Partai Islam, no?” Cak Nur menjawab, bahwa ucapannya pada tahun 1970 itu berkenaan dengan kondisi partai Islam yang belum bisa menampung suara umat Islam, memperjuangkan keadilan, serta melakukan malpraktek dengan ikut serta melanggengkan kekuasaan menjabat yang membuat kualitas demokrasi di Indonesia menurun. Selain itu, diakuinya eksistensi partai-partai Islam masa Orba hanya untuk meraup simpati atau suara umat Islam Indonesia, alih-alih ‘mendengarkan’ mereka (baca: umat Islam Indonesia). Akan tetapi, sekarang (2004) kualitas partai-partai Islam yang ada dinilai Cak Nur telah memenuhi kriterianya sebagai pembendung aspirasi umat Islam tanpa mencederai nilai-nilai keadilan dan demokratis.

Demikianlah, sejarah terkait wacana ‘Islam, yes. Partai Islam, no!’ itu lahir. Dapat dipahami bahwa Cak Nur tidak serta merta menyatakannya begitu saja. Jika dirangkum, terdapat dua tujuan mengapa Cak Nur mengungkapkan diktum tersebut. Pertama, kondisi partai Islam yang corrupt dan haus akan kekuasaan, sehingga esensinya sebagai partai politik yang seharusnya mewujudkan masyarakat adil-makmur melalui usaha politiknya, justru jatuh sebagai pelayan pemerintahan yang ‘zalim’. Dan, kedua, frasa ‘partai Islam’, ditinjau dari analisa Cak Nur, tidak melulu menjadi representasi dari suara umat Islam. Hal ini mengindikasikan bahwa kehadiran partai Islam sejatinya, sebagai simbol politik saja, alih-alih representasi demokratis umat Islam. Jadi, apabila dimengerti dengan cara pandang lain, partai Islam dapat dilihat sebagai merepresentasikan kepentingan segelintir politikus Muslim. Sehingga kehadiran partai Islam tak ubahnya dengan partai nasionalis lainnya.

Wacana Sekularisme

Sub bab kedua akan membahas konsep sekularisme secara khusus dan kaitannya dengan pernyataan Cak Nur. Memahami dan memberikan pengertian yang komprehensif tentang sekularisme, tentunya, bukanlah pekerjaan mudah. Mengingat pertama-tama kita perlu terlebih dahulu untuk mendefinisikan agama, kemudian ruang publik dan/atau negara—sebagai institusi oposisi dari agama. Lalu, sampai batas mana sekularisasi itu berlaku? Apakah sekadar diskursus mengenai diferensiasi agama dan negara pada level teoritis-filosofis, sosial-antropologis, dan lain sebagainya? Pada muka sub bab kedua, patut diterangkan pengertian mutakhir, jika dimungkinkan definitif, terkait sekularisme; beserta kesalahpahaman khalayak tentangnya. Sebab sekularisme sering kali dituding ingin menyingkirkan atau tidak menolak (declining religion) keberadaan agama dalam ruang publik. Sehingga perlu untuk menunjukkan di mana saja letak deviasi (penyimpangan) terkait sekularisme.

Sudah biasa kita mendengar kata ‘sekularisasi’, ‘sekularisme’, atau bahkan ‘dasar sekular.’ Namun, sebenarnya apa maksud daripada bermacam term di atas? Sebagai langkah awal, sesungguhnya ‘sekularisme’, ‘sekularisasi’, dan ‘yang-sekular’ itu berbeda satu sama lain meskipun kehadirannya memiliki konvergensi. Banalnya, kita mengenal mereka seakan-akan memiliki pengertian yang sama. Padahal, jika ditilik melalui kacamata analitis (analytic) ternyata ketiga konsep di atas mengandung denotasi yang sama sekali lain. Berikut pemaparannya: konsep ‘yang-sekular’ merupakan kategori sentral dalam epistemologi modern, spesifik pada kasus sekularisme; ‘sekularisasi’ merujuk pada proses transformasi dan diferensiasi [institusi] agama dengan yang-sekular (sains, seni, negara, dan lain-lain) secara historis-empiris; dan, ‘sekularisme’ sederhananya dapat dipahami sebagai pandangan dunia (worldview) yang sekular. Dari pemaparan ketiga konsep di atas, kiranya, bisa diamati bahwa diferensiasi menjadi kunci penting untuk memahami sekularisasi dengan baik. Sebab, sekularisasi mampu menyeruak ke permukaan berkat adanya diferensiasi ini. Akan tetapi, diferensiasi seperti apakah yang dimaksud? Dan sejauh mana agama dan institusi yang sekular itu turut terbedakan?

Parsons menjawab pertanyaan ‘apa itu diferensiasi’ dengan ‘a paradigm of evolutionary change’. Jika kita mengamini istilah yang diberikan oleh Parsons, maka, dengan tinjauan spirit positivisme Lockean, adalah sebuah keniscayaan (necessary)bagi agama untuk terpinggirkan di kemudian hari. Sebab, agama yang awalnya menjadi pijakan awal bagi perkembangan ilmu pengetahuan, kemudian perlahan ditinggalkan sebab tak mampu memberikan jawaban atau alternatif rasional atas problematika yang dihadapi oleh manusia. Karenanya, tampillah sains sebagai jawaban pamungkas umat manusia yang dinilai mampu memberikan kepuasan dibandingkan agama. Sehingga, tidak heran bilamana agama, selaras dengan diferensiasi ala Parsons, menjadi sistem institusional yang irasional dan usang. Diferensiasi sebagai perubahan paradigma ini kenyataannya menyimpan masalah. Telah disebutkan bahwa puncak daripada diferensiasi, setidaknya untuk saat ini ialah sains, bagaimana Parsons akan merespons kemajuan yang justru lahir dari agama yang ‘diejek’ oleh positivisme itu? Sebagai contoh berdikarinya Iran sebab spirit religiusnya, kemudian perkembangan teologi yang mampu bertahan sebagai diskursus hingga hari ini. Bahkan agama menyerap ke berbagai sendi kehidupan umat manusia pada Dunia Timur, misalnya Korea Selatan memiliki penduduk yang relatif banyak memegang teguh kepercayaan religiusnya. Anehnya, Korea Selatan berdasarkan pertimbangan Parsons (baca= diferensiasi), maka Korea Selatan masuk ke dalam kategori negara sekular. Lalu, apakah kita akan menyingkirkan Korea Selatan dari kategori negara sekular karena adanya agama yang masih dianut dan kontributif terhadap warga setempat? Jadi, konsep diferensiasi Parsons akhirnya tidak dapat bertahan di sini, mengingat adanya variabel yang tidak masuk ke dalam kategori diferensiasinya, namun menyatakan diri sebagai yang sekular. Oleh karena itu, kita perlu teori baru yang pas dengan tema sekularisasi, di mana konseptualisasi diferensiasinya mampu ‘menaungi’ beragam variabel, dan tentunya apropriatif.

A New Differentiation Theory (NDT) menjadi solusi pun revisi daripada Differentiation Theory-nya Parsons. Adalah Mark Chaves yang memperkenalkan gagasannya, yakni NDT untuk mengevaluasi pandangan Parsons dan juga memberikan sumbangsih konseptual agar dapat memposisikan proses sekularisasi dengan baik tanpa mendiskreditkan agama [atau institusi lainnya] sebagai pihak inferior dibanding negara, sains, dan semacamnya. Selaras dengan penjabaran di samping, ia menuturkan kalau “New differentiation theory is an attempt to reevaluate and rethink processes of institutional differentiation that were central to Parsons’s vision of the social system”. NDT, seperti yang telah disinggung, berusaha mereinterpretasi ‘institusi’ sebagai media ekspresi masyarakat (society). Jika dalam teori Parsons, diferensiasi dipahami sebagai pergantian antar institusi, di mana institusi yang daya fungsionalnya hilang, akan digantikan oleh institusi baru yang lebih relevan lalu menyingkirkannya. Alih-alih berpusat pada peran fungsionalnya, NDT berfokus terhadap interelasi (interrelation) antar institusi yang lahir dari kohesi sosial. Karena alasan inilah, akhirnya masyarakat dipahami sebagai ‘sistem interinstitusional’ daripada sekadar komunitas moral (moral community). Dalam ‘masyarakat interinstitusional’ tersebut, agama mendapatkan statusnya sebagai institusi sosial layaknya institusi lainnya. Berkat hal ini pula agama, di satu sisi, dapat berdiri dan tetap eksis dengan institusi lainnya sebab relasi resiprokalnya; namun, di sisi lain, agama kehilangan sisi sakralitasnya: agama bukanlah sistem teokrasi yang kudus! Jadi NDT memberikan efek samping yang cukup signifikan kepada agama. Sehingga apologi apapun tidak akan membela agama sebagai institusi suci, sebab keberadaannya hanyalah ‘penopang’ bagi institusi lainnya. Kendati demikian, NDT juga merobohkan cara berpikir klasik yang mengatribusikan kategori a priori semacam ‘primer’ atau ‘sekunder’ kepada institusi yang kenyataannya (baca: keabsahan kualitas) tidak dapat dijustifikasi. Maka, tidak sah [pula] untuk mengatakan bahwa [institusi] sains lebih primer atau unggul dibandingkan agama sebab fungsi dan karakteristiknya yang kental akan rasionalitas; dan vis-à-vis bagi agama yang mengunggulkan diri dengan kitab suci atau ajaran lainnya yang [dipercayai] suci itu. Artinya, institusi yang berkonflik dan berkelindan satu sama lain, tidak lain merupakan, apa yang penulis sebut dengan, ‘jalinan relativitas’.

Pembahasan mengenai NDT dan jalinan relativitas dapat dilihat sebagai gejala ‘sekularisme sebagai ideologi’. Maksudnya, sekularisme yang dikaji memiliki konsentrasi pada narasi sosio-kultural dan bagaimana masyarakat (society) memahami agama dalam konteks institusional. Kontras dengan ‘sekularisme sebagai ideologi’, sekularisme juga dapat berjalan dengan cara lain, yakni ‘sekularisme sebagai prinsip tata negara’. Dalam hal ini, eksistensi agama dalam ketatanegaraan dipertimbangkan oleh negara. Oleh sebab itu, pemerintahan akan menindaklanjuti dan mengasih batas tegas sampai mana agama dapat berpartisipasi di ruang publik. Apakah keberadaan agama perlu dibatasi, atau bahkan dihapus sama sekali; atau malah diberikan ruang gerak tersendiri sebagai bentuk ‘kemurahan hati’ demokrasi pemerintah setempat. Persoalan demikianlah yang akan dihadapi ketika sekularisme diberlakukan sebagai prinsip tata negara—yang nantinya mengerucut ke dalam sekularisme politis. Hingga paragraf ini ditulis, belum ditemukan kalau sekularisme adalah pandangan dunia yang ingin meniadakan agama. Yang perlu dipertegas di sini, ialah sekularisme dan sekularisasi yang terjadi cenderung tampil seperti usaha ‘resituating or repositioning religion’ (kembali mengkondisikan agama). Misalnya, masyarakat Eropa menilai agama sebagai sistem kepercayaan yang irasional dan intoleran. Sehingga, bagi mereka, untuk mengekspresikan pengalaman religiusnya, sebaiknya aktivitas demikian di lakukan di ruang privat. Dalam kasus dunia kontinental ini, agama menjadi institusi sampingan yang kehadirannya terbatas pada ranah privat. Jadi, perangai di samping adalah contoh bagus bagaimana negara mengkondisikan agama (resituating religion)sedemikian rupa agar ‘wajahnya’ tak muncul di ruang publik.

Pemaparan sebelumnya mengindikasikan bahwa pergumulan yang terjadi dalam sekularisme terletak pada perlawanannya terhadap agama sebagai otoritas keagamaan, bukan agama dalam arti institusi religius. Otoritas religius sendiri, adalah struktur sosial yang memiliki kekuatan dan menggunakannya untuk memaksakan perintah serta meraih tujuannya dengan mengontrol akses tiap individu menuju kebaikan yang diinginkan, di mana legitimasi atas kontrol tersebut mengandung komponen supranatural. Yang menjadi kata kunci dalam otoritas religius terletak pada legitimasi supranaturalnya. Jadi, ketika disebutkan bahwa sekularisme berarti menegasikan otoritas religius, berarti meniadakan otoritas yang mendasarkan diri pada legitimasi supranatural. Karenanya, sasaran utama sekularisasi bukanlah ajaran agama, melainkan kontrol dan legitimasinyalah yang menjadi target. Jika demikian adanya, lalu apa dampak dari sekularisme [yang menolak otoritas religius]? Setidaknya, terdapat tiga dimensi yang merasakan akibat dari sekularisasi di atas. Pertama, laicization, yakni proses diferensiasi dari institusi sekular, seperti politik, pendidikan, sains, dan lain-lain, mulai independen dan memperoleh otonominya sendiri—melepaskan diri—dari agama. Dimensi pertama praktis terjadi pada ranah institusional. Kedua, internal secularization, dalam arti agama mulai menyadari status mereka yang terdiferensiasi, sehingga pihak internal agama melakukan konformitas sama seperti institusi lainnya. Dan, ketiga, religious disinvolvement, yang terjadi pada ranah individual. Maksudnya, individu yang tersekularisasi mulai menolak dan meninggalkan praktik keagamaan maupun keimanan mereka. 

Di sini penulis akan kembali kepada narasi ‘Islam, yes. Partai Islam, no!’-nya Cak Nur. Untuk menganalisa pada titik mana sebenarnya diktum tersebut kena. Menggunakan konsepsi yang telah dijabarkan sebelumnya, maka upaya sekularisme yang dilakukan Cak Nur terbatas pada, apa yang diistilahkan oleh José Casanova sebagai, sekularisme politis. Di mana agama secara esensial tidak dilihat sebagai entitas yang buruk atau irasional, yang karenanya harus disingkirkan. Melainkan sebagai institusi religius yang memberikan kontribusi moral yang baik bagi pemeluknya. Karenanya dalam konsep ‘sekularisme politis’ ini tidak ada asumsi dasar yang menjadi fondasi dalam konsepsi agama yang dituju. Namun, tepat di sinilah problemnya. Jika Cak Nur menghendaki sekularisme politis, maka kita akan menghadapi kebingungan pada batas apa dan sampai mana garis tegas yang memisahkan agama dan partai politik itu ada? Selanjutnya, siapa pula yang berhak menentukan benang merahnya? Lebih jauh, agama seperti apa yang bisa dan tak bisa ikut andil dalam dunia perpolitikan. Sehingga partai tersebut layak menyandang status sebagai partai agama, atau partai Islam khususnya? Jika narasi kemajuan yang dilayangkan sekadar pada kondisi “seharusnya demikian.. seharusnya seperti itu..” Sebenarnya Cak Nur tidak sedang memberikan solusi aktual, melainkan hanya melontarkan model arketipal yang menurutnya paling cocok memegang identitas sebagai partai Islam, dan tentunya Islam yang hakiki.

Merespons Sekularisme

Penulis mengajukan beberapa pertimbangan dalam menanggapi sekularisme yang terjadi. Sebagai Muslim yang hidup di Indonesia, kiranya narasi sekularisme sebagai pandangan dunia tidak begitu menjadi persoalan serius—melihat Indonesia punya masalah lain yang lebih fundamental, semisal kemiskinan dan pembangunan (A). Jika kembali kepada riset para akademisi Barat, bahkan Cak Nur sekalipun, secara implisit menunjukkan bahwa mereka merupakan pribadi yang berkecukupan untuk mengenyam pendidikan tingkat lanjut. Sehingga tidak semua rakyat Indonesia mengetahui betul persoalan sekularisme, atau bahkan dunia perpolitikan. Kemudian, kalaupun sekularisme politis terjadi di Indonesia, maka memerlukan waktu yang cukup lama agar identitas atau simbolisme keagamaan dapat benar-benar lepas dari benak masyarakat dan politisi sendiri. Kehadiran PKS, PPP, dan Partai Keadilan Bangsa (PKB), sebagai partai besar yang dianggap mewakili umat Islam mengindikasikan bahwa kehadiran partai berbusana agama masih laris diminati (B). Terakhir, kehadiran agama Islam di Indonesia sebenarnya mampu menjadi pamungkas bagi kemajuan dunia politik, dan Indonesia secara luas (C). Kondisi sosio-kultural di Indonesia sangat kental dengan narasi keagamaan. Karenanya, menurut penulis, alih-alih merubah suar pergerakan masyarakat (agama) menuju suar yang lain, entah itu sains, propaganda politis, dan semacamnya. Lebih efektif, untuk mempergunakan agama sebagai motor penggerak ke arah kemajuan. Sedikit berkaca pada peristiwa 212, bukankah perkumpulan akbar dan demonstrasi massal berjilid hingga reuni berulang kali memberikan kita penglihatan bahwa agama sangatlah kuat mempengaruhi arah gerak masyarakat di Indonesia.

Pertimbangan (C) menjadi penghambat besar terjadinya sekularisasi di Indonesia. Pasalnya, jangankan bergerak ke arah sekularisme, usaha untuk meninggalkan otoritas keagamaan saja masih belum nampak di Indonesia. Kiranya, dengan meninjau (B) dan (C), diktum Cak Nur seharusnya diperlakukan sebagai narasi intelektual daripada gerakan politis aktual. Sebab semangat konservatisme masih melekat di Indonesia, yang mana menunjukkan keengganan untuk beralih dari budaya yang sedang berkembang untuk menuju ke arah yang progresif. Meskipun demikian, pertimbangan ini tidak berarti mengabaikan wacana sekularisme. Masa sekularisasi itu dimungkinkan akan berkembang dan berjalan di Indonesia kelak. 

Sebagai upaya antisipatif, penulis memberikan solusi akademis terkait datangnya sekularisme di Indonesia. Salah satu upaya preventif yang masih bertahan hingga hari ini, ialah diskursus intelektual. Melihat kemajuan teologi di Barat, para teolog Kristen, semisal Rudolf Bultmann, dengan berani mendobrak metode eksegesis klasik yang berkembang di Gereja waktu itu. Bultmann mendapati bilamana Kristen sebagai institusi religius ingin tetap hidup dalam imannya kepada Yesus, maka umat Kristen harus menerjemahkan bahasa mitis Alkitab ke dalam bahasa modern dengan ‘desakralisasi’. Kiranya, teologi yang berkembang di Barat sudah mengantisipasi betul ancaman dekonstrusionisme dan posmodern lainnya. Sehingga, lahirlah era baru teologi Barat, yakni weak theology. Di mana teologi kini tak dibaca secara mapan dan tertutup, melainkan dibiarkan terbuka dan menggoyahkan segala macam interpretasi yang ingin ‘membekukan’ agama ke dalam satu makna. Tentunya, apa yang terjadi di Barat tidak sama persis dengan yang ada di Indonesia. Namun, jika umat Islam sendiri ingin Islam sebagai institusi religius bertahan di hadapan berbagai institusi lainnya, maka perlu usaha serius untuk mentransposisikan Islam sebagai wahana diskursus saintifik. Akan tetapi, resiko daripada solusi ini, adalah fragmentasi agama Islam itu sendiri. Sehingga ketika berbicara Islam, orang tidak akan menemukan makna tunggal dikarenakan multidisipliner yang terbentuk akibat penyesuaian dengan diskursus yang sedang berkembang pada hari ini. Kemudian perlahan Islam, entah itu sebagai agama atau wahana pemikiran dalam konteks ini, terdekonstruksi (tertangguhkan) dengan sendirinya.

Kesimpulan

Teranglah sekarang bahwa, sekularisme dimengerti sebagai upaya penolakan terhadap otoritas keagamaan. Agama kini, di masa sekularisme, menjadi institusi yang biasa-biasa saja, sama seperti institusi yang lain: tidak ada yang spesial dari agama! Selanjutnya, Sekularisasi ini memiliki dampak yang meluas pada berbagai sektor kehidupan umat manusia, mulai dari aspek sosial, institusional, hingga individual. Hal ini menunjukkan bahwa sekularisasi tak sesempit sebagai upaya penyingkiran agama—atau partai agama dalam kasus Cak Nur—dari konstelasi dunia sekular.

Meskipun demikian, sekularisme tidak menjadi ancaman bagi eksistensi agama, menjadi tantangan berat yang seharusnya dihadapi dengan penuh kesiapan. Baik itu perubahan sistem partai politik di Indonesia maupun upaya pencegahan semacam diskursus intelektual. Namun, mengkategorikan Islam sebagai diskursus akan menghadapi persoalan tersendiri. Di mana Islam mulai terdekonstruksi, dalam arti tidak ada finalitas atau segala interpretasi terhadapnya menjadi tertangguhkan, justru membuat Islam mengalami internal secularization. Artinya, Islam kemudian kehilangan aspek kekhasannya, sebagai agama rahmatan lil ‘alamin, menjadi institusi edukatif. Apabila kemungkinan ini benar terjadi, maka Islam tak ubahnya dengan kampus atau lembaga pendidikan lainnya. Sehingga Islam mau tak mau melakukan konformitas sebagaimana institusi lainnya menyesuaikan diri satu sama lain. Karenanya, dalam kesimpulan, penulis ingin menyampaikan bahwa sekularisme dan sekularisasi menjadi tak tertahankan lantaran arus globalisasi dan modernisasi yang terjadi dewasa ini. Meskipun, modernisasi dan globalisasi tidak menjadi pelaku utama yang menyebabkan kekacauan demikian. Namun, tak dapat dimungkiri bahwa persilangan intelektual yang terjadi membawa dampak signifikan bagi agama Islam, khususnya di Indonesia. 

Referensi

Casanova, José. “The Secular and Secularism.” Social Research 76, no. 4 (2009): 1049–66.

Chavez, Mark. “Secularization as Declining Religious Authority.” Social Forces 72, no. 3 (Maret 1994): 749–74.

Dariyanto, Erwin. “Cak Nur Dan Kisah Islam Yes Partai Islam No.” detiknews, Maret 18, 2018. https://news.detik.com/berita/d-3922291/cak-nur-dan-kisah-islam-yes-partai-islam-no

Dobbelaere, Karel. “Secularization Theories and Sociological Paradigms: A Reformulation of the Private-Public Dichotomy and the Problem of Societal Integration.” Sociological Analysis, no. 46 (1985): 377–87.

______. “Some Trends in European Sociology of Religion: The Secularization Debate.” Sociological Analysis, no. 48 (1987): 107–37.

______.“Secularization: A Multi-Dimensional Concept.” Current Sociology, no. 29 (1981): 1–219.

Friedland, Roger, and Robert R. Alford. “Bringing Society Back In: Symbols, Practices, and Institutional Contradictions.” The New Institutionalism in Organizational Analysis, no. 10 (1991): 232–63.

Nurcholishmadjidsociety. “Haul Cak Nur Ke-13. ‘POLITISASI AGAMA: Membaca Kembali “Islam, Yes; Partai Islam, No!”’ – Nurcholish Madjid.” Nurcholishmadjid.net, Agustus 14, 2018. http://nurcholishmadjid.net/haul-cak-nur-ke-13-politisasi-agama-membaca-kembali-islam-yes-partai-islam-no/

Parsons, Talcott. Societies: Evolutionary and Comparative Perspective. Prentice-Hall, 1966.

Rahardjo, M. Dawam. “Islam Yes, Partai Islam No?” Tempo, April 24, 2014. https://kolom.tempo.co/read/1005187/islam-yes-partai-islam-no

Setiawan, Andri. “Demokrasi Dan Politik Pembubaran Organisasi.” Historia – Majalah Sejarah Populer Pertama di Indonesia, Januari 6, 2021. https://historia.id/politik/articles/demokrasi-dan-politik-pembubaran-organisasi-PMKVE/

Sudarminta, J. Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta: Kanisius, 2004.

Meriam-Webster Dictionaries

Oxford Learner’s Dictionaries

Arkoun, Mohammed. “Rethinking Islam Today.” The Annals of the American Academy of Political and Social Science 588 (Juli 2003): 18–39.

Muhammad Hakim Muhyiddin

Mahasiswa Filsafat UIN Jakarta

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content