Di tengah krisis lingkungan yang nyata, pertanyaan-pertanyaan seperti apa artinya menjadi manusia? dan siapa yang bertanggung jawab atas semua krisis ini? menjadi signifikan untuk diajukan. Bukan hanya untuk mencurigai penyebab dari krisis yang kita hadapi, tapi juga untuk memproyeksikan apa yang bisa kita lakukan untuk masa depan bumi yang lebih baik. Pertanyaan-pertanyaan itu memberi kita kesempatan untuk secara seksama memeriksa diri kita; nilai-nilai yang kita anut, pilihan-pilihan kita, dan hubungan kita dengan segala hal di alam semesta ini.
Pertanyaan-pertanyaan itu pulalah yang pertama-tama diajukan oleh Whitney A. Bauman dalam Wednesday Forum bertajuk Planetary Thinking in a Post-Human World, juga dalam beberapa bukunya. Untuk menjawab pertanyaan itu, Bauman mula-mula membahas tentang pembentukan disiplin ilmu khas universitas Barat-modern yang memisahkan ilmu sosial (humaniora) dan ilmu alam (sains). Dengan mengutip salah satu karya Sylvia Winter, On Being Human as Praxis, Bauman menjelaskan bahwa pemisahan disiplin ilmu semacam itu, humaniora versus sains, berdampak pada cara berpikir yang melihat manusia sebagai spesies yang terpisah dari alam, yang mencerabut manusia dari alam.
Selain itu, pemisahan disiplin ilmu khas universitas Barat-modern ini merupakan upaya pembentukan subjek ideal atau idealisasi jenis manusia tertentu, sekaligus menjadi strategi untuk mengidentikkan subjek ideal itu dengan standar orang-orang Barat-modern. Dengan kata lain, seperti yang disebutkan oleh Bauman, gagasan tentang apa artinya menjadi manusia dalam konteks ini adalah berdasar pada subjek Barat-modern, seperti berkulit putih, ideal secara fenotip, dan sebagainya.
Sebagai pengantar, baik dalam ketika mempresentasikan pemikirannya di Wednesday Forum itu maupun dalam beberapa karyanya, Bauman menyebutkan beberapa karya seperti karya Tomoko Masuzawa, The Invention of World Religions, sebagai karya yang dengan baik menunjukkan bahwa apa yang hari ini kita sebut sebagai agama sebetulnya terbentuk di era-era kolonialisme. Bauman juga sering menyebutkan karya Walter Mignolo, The Darker Side of Western Modernity, sebagai karya yang mengupas tentang sisi gelap modernisasi Barat dan perkembangan ilmu pengetahuan serta bagaimana ideologi modernisasi ini dikampanyekan sehingga menjadikan tempat lain di luar Barat sebagai yang terbelakang. Dengan meminjam gagasan kritis dari para pemikir itu, Bauman mengutarakan sikapnya bahwa sudah seharusnya kita memikirkan kembali secara kritis sejarah pembentukan disiplin ilmu yang ada di universitas saat ini yang cenderung mengarahkan kita pada kesimpulan bahwa “Nature is dead stuff humans are outside of it.” Sehingga, sekali lagi, kita perlu untuk menggeledahnya atau dalam bahasa Bauman, “We need to undisciplined our thinking a little bit and allow other types of disciplinary thinking to enter into the university.”
Seperti halnya dengan disiplin ilmu dalam universitas, jawaban atas pertanyaan tentang apa artinya menjadi manusia? Juga penting untuk dicurigai secara kritis. Bauman mengajukan persoalan ini dengan mengutarakan bahwa makna menjadi manusia berakar dan berdasar pada pada norma-norma dan keilmuan Barat modern, yang sebenarnya telah dikonstruksi oleh para ilmuan Barat. Beberapa berpendapat, misalnya, kemanusiaan itu berasal dari tradisi “a imago dei” sementara yang lain percaya bahwa kemanusiaan atau apa artinya menjadi manusia itu berasal dari “platonic thoughts”. Contoh lain dari pemahaman Barat modern tentang apa artinya menjadi manusia, misalnya, adalah diri yang bercorak Cartesian, yakni sebagai individu yang terisolasi atau “The Cartesian self which is this isolated individual.” Dengan kata lain, Bauman seperti ingin bilang, “There is lots of different routes and the modern Western understanding of what it means to be human.”
Lebih lanjut, dalam menyusun argumennya, Bauman juga mengutip gagasan Aph Ko, dari buku yang berjudul Racism as Zoological Witchcraft, untuk menunjukkan bahwa narasi kebinatangan yang dikonstruksi oleh Barat-modern menindas orang-orang yang dinilai menyimpang dari manusia ideal, dan bahwa narasi kebinatangan ini adalah akar masalah di balik semua bentuk penindasan ras yang terjadi. Aph Ko menulis, misalnya, sebagaimana dikutip oleh Bauman, “My goal is to show you how animality (a construct that oppresses anyone who deviates from what our culture considers to be an ideal human) is an integral part of all of the oppression you are already experiencing each day… We need to understand that this narrative of animality is the real problem and that in order to meaningfully liberate animals and ourselves, we have to deal with and attack it” (hal. 50-51). Bauman meminjam gagasan itu untuk turut menyatakan kepercayaannya bahwa untuk mencapai pembebasan rasial, gagasan bahwa manusia berada di atas alam dan konstruksi kebinatangan harus dikritik habis-habisan terlebih dahulu. Solusinya, menurut Bauman, di antaranya adalah dengan memikirkan kembali hubungan manusia dengan alam dan mengembalikan vitalitas kemanusiaan pada alam. Dengan kata lain, bagi Bauman, menjadi manusia adalah menjadi bagian dari alam.
Posthuman versus Transhuman
Posthuman dan Transhuman, kedua-duanya, percaya bahwa kita, sebagai manusia, sudah hidup atau akan segera hidup di dunia di mana kita sudah melampaui era antroposen atau dalam bahasa Bauman, “A world beyond the anthropocene.” Tetapi, perbedaannya, Transhuman percaya bahwa manusia harus meningkatkan kualitas diri mereka dengan teknologi untuk menjadi seperti cyborg dan bisa hidup di luar batas kematian. Transhuman, seperti yang diutarakan Bauman, punya kecenderungan untuk meninggalkan planet bumi sebagai solusi untuk masa depan, dengan gagasan membangun stasiun ruang angkasa baru untuk ditinggali manusia. Beberapa contoh dari Transhuman adalah orang-orang seperti Elon Musk dan Jeff Bezos yang ingin membangun stasiun luar angkasa, tinggal di sana, dan menjadikan bumi layaknya taman nasional yang dapat dikunjungi sesekali.
Sedangkan Posthuman berkeyakinan bahwa manusia perlu memikirkan cara hidup mereka yang berbeda dari cara mereka hidup sekarang dan memahami kehidupan mereka seutuhnya, bahwa tempat hidup mereka di planet ini adalah bagian dari ekosistem yang lebih besar. Ini bertujuan untuk membayangkan kemungkinan baru untuk menjadi manusia dan mempersoalkan sistem pengetahuan kita saat ini, yang terbukti telah menyebabkan masalah seperti krisis lingkungan dan ketimpangan ekonomi. Posthuman melihat manusia sebagai bagian dari multiplisitas yang lebih besar dan panggilan untuk memikirkan kembali cara kita memandang dunia dan tempat kita hidup di dalamnya. Jadi, Posthuman tidak ingin meninggalkan planet ini tetapi mengakui keterkaitan kita di dalam planet ini atau “embeddedness within the planet,” dan dalam konteks inilah, kata Bauman, harus mesti menyadari bahwa kita sudah berada di era Posthuman, bahwa kita, manusia, eksis sebagai ekosistem.
Dalam menjelaskan perbedaan antara Posthuman dan Transhuman, Bauman mengutip langsung gagasan Rosi Braidotti di buku The Posthuman, bahwa “What the posthuman convergence points to instead is a multi-directional opening that allows for multiple possibilities and calls for experimental forms of mobilization discussion and at times even resistance. The keyword of posthuman scholarship is multiplicity. The range of posthuman options is wide and growing… Posthuman knowledge also provides some guidelines for assessing these development” (p. 364).
Paradigma Barat-Modern versus Indigenous
Bauman, dalam mengelaborasi pemikiran keplanetan atau dia sebut sebagai Planetary Thinking, membandingkan metodologi Posthuman dan Indigenous. Seperti yang diklaim oleh Bauman, keduanya, Posthuman dan Indigenous, memiliki kesamaan metode yakni melihat manusia sebagai bagian penting dari alam. Bauman mengutip buku berjudul Indigenous Methodologies yang ditulis oleh Margaret Kovach, seorang profesor yang menulis tentang perbedaan cara pandang antara model Barat-modern dan model Indigenous. Bagi Kovach, Barat-modern melihat alam semesta sebagai ruang statis yang kosong di mana atom dan partikel bersifat independen dan tidak berubah, dan kehidupan hanyalah dinamika sebab-akibat. Kovach menulis, sebagaimana dikutip oleh Bauman, “The universe is empty static space where atoms and particles live independent of each other and do not shift or change; God through Newtonian physics, does not have a role in the cause and effect of the universe, and prophecy or a greater purpose does not exist, as life is simply a cause-and-effect dynamic; and all energy patterns can be accounted for by human intellect with humans as all-knowing” (hal. 118).
Sedangkan, metodologi Indigenous atau cara pandang Indigenous didasarkan pada logika “animism” atau kepercayaan pada “spirit in nature” dan menekankan pentingnya manusia sebagai bagian dari alam yang dalam proses itu muncul dan berinteraksi satu sama lain secara terus-menerus. Artinya, manusia dan keseluruhan alam semesta adalah dinamis dan saling terhubung. Selain itu, Kovach, sebagaimana yang dielaborasi Bauman, berpendapat bahwa mendongeng atau “yarning or storytelling” adalah bagian dari metodologi Indigenous yang memungkinkan pemahaman yang jamak tentang kebenaran. Menurutnya, pengetahuan bersifat subjektif, sarat nilai, dan selalu untuk tujuan tertentu. Manusia terikat atau tertanam dalam komunitas dan tempat yang lebih besar bernama planet dan merupakan bagian integral dari budaya, bahasa, dan sejarah. Apa yang diartikulasikan oleh Kovach, seperti yang dijelaskan oleh Bauman, adalah yang dia dapatkan dari pengalaman pribadinya ketika melakukan penelitian di masyarakat adat, bahwa ciri khas pengetahuan di masyarakat adat sangat berbeda dengan pandangan Barat modern yang melihat pengetahuan bersifat universal dan sama di semua tempat dan waktu.
Ketika menjelaskan perkara ini, di Wednesday Forum, Bauman menegaskan bahwa dengan membandingkan gagasan Barat-modern dengan Indigenous, dia tidak bermaksud meminta kita untuk membuang jauh pengetahuan Barat-modern, tetapi, mengingatkan kita untuk menyadari bahwa pengetahuan lain, seperti pengetahuan Indigenous juga sama berharganya, atau dalam bahasa Bauman, “I do not want anyone in the room to think that I am saying throw out modern Western knowledge that is not what I am saying. What I am trying to do is show it as another form of knowledge and that there are other forms of knowledge that we might want to listen to.”
Pascamanusia dalam Konteks Keplanetan
Dengan berpijak pada gagasan-gagasan tersebut, yang saya jelaskan di bagian sebelumnya, Bauman memberikan tawaran alternatif. Bauman berargumentasi bahwa gagasan tentang Posthuman atau pascamanusia membuka jalan yang lebih baik, yakni dengan memberikan ruang pertimbangan ulang atau peluang untuk merekonstruksi disiplin ilmu ala Barat agar lebih selaras dengan konteks keplanetan atau Planetary. Bauman menegaskan bahwa pendekatan Barat yang dominan saat ini adalah parokial dan mengarah pada hasil yang bermasalah. Oleh karena itu, Bauman mengajukan gagasan tentang pascamanusia dalam konteks keplanetan atau “Posthuman in the Planetary Context” sebagai alternatif pendekatan atau, jika tidak berlebihan, sebagai solusi. “Planetary context” berdasarkan pada pandangan bahwa segala hal di planet ini memiliki keterkaitan. Ketika menjelaskan hal itu, Bauman mengakui bahwa gagasannya tentang Posthuman in the Planetary Context dipengaruhi oleh para pemikir besar sebelumnya seperti Gayatri Spivak, Walter Mignolo, dan William Connolly, yang ketiganya kurang-lebih memandang planet sebagai materialisme baru, mengakui bahwa semua makhluk, termasuk manusia, muncul dari proses geo-evolusi.
Dengan menggunakan pendekatan new materialism atau materialisme baru, Bauman memandang agama sebagai produk dunia material dan tidak terpisah darinya. Agama, ide, nilai, atau kepercayaan adalah bagian dari dunia material dan secara kolektif membentuk dunia material itu lewat berbagai cara, misalnya agama atau nilai-nilai itu menggariskan perilaku seseorang, menentukan penampilan apa yang dapat diterima, mengatur sumber daya apa yang dapat digunakan oleh seseorang, dan bagaimana orang-orang mengorientasikan diri mereka di dunia tempat mereka hidup. Bauman menjelaskan lebih lanjut bahwa new materialism mengakui bahwa kekuatan agama atau nilai-nilai yang dianut oleh orang-orang adalah proyeksi kolektif yang mempengaruhi dunia material dan membentuk tubuh dan perilaku manusia.
Lebih lanjut, Bauman menegaskan sekali lagi tawarannya tentang komunitas keplanetan atau planetary community. Dia menuturkan bahwa komunitas keplanetan ini bukanlah entitas yang statis yang seolah-olah telah terbentuk sebelumnya dan selesai, tapi, komunitas keplanetan adalah proses yang terus-menerus berkembang dan berubah yang terdiri dari organisms, assemblages, and feedback loops atau organisme, kumpulan, dan putaran umpan balik. Intinya, ini mencakup berbagai dunia manusia dan non-manusia yang ada pada waktu bersamaan. Ketika menjelaskan perihal ini, Bauman juga mengutip Mignolo, bahwa cara kerja semacam itu menjadikan planet ini sebagai entitas yang hidup dan dinamis, dan untuk menanggapi perubahan yang terjadi di planet ini, seperti pandemi, perubahan iklim, dan kepunahan spesies, kita perlu meluangkan waktu untuk menyelaraskan kembali tindakan yang yang kita lakukan dan memikirkan kembali pendekatan-pendekatan kita.
Dalam menjelaskan gagasan posthuman dalam konteks keplanetan atau planetary, Bauman sempat menyebutkan proyek Anna Tsing yang berjudul Feral Atlas yang telah diterbitkan oleh Stanford University Press, salah satu publikasi yang mengeksplorasi hubungan antara planet dan jaringan yang ada saat ini, atau dalam bahasa Bauman, “Looking at the different sort of planetary connections and networks that are happening at this moment.” Bauman, mengutip Anna Tsing, berpendapat bahwa manusia menjadi manusia karena komunitas planet lainnya dan bukan sebaliknya. Singkatnya, manusia menemukan maknanya bersama dengan komunitas planet lainnya.
Gagasan ini bertentangan dengan gagasan tentang keistimewaan manusia atau human exceptionalism, yang menganggap bahwa manusia terpisah dan lebih unggul dari alam, atau dalam bahasa Bauman, “Humans are not part of the planet in this modernist mode of thinking.” Sebaliknya, Anna Tsing berpendapat, sebagaimana yang dieksplorasi oleh Bauman, bahwa sejarah manusia dan non-manusia saling terkait erat dan bahwa manusia hanyalah manusia karena keterlekatannya di dalam satu kesatuan alam. Argumen ini adalah bagian dari perspektif posthumanist, yang menegaskan bahwa identitas manusia dibentuk oleh alam, dan bahwa agama, budaya, dan imajinasi manusia adalah bentuk kreativitas yang tidak bisa terlepas dari ekosistem alam itu sendiri.
Merekonstruksi Cara Berpikir Keplanetan
Dalam komunitas keplanetan, terutama pada konteks krisis lingkungan seperti perubahan iklim dan pandemi, dan juga globalisasi, sebagaimana yang diungkapkan oleh Bauman, ada kebutuhan akan cara berpikir baru yang inter(multi)disiplin, dan cara berpikir yang saling menginkorporasi satu sama lain. Bauman mengusulkan beberapa jalan yang bisa ditempuh untuk menyusun kembali atau re-attuning atau re-constructing cara berpikir kita menuju konteks keplanetan. Di antaranya, (1) Undisciplined Thinking; (2) The Queer Art of Failure; (3) Storytelling or Yarning; (4) Planetary Humanities; dan (5) Deconstruction or Reconstruction.
Menurut Bauman, kelima tawaran itu bisa digunakan untuk menyesuaikan kembali cara berpikir kita untuk konteks keplanetan. Misalnya, the Queer Art of Failure, konsep yang dirumuskan oleh Jack Halberstam, seorang profesor studi gender di Universitas Columbia, bagi Bauman, dapat berguna dalam hal menyesuaikan kembali cara berpikir kita untuk konteks keplanetan, karena the Queer Art of Failure ini mendorong kita untuk menantang dan menggagalkan sistem yang menindas atau yang menjajah kita untuk menciptakan masa depan yang lebih baik. Selain itu, jalan lain yang juga sekaligus bisa ditempuh adalah dengan planetary humanities atau bahkan post-planetary humanities yang mencakup konfigurasi ulang sistem berpikir kita saat ini menuju cara berpikir Posthuman dan bersama-sama menciptakan dunia masa depan yang lebih baik.
Sumber Religius untuk Penyesuaian Cara Berpikir Keplanetan
Bauman juga menyebutkan beberapa sumber-sumber keagamaan untuk mendukung planetary re-attunements atau penyesuaian cara berpikir untuk konteks keplanetan, di antaranya: (1) Aesthetic (New Worlds); (2) Ethical (Justice); (3) Musical (Chanting/Singing/Connection); (4) Bodily (Yoga/Meditation/Dancing/Ritual); (5) Epistemological (Truth Regimes/Tricksters/Negative and Iconoclastic Thought); dan (6) Textual (Hermeneutics). Sumber-sumber tersebut, pada dasarnya, seperti yang Bauman elaborasi, menawarkan cara untuk menata kembali dan menciptakan dunia yang lebih baik dengan mengkritisi praktik-praktik yang tidak adil dan tidak etis serta membayangkan dunia baru yang lebih baik. Menurut Bauman, sumber-sumber agama dapat digunakan dengan tujuan untuk menata kembali dan mengubah cara hidup saat ini menuju cara hidup yang lebih adil dan etis.
Kata Bauman, praktik seperti yoga, meditasi, menari, dan ritual membantu individu menyesuaikan diri dengan tubuh mereka dan dunia di sekitar mereka. Selain itu, alat untuk re-attuning lain seperti pemikiran ikonoklastik, hermeneutika agama, dan tafsir tekstual juga bisa digunakan. Alat-alat ini menentang cara berpikir tradisional dan membantu individu untuk lebih memahami dunia dan tempat mereka berada di dalamnya. Selain itu, sumber lain yang bisa digunakan adalah tradisi reinterpretasi teks, yang biasanya digunakan untuk membuat teks-teks keagamaan menjadi relevan dengan konteks kekinian khususnya dalam konteks keplanetan. Bauman juga menambahkan bahwa ada juga model lama dari tradisi keagamaan yang bisa dan biasanya digunakan untuk memantik diri seseorang untuk berpikir melampaui antroposentrisme dan beralih fokus pada hubungan antar manusia dan hubungan manusia dengan dunianya atau alam di sekitar mereka.
Dalam presentasinya di Wednesday Forum, ketika menjelaskan sumber-sumber keagamaan yang bisa digunakan untuk re-attuning for planetary, Bauman memperlihatkan beberapa gambar makhluk hibridisasi dalam beberapa tradisi keagamaan seperti Hanuman dan Ganesha dalam agama Hindu, Jin dalam agama Islam, Tritunggal dalam agama Kristen, dan anjing hutan penipu dalam indigenous religions. Gambar-gambar ini, jelas Bauman, menunjukkan bahwa tidak semua agensi dan nilai berada hanya dalam kemanusiaan, tetapi dibagi juga kepada bentuk eksistensi lain seperti hewan, dan lainnya.
Critical Planetary Humanities: Cara Berpikir untuk Konteks Keplanetan
Pada akhirnya, Bauman menawarkan beberapa cara berpikir baru yang bisa digunakan, yang oleh Bauman sebut sebagai critical planetary humanities, untuk menciptakan dunia yang lebih baik. Dengan kata lain, critical planetary thinking ini adalah cara berpikir baru tentang tempat kita tinggal di dunia ini sekarang. Sekali lagi, untuk membangun komunitas planet yang lebih baik. Cara berpikir kritis yang ditawarkan Bauman ini, beberapa di antaranya, misalnya, different embodiments matter yang mengakui bahwa tubuh, perspektif, dan cara mengetahui yang berbeda itu penting dan bahwa pengetahuan bukan kebenaran universal, tetapi dibentuk oleh dari mana kita berasal. Bauman menegaskan bahwa setiap orang punya pengalamannya masing-masing terhadap dunianya dan karena itulah, kata Bauman, “You have to listen to the multiple perspectives in order to get a better understanding of of any given situation.”
Cara berpikir kritis lain yang bisa ditempuh untuk memahami dunia dengan lebih baik adalah dengan menggunakan perspektif kritis atau critical theories seperti race, gender, queer, disability studies, class, dan animal studies. Selain itu, Bauman merekomendasikan, kita juga perlu mempertimbangkan aspek emosional dan perilaku manusia yang tidak masuk akal dan bagaimana mereka membentuk keinginan dan nilai-nilai kita. Bauman juga dengan baik menekankan bahwa indigenous methodologies dan ontologi berorientasi objek atau object oriented ontologies juga dapat berperan dalam membentuk cara berpikir baru yang cocok untuk konteks keplanetan. Selain itu, Bauman juga mengafirmasi bahwa aspek terpenting lain adalah kebutuhan akan lebih banyak seni, puisi, tarian, dan fiksi ilmiah yang dapat membantu kita membayangkan masa depan umat manusia yang berbeda dan lebih baik, atau dalam bahasa Bauman, “These are the best ways to go in terms of how to think about how we structure our understanding of what it needs to be human in the world moving forward.”
Referensi
Anna L. Tsing (2020), Feral Atlas: The More-Than-Human Anthropocene.
Aph Ko (2019), Racism as Zoological Witchcraft: A Guide to Getting Out.
CRCS UGM (2023), Wednesday Forum: Planetary Thinking in a Post-Human World.
Jack Halberstam (2011), The Queer Art of Failure.
Margaret Kovach (2021), Indigenous Methodologies: Characteristics, Conversations, and Contexts.
Rosi Braidotti (2013), The Posthuman.
Katherine McKittrick (2015), Sylvia Wynter: On Being Human as Praxis.
Tomoko Masuzawa (2005), The Invention of World Religions: Or, How European Universalism Was Preserved in the Language of Pluralism.
Walter D. Mignolo (2011), The Darker Side of Western Modernity: Global Futures, Decolonial Options.
Whitney A. Bauman (2014), Religion and Ecology: Developing a Planetary Ethic.
Whitney A. Bauman dkk (2010), Grounding Religion: A Field Guide to the Study of Religion and Ecology.
Andi Alfian
Kandidat Magister di Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS), Universitas Gadjah Mada (UGM), sekaligus Pengelola Sekolah Anak Muda (@sekolahanakmuda).
- Penulis ini tidak memiliki artikel lain.