fbpx

Islam Transformatif: Titik Temu antara Islam dan Sosialisme

Karena sosialisme adalah ajaran Rasulullah sendiri, maka semestinya sistem ekonomi Syariah yang diterapkan di Indonesia turut memperjuangkan sosialisme dan menjadi kompas pergerakan menuju transformasi sosial-ekonomi dari masyarakat kapitalis menuju masyarakat Tauhidi.
The Carpet Seller in Egypt karya Rudolph Swoboda
The Carpet Seller in Egypt karya Rudolph Swoboda

Masyarakat Mekah Pra-Islam

Islam adalah agama yang telah disempurnakan karena Islam tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dan Rabbnya (hablum minallah) tetapi juga mengatur antara manusia dengan sesamanya (hablum minannas) . Hal ini sebagaimana difirmankan dalam Q.S Al-Maidah ayat 3 “pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu.” Selain itu, pembinaan Islam juga tidak hanya terbatas pada manusia di level individu, tetapi juga mencakup tatanan hidup bermasyarakat yang tentunya lebih luas dan kompleks.

Kedatangan Islam menawarkan solusi bagi masyarakat Mekah yang pada saat itu tengah dilanda ketimpangan dan kesenjangan sosial akibat kemiskinan, eksploitasi ekonomi, feodalisme, dan perbudakan. Abu Bakar Jabir Al-Jazaa’iri dalam “Minhajul Muslim” pernah menyampaikan bahwa perbudakan muncul karena tiga kondisi, yakni kalah dalam peperangan, kemiskinan, dan perampokan serta pembajakan. Namun apabila ditarik benang merah, maka dapat ditemukan realitas yang menarik bahwa tiga keadaan ini dikondisikan oleh satu masalah besar, yakni siklus penindasan dan penghisapan atas manusia oleh manusia lain.

Peperangan terjadi karena perebutan kekuasaan oleh suku-suku besar di Tanah Arab. Pada masa itu, suku-suku ini saling mengklaim bahwa merekalah yang superior, dan semua yang di luar sukunya adalah masyarakat barbar yang harus tunduk dan menjadi pelayan atau bahkan budak. Kemiskinan sendiri dikondisikan oleh sistem ekonomi di mana mayoritas hartawan dan pemilik budak melakukan monopoli dan penimbunan harta, bahkan para budak dianggap sebagai barang komoditas yang hidup dan matinya dimiliki sepenuhnya oleh tuannya.

Ketimpangan dan kesenjangan sosial inilah yang akhirnya melahirkan perampokan dan pembajakan. Suku-suku yang terlalu lemah untuk mengadakan perang skala besar tak ragu melakukan kekerasan dan intimidasi kepada kafilah-kafilah dagang yang melintas di gurun, atau pada penggembala dan petani, hal ini semata-mata demi mempertahankan kelangsungan hidup

suku mereka. Harta kafilah dagang dirampas, penggembala dan petani pun diperas selama bertahun-tahun lamanya, sebagian dari mereka juga kembali dijual ke pasar budak. Siklus penindasan dan penghisapan ini berlangsung selama berabad-abad di era sebelum kedatangan Islam atau yang kita kenal dengan zaman kebodohan (Jahilliyah).

Lahirnya Islam sebagai Agama Pembebasan

“Muhammad mengajarkan sosialisme seribu dua ratus tahun sebelum Karl Marx”, setidaknya seperti itulah yang disampaikan oleh H. Agus Salim pada Kongres Nasional VI Syarekat Islam yang diadakan bulan Oktober 1921 di Surabaya. Ajaran Islam yang dibawakan Rasulullah SAW menawarkan konsep keadilan kolektif, yang nantinya diterjemahkan oleh Karl Marx menjadi Masyarakat Sosialis Tanpa Kelas. Mansour Fakih dalam tulisannya, “Mencari Teologi untuk Kaum Tertindas” menyatakan bahwa Islam pada dasarnya adalah agama pembebasan. Islam hadir untuk melepaskan rantai penindasan dan penghisapan bagi seluruh umat manusia, dan menjadikan seluruh umat manusia sebagai masyarakat Tauhidi (umat yang satu) tanpa perbedaan kelas.

Ajaran yang dibawakan oleh Rasulullah mengajarkan kita bahwa semua manusia itu sama di hadapan Allah, dan yang membedakan hanyalah tingkat keimanannya. Tidak diperkenankan bagi umat Islam untuk membeda-bedakan manusia berdasarkan harta atau jabatan yang mereka miliki karena semuanya hanya titipan dari Allah. Hal serupa dapat kita jumpai dalam “The Communist Manifesto” karya Karl Marx dan Friedrich Engels, bahwa pembedaan kelas antara yang kaya dan miskin, tuan dengan hamba, serta antara pemilik modal dan kaum pekerja (kapitalisme) hanya akan melahirkan sistem penindasan dan ketidakadilan, yang pada akhirnya akan melanggengkan si kaya dalam kekayaannya dan si miskin akan abadi dalam ketertindasannya.

Titik Temu Islam dan Sosialisme

Sosialisme yang diajarkan oleh Karl Marx dan Friedrich Engels sudah dibahas di dalam Al-Qur’an berabad-abad sebelumnya. Salah satunya dalam Q.S Al-Humazah ayat 1-4 dikatakan : “Celakalah, azablah untuk tiap-tiap orang pengumpat dan pencela. Yang menumpuk-numpuk harta benda dan menghitung-hitungnya. Ia mengira, bahwa hartanya itu akan mengekalkannya (buat hidup di dunia). Tidak, sekali-kali tidak, sesungguhnya dia akan ditempatkan ke dalam neraka (hutamah).” 

Ayat ini secara langsung dan terang-terangan mengutuk kaum kapitalis yang senantiasa

menumpuk-numpuk harta dan menghitung-hitungnya. Para kapitalis, yang hanya mengejar keuntungan pribadi dengan cara memanfaatkan nilai lebih kaum petani, budak dan buruh untuk meraup akumulasi kekayaan sebesar-besarnya, adalah yang sebenarnya diperangi oleh Rasulullah sepanjang masa kerasulannya.

Kehadiran Karl Marx di tengah-tengah pengeksploitasian besar-besaran masyarakat kapitalis Jerman sangat mirip dengan peristiwa ketika Rasulullah menerima wahyu sebagai rasul Allah. Beliau diutus untuk memerangi kebodohan dan kebatilan karena kedua hal tersebut merupakan cikal bakal penindasan yang dilakukan oleh masyarakat kapitalis Mekah. Dalam catatan sejarah awal penyebaran Islam di Mekah, sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah, mendapat penolakan dari orang-orang kaya yang sebenarnya ketakutan akan ajaran egalitarianisme yang dibawakan oleh Rasulullah SAW. Penolakan ini tidak seperti yang dipahami oleh mayoritas umat Islam, bahwa kaum elit Mekah semata-mata menolak hanya karena mempertahankan agama nenek moyang. Lebih daripada itu, mereka ternyata tidak rela apabila sistem yang selama ini melanggengkan harta kekayaan mereka harus tergantikan oleh ajaran pembebasan yang dibawa oleh Rasulullah.

Penindasan terjadi karena ketidaktahuan dan kebodohan, ajaran yang dibawakan oleh Rasulullah SAW hendak melawan ini semua, seperti yang difirmankan oleh Allah dalam Q.S Al-Alaq ayat 1, “Bacalah, dengan menyebut nama tuhanmu yang menciptakan”. Kata “bacalah” dalam ayat ini apabila dimaknai secara mendalam mengajak kita untuk membaca/melihat realitas di sekitar kita secara saksama. Manusia dipantik kesadarannya untuk menyadari kondisi sekitar, bahwa di depan mata kita ada sebuah sistem yang dimanfaatkan oleh sekelompok orang untuk memperkaya diri sendiri dan kaumnya dengan cara menindas manusia dan kaum lain yang lebih lemah.

Kaum elit Mekah pada saat itu murka karena ketakutan pada transformasi sosial yang akan ditimbulkan oleh ajaran yang dibawakan oleh Rasulullah SAW. Persoalan yang timbul bukan sekedar masalah keyakinan, melainkan ketidaksiapan mereka terhadap konsekuensi sosial- ekonomi yang akan terjadi apabila ajaran Rasulullah SAW yang menentang segala bentuk dominasi ekonomi, pemusatan dan monopoli harta, pemborosan, penimbunan, serta perbudakan dapat tersebar luas di masyarakat Mekah. Mereka takut akan perlawanan yang ditimbulkan apabila 

kaum-kaum tertindas mendapatkan kabar bahwa ternyata kebebasan mereka dijamin oleh Tuhan semesta alam melalui Rasulullah SAW sebagai perantara. Hal ini dapat kita buktikan karena banyak pengikut Rasulullah di awal masa kenabiannya berasal dari kaum budak ataupun orang- orang miskin yang tertindas.

Islam yang Transformatif

Indonesia sebagai masyarakat dengan populasi penduduk beragama Islam terbesar seharusnya dapat bercermin dari rentetan peristiwa sejarah pembebasan rakyat Mekah. Mayoritas masyarakat di Indonesia masih menafsirkan Islam terlalu sempit, yakni sebagai bentuk penghambaan individualistik yang hanya menjanjikan surga bagi mereka yang rajin shalat dan pandai mengaji. Penafsiran ini sangat bertolak belakang dari sejarah kemunculan Islam di Mekah 13 abad yang lalu. Islam yang dibawa oleh Rasulullah tidak hanya sekedar mengajak kita untuk patuh terhadap Tuhan melalui penghambaan individu, melainkan juga memobilisasi dan mengajarkan kita untuk berdiri melawan ketimpangan dan kesenjangan sosial. Dalam iklim kapitalistik-eksploitatif, Rasulullah bersama pengikutnya kaum tertindas berjuang untuk menyuarakan persamaan, persaudaraan, dan keadilan.

Mansour Fakih dalam bukunya “Mencari Teologi untuk Kaum Tertindas” memperkenalkan istilah masyarakat Tauhidi. Dalam perspektif ini “tauhid” tidak mengarah kepada keesaan tuhan, melainkan lebih ke penyatuan umat dan penciptaan masyarakat tanpa kelas. Manusia tidak lagi dibeda-bedakan berdasarkan penampilan visual, latar belakang ras, suku bangsa dan agama serta kepemilikan mereka atas harta dan alat-alat produksi, karena semua adalah sama dan milik bersama. Dalam masyarakat ini tidak ada lagi kelompok yang mencari akumulasi keuntungan dari hasil menindas kelompok lain, karena semua barang diproduksi berdasarkan kebutuhan dan semua orang mendapatkan sesuai dengan yang mereka kerjakan. Tidak ada lagi kaum yang harus mengecap pahitnya kemiskinan sebab semua upah dibayarkan langsung tanpa harus terlebih dahulu melalui kantong-kantong para pemilik modal. Para pemilik modal tidak lagi semena-mena 

mengendalikan produksi dan dituntut untuk ikut bekerja mencurahkan keringatnya guna mencukupi kebutuhannya, sebab alat-alat produksi sepenuhnya milik bersama.

Transformasi menuju masyarakat Sosialis-Tauhidi

Meskipun telah diramalkan oleh Karl Marx bahwa “Kapitalisme akan runtuh oleh kerakusan dan ketamakan dirinya sendiri.” Tetapi sebagai muslim yang beriman kepada Al-Qur’an dan Rasul Allah maka kita harus tetap berikhtiar untuk melepaskan diri belenggu kapitalisme, sebab dalam Q.S Al- Qashash ayat 5-6 yang berbunyi : “Dan kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas (mustadhafin atau dhuafa) di bumi dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi bumi. Dan kami tegakkan kedudukan mereka di bumi.” Sangat jelas tersurat bahwa Allah menyertai kaum tertindas dalam setiap derap langkahnya menuju transformasi sosial. Selain itu dalam Q.S Ar-Ra’du ayat 11 yang berbunyi : “Sesungguhnya Allah tiada mengubah keadaan suatu kaum, kecuali jika mereka mengubah keadaan diri mereka.” Menurut petunjuk ayat ini, transformasi sosial-ekonomi hanya akan terlahir dari gerakan massa kaum tertindas dan bukan dari langit.

Sejarah pembebasan Rasulullah atas kaum tertindas Mekah telah menceritakan semuanya, bahwa Islam sebagai rahmat bagi alam semesta hadir untuk melepaskan belenggu penindasan dan penghisapan oleh manusia atas manusia lain melalui sosialisme. Karena sosialisme adalah ajaran Rasulullah sendiri, maka semestinya sistem ekonomi Syariah yang diterapkan di Indonesia turut memperjuangkan sosialisme dan menjadi kompas pergerakan menuju transformasi sosial-ekonomi dari masyarakat kapitalis menuju masyarakat Tauhidi.

Fadhil Aprilyandi
A. Fadhil Aprilyandi Sultan

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content