fbpx

William dari Ockham: Manhaj Nominalisme, Konseptualisme, dan Terminisme

Pisau cukur Ockham adalah prinsip analisis yang terinspirasi dari seorang filsuf abad pertengahan
William of Ockham

William lahir pada tahun 1280 M di Ockham, desa kecil di Surrey ibu kota Kingston, Inggris. Ia seorang pastor Fransiskus sekaligus pelajar yang telah menyelesaikan studi akademik di Oxford University, dengan konsentrasi tentang teologi di bawah asuhan John Duns Scotus (1266-1308 M).

William dianggap sebagai bapak epistemologi modern, dengan paradigma keberadaan manusia yang dapat diverifikasi, sedangkan yang universal hanyalah abstraksi dari pikiran manusia. Prinsip analitik tersebut lebih dikenal dengan istilah “Ockham’s Razor”. Hidupnya penuh dengan kontroversi, berpindah-pindah atas tuduhan, baik dari Oxford di Inggris hingga ke Avignon di Perancis sampai menghembuskan nafas terakhirnya di Munich Jerman pada tahun 1347 tanggal 10 April.

Istilah Ockham’s Razor (pisau cukur Ockham) muncul setelah kematiannya. Istilah tersebut dikenalkan pertama kali oleh Libert Froidmont dalam buku Philosophia Christiana de Anima (1649 M), dengan mengacu kemampuan dan kemahiran Ockham menganalisis. Seperti dikatakan olehnya; “non sunt multiplicanda entia sine necessitate” entitas jangan diperbanyak tanpa diperlukan, segala jenis asumsi dan alternatif yang berlebihan perlu disederhanakan. 

Prinsip kekikiran atau pencukuran objek universal tersebut adalah membangun hipotesis dengan asumsi yang sesuai dengan data pengamatan, dan dengan jumlah asumsi yang paling sedikit. Memang beberapa orang mengatakan prinsip ini menghancurkan kreativitas dan imajinasi, skeptis dan kritis, serta kedahsyatan penalaran panjang bagi sebuah pemikiran yang cemerlang. Namun para nominalis lebih mementingkan kesederhanaan, yang bagi mereka lebih mengurangi resiko kesalahan. Prinsip tersebut menekankan bahwa semakin banyak hipotesis, maka risiko akan meningkat, begitupun sebaliknya.

Tidak seperti konsep universalia transendental usulan Plato, yang menyatakan bahwa benda-benda abstrak universal sepenuhnya independen daripada dunia fisik, dan objek fisik tertentu hanya memberikan contoh daripada kemutlakan yang universal, ia hanya berada di alam idea. Ataupun seperti konsep realisme imanen Aristoteles, yang menolak prinsip transenden. Ia mengatakan bahwa universalia tidak memiliki eksistensi sendiri, melainkan hanya ada di dalam benda partikular saja. Namun perdebatan prinsip keduanya masih sulit di sederhanakan bagi para kaum nominalisme. Mereka memberikan eksistensi partikular dengan mengkaitkan nama-nama daripada serapan universalia yang tidak sungguh-sungguh ada.

Contohnya kalimat, “Anjing banget! Itu bukan ke-Anjing-an.” Tidak seperti para Platonis yang absurd yang lebih meyakinkan bahwa realitas anjing yang kita lihat itu tidak ada (tiruan), namun yang benar-benar ada (asli) hanya ada di surga Plato, di alam sana, alam luar, tidak terhingga oleh pancaindra. Maka dari itu, Ockham beranggapan bahwa anjing itu benar-benar ada sebagai sebuah nama (nominalisme) dan kesamaan daripada properti-properti yang menempel padanya (konseptualisme), juga hanya sebagai terma daripada ke-anjing-an, anjing bulldog, anjing beagle, anjing pudle (terminisme).

Ockham juga memberikan pembagian terhadap kualitas pengada. Epistemologi realitas menurutnya didapat oleh kognisi intuitif dan kognisi abstrak. Kognisi intuitif adalah mengenai ada dan tidak adanya objek, tanpa bantuan ide bawaan. Sedangkan kognisi abstrak adalah satu realitas dengan banyak hal-hal pada saat yang sama. Dengan itu lagi-lagi ia menggunakan pisau cukurnya untuk mencukur kualitas pengada secara optimal hingga akhirnya segala sesuatu menjadi sedikit.

Selain itu, Ockham juga mempunyai pemikiran ontologis terkait Tuhan dan kebebasan-Nya. Ia juga menolak pendapat Thomas Aquinas terkait teologi yang dinyatakan sebagai ratu dari scientia. Bagi Ockham, sia-sia untuk menyatakan bahwa kita memiliki pengetahuan ilmiah teologi hanya karena faktanya kita meyakini prinsip-prinsip iman yang berdasar pada pewahyuan. Sebelum sampai ke situ, kiranya penulis lebih dulu akan menjelaskan perkembangan proses pemikiran Ockham. Dari usaha Ockham membebaskan Tuhan, berperang dengan pemikirannya sendiri dan membunuh pemikiran tersebut.

Usaha Membebaskan Tuhan

Ia memberikan dua pengertian atas kekuasaan Tuhan. Pertama, Potentia dei Ordinata, yakni kekuasaan Tuhan dari perspektif firman yang hadir melalui pengaturan alam (hukum alam) dan rahmat berdasarkan kehendak-Nya. Kedua, Potentia dei Absoluta, yakni kekuasaan Tuhan atas segala kekuasaan yang tak terbatas, kekuasaan untuk melakukan apa saja dan tidak melakukan apa-apa. Lebih tegas, prinsip keduanya tidak berarti menjadi pembedaan, kekuasaan itu menyatu agar Tuhan dapat melakukan apa saja. Satu-satunya yang membatasi kebebasan Tuhan hanyalah asas non-kontradiksi. Misal, mustahil Tuhan menciptakan A serentak dengan non-A, atau menciptakan tuhan kedua, karena tuhan kedua terikat kepada pencipta-Nya Tuhan pertama, maka Tuhan menciptakan tuhan bukanlah Tuhan.

Berperang dengan pikirannya sendiri

Sebelumnya ia menjamin hubungan antara Tuhan dan ciptaan, sungguh-sungguh mencerminkan kebebasan-Nya. Setelahnya ia harus menyangkal prinsip kausalitas semesta, sebab ia melihat ruang bagi Tuhan untuk bertindak menjadi terbatas. Maka terjadilah perombakan besar-besaran, dengan lebih dulu membebaskan dunia sebelum membebaskan Tuhan. Bahkan ia juga mencukur status ontologis universal. Seperti contoh, tidak ada “bunga pada umumnya” dan hanya ada mawar, melati, kamboja, dll. Seterusnya terdapat mawar merah, putih, kuning, dsb, tidak ada intisari “ke-mawar-an”. Akhirnya ia berpendapat bahwa manusia sendiri yang menggolongkan wujud atas wujud-wujud partikular yang memiliki keserupaan lalu menamainya.

Dengan itu haruslah terjadi pembebasan dunia dari asas-asas semesta, supaya Tuhan dapat melaksanakan kehendak-Nya tanpa dan bebas dari mengacaukan seluruh sistem yang telah dibuatnya. Dalam pengaturan dunia, ketentuan Ilahi membuat api membakar dan  menghanguskan benda-benda yang terkena jilatannya. Dengan kehendak-Nya, hamba yang di rahmati, Shadrach, Meshach, Abednego maupun Nabi Ibrahim, keluar segar bugar tanpa terpanggang. Tuhan menetapkan hukum de facto api membakar dan juga terpisah dari hukum api mendinginkan. Kedahsyatan Tuhan maha segala maha, maha di atas maha, maha menyatu pada-Nya. Maka kehendak Tuhan adalah kehendak! Supaya Tuhan adalah Tuhan, maha kehendak-Nya mutlak tidak bersyarat.

Membunuh pikirannya sendiri

Jika filsafat berangkat dari landasan mengetahui (gnome) terlebih dahulu sebelum mempercayai (doxa), maka saat ini Ockham berdalih credo ut intelligam (aku percaya untuk mengetahui). Dunia telah terpisah dari Alam Semesta yang melandasi untuk tidak diketahui melalui penalaran a priori. Pengetahuan dibentuk dari fakta partikular sebagai pengalaman, tidak ada hubungan sebab akibat. Jika ada, haruslah diganti hubungan kausalitas metafisis dengan asosiasi tetap. Dan juga tidak ada konsep tentang Tuhan yang berasal dari pemahaman langsung. Kita mendapat pengetahuan melalui objek induksi, dan Tuhan bukanlah wujud partikular yang dapat didekati dengan cara tersebut. 

Kita dapat membicarakan Tuhan dan mengenakan nama kepada-Nya. Dari nama-nama itu kita mengerti yang bukan Tuhan, sejauh menyangkut pengetahuan tentang Tuhan, urusannya selesai di situ. Kita hanya mampu memanggil-manggil-Nya, kita mencari nama di antara segala nama, tetapi tak satupun berbicara tentang di balik nama-nama itu. Penyebutan nama tentu mengandung pengakuan akan kekuatan makna yang melekat pada nama, terdapat kedahsyatan makna yang tertinggal sebagai misteri, ia dinamakan Deus Absconditus Tuhan tersembunyi tak terjangkau oleh akal. Setelahnya Ockham tidak mampu melanjutkan, ia menyerah akan keagungan Tuhan yang Maha.

Referensi

B.A.G.Fuller, A History of Philosophy, Yogyakarta: Indoliterasi, 2022.

Karlina Supelli, Kosmos, Kebebasan Tuhan dan Keterbatasan Bahasa, Jakarta: Kompas, 2016.

Fredick Copleston. A History of Philosophy: Late Mediaeval and Renaissance Philosophy. Westminster: The Newman Press, 1953.

ZM Syafiq

Santri Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton-Probolinggo & Mahasiswa Filsafat di salah satu universitas di Yogyakarta.

One Response

  1. Memang hampir dalam segala sesuatu memiliki batas-batas tertentu. Sebagai mana manusia menahan nafasnya ia akan kehabisan udara pada paru paru dan membutuh udara untuk bernafas. Berpikir juga memiliki batas dimana tidak dapat lagi dipikirkan dan ketika dipaksakan untuk menemukan jawabannya akan berakhir pada kesesatan atau pembenaran. Maka, begitu pun dengan konsep diatas sesuatu yang tidak perlu lagi ditambah lebih baik disudahi.

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content