Act For The Greater Good: Dilema Moral Utilitarianisme

John Stuart Mill
John Stuart Mill

Dalam kehidupan kita sehari-hari, kita mengonsumsi barang yang kita beli. Ketika kita lapar, kita membuat makanan atau membeli makanan. Mengapa? Karena kita lapar. Ketika rasa lapar menyerang, kita mengonsumsi makanan untuk menanggulangi rasa tidak puas akibat lapar. Dengan demikian, dalam kehidupan kita, kepuasan atau kesenangan pribadi merupakan salah satu aspek yang terus diupayakan untuk terpenuhi. Mungkin jika dilihat secara mikro, tidak akan berpengaruh ke kehidupan orang lain. Sekarang coba telaah dari sudut pandang makroskopik, ada pengaruh yang timbul ke pihak lain ketika kita mencoba untuk memenuhi kepuasan kita. Ketika berbicara mengenai hal tersebut, pemenuhan kepuasan individu, mungkin kita berpikir mengenai egoisme, tapi bukankah manusia memang makhluk yang egosentris? Di balik dilema berpikir tersebut, apakah perbuatan manusia untuk memenuhi kepuasan individu ini dapat dianggap baik?

Seiring berkembangnya filsafat moral, definisi mengenai etika dipengaruhi oleh aliran-aliran filsafat di dalamnya, bahkan utilitarianisme sendiri merupakan bentuk dari etika manusia. Menurut Bentham, kebahagiaan merupakan indikator moral dan pondasi ilmu sosial. Akan tetapi, dalam berpikir seperti seorang utilitarian sejati, ada hal yang harus disingkirkan dalam pandangan seseorang, yakni hal buruk, atau dalam kata lain, “penderitaan”. Berhubungan dengan hal tersebut, Jeremy Bentham mengembangkan pemikiran utilitarianismenya (terutama pada bidang hukum) dimana aturan yang dibuat haruslah mengedepankan kebahagiaan universal. 

Utilitarianisme merupakan pandangan dimana perilaku yang baik adalah perilaku yang dapat memaksimumkan kesejahteraan, kebahagiaan, atau utilitas secara agregat. Konsep utilitarianisme sendiri menembus batas moral deontologis untuk memperoleh atau mengejar tujuan dari seseorang. Sebagai contoh, menolak norma yang melarang seseorang untuk menyakiti sesamanya walaupun seseorang itu harus melakukan itu untuk tujuan yang lebih baik, for the greater good. Konsep utilitarianisme bisa menimbulkan bias ketika premis tersebut disalahgunakan. Katakan ketika seseorang mengklaim dirinya untuk mengorbankan dirinya sendiri untuk orang banyak, tidak ada asosiasi atas justifikasi utilitarianisme dengan self sacrifice dilemma semacam itu.

Bahaya dari utilitarianisme sendiri tercermin ketika memang tidak ada norma yang membatasinya. Lantas apakah utilitarianisme sendiri bisa dikatakan sebagai bentuk etika, sementara etika sendiri dapat dimaknai sebagai pembeda antara baik dan buruk, kewajiban moral, atau peraturan ideal. Utilitarian bisa dikatakan etis apabila memang disahkan sebagai etika itu sendiri. Ketika “bahagia adalah baik dan penderitaan adalah buruk” sudah disepakati, dengan demikian, bertingkah utilitarian adalah etis. Persoalan dalam utilitarianisme ini sendiri adalah proses dalam pemenuhan kesenangan itu. Terdapat dua pertanyaan di dalam premis utilitarianisme ini, yakni apakah setiap orang memburu kebahagiaannya sendiri? Dan apakah kebahagiaan universal merupakan tujuan yang benar dari tindakan manusia?.

John Stuart Mill mengatakan bahwa kesenangan adalah hal yang dihasrati. Berbicara mengenai hasrat, apapun itu bisa menjadi obyek hasrat. Contoh, ada saja orang yang bisa saja menghasrati penderitaannya sendiri, seseorang bisa menghasrati kemenangan tim dalam pertandingan, dan sebagainya, sehingga kebahagiaan itu sendiri berbeda-beda berdasarkan apa yang dihasrati. Dengan demikian, timbul dilemma dalam pemikiran ini dimana kebaikan dapat dipandang keburukan sementara kebalikannya, kebaikan dapat dipandang sebagai keburukan, tergantung bagaimana hasrat tersebut disikapi. Logika utilitarianisme, lebih parahnya, dapat membangkitkan ego manusia yang sedang tertidur lelap

Dalam dunia yang berputar berlandaskan pada norma dan regulasi, konsep etika utilitarianisme perlu diperhatikan dan diwaspadai. Bagaimana mungkin dapat mewujudkan kesenangan universal ketika kesenangan pribadi menjadi tumpuan dalam berpikir?

Bibliography

Kahane, G., Everett, J. A., Earp, B. D., Farias, M., & Savulescu, J. (2015). Utilitarian Judgments in Sacrificial Moral Dilemmas Do Not Reflect Impartial Concern For The Greater Good. Cognition, 139-209.

Russel, B. (2021). Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Michael Hans

Michael Hans adalah seorang mahasiswa program studi Ekonomi Pembangunan di Universitas Brawijaya Malang

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.