fbpx

Ada Apa dengan Cinta?

Apa yang dapat kita lihat dari manusia yang sedang “jatuh cinta” dan apa yang terjadi saat manusia sedang “patah hati”?

Apa yang dapat kita lihat dari manusia yang sedang “jatuh cinta” dan apa yang terjadi saat manusia sedang “patah hati”? Banyak dari kita mungkin telah menyadari bahwa dirinya jatuh cinta maupun patah hati. Kedua hal ini mesti diselidiki secara bersamaan karena berkelindan satu sama lain.  Saat rasa cinta itu tumbuh, pikiran mulai mengalami peristiwa satu intensi: ketertujuan kesadaran subjek pada sesuatu yang ber-adadi-sana yang kemudian akan terberi sehingga ia mesti menjadi sesuatu yang ber-ada-di-sini namun yang ber-ada-di-sini kemudian akan bermimikri sehingga ia akan seolah-olah ber-ada-di-sana secara konstan. Di sisi lain, patah hati lebih kompleks. Ia adalah suatu tatanan dalam diri yang berangsur-angsur roboh sehingga tidak salah jika ada yang mengatakan bahwa manusia itu mudah sekali untuk jatuh cinta, tapi sulit untuk move on.  Sebelumnya, perlu kita batasi arti “cinta” ini pada tataran keseharian: yakni cinta pada manusia; atau cinta subjek pada subjek liyan.

Cinta timbul dari impresi pada sesuatu. Dengan demikian, ia mesti beranjak dari “mata” dan dileburkan dengan proses penilaian. Impresi tidak sama dengan presentasi. Presentasi masih bersifat bebas-nilai sedangkan impresi sarat-nilai. Namun, keduanya masih memiliki hubungan yang erat. Subjek dalam menangkap properti benda tidak melulu berkedudukan pada presentasi melainkan ia dapat digantikan oleh impresi. Subjek dapat saja mengatakan bahwa “Bunga anggrek warnanya merah” namun ia juga dapat mengatakan “Bunga anggrek warnanya merah dan aku suka!”. Misal yang lain, saat subjek mengatakan “Ia cantik karena kulitnya putih dan bersih” akan berbeda arti saat mengatakan “Ia kulitnya putih dan bersih”. Impresi adalah presentasi yang ternodai oleh penilaian subjek dan ia bersifat tidak netral. Penilaian ini bersumber dari aktus-diri: yakni kehendak, selera, ideologi, dan sosial-budaya.

Aktus-diri terlembaga dengan sangat kompleks, ia tampak stabil namun sebenarnya instabil. Aktus-diri ini sama dengan konsep aku. Ia bagai teks yang bermakna jamak bahkan sang penafsir kesulitan untuk memahami dirinya sendiri; Ia tak bedanya dengan labirin yang kemudian sewaktu-waktu dapat membuat sang subjek menjadi tak-terdefinisikan dan tersesat. Meski demikian, aktus-diri ini masih dapat diakses karena ia ber-ada-di-sini.

Ada-di-sini adalah sesuatu yang menjadi objek intensi subjek yang dapat datang dari presentasi maupun impresi. Dalam kasus yang diangkat oleh penulis, impresi mendapat kedudukan yang sentral untuk analisis lebih jauh lagi. Karena impresi selalu dikondisikan oleh aktus-diri maka relasi keduanya pertama-tama perlu dibongkar. Kesaratan-nilai suatu impresi ini tentu beranjak dari kecenderungan dalam merengkuh yang-terberi. Yang-terberi mesti dilabelkan sedemikian rupa sehingga ia menjadi makanan siap santap yang akan memenuhi kebutuhan sang subjek. Sebelum yang-terberi menjadi sesuatu yang dikonsumsi oleh sang subjek, ia mesti melebur dengan yang-telah-ada dalam aktus-diri. Misalkan subjek mengatakan “Aku menyukai boneka beruang itu karena ia lucu dan lembut”. Dari sini dapat “dilihat” bahwa ke-lucu-an dan ke-lembut-an telah ada sebelumnya dalam Aktus-diri subjek sehingga ia dapat saja tertarik untuk memilikinya. Namun meski demikian, kejadian seperti ini tidak selalu terus berlangsung, ia akan berubah pada peristiwa yang lain karena aktus-diri bersifat instabil dan problematik.

Skema relasi antara Presentasi, Impresi, dan Aktus-Diri

Suatu impresi dapat membentuk subjek berada pada kondisi mencintai. Apa sebab? Bukankah impresi dikondisikan oleh sang subjek sendiri? Ke-diri-an subjek mengalami proses menjadi yang terus berlangsung, artinya ia aktif dan tidak pernah selesai. Proses menjadi ini mengalami akumulasi, transformasi, dan perubahan radikal pada struktur aktus-diri. Misal konsep kecantikan. Konsep cantik bagi subjek tak pernah tetap meskipun ia seolah-olah nampak tetap. Seorang bisa saja menilai sosok A cantik sedangkan sosok B tidak. Namun, sosok A dapat tergantikan oleh sosok C yang baru. Masalah muncul saat sosok C tidak lagi dipandang cantik, ia pun dapat menggeserkan pengertian cantiknya kembali pada si sosok A. Masalah ini dipengaruhi oleh inti dari aktus-diri yang selalu berubah dan tidak konsisten. Ada proses resiprokal dalam subjek itu sendiri saat proses kemenjadiannya. Sebelumnya aktus-diri, oleh penulis, disebabkan oleh kehendak, selera, dan sosial-budaya. Faktor ini bersifat internal dan eksternal. Kehendak, dalam hal ini, bersifat internal, sosial-budaya bersifat eksternal, sedangkan selera bersifat internal dan eksternal. Kemenjadian yang disebabkan ketiga faktor ini mengalami pertarungan satu sama lain: yang-internal mencoba mengatasi yang-eksternal, demikian sebaliknya. Pertarungan inilah yang akan membawa kita pada ambiguitas yang ber-ada-di-sini dan yang ber-ada-di-sana.

Kesadaran subjek mesti, mau tak mau, ber-intensi pada sesuatu: baik itu yang berada-di-sini maupun yang berada-di-sana. Bahkan, kesadaran mencoba membangun relasi pada ketaksadaran. Misal saat sang subjek melamun ataupun duduk termangu, ia aktif dalam membentuk suatu intensi namun sesuatu itu dapat jelas maupun kabur sehingga wajar saat subjek mengatakan “Aku gelisah memikirkan sesuatu, tapi aku tidak tahu persis itu apa”. Yang ber-ada pada dirinya keluar tanpa terkontrol pada saat sang subjek bertemu dengan apa yang-terberi. Yang-terberi ini adalah presentasi ataupun memori akan presentasi. Saat subjek bertemu dengan subjek liyan yang memiliki properti “kulit putih dan berhidung mancung”, sang subjek, atas kehendaknya—baik sadar maupun tidak—melakukan penilaian terhadap properti tersebut. Kulit putih dan berhidung mancung itu masih dalam bentuk presentasi. Setelah sang subjek kagum, ia akan menambah kata “cantik” pada subjek tersebut. Pada proses inilah aktus-diri memiliki peran sebagai sumber penilaian pada presentasi sehingga ia menjadi impresi. Saat sesuatu yang ber-ada-di-sana menjadi presentasi dan kemudian impresi ia akan berstatus ber-ada-di-sini. Apa yang ber-ada-di-sini telah tercampur dengan aktus-diri, dan tentu sarat-nilai. Subjek membentuk yang ber-ada-di-sana untuk direngkuh secara total. Peristiwa ini akan membuat yang ber-ada-di-sana tidak netral lagi; yang ber-ada-di-sana seolah-olah murni padahal subjek terkelabui oleh aktus-dirinya. Dengan kata lain, yang ber-ada-di-sini bermimikri menjadi yang ber-ada-di-sana. Ambiguitas ini tentu mudah sekali terjadi karena pemisah antara yang ber-ada-di-sana dengan yang ber-ada-di-sini sangat tipis; setipis kertas.

Dalam kasus cinta, subjek menghayati suatu impresi yang mendominasi impresi-impresi yang lain. Impresi-impresi ini terstruktur secara hirarkis dalam diri subjek. Namun, perlu ditandai bahwa hirarki ini bersifat fleksibel dan relatif. Impresi-impresi ini juga saling menutupi satu sama lain sehingga kesadaran subjek tertuju pada suatu impresi secara konstan. Pada kondisi ketertujuan konstan inilah yang membuat subjek mencintai sesuatu, dalam kasus ini yaitu antara subjek-subjek. Misal seseorang yang sedah jatuh cinta ia akan terus memikirkan seseorang yang ia cintai. Kasus ini adalah relasi antara subjek aku dengan subjek liyan. Meski terlihat sangat sederhana, bahwa kita mencintai seseorang dan apa yang kita pikirkan adalah subjek liyan yang memiliki predikat persis seperti apa yang melekat padanya namun ini masih bermasalah. Apakah kita yakin saat kita sedang tidak bersama seseorang yang kita cintai kita membayangkan atau memikirkan seseorang itu secara subjek-pada-dirinya? Subjek yang ber-ada-di-sana akan ternodai dengan aktus-diri: dalam hal ini adalah imajinasi predikat ataupun “gerak” sang subjek liyan. Sang subjek mencampur sumber intensi, dengan kehendaknya,  untuk memenuhi kebutuhan dalam dirinya. Artinya, dengan kata lain, sang subjek butuh untuk memiliki impresi.

Melalui pendekatan ini cinta menjadi, tak lain, sebuah modifikasi yang-ada-di-sana. Suatu aksi mengotak-ngatik subjek liyan menjadi lebih indah dan mengenyangkan; suatu cinta solipsis. Aksi ini tidak hanya sampai di situ, kehendak untuk mempertahankan subjek liyan yang termodifikasi ini pun muncul. Dominasi suatu impresi ini membuat sang subjek kecanduan akan keberadaannya di-sini sehingga ia mencoba untuk memilikinya dengan dalih untuk bisa menikmati impresi tersebut secara terus menerus. Dengan demikian, ia menjadi seorang “pemilik” impresi bersama dengan subjek-pada-dirinya sekaligus.

Putus cinta ditandai dengan rasa sedih dan serangkaian rasa yang mengganggu lainnya. Subjek yang sedang putus cinta bagaikan seorang balita yang merengek karena es krimnya direbut. Ia akan merengek-rengek agar ia mendapatkan es krimnya kembali. Tidak hanya itu, sang subjek bahkan akan menangis-nangis jika apa yang ia inginkan ternyata tidak terturuti. Apa sebab? Persoalan ini beranjak dari problem di awal: yakni berasal dari kebutuhan akan impresi. Kita mesti melihat bahwa saat subjek memiliki subjek-pada-dirinya ia tetap aktif dalam membangun struktur aktus-diri. Sang subjek akan berandai-andai, misal seorang pujangga akan mengimajinasikan seperti apa masa depan ia bersama kekasihnya. Ia pun mengatakan kepada kekasihnya, “Dik, aku akan menikahimu dan kita akan hidup bahagia sampai akhir khayat”, dan sang kekasih pun menjawab “Kamu memang harapan hidupku satu-satunya, Mas”. Saat sang subjek mengimajinasikan masa depan dengan sang kekasih, ia juga sedang membangun struktur aktus-diri yang baru. Sang subjek belum puas untuk memiliki subjek-pada-dirinya, padahal subjek-pada-dirinya tak lain adalah bahan material dari impresi yang ia candukan. Bukan subjek-pada-dirinya yang ia intensikan, tetapi predikat-predikat yang melekat pada materi itu sendiri; predikat-predikat yang terbentuk dari proses modifikasi yang sewenang-wenang.

Subjek-pada-dirinya atau sesuatu yang ber-ada-di-sana berbeda dengan sesuatu yang ber-ada-di-sini. Subjek-pada-dirinya adalah bahan material dari impresi subjek. Ia ada secara independen dari subjek serta memiliki properti yang tak-bernilai. Sesuatu yang ternilai mesti sesuatu yang ternilai bagi subjek. Artinya nilai dari sesuatu mesti selalu ditentukan oleh otoritas subjek. Misalkan seorang pria dianggap tampan karena ia memiliki properti yang sesuai dengan aktus-diri sang subjek mengenai “tampan”.

Apa yang terjadi jika yang ber-ada-di-sana tidak berkorespondensi dengan yang ber-ada-di-sini? Misalkan anda mengerti bahwa kekasih anda itu adalah orang yang setia namun ternyata ia selingkuh di belakang anda. Anda pasti akan mengalami gelojak perasaan seperti cemburu dan sedih. Ini adalah suatu akibat dari malpraktek modifikasi predikat subjek-pada-dirinya. Penilaian sang subjek tidak terkorespondensi dengan subjek-pada-dirinya. Proses ini pada nyatanya akan selalu terjadi karena aktus-diri yang terus menuntut dirinya untuk terus berada para kemenjadiannya. Artinya, presentasi yang menjadi material impresi mengalami perubahan sehingga nilai yang subjek beri sudah tidak memadai lagi. Pada momen ini, aktus-diri atau tidak langsung melakukan self-healing. Struktur yang telah terekonstruksi pun mengalami cacat dan mesti segera diperbaiki. Gejala-gejala yang timbul (seperti sedih dan galau) pun beranjak dari problem ini. Self-healing adalah suatu keniscayaan dalam diri subjek untuk menghadapi perubahan spontan dari yang ber-ada-di-sana. Dengan kemampuan demikian, sang subjek mampu merevisi nilai yang telah ia berikan sebelumnya; self-healing adalah revisi nilai itu sendiri.

Subjek berbeda dengan objek. Subjek memiliki kesadaran dan aktus-diri sedangkan objek tidak. Saat suatu relasi antar subjek terbentuk, ia juga mesti mensyaratkan pertemuan antara aktus-diri satu dengan yang lainnya. Impresi terhadap objek tidak terlalu dramatis dibandingkan dengan impresi atas subjek. Dengan demikian subjek liyan sulit sekali untuk direngkuh dan dikuasai. Aktus-diri kedua subjek memiliki keunikan masing-masing. Mereka berada pada proses kemenjadian yang tidak selalu identik satu sama lain. Aktus-diri satu dengan yang liyan mengalami proses komunikasi saat terbentuknya suatu relasi. Komunikasi ini adalah satu-satu jalan untuk aktus-diri saling memahami. Komunikasi ini juga lah yang menjadi jalur sang subjek untuk menguasai dan mendomestifikasikan subjek liyan. Mengapa? Komunikasi aktus-diri tidak selalu resiprokal, ia juga berpotensi monolog dan mendominasi. Apa artinya?

Suatu hubungan antara kau dan dia adalah bentuk komunikasi aktus-diri. Kau mendapat impresi darinya dan begitu pula sebaliknya. Bagaimana kita bisa yakin dengan impresi yang kita produksi? Apakah ia dapat berkorespondensi dengan subjek liyan dengan benar? Padahal presentasi dari aktus-diri subjek selalu berada dalam proses kemenjadian. Dari sini muncul kehendak untuk memiliki (to possess) subjek-pada-dirinya yang sebenarnya adalah untuk mengkonsumsi impresi yang ia produksi secara berkala. Kecenderungan untuk memiliki ini adalah keniscayaan dari kebutuhan aktus-diri untuk selalu berada pada proses kemenjadiannya yang instabil. Suatu kesempatan yang diambil oleh subjek untuk banalitas diri. Suatu kejahatan dalam relasi subjek yang dapat merugikan diri sendiri maupun diri orang lain. Dengan demikian, aktus-diri adalah hal yang tidak bisa disepelekan. Penilaian-penilaian yang berasal dari aktus-diri mesti harus diselidiki dengan cermat, jika tidak, kita akan jatuh pada cinta yang semu; cinta yang mereduksi keunikan subjek liyan yang kita sayangi; cinta yang membuat diri kita menjadi candu pada impresi yang kita bentuk dari lubuk hati kita yang paling brutal.

Koordinator LSF Discourse. Konsen dalam kajian Logika dan Etika.

One Response

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content