Demokrasi tidak pernah hadir dalam ruang yang steril dari konflik. Dalam setiap masyarakat, selalu terdapat perbedaan kepentingan, nilai, dan pandangan yang menegangkan relasi antarkelompok. Namun, justru di situlah letak vitalitas politik: dalam ketegangan yang terus hidup, bukan dalam harmoni yang meninabobokan. Gagasan inilah yang menjadi inti dari agonistic pluralism Chantal Mouffe, sekaligus menjadi kunci refleksi terhadap kondisi politik Indonesia yang kini cenderung terjebak dalam situasi post-politics, masa ketika konflik politik diserap menjadi konsensus semu.
Habermas dan Mouffe: Dua Jalan Menuju Demokrasi
Chantal Mouffe kerap dibaca sebagai antitesis Jürgen Habermas, terutama karena kritiknya terhadap konsensus rasional yang diyakini Habermas sebagai fondasi deliberasi demokratis. Namun, pembacaan yang lebih cermat menunjukkan bahwa keduanya tidak sepenuhnya bertentangan. Habermas tidak pernah berupaya menghapus konflik, melainkan menyalurkannya secara produktif melalui komunikasi rasional. Sebaliknya, Mouffe menolak ilusi bahwa konsensus total dapat dicapai, dan menekankan bahwa politik selalu mengandung dimensi antagonistik yang tidak dapat diselesaikan sepenuhnya. Tugas demokrasi, bagi Mouffe, bukanlah menghapus permusuhan, tetapi menjinakkannya menjadi “agonisme”, sebuah konflik yang diakui, dikelola, dan dijaga dalam kerangka saling menghormati.
Post-Politics dan Krisis Oposisi di Indonesia
Dalam konteks Indonesia, ide agonisme menemukan relevansinya yang tajam. Sejak bergabungnya Prabowo Subianto ke dalam kabinet Joko Widodo, Indonesia memasuki fase post-politics, di mana perbedaan politik antara petahana dan oposisi kehilangan makna substantif. Partai-partai, termasuk yang semula mendeklarasikan diri sebagai oposisi, lebih banyak memperjuangkan kepentingan partai dan elite daripada kepentingan publik. Polarisasi sosial tetap terjadi, namun tanpa arah ideologis yang jelas, menghasilkan politik tanpa oposisi sejati, sebuah demokrasi yang kehilangan tegangan agonistiknya. Fenomena ini menggambarkan pola kekuasaan cakra manggilingan, sirkulasi elite yang berulang tanpa perubahan struktural. Kekuasaan berganti wajah, tetapi tidak berganti watak.
Individualitas: Inti dari Agonisme
Dari ketiga prinsip tersebut lahir gagasan kunci: individualitas. Individualitas di sini bukan egoisme, melainkan kesadaran eksistensial akan posisi diri dalam relasi sosial dan politik. Ia adalah kemampuan untuk berkata, “Aku berbeda, tapi aku tetap bagian dari kita.” Individualitas politik memungkinkan lahirnya warga yang berpikir dan bertindak berdasarkan refleksi, bukan kepatuhan. Hanya individu yang sadar dan otonom yang dapat menjadi aktor dalam politik agonistik, perbedaan di antara mereka bukan ancaman, tetapi sumber dinamika demokrasi.
Relasi Komutatif: Individualitas dan Ruang Politik
Dalam konteks Indonesia, relasi antara individualitas dan ruang kebebasan politik bersifat komutatif, bukan kronologis. Tidak ada yang lebih dahulu: individualitas dan ruang politik saling melahirkan, saling menopang. Tanpa ruang politik yang bebas, individualitas akan terbungkam; tanpa individu yang sadar, ruang politik akan hampa. Maka tugas demokrasi adalah menghidupkan keduanya bersamaan, secara dialektik dan terus-menerus.
Konflik bukanlah tanda kehancuran, melainkan tanda kehidupan politik.
Selama petahana dan oposisi menjaga jarak yang sehat, selama perbedaan dipertahankan sebagai ruang refleksi, demokrasi akan tetap hidup. Indonesia tidak membutuhkan harmoni palsu, tetapi ketegangan yang jujur dan produktif, ketegangan yang membuka ruang bagi dialog, perbedaan, dan pembaruan.
“Demokrasi sejati bukan harmoni tanpa gesekan, melainkan ruang di mana perbedaan bertemu tanpa saling meniadakan.”








Berikan komentar