Setiap manusia menyimpan kisahnya untuk diri sendiri. Beberapa akan disampikan pada orang lain. Kisah merupakan sebuah petanda eksistensial manusia di masa lampau. Masa di mana dirinya berada dalam suatu lingkar peristiwa, apapun-di manapun, apapun dengan siapapun. Tidak dipungkiri bahwa salah satu unsur yang membentuk manusia adalah pengalaman yang didapatnya, boleh kita menyebut kenangan. Plato dalam anamnesis menegaskan bahwa manusia bisa mendapatkan pengertian akan suatu hal sebab mereka memiliki pengetahuan yang diproduksinya melalui pengalaman: eksis dalam peristiwa lampau: membuat manusia tahu akan ikhwal sesuatu sedang dan akan dihadapi.
Peristiwa lampau yang dialami manusia akan diingat dan terulang secara terus menerus. Kisah yang dihadirkan kembali: tereproduksi. Sebagaimana manusia yang tidak lepas dari peristiwa yang sudah lalu, sedang, dan akan, Bangsa pun sama. Tetapi peristiwa yang dialami oleh bangsa sifatnya kolektif: beberapa kejadian penting — menjadi momen khusus — terdapat dalam benak setiap entitas yang berada di dalamnya. Sementara ingatan yang terdapat di dalam personal manusia, belum tentu kolektif. Dalam beberapa hal sifatnya individual. Seperti pengalaman keseharaian cukup terbatas pada dirinya sendiri: artinya memori bangsa sudah tentu menjadi memori Individual (manusia perseorangan), tetapi berseberangan dengan itu memori perseorangan belum tentu menjadi memori kolektif. Pada titik ini perbedaan keduanya bisa ditegaskan dalam garis pemisah. Yang satu bersifat kolektif dan afirmatif bagi semua kelompok di dalamnya. Yang satunya lagi bersifat individual dan hanya afirmatif terhadap dirinya sendiri. Ingatan kolektif sudah barang tentu secara inhern mengarah pada peristiwa yang dihadapi dan dialami oleh suatu himpunan kelompok di masa lalu. Suatu kejadian yang melewatkan banyak orang. Orang-orang terikat di dalam pola-pola persitiwa. Kejadian di masa lampau yang mengikat banyak orang sudah tentu menjadi sejarah kehidupan bersama. Historisitas hadir ke kehidupan mereka menjadi integral dalam diri mereka. Oleh karena itu, ia ikhwal yang subtansial. Konsekuensi logis dari keberadaan “sejarah” adalah kecenderungannya yang dituntut untuk selalu diingat dan dikenang. Sejarah terus hadir secara temporal dalam beberapa ritus kolektif.
Setiap bangsa di dunia memiliki ritus-ritus tertentu yang tertera secara khusus dalam kalender-kalender peringatan. Tentu peringatan tesebut berkenaan dengan suatau momen penting yang secara intrinsik terdapat nilai historis di dalamnya. Bagi masyarakat Prancis, tanggal 14 Juli adalah hari sakral, memperingati pembetontakan massa rakyat di benteng Bastille. Suatu momen yang menyimbolkan heroisme masyarakat Prancis di bawah tekanan kekuasaan monarki, perlawanan yang digerakkan oleh cita-cita ideal (baca: kebebasan dari absolutisme kerajaan). Masyarakat Prancis menyebutnya hari Bastille: perayaan Fête de la Fédération. Sementara di Amerika tanggal 4 Juli adalah waktu untuk bergembira, merayakan kemerdekaan. Tiga belas koloni berhasil lepas dari jeratan tali kekuasaan kerajaan Britania Raya. Setelah berabad-abad lamanya menderita di bawah kontrol dan monopoli kekusaan Britania. Orang-orang Amerika memiliki kreativitas tanpa batas, meski terkesan agak berlebihan — dalam padangan kita — saat merayakan detik-detik pertama kemerdekaan yang berhasil diraihnya, sesuatu yang nyaris tidak mungkin didapatkan. Meledakkan 13 kali meriam yang suaranya melambung ke langit. Pecah pada pagi yang masih petang, tepat di tahun 1777. Satu tahun setelahnya, George Washington merayakan 4 Juli dengan tembakan artileri dan pembagian jatah rum dua kali lebih banyak daripada biasanya pada prajurit Amerika. Ihkwal yang tidak akan pernah mereka dapatkan dari tuannya seandainya Amerika belum merdeka. Mungkin saja G. Washington berpikir berkali-kali untuk berbagi jatah rum. Pun itu terjadi hanya sekali dalam setahun. Independen day, begitulah mereka menyebut hari perayaan itu. Ritus-ritus demikian merupakan sebuah gejala yang terjadi pada masyarakat modern di sejumlah negara-negara Eropa dan Amerika di abad 17. Sebab pada abad-abad itu sejumlah bangsa di negara belahan dunia (di luar Eropa dan Amerika) masih belum menggandrungi term “Kemerdekaan”. Sebuah term yang konotasinya adalah kebebasan yang didapatkan oleh suatu masyarakat tertentu dari tangan penjajah yang menjajah dirinya (baca: bangsanya). Perlu digaris bawahi bahwa historisitas (baca: sosial-politik yang melatar belakangi gerakan-gerakan pembebasan) masyarakat Eropa dengan Negara-negara bangsa bekas penjajaahan terutama di wilayah geografis Asia-pasifik: termasuk Indonesia, berbeda. Penjajahan dalam konteks Eropa kecendrunganya berhadapan dengan kekuasaan monarki/kerajaan. Semangat pembebasan mereka bertolak dari penderitaan di bawah kekuasaan absolutisme monarki dengan ideologi politik yang digandrungi pada masanya, seperti Liberalisme, Komunisme, dan Anarkisme. Sementara kemerdekaan di wilayah koloni bertolak dari penderitaan dalam genggaman kolonialisme.
Frasa “Kolonial-isme” merujuk pada bentuk sistem pemerintahan suatu daerah koloni yang dikontrol kuat oleh penjajah-penjajah Eropa. Meski bentuk-bentuk ideologi dalam pelbagai segmentasi gerakan massa di wilayah jajahan mendapatkan presedennya dari ideologi-ideologi politik yang lahir dari para pemikir Eropa. Akan tetapi keduanya tidak bisa ditarik pada garis asusmsi yang sama. Di Indonesia, tepatnya di persimpangan abad 19 memasuki abad ke 20 semangat pembebasan—dari bentuk kolonialisme Belanda mulai nampak. Shiraishi dalam karyanya An age in motion: Popular Radicalism In Java 1912-1926 (1990) memaparkan sejumlah bentuk-bentuk perlawanan yang digerakkan oleh dua kelompok besar: Sarekat Islam (SI) dibwah kontrol H.O.S Tjokro Aminoto dengan Semaoen. Keduanya menunjukkan sikap yang berbeda dalam upayanya mencapai kemerdekaan. SI putih golongan Tjokroaminoto memilih langkah taktis kooperatif dalam volksraad untuk memperjuangkan hak-hak bumiputra, sementara SI dibawah Semaoen—terutama di wilayah Semarang—memilih berjuang dengan taktik non-kooperatif setelah perwakilan SI di volksraad tidak cukup ideal untuk disebutkan sebagai wajah perjuangan rakyat. Semaoen menjadi pengkritik pedas Volksraad. Menurutnya, dari komposisi anggota Volksraad yang terpilih, hampir tidak ada yang mewakili kaum kromo. Sebagian besar mewakili ‘goepermen’, kapitalis, ningrat, dan boneka Belanda. Karenanya, ia menyebut Volksraad sebagai ‘omong-kosong’; komedi (toneel) (Hartono, 2014).
Rerangkai perlawanan rakyat untuk mewujudkan kemerdekaan tercapai pada tanggal 17 Agustus 1945. Diproklamirkan oleh Soekarno dan Hatta di Jalan Pegangsaaan no. 56 Jakarta Timur. Kemerdekaan Indonesia adalah suatu bentuk akumulasi dari sekian jumlah perlawan rakyat tehadap Belanda. Gerakan yang kontinu dari waktu ke waktu dan terdapat di banyak tempat. Ikhwal yang tidak bisa ditolak bahwa proklamasi kemerdekaan yang diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta adalah salah satu serapan dari pola-pola kultur politik modern. Melalui perseberan ide-ide gerakan politik modern yang diterima dengan sikap terbuka oleh sejumlah entitas gerakan rakyat. Sebuah budaya modern dengan atribut formalitas yang khas. Memproklamirkan naskah proklamasi artinya sedang menegaskan perwujudan identitas bangsa indonesia: sebuah imaji kolektif (baca: keutuhan sebagai bangsa merdeka dan diakui) yang eksis dalam satuan unit administratif: Nation and State. Ben Anderson dalam karyanya Imagined Communities: Reflection on the Origin and Spread of Nationalism (2006) memaparkan, “Indonesia, sebuah bangsa besar nan kaya, yang sejak dahulu sampai sekarang diperebutkan oleh banyak bangsa di dunia. Sebuah negara-bangsa yang mampu bertahan dan tetap eksis dalam peta pergaulan internasional. Padahal, hanya dibangun dari sebuah imaji kebangsaan masyarakat terjajah yang dipersatukan karena munculnya revolusi kertas dan mesin cetak”. imaji sosial terbentuk sekaligus ditegaskan oleh media cetak: surat kabar pada saat itu. Surat cetak menjadi temali yang menghubungkan cita-cita imajinasi kolektif yang menegaskan identitas materialnya sebagai bangsa.
Naskah proklamasi yang terbaca pada 17 Agustus 1945 dengan otomatis menjadi patok sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia. Hidup dan terus direproduksi dalam ingatan di tiap generasi dalam tiap zaman. Agustus menjadi ruang bagi peng-kultusan ritus sebagaimana bulan Juli bagi masyarakat Prancis dan Amerika.
Agustus dan Ritus Memori Kolektif
Agustus adalah bulan suci bagi bangsa Indonesia. Bulan yang disucikan dengan perjuangan para pahlawan— The Founding Father — Indonesia. Mengingat adalah menjaga dan merawat kesuciannya, melupakan sama dengan mengotori atau, dalam kalimat yang satir, menghianati jasa para pahlawan. Melupakan sejarah bangsanya sama dengan membunuh kesadaran historis yang tak kalah kurang ajarnya dengan membuang arsip kenangan keluarga, sahabat, atau pun pacar: orang-orang yang kita cintai ke tempat pembakaran sampah. Sebab bangsa Indonesia mengerti bahwa tanpa sejarah, bangsa hanyalah serpihan narasi omong kosong. Oleh karena itu, mengingat sekaligus mengafirmasi keberadaannya itu penting sebagai trayektori historis yang melampuai ruang dan waktu kejadian.
Pada bulan Agustus, masyarakat di Indonesia akan melakukan ritual perayaan kemerdekaan dengan pelbagai bentuk rupa. Pengibaran bendera merah putih di gedung istana negara. Di sertai pemutaran nada Orkestra harmoni lagu Indonesia Raya gubahan Wage Rudolf Soepratman. Bendera merah putih tak hanya berkibar di Istana, ia juga dikibarkan di jalan-jalan raya, alun-alun kota, di gang-gang komplek perkampungan kumuh perkotaan, bahkan di kendaraan-kendaraan umum. Selain itu, warga melaksanakan pelbagai macam lomba di lingkup RT/RW dengan memanfaatkan ruang seadanya. Seperti kerapkali yang dijumpai oleh penulis di kota Malang. Sepanjang mata memandang ke depan atau pun kebelakang, didapati umbul-umbul bendera. Sementara di komplek rumah penduduk — Kerto Rahayu kecamatan Ketawanggede — yang hanya dipisahkan oleh jalan dengan lebar berkisar satu meter mulai ramai dengan kegiatan: jalan-jalan ditutup dengan penghalang yang bertuliskan “Mohon maaf sedang ada kegiatan warga”. Sementara di gang yang lain, penulis kerapkali menjumpai warga joget di tengah jalan: latihan sebelum acara karnavalan di tanggal 17 Agustus. Apa yang dilihat oleh penulis, juga oleh orang-orang pada umumnya di bulan Agustus ini, bukan lah gejala yang ada begitu saja: kering tanpa makna. Basa-basi menghiasi jalan dengan umbul bendera dan sedikit goyang pinggul di sore hari, sekedar mengisi waktu luang. Gejala demikian adalah ritus merekonstruksi kembali memori kolektif/kesadaran akan sejarah masa lalunya. Trayektori memori masa lampau yang ditegaskan kembali saat ini, dan seterusnya. Maurice Halbwachs, sosiolog Prancis sekaligus seorang Durkheimian menulis tentang ‘Memori kolektif’ dalam magnum opusnya On Collective Memory (1992) memaparkan bahwa seseorang tidak bisa mengingat kejadian/peristiwa yang berbeda dalam ruang dan waktu secara langsung tanpa tampilan simbolis. Memori historis hadir hanya dengan rangsangan secara tidak langsung melalui membaca, mendengarkan atau hadir dalam peringatan tertentu, atau berpartisipasi ke dalam acara-acara meriah ketika orang-orang berkumpul bersama untuk mengingat secara umum perbuatan dan pencapaian anggota kelompok yang sudah lama pergi. Dalam hal ini masa lalu dihadirkan kembali melalui perjumpaan-perjumpaan kolektif. Segala bentuk perayaan (baca: ritus) yang berhubungan dengan memori-historis-kolektif merupakan tampilan simbolis dari sebuah upaya material manusia mereproduksi peristiwa masa lalu yang penting bagi keberlangsungan eksistensialnya.
Lewis A. Coser dalam catatan pengantar On Collective Memory, memaparkan bahwa masa lalu yang dihadirkan kembali melalui tampilan simbolis oleh bentuk-bentuk ritus dalam sisi lain erat-kelindan dengan pandangan masa kini yang intrinsik di dalamnya. Artinya setiap bentuk ritus yang dilaksanakan untuk memperingati peristiwa lampau (memori historis) tidak bisa dilepaskan dari cara pandang masyarakat yang eksis saat ini. Hal itu didasarkan oleh tiga sebab: keyakinan, minat, dan aspirasi. Ketiganya akan membentuk pandangan subyek-kolektif terhadap memori masa yang hendak dihadirkan. Kendati demikian, Barry Schwart menegaskan bahwa masa lalu selalu merupakan gabungan dari kesinambungan dan kebaruan. Ia tetap berkesinambungan melalui ritus tapi hal itu tidak menjamin keotentikannya sebagaimana peristiwa itu terjadi di masa lampau: beberapa atribut definitif darinya akan mengalami kebaruan oleh pandangan subyek kolektif hari ini.
Lebih jauh lagi, Schwart bersama kedua rekannya Zarubavel dan Barnett mengembangkan tentang memori historis dalam penelitian mereka The Recovery of Masada A Study In Collective momory (1986). Mereka menggunakan teori memori historis Halbwachs dan George Mead. Menyoal dengan kritis mengenai kemunculan salah satu puisi epik “Masada” pada tahun 1927 yang dikonstruksi kembali oleh orang-orang Yahudi. Tepat bersamaan dengan munculnya kekuatan Zionisme. Mengapa naskah Mazada begitu digandrungi setelah dua ribu tahun terlupakan? tidak pernah terlibat dalam ritus-ritus ummat Yahudi. Dan tentu persoalan utamanya bahwa Mazada memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kesadaran kolektif umat Yahudi pada abad 20. Puisi epik Mazada yang mengisahkan pertempuran orang-orang Yahudi dengan pasukan Romawi pada 73 Anno Domini. Pertempuran terjadi di kawasan Palestina. Masada nama lain dari sebuah benteng gunung tempat terakhir pertahanan umat Yahudi, setelah kota Yarussalem jatuh. Zarubavel (1986) cukup kritis memandang realitas subtansial di balik gejala umat Yahudi yang tiba-tiba menggandrungi puisi epik tersebut. mereka meletakkan hipotesa yang dipinjamnya dari Mead bahwa masa lalu diingat dan dibangun untuk memenuhi kebutuhan kelompok, dan jenis masa lalu yang terpilih sebagai landasan kesadaran kolektif adalah peristiwa yang menunjang kesuksesan kelompok saat ini.[1] Artinya, masa yang diaktifasi kembali kedalam bentuk ritus-ritus dipilih secara kolektif demi menunjang kepentingan mereka. Berhubungan dengan itu, Zarubavel menuliskan dengan tajam bahwa Masada yang digandrungi pada abad ini oleh sekolompok umat Yahudi didorong oleh sebab krusial. Mereka membutuhkan suatu pembenaran, pijakan moril, dari sekian agenda agresi militer Israel: simbol keberanian dan komitmen nasional terhadap negara mereka . konsekuensi logis darinya adalah sejarah kolektif umat Yahudi dikonstruksi kembali melalui naskah Masada sebagai instrumen untuk melegitimasi pandangan politik Israel untuk mengembargo Palestina.
Perayaan hari kemerdekaan (ritus) yang dilakukan oleh banyak bangsa di dunia bukanlah realitas yang begitu ‘adanya’ tanpa makna. Oleh sebab itu, dalam esai ini penulis melakukan pembacaan ulang atas romansa dan gagap gempita yang dirasakan oleh banyak orang di hari yang suci itu. Bahwa untuk mengerti dan memahami ritus demikian tidak cukup dengan meledakkan 13 artileri, membagikan rum dengan jumlah dua kali lipat, berharu biru dengan nada Symphony no.9-nya Beethoven sebagaimana Leonard Bernstein melakukannya pada tanggal 25 Desember 1989, sekedar merayakan jatuhnya tembok Berlin, atau medengarkan nada orkestra harmoni indonesia raya—tangga nada Indonesia raya fanfare-Alto in Es III, Bariton, Bombardon In Bes, Contra Bass in c, Corneta Piston I, dan Corno In Es I & II, dan sejenisnya—di stasiun radio. Penulis percaya bahwa segala menifestasi gejala sebagai salah satu realitas sosial selalu memiliki relevansi sosiologis. Menggunakan prespektif teori ‘memori kolektif’ Mauice Halbwachs dan catatan pengantar dari lewis A.Coser dalam buku On Collective Memory serta hasil riset Schwartz, Zarubavel, dan Barnett penulis hendak mengemukakan bahwa: ritus perayaan kemerdekaan adalah ungkapan material dari upaya sebuah bangsa untuk mengenang sekaligus menegaskan status kemerdekaannya dari kekuasaan absolutisme. Kedua, ritus perayaan kemerdekaan adalah Trakyektori memori kolektif masa lalu yang dihadirkan kembali melalui tampilan simbolis (baca: ritus). Ketiga, ritus perayaan selalu erat kelindan dengan pandangan subyektif subyek kolektif dalam tiap masa. Rekonstruksi memori-historis-kolektif selalu berkesinambungan dengan perubahan-perubahan padangan subyek. Oleh karenanya tetap eksis meski tidak lagi otentik sebagaimana wujudnya di masa lalu. Sebagai tambahan, penulis ingin memberikan catatan penting yang terpisah dari keutuhan kerangkan esai ini. Bahwa perayaan kemerdekaan melalui ritus tidak selalu demi dan untuk memperingati peristiwa sejarah kemerdekaan. Bahwa ‘nilai pakai’ sejarah tidak bisa dilepaskan dari segala wujud kepentingan subyek kolektif hari ini. Bertolak dari hipotesa Maines, Sugrue, dan Katovich The Recovery of Masada: A Study Memory Collective (1986) pencapaian masa lalu akan selalu dimanfaatkan oleh pelbagai varian kelompok sebagai landasan moril untuk melegitimasi kepentingannya saat ini. Di Indonesia, ikhwal demikian tidak begitu subtil untuk dijamah. Perhatikan saja bagaimana penanda-penanda bahasa mengoperasikan dirinya ke dalam realitas, Seperti “72 Tahun Indonesia Merdeka: disiplin kerja dan Cinta Budaya” untuk 70 tahun Indonesia Merdeka: Gerakan Ayo Kerja”[2]. Bahwa ritus rekonstruksi memori akan selalu hadir dengan atribut kekuasaan subyek-kolektif itu tidak bisa dibantah.
[1] By documenting Mead’s belief that pasts are remembered and constructed in ways that meet group needs, and that the kind of past events most useful in this respect are those associated with success. (Schwartz, Zarubavel, & M. Barnett, 1986)
[2] Lihat gambar di mastimon.com dan warta. Sumedang.info: penulis mengaksesnya pada pukul 21:42 WIB, tanggal 11-08-2018.
Bibliografi
Anderson, B. (2006). Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. New York: Verso.
Halbwachs, M. (1992). On Collective
Hartono, R. (2014, Agustus 20). Semaoen, Pelakon di Zaman Beregrak. Retrieved Agustus 10, 2018, from Berdikarionline: http://www.berdikarionline.com
- Penulis ini tidak memiliki artikel lain.