(Ditulis untuk diskusi publik “Politik Akal Sehat: Antara Kata, Retorika, dan Filsafat”, LSF Discourse dan LSF Nahdliyin, Malang, 14 Februari 2019)
Konsep “Akal sehat” tertelusur sedikitnya kepada empat tradisi filosofis dan pemikiran politik, sebutlah: Liberal-Romantik, Liberal Modern, Tengah, Kiri.
Kita menemukannya pada Anthony A.C. Shaftesbury, representasi Liberal-Romantik akhir abad ke-17 yang datang dari kawanan freethinkers Inggris. Apa itu Akal Sehat? Shaftesbury memberikan pendasaran moral dan estetis bagi konsep ini dengan mengaitkannya pada “keindahan moral”: “keindahan sentimen-sentimen, kemurahan hati dalam bertindak, perubahan watak, dan proporsi akal budi manusia”. Akal Sehat: spontanitas yang bersumber dari kepolosan manusia, yang tak tercemar oleh egoisme dan kepentingan, kemampuannya mengekspresikan apa yang alamiah dari dalam akal budi atau jiwa. Shaftesbury menyebutnya sensus communis, akar Latin common sense.
Konsep ini lekat dengan antusiasme dan tipe nalar yang disebut “nalar intuitif” (intuitive reason). Dengan Akal Sehat, Shaftesbury membebaskan nalar dari kekakuan filsafat Pencerahan yang saintifik dan dingin. Kala itu, Revolusi (borjuis) mulai bergejolak, para philosophes dan encylopedists macam Voltaire dan Diderot sedang mencari-cari bentuk ekspresi filosofis yang paling tepat menggambarkan atmosfer zaman yang ditandai oleh pemberontakan terhadap kekangan-kekangan feodalisme dan Skolastisisme. Akal Sehat adalah jurus tembak yang jitu bagi akademisme Skolastik dan dominasi intelektual kaum klerikus yang mengangkangi akal khalayak ramai. Ia mengekspresikan letupan sentimen yang tak terwakili oleh bahasa penguasa dan teolog, dan datang dari dunia “orang-orang biasa” (ordinary men).
Sumbangan kaum Liberal-Romantik terhadap Akal Sehat terletak pada dua hal: mengaitkan Akal dengan sentimen, perasaan, dan emosi—yang sebelumnya terjebak dalam hierarki, dengan superioritas Akal atas sentimen, perasaan, dan emosi. Artinya, Akal tak sekaku dan seterpilah yang dikira; ada unsur emotif dan sentimentil di dalamnya. Ini sumbangan mereka bagi epistemologi. Kemudian, bagi filsafat moral, via Akal Sehat, mereka menjadikan sentimen moral sebagai standar moralitas dan kritik bagi moralitas. Bahwa moralitas bukan terutama soal perintah-perintah Tuhan dari langit, melainkan soal mengamati kebiasaan-kebiasaan dalam kehidupan, perilaku-perilaku manusiawi yang bertentangan atau sejalan dengan Akal Sehat orang kebanyakan.
Liberalisme Modern mengambil-alih Akal Sehat sekaligus membedakan diri dari Liberalisme Romantik dalam dua hal: memberi wadah politik bagi Akal Sehat, dengan memberi forma baru bagi Akal Sehat untuk tampil mengemuka; wadah itu disebut Demokrasi Liberal, mengacu pada seperangkat sistem politik yang diyakini menjamin pertukaran ide-ide dan gagasan-gagasan secara “bebas dan setara”. Dan kedua, memberi nama baru bagi Akal Sehat yang kabur dalam Romantisisme dan masih terlalu antropologis dengan membaptisnya sebagai “nalar publik” (Public Reason).
Kali ini, Akal Sehat bukan suatu potensi yang otomatis melekat pada seseorang, kecuali orang itu terlebih dulu masuk dalam formasi khusus yang disebut John Rawls, representasi liberalisme ini, sebagai “pemerintahan demokratis” (democratic polity) dengan ia sebagai subjek bernama “warga-negara”. Akal Sehat adalah cara para warga negara dari sebuah tatanan demokratis mengartikulasikan pandangan mereka merespons isu-isu publik menyangkut hak-hak dan kebebasan mereka. Dalam hal ini, Akal Sehat adalah manifestasi penalaran publik atas hal-hal yang menjadi acuan kehidupan konstitusional di bawah suatu rezim demokratis tertentu. Nalar publik, alias Akal Sehat politis, dengan demikian, tak terpisah dari demokrasi dan konstitusi, bertujuan mengecek kualitas demokrasi dan kepatuhan kepada konstitusi sebagai acuan keadilan. Modusnya adalah ketimbalbalikan (reciprocity) dan justifikasi publik (public justification): alasan-alasan yang dikemukakan di sana harus teruji memuaskan semua pihak yang memberi tanggapan. Dan orientasinya adalah keadilan, menyangkut hak-hak dan kebebasan para warga-negara yang terlibat di dalamnya.
Mengacu pada pengertian ini, Akal Sehat tak otomatis muncul sampai ada ruang-ruang yang memfasilitasinya, yang Rawls sebut “forum-forum publik yang politis” (pengadilan, ruang kampanye partai politik, debat publik…). Rezim otoriter yang tidak konstitusional tidak dapat menyediakan forum-forum ini, otomatis tidak mampu menegakkan Akal Sehat. Begitu juga, kehidupan komunitas yang centang-perenang, tribal, dan tradisional, belum bersatu di dalam suatu pemerintahan demokratis, tak mampu melahirkan Akal Sehat. Lebih jauh, Rawls merinci bahwa Akal Sehat politis semacam ini syarat utama dari demokrasi deliberatif. Masyarakat yang belum mencapai taraf kehidupan politis yang demokratis secara deliberatif, artinya melalui pembentukan opini yang hidup timbal-balik di antara warganya, belum layak disebut masyarakat dengan Akal Sehat politis.
“Standar” ini berat, memang. Dan persis lantaran ketatnya kriteria Akal Sehat yang ditetapkan oleh liberalisme ini, maka Akal Sehat seakan tidak leluasa tampil secara alamiah dalam kehidupan politik, karena syarat-syarat definitifnya harus terlebih dulu terpenuhi dalam wujud sistem demokratis dan konstitusional, serta deliberatif. Keterbatasan Liberalisme Modern terlihat justru ketika ia harus mengomentari bentuk-bentuk sosialitas yang tidak liberal dan tidak modern. Di sini muncul konsepsi Akal Sehat dalam versi Tengah.
Kubu Tengah diwakili oleh Immanuel Kant, Habermas-awal, dan Stanley Cavell dari kalangan filsuf pragmatis Amerika. Ide dasarnya, Akal Sehat adalah suatu tipe pemikiran yang memadukan Akal Praktis dan Akal Penilaian. Ini dua konsep Kant untuk merujuk seperangkat rasionalitas yang memberi disposisi bagi tindakan moral manusia dan pengalaman estetisnya. Dalam skema Kant, Akal Sehat tidak masuk dalam kategori Akal Murni atau ranah kritik metafisika, karena wilayah Akal Sehat bukan kognisi atau kemampuan abstraksi manusia; Akal Sehat terlalu lemah, karena ia berupa pemahaman umum orang kebanyakan (common understanding) yang sering kali kabur, kontradiktif, dan tidak koheren, lebih-lebih sistematis. Kognisi adalah wilayah individual yang pengalamannya tidak dapat dibagi dengan orang lain, kecuali melalui konsep murni (a priori), itu pun tetap dalam wilayah kognitif. Namun, Akal Sehat bisa masuk dalam dua rumpun sekaligus: Akal Praktis dan Akal Penilaian, wilayah diskursus moral dan estetis. Dalam konteks moral, Akal Sehat adalah cara para individu berbagi konsepsi tentang apa yang mereka pandang “baik” atau “jahat”. Dalam konteks estetis, Akal Sehat adalah cara mereka berbagi citarasa tentang apa yang mereka nilai “indah” atau “buruk”.
Akal Praktis Kantian dibangun atas ketegangan antara tugas moral merealisasikan kehidupan bersama yang bajik (summum bonum) dan kebebasan manusia mengaktualisasikan kehendaknya (prinsip kehendak). Orang bebas melakukan apa yang dia mau, tapi ingat, di seberang sana, ada hukum moral yang tak bisa dilampaui dan imperatif bagi setiap orang. Akal Sehat adalah kemampuan orang-orang menimbang batas kebebasan mereka di hadapan hukum moral yang universal. Ia adalah rasionalitas yang memberi peringatan untuk “tidak melampaui batas” dan bertindak wajar, namun sejalan dengan kehendak bebas.
Di sisi lain, secara estetis, orang lebih mudah berbagi persepsi tentang apa yang indah dan buruk karena, bagi Kant, terdapat imajinasi yang memudahkan orang-orang menikmati apa yang mereka anggap indah, elok, atau sebagainya. Imajinari (Kant memunculkan istilah “permainan-bebas”) suatu karya estetis merangsang orang untuk menilai. Akal Sehat (sensus communis) adalah suatu kompleks imajiner di mana berlalu-lalang persepsi-persepsi subjektif orang, yang saling memperkaya kepekaan estetik masing-masing, tanpa saling membatalkan atau menegasikan yang lain. Di situ berlangsung “demokrasi rasa” (democracy of taste), yang meski subjektif dari sisi pengalaman, tetapi lantaran adanya sensus communis, mampu membuat keindahan itu dirasakan secara universal. Orang yang tak berakal sehat adalah ia yang kehilangan rasa dan tak mampu merasakan.
Dilihat dari dua tradisi sebelumnya, kubu Tengah – diwakili Kant – tampak mempertajam konsepsi Akal Sehat ala Shaftesbury dengan memperluasnya menjadi ciri universal dari hubungan sosial dengan ragam dimensi moral, estetis, dan politisnya. Perluasan Akal Sehat ini membuat Akal Sehat tidak bisa dibatasi hanya pada suatu rezim politik bernama demokrasi liberal seperti dipostulatkan Liberalisme Modern, namun bisa dimiliki oleh tatanan sosial mana pun selama di sana terdapat problem moralitas, kebebasan, kehendak, kebaikan bersama, dan pengalaman estetik. Akan selalu muncul pertanyaan Akal Sehat kapan pun sendi-sendi moralitas guncang, kebebasan disalahgunakan, kehendak bebas diputarbalikkan, kebaikan bersama diabaikan, dan pengalaman estetik dimonopoli atau diseragamkan. Akal Sehat akan memberontak, mempertanyakan arah kehidupan etis-politis manakala ia dilecehkan atas nama moralitas, kebebasan, dan perwujudan kehendak, atau ditindas atas nama kebaikan bersama. Inilah ciri sensus communis yang tak terelakkan.
Sebagai prasyarat dari hal ini, tentu Akal Sehat mesti memiliki ciri komunikatif. Habermas memberi nama bagi tipe pemikiran ini sebagai “diskursus praktis”. Akal Sehat bersifat diskursif sekaligus praktis: ia membuka wacana-wacana yang terbuka untuk diperdebatkan atau disepakati sekaligus berorientasi mempertanyakan validitas praktis tiap-tiap tindakan sosial atau politis orang-orang. Akal Sehat dalam versi kubu Tengah ini dapat berupa sekadar diskursus yang menjadi prasyarat dari koreksi suatu sistem, atau tipe “kritik sosial” ala Michael Walzer: masyarakat sebagai entitas-entitas yang memahami tindakan dan gagasannya secara kritis atau minimalnya secara reflektif, seperti dicari oleh Stanley Cavell dan lain-lain.
Problem dari semua Liberalisme dan Moderatisme Tengah di atas adalah bahwa semuanya tidak cukup mampu menjelaskan relasi struktural dan kekuasaan Akal Sehat, dan mengapa Akal Sehat tidak selamanya muncul sebagai kekuatan perubahan yang politis dan bahkan revolusioner. Inilah keberatan utama kalangan Kiri terhadap tesis-tesis Akal Sehat Liberalisme dan kubu Tengah.
Pertama, problem ideologi. Akal Sehat sebagiannya mencerminkan kondisi ideologis suatu masyarakat, yakni penguasaan opini-opini dan cara pandang oleh kepentingan Kelas Penguasa (ruling class) dari elite borjuis, borjuasi, birokrat, dan kapitalis. Tidak semua kesadaran bersifat kritis, karena alat-alat untuk membentuk kesadaran itu, seperti media dan forum publik, dimonopoli oleh Kelas Penguasa. Apa yang dianggap common sense suatu masyarakat adalah hasil dari penguasaan diskursif semacam ini, sehingga beredar opini-opini yang menguntungkan relasi sosial yang bersifat status quo dan mempertahankan hierarki yang ada, alias mempertahankan Masyarakat Kelas. Kritik ideologi ini, kita tahu, berutang pada Marx, Engels, dan beberapa teoretikus hegemoni dan teori aparatus seperti Antonio Gramsci dan Louis Althusser.
Namun, mengatakan bahwa penalaran khalayak ramai sepenuhnya di genggaman Kelas Penguasa juga tidak tepat, karena “kesadaran popular” alias “kesadaran massa”, betapapun tidak kritisnya, merupakan representasi material dari kondisi-kondisi material rakyat pekerja sendiri. Itu sebabnya, betapapun naifnya massa, pemikiran mereka memiliki suatu potensi perubahan karena berangkat dari kondisi-kondisi yang tidak sepenuhnya teralienasikan dari keseharian mereka.
Kalangan Kiri memperlihatkan bahwa Akal Sehat tak lepas dari kelas, yakni kehidupan kelas massa, rakyat umum, dan orang-orang biasa dari beragam variannya (proletar, semi-proletar, Lumpen, dan lain-lain). Karenanya, opini-opini yang berkembang, suara-suara dari kalangan massa, membentuk representasi Akal Sehat atau common sense suatu masyarakat. Di sisi lain, Akal Sehat juga dipandang sebagai bentuk pembatalan atas ketimpangan kecerdasan, karena Akal Sehat mengafirmasi kesetaraan orang untuk berpikir dan bertukar-pandangan satu sama lain. Ia adalah cerminan dari equality of intelligences, dalam kosakata Jacques Rancière, atau inteligensi kolektif dalam kosakata Negri.
Perbedaan kaum Kiri dari ketiga kubu yang lain adalah memikirkan bagaimana Akal Sehat ini dapat menjadi katalisator perubahan suatu sistem yang eksploitatif seperti sistem kapitalis. Di sini kita menemukan bagaimana kesadaran massa harus berubah menjadi suatu “kehendak rakyat” yang revolusioner dalam tipe volonté générale ala Rousseau dan kaum Kiri-Republikan (Jacobin, dst.) atau popular will dalam konsepsi Peter Hallward. Artinya, Akal Sehat tak cukup sehat sampai ia memampukan massa membongkar ilusi-ilusi Kelas Penguasa dan ilusi-ilusi ketertindasannya sendiri dengan menghendaki suatu perubahan yang aktornya adalah massa itu sendiri, tanpa perwakilan suatu golongan dengan kepentingan yang sempit, menghadapi sistem.
Meski memiliki lawan berupa Kelas Penguasa, ciri khas Kiri adalah antagonisme ini bersifat vertikal dan terarah vertikal secara eksklusif: ia menyasar perubahan sistem dan relasi kelas. Sementara itu, ada juga pandangan yang mengasumsikan antagonisme itu bersifat horizontal, yakni menciptakan disintegrasi massa, dengan logika biner Kawan versus Lawan tanpa kecuali dan distingsi. Pandangan ini misalnya diajukan oleh filsuf Kanan-reaksioner seperti Carl Schmitt, yang memandang bahwa setiap politik adalah politik Kawan versus Lawan. Di sini pandangan Schmittian dengan sendirinya membatalkan Akal Sehat karena mengasumsikan tidak mungkin dicapai suatu titik temu antara opini-opini dan tindakan politis yang ada. Sementara Akal Sehat membuka peluang untuk berbaginya kesadaran, memupuk solidaritas, dan memberi ruang bagi terjadinya perbedaan pandangan, politik Kawan/Lawan ala Schmitt menolak itu, sehingga otomatis memecah kembali massa menjadi entitas-entitas yang secara esensialis berkonflik dan akan selamanya terus berkonflik.
Batas terjauh dari semua diskursus Akal Sehat yang diajukan oleh keempat pendirian itu diajukan oleh kalangan Kiri dalam versi pasca-strukturalis, yang justru mempertanyakan keberadaan Akal itu sendiri. Jika terdapat Akal alias Rasio, maka terdapat Nir-Akal alias Irrasio. Semua pemikir sepertinya nyaris sepakat bahwa Irrasio adalah musuh dari politik yang “tercerahkan”, sehingga mereka yang gila, dekaden, abnormal, menyimpang, dan lain-lain bukanlah subjek-subjek politik. Foucault menguggat, bukankah ini cerminan dari eksklusi Akal terhadap mereka yang tak berakal? Bisakah orang gila menjadi warga negara? Bisakah orang abnormal ikut dalam demokrasi? Akal Sehat, meski merupakan konsep yang inklusif dan universal karena dimiliki oleh setiap orang yang berpikir dan merasa, masihlah suatu konsep Akal yang rasionalistik, sehingga tetap memiliki watak mengeksklusi pihak yang dianggap “sampah masyarakat”, orang-orang marjinal dari kalangan yang paling marjinal.
Politik Akal Sehat
2019, menjelang pemilihan umum, di Indonesia, muncul Rocky Gerung (RG) dengan “gerakan akal sehat”-nya. Apakah politik Akal Sehat Rocky dan orang-orang yang mendukungnya mencerminkan Akal Sehat?
Mencari posisi di antara keempat pendirian di atas, politik Akal Sehat RG tidak menemukan pijakannya dalam filsafat, sehingga politik Akal Sehat RG ini pseudo-filosofis, alias berpura-pura sedang berfilsafat. Ia bukan Liberal-Romantik, karena tidak didasarkan pada kesadaran “orang biasa” dan sentimen moral akan kepolosan manusia. Politik Akal Sehat RG adalah suatu retorika intelektual yang menggurui kesadaran khalayak umum. Ia bukan Liberal-Modern, karena tidak secara spesifik mengangkat keadilan, hak-hak, dan kebebasan, serta kepatuhan kepada konstitusi. Ia bukan pula Tengah ala Kantian, karena tidak meng-address persoalan-persoalan “kebaikan umum” yang belum terwujud, juga tidak memperkaya sensibilitas estetik, malah cenderung mendangkalkannya (karena terus-menerus diulang sehingga klise). Ia juga bukan Kiri, karena ia mengkritisi penguasa namun tanpa mempertanyakan Kelas Penguasa, tidak memiliki basis analisis kelas yang memadai, dan tidak punya keinginan mempertanyakan kapitalisme. Jika demikian, apakah tipe yang tepat untuk menyebut politik Akal Sehat RG ini? Secara epistemologis, ia lebih dekat kepada model politik ala Carl Schmitt. Antagonisme Kawan/Lawan, memakai “logika versus” secara membabi-buta, dan cenderung partisan kepada satu golongan. Politik Schmitt tidak memakai konsep Akal Sehat, karena Schmitt tidak tertarik kepada Akal Sehat sebagai metode politiknya. Nama “Akal Sehat” pada gerakan RG, dengan demikian, murni nominalistik. Politik Akal Sehat RG lebih dekat kepada suatu retorika politis daripada suatu konsepsi filosofis, karena hakikatnya ia bukan filsafat, tetapi suatu cara berwicara yang mirip-mirip filsafat.
Penulis buku Filsafat Negasi (Cantrik Pustaka, 2016), Derrida (LKiS, 2005), Teologi Negatif Ibn ‘Arabi: Kritik Metafisika Ketuhanan (LKiS, 2012). Alumnus Universitas Paris VIII. Pegiat Lingkar Studi Filsafat Nahdliyyin.
- Penulis ini tidak memiliki artikel lain.
satu Respon
Gak nyangka juga gus fayadh melakukan pembusukan oposisi sangking teguhnya posisi indoprogress di pihak pemrentah. Kalo penglihatanku RG dekat dgn liberal-modern. Audiensnya kaum bumi datar, jadi dia berfilsafat dgn pura2 tdk berfilsafat. Simbol apa yg dicarinya utk menyatukan suara oposisi : ya common sense. Aku berani bilang karena posisi filsafatnya sdh dikritik telak oleh Suryajaya dlm Alain Badiou. Aku bkn fans RG, sikapku cuma “musuh dari musuh adalah teman”. Ramai2 anakmuda mengkritik org yg sdh malang melintang dlm pendidikan demokrasi. Hari ini, lima thn kemudian RG cuma senyum2 sambil bilang “gue kate juga ape”.