Pada masa kecil saat kita tidak tercemar dengan berbagai konten media sosial, imajinasi kita tumbuh dari ketakterdugaan misalnya dari obrolan di meja makan yang tiba-tiba melahirkan ide untuk mengajak orang tua bepergian ke planet Saturnus atau dari rasa bosan yang kemudian menjelma jadi rencana spontan misalnya pergi ke rumah tetangga yang menyenangkan. Kini, bahkan imajinasi kita yang paling sederhana seperti ingin makan apa atau mau liburan ke mana sering diserahkan pada algoritma.
Imajinasi kita tidak lagi muncul dari kejutan, melainkan dari rekomendasi. Kita membayangkan bukan karena ingin, tetapi karena disarankan untuk ingin. Dunia digital tidak lagi hanya memfasilitasi imajinasi, tetapi secara perlahan menulis ulang batas-batasnya.
Fenomena ini menandai sebuah pergeseran epistemologis yang halus dan berbahaya. Imajinasi kita dulunya berarti membuka kemungkinan baru namun sekarang ia diarahkan untuk mencari hasil terbaik yang bisa dihitung. Algoritma menciptakan rasa aman dalam prediksi, sementara imajinasi sejatinya hidup di ruang ketidakpastian. Maka yang dibatasi bukan tentang kebebasan berpikir melainkan melalui keberanian untuk membayangkan sesuatu yang tak efisien sebuah bentuk rasionalisasi atas daya cipta yang pernah menjadi ciri kemanusiaan kita.
Buku Algorithms to Live By karya Brian Christian dan Tom Griffiths menunjukkan adanya banyak keputusan manusia dapat diselesaikan dengan prinsip-prinsip komputasi seperti kapan berhenti mencari pilihan terbaik atau bagaimana menyeimbangkan eksplorasi dan pemanfaatan, atau bagaimana mengatur prioritas di antara banyak tugas.
Di satu sisi, pendekatan ini menarik dan memudahan kita karena ia menjanjikan kejelasan dalam kekacauan, struktur dalam keraguan. Tetapi di sisi lain, ia memperkenalkan pola berpikir baru yang mana setiap keputusan memiliki solusi optimal yang bisa dihitung.
Di titik inilah imajinasi manusia mulai tersubstitusi. Algoritma tidak melarang manusia berimajinasi tetapi menuntunnya agar berimajinasi dalam batas yang dapat dioptimalkan. Kita tidak lagi bertanya “apa yang mungkin”, melainkan “apa yang paling efisien”. Imajinasi yang dulunya berakar pada rasa ingin tahu atau rasa penasaran kita kini telah diarahkan oleh kalkulasi probabilitas dan bahkan oleh apa yang paling masuk akal menurut data. Kesimpulan dari data yang sangat terbatas.
Kita berimajinasi seperti mesin memilihkan sesuatu untuk kita. Kita memilih berdasarkan pola masa lalu, menghindari ketidakpastian, dan menganggap kejutan sebagai kesalahan sistem.
Dalam cara berpikir yang algoritmik dunia menjadi ruang yang dapat diklasifikasikan dan diprediksi namun dalam cara berimajinasi manusia, dunia justru hidup karena yang tak terduga. Di sini muncul batas yang menjadi jelas bahwa algoritma adalah mesin untuk menutup kemungkinan, sedangkan imajinasi adalah gerak untuk membukanya. Ketika manusia mulai lebih percaya pada efisiensi algoritma daripada pada intuisi dan keraguan dirinya sendiri, maka ia perlahan kehilangan keberanian untuk berimajinasi bukan karena kita tidak mampu, tetapi karena tak lagi dianggap perlu. Dan pada akhirnya kita akan tidak memiliki kemampuan lagi untuk berimajinasi.
Imajinasi adalah Resistensi terhadap Rasionalitas Algoritmik
Dalam dunia yang semakin diatur oleh algoritma, imajinasi dapat menjadi bentuk perlawanan yang paling membingungkan. Imajinasi tidak menentang mesin dengan kekerasan, tetapi dengan cara yang lebih abstrak di mana kita tetap sulit membayangkan apa yang tidak dapat diprediksi. Di saat algoritma beroperasi berdasarkan apa yang pernah terjadi, imajinasi justru melompat pada apa yang belum pernah terpikirkan. Imajinasi manusia seharusnya menolak untuk dibatasi oleh pola dan dengan perlawanan ini kita mempertahankan hak dasar kita untuk tidak sepenuhnya dapat diramalkan.
Rasionalitas algoritmik mengajarkan efisiensi yang memang berguna bagi kita misalnya menentukan sesuatu dengan cepat, tepat, semakin sesuai dengan kebutuhan kita. Tetapi imajinasi hidup dari kebalikan logika itu. Ia tumbuh dari ketidaktepatan, dari kegagalan kita, dari kegagalan orang lain. Dalam kegagalan berimajinasi itulah manusia menemukan dirinya yang bukan merupakan entitas yang produktif,melainkan yang masih sanggup bermimpi tanpa tujuan. Di titik ini, imajinasi menjadi tindakan etis bagi kita sebagai agen yang hidup yang menolak untuk menjadikan hidup sebagai persoalan yang harus dioptimalkan.
Imajinasi kita hari ini bukan lagi sekadar mencipta gambar-gambar indah di sosial media melainkan usaha untuk menegaskan kemanusiaan di tengah sistem yang ingin mengkontrol dan mengatur kita. Setiap hari kita membayangkan sesuatu yang tidak berguna, tidak laku, tidak viral dan kita sedang mempertahankan ruang yang tidak bisa dikalkulasi oleh mesin. Imajinasi, dalam pengertian ini, bukan sekadar kebebasan berpikir, melainkan bentuk kesadaran yang menolak direduksi menjadi data. Ia adalah seni untuk tetap tidak efisien hingga karenanya, tetap manusiawi.
Imajinasi melawan Algoritma
Logika bekerja dengan prinsip konsistensi: sesuatu tidak dapat sekaligus A dan bukan-A. Ia menata dunia agar dapat dimengerti, memisahkan benar dari salah, mungkin dari tidak mungkin. Imajinasi, sebaliknya, tumbuh di wilayah di mana batas-batas itu mulai kabur. Ia mengizinkan kontradiksi, memeluk paradoks, dan menemukan makna justru di dalam yang tidak teratur. Dalam imajinasi, “yang tidak mungkin” tidak segera disingkirkan, melainkan dijaga agar tetap hidup sebagai kemungkinan.
Rasionalitas algoritmik tidak memberi ruang bagi kontradiksi yang menghidupkan kita. Rasionalitas ini menafsirkan ambiguitas secara sederhhana sebagai kesalahan sistem yang harus diperbaiki. Tetapi bagi kita ambiguitas sering kali adalah sumber kreativitas yang absolut. Dari ketidaktahuan lahir pertanyaan, dan dari pertanyaan lahir kemungkinan baru. Dengan demikian, imajinasi menjadi wilayah di mana kebingungan bukanlah kegagalan berpikir, melainkan bentuk pemahaman yang lebih dalam terhadap kompleksitas dunia.
Dalam ekosistem digital saat ini, algoritma bekerja bukan hanya sebagai alat bantu, tetapi sebagai kurator pengalaman. Ia memilihkan apa yang perlu kita lihat, dengar, dan pikirkan — dengan alasan sederhana: agar kita merasa nyaman. Rekomendasi film di Netflix dan YouTube misalnya, atau daftar putar di Spotify, hingga linimasa media sosial, semuanya dirancang untuk menyingkirkan ketidakteraturan bagi kita. Kita jarang lagi tersesat di dunia maya, kita hanya tersesat dalam kesadaran kita sehingga menghabiskan banyak waktu. Dan algoritma berusaha dengan sangat keras utnuk memastikan setiap langkah kita.
Masalahnya, imajinasi hidup dari kebingungan, dari momen ketika kita tidak tahu harus menonton apa, membaca siapa, atau pergi ke mana. Ketika setiap pilihan sudah disiapkan oleh sistem, manusia kehilangan peluang untuk menemukan sesuatu yang benar-benar baru. Dunia digital menata ulang rasa ingin tahu menjadi konsumsi yang cepat dan seakan-akan pasti.
Bahkan di ranah estetika, algoritma menggantikan intuis kita dengan cara mereka membuat gambar dengan generator AI, memilih warna dari palet otomatis, atau menulis dengan bantuan sistem prediksi kata. Semua ini tampak mempermudah, tetapi secara halus menggeser makna penciptaan. Imajinasi yang dulu berarti menciptakan sesuatu dari kekosongan kini berubah menjadi menyusun ulang apa yang telah disediakan. Dalam konteks inilah, imajinasi tidak lagi menjadi gerak menuju yang tak diketahui, tetapi sekadar operasi di dalam data yang sudah ada di dunia tanpa ruang bagi kejutan eksistensial.
Di zaman ketika algoritma dapat memperkirakan apa yang kita pikirkan sebelum kita menyadarinya, berimajinasi bukan lagi sekadar kegiatan kreatif, tetapi sebuah bentuk perlawanan sunyi. Rasionalitas algoritmik menawarkan dunia yang tertib, efisien, dan bebas dari kebingungan. Namun, dalam keteraturan itu, ada sesuatu yang hilang yaitu keheningan tempat ide-ide tak terduga lahir, ruang kosong yang dulu memungkinkan manusia membayangkan dirinya secara berbeda.
Imajinasi hidup dari kebingungan, dari langkah yang salah arah, dari waktu yang tidak produktif. Dunia algoritmik, sebaliknya, memoles semua ketidakefisienan itu sehingga menjadi sesuatu yang bisa diprediksi. Akibatnya, manusia belajar untuk berpikir sesuai dengan sistem yang membacanya sebagai data untuk menghindari hal-hal yang aneh dan melupakan bahwa kebaruan sejati tidak lahir dari efisiensi, tetapi dari keberanian untuk tersesat.
Mempertahankan imajinasi hari ini adalah perjuangan kita untuk menjaga kemungkinan untuk tetap tidak efisien, tetap tidak pasti, tetap manusiawi. Di tengah arus rekomendasi yang memetakan segalanya, masih ada ruang yang tidak dapat dijangkau oleh mesin yang menyusun ruang kecil di mana kita membiarkan dirinya bermimpi tanpa tujuan, berpikir tanpa pola, dan mencipta tanpa alasan.
Referensi
Finn, E. (2017). What Algorithms Want: Imagination in the Age of Computing. MIT Press.
Christian, B., & Griffiths, T. (2016). Algorithms to Live By: The Computer Science of Human Decisions. Henry Holt and Company.









Berikan komentar