Ambivalensi Dua Matra Dalam Film Insomnia (1997)

Cuplikan Film Insomnia (1997)
Cuplikan Film Insomnia (1997)

Marquis de Sade dalam karyanya The Philosophy Of Bedroom menggambarkan sikap paling sadis dan paling ekstrem dalam kehidupan manusia khususnya dalam hal seksualitas. Karya tersebut lahir di abad pencerahan saat moralitas benar-benar menjadi suatu ideal yang diyakini secara universal. Lewat gambaran ekstrem Sade, manusia selalu berada dalam posisi yang ambivalen alias mendua antara ide tentang kebaikan dan tindakan yang disebut kejahatan. Sade membawa kita untuk memasuki zona abu-abu ini dengan meninggalkan sepenuhnya mitos tentang moralitas, memasuki kompleksitas kehidupan manusia yang serba rumit dan tanpa perasaan bersalah diri.

Dalam film Insomnia (1997) yang disutradarai oleh Erik Skjoldbaerg, seorang sutradara asal Norwegia, memperlihatkan bagaimana tokoh utama dalam film ini mengalami lompatan realitas dua matra (saya menyebutnya demikian), hal ini mengubah perilaku tokoh utama menjadi suram dan terguncang secara psikologis. Jonas yang adalah seorang detektif kepolisian ternama. Bersama koleganya, Erik, dan beberapa orang polisi menggerebek markas pembunuh seorang perempuan bernama Tanja. Aksi kejar-kejaran pun tidak terhindarkan di tengah kabut yang gelap melintang. Tanpa sengaja, Jonas menembak salah satu koleganya, Erik (yang dia kira si pembunuh). Erik pun terkapar tewas.

Lompatan Moral dan Rasa Bersalah Diri

Untuk menutupi kejadian ini, Jonas berdalih bahwa pelakunya adalah si orang buronan. Jonas menyembunyikan pistol yang ia gunakan saat menembak Erik di sebuah lubang pada kamarnya. Disinilah scene film mulai memunculkan titik didihnya, yaitu adegan Jonas yang terus menerus mengalami kegelisahan, mimpi buruk, dan membuatnya bertindak ganjil, seperti menutupi gorden kamar dengan perekat, dan mengalami kesulitan untuk tidur. Perasaan cemas dan takut yang menghantui jiwanya makin dahsyat, tindakan nekat terjadi saat ia mencoba menukar peluru yang menembusi dada Erik dengan peluru yang telah dilumuri darah anjing yang Jonas bantai dengan sengaja. Ia yakin dengan ini, jejak dari peluru tidak akan terlacak, sebab jika peluru tersebut terlacak, pistolnya pun akan mudah terlacak.  

Karena jengkel dengan si buronan, Jonas berusaha mencari petunjuk dengan mengunjungi sekolah Tanja, dan memanggil salah satu rekan Tanja yaitu Froya untuk mendapat petunjuk mengenai aktivitas Tanja sebelum kematiannya. Saat mereka berdua pergi ke lokasi TKP dimana mayat Tanja ditemukan. Froya memberitahu Jonas bahwa sebelum Tanja tewas, ia sempat berhubungan dengan seorang novelis bernama John Holt, salah seorang novelis yang dikagumi Tanja. Jonas berhasil melacak kediaman Holt, namun mendapati apartemennya kosong, ia menemukan catatan jadwal dokter gigi Holt, ia pun pergi ke dokter tersebut, ketika sampai, Jonas justru mendapati bahwa tempat praktek dokter tersebut tutup. Tanpa sengaja dan kebetulan, Jonas melihat Holt sedang menumpang sebuah bus kota, setelah mengejarnya hingga ia dan Holt secara nyata bertatap muka.

Ketika Jonas menginterogasi Holt di depan umum, Holt balik memainkan peruntungannya dengan mengancam Jonas bahwa Holt melihat dengan mata kepalanya sendiri, bahwa Jonas adalah si pembunuh koleganya, Erik, di tengah kabut. Takut dan cemas akan ancaman tersebut, mereka berdua menjalin kesepakatan rahasia. Mereka bertemu di sebuah tempat lapang berkabut, Holt berjanji tidak akan memberi tahu publik bahwa Jonas adalah dalang di balik kematian asalkan Ia (Holt) dibebaskan dari kasusnya sebagai pembunuh Tanja. Momen yang sangat ironis. Untuk menutupi Holt dari kasusnya, Jonas menggunakan Ellert (mantan pacar Tanja) sebagai tersangka dan secara diam-diam menaruh pistol yang dia gunakan saat menembak Erik di bawah kolong tempat tidur Ellert. Gangguan kecemasan Jonas makin memperburuk penampilan dan perilakunya hingga salah satu koleganya, Hilde mulai mencurigai gelagat Jonas yang semakin aneh karena menginterogasi Ellert dengan pertanyaan yang tidak prosedural dan tidak selayaknya ditanyakan.

Gangguan Psikoseksual

Jonas belum menikah. Secara naluriah, ia membutuhkan perempuan untuk melunasi tagihan hasrat seksual dalam dirinya. Saat mengendarai mobil bersama Froya (salah satu rekan Tanja) ketika mereka pergi ke lokasi TKP tempat mayat Tanja ditemukan, tanpa ia sadari, Jonas meraba paha dan kemaluan Froya. Froya yang awalnya menikmati setiap sentuhan lembut jari-jari Jonas akhirnya menyadari dirinya, Ia pun kaget dan merasa risih karena perlakuan si detektif. Jika Froya mau, ia semestinya sudah bisa melaporkan tindakan lancang Jonas ke pihak berwajib, namun Froya membiarkan Jonas dihantui rasa bersalahnya yang semakin akut. Adegan menarik selanjutnya adalah ketika Jonas menaruh pistol yang ia gunakan untuk menuduh Ellert sebagai tersangka, tanpa sengaja ia menonton Ellert bersama kekasihnya bercumbu dan berhubungan seksual. Rupanya Jonas mengalami dorongan seksual yang semakin dahsyat, ini terbukti saat adegan ketika Jonas menemui seorang perempuan penjaga Bar yang ia kenal, tanpa sengaja mereka berdua bercumbu, namun karena si perempuan semakin risih karena tindakan Jonas yang seakan-akan ingin memperkosa dirinya dengan ganas, si perempuan itu mendorongnya dan lari. Adegan selanjutnya adalah kasur Stellan, yang diperlihatkan dengan grafik yang suram, adegan Jonas meringkih di atas kasur, berkeringat, pucat, dan sulit tidur, ia menyesali semua tindakan seksual yang ia lakukan dengan payah.

Tidak tahan dengan sikap ganjil dirinya sendiri, baik Jonas maupun koleganya, Hilde, berkat petunjuk Froya, mereka menyerbu kediaman Holt. Namun sebelum sempat tertangkap, Jonas cemas dengan perjanjian yang telah ia langgar. Holt telah lebih dahulu kabur ke suatu tempat, Jonas mengetahui tempat yang Holt tuju, ia pun pergi ke tempat tersebut, dan mendapati Holt membawa senapan. Jonas mengklarifikasi tindakannya saat menembak Erik hanyalah sebuah kecelakaan, begitu pula Holt mengklarifikasi tindakannya bahwa ia membunuh Tanja karena sebuah kecelakaan. Tidak ada niat pada diri Holt untuk menyakiti bahkan menyentuh Tanja, Holt bahkan rela membelikan Tanja pakaian seharga 20.000 Kroner. Kejadian tersebut begitu cepat saat Tanja menertawai Holt karena alasan seksual, dan Holt dengan cepat mencekik leher Tanja. Adegan mencapai klimaks saat mereka berkelahi dan saling mengejar, namun naas menimpa Holt, ia terjatuh dari dermaga, mati terseret arus. Dengan demikian, semua barang bukti untuk menuduh Jonas sebagai penembak Erik musnah, namun cerita belum selesai sampai disana, ternyata Hilde telah mengetahui semua rahasia yang disembunyikan Stellan, tentu karena Hilde adalah seorang polisi detektif, Jonas dalam hal ini tidak sendirian.

Ambivalensi Realitas Dua Matra

Tindakan Jonas secara alegoris merepresentasikan manusia modern dengan gesturnya yang paling umum kita jumpai: disiplin, penuh dedikasi, teratur, dan menjunjung tinggi moralitas. Namun, tindakan-tindakan Jonas yang tanpa ia sengaja, secara langsung menguji semua pretelan nilai-nilai ideal yang diyakini secara universal itu. Adegan saat Jonas menjalin kesepakatan dengan sang buronan yang Holt membuat kita kembali berfikir bahwa kedua tokoh adalah dalang dibalik suatu pembunuhan. Namun tak satupun dari mereka menghendaki perbuatan itu. Untuk menutupi tindakan mereka masing-masing, Holt mengeramasi rambut Tanja, memandikan jasadnya hingga bersih, sedangkan Jonas berupaya menyembunyikan dan menukar barang bukti. Kedua tokoh ada pada ambang batas moralitas. Maksudnya, kedua tokoh tersebut tidak memiliki urusan apapun dengan darah sampai suatu hal terjadi dan mereka bertindak tanpa suatu keputusan rasional, meninggalkan sepenuhnya nilai-nilai yang mereka pegang. Pada sisi Holt kita tidak menemukan sedikitpun kecemasan dan rasa bersalah, Holt, sebagai novelis, sepertinya memiliki kemampuan memanipulasi kehidupannya sendiri dan orang lain.

Namun sepertinya sutradara, Erik Skjoldbaerg tidak mengarahkan sorot lensanya pada Holt, melainkan pada Stellan. Jonas mengalami kegelisahan dan kecemasan hebat saat ia mesti mengambil tindakan melompat pada batas-batas moral: menutupi kasusnya sendiri, menuduh tersangka baru, menjalin kesepakatan dengan Holt, dorongan psikoseksual yang aneh, semuanya menghablur dalam momen saat Ia terkapar dan meringkih-ringkih di atas kasur, hanya untuk terlelap tidur.

Film Insomnia secara jitu mengkritik sendi moralitas yang diyakini sebagai nilai yang universal di era pencerahan dan modern dengan mengajak penonton mengakui secara jujur bahwa manusia memiliki kompleksitas kehidupan yang rumit dan ambivalen atau secara banal, mendua. Moralitas tidak mampu mengevakuasi keseluruhan kehidupan manusia yang kompleks berikut juga naluri dan tindakan-tindakannya yang rumit. Film ini berhasil menghadirkan dua tokoh aneh dalam satu tangkapan lensa: Jonas yang meringkuk dengan rasa bersalah diri dan dipenuhi gangguan kecemasan, sedangkan Holt yang lebih memilih tenang dengan cara memanipulasi dirinya sendiri dan orang lain. Ini barangkali yang dimaksud krisis manusia modern itu, ketika mereka dihadapkan pada senjakala dan kerapuhan nilai-nilai moral.

Namun tentu kita mesti berhati-hati, dengan menyimpulkan bahwa nilai-nilai universal seperti moralitas telah menapaki senjakala dan kerapuhannya, bukan berarti moralitas sama sekali tidak ada. Dengan mengakui kompleksitas fenomena manusia sebagai makhluk naluriah, kita justru akan memperoleh titik pijak bersama, mengembangkan kembali segi-segi moralitas secara mendalam, dan mendunia. Sehingga moralitas tidak lagi membelah kehidupan manusia dalam dua skema sempit dan hitam putih.

Ngurah Teguh

Alumnus Filsafat Hindu, Universitas Hindu Indonesia.

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.