Sepuluh Maret 2018 begitu berkesan ketika sajian program di Metro TV pada pukul 20.00 WIB dimulai. Debat dua calon gubernur Jawa Timur putaran pertama dilaksanakan untuk menentukan siapa nahkoda (Gubernur) yang cocok untuk mengendalikan perahu sampan bernama Jawa Timur. Di samping itu rakyat dipusingkan dengan alegori (atau ramalan) mantan ahli “strategi perang” yang bakal mencalonkan diri sebagai Presiden RI, yang menyatakan bahwa kapal induk RI 45 (yang mampu memuat 33 sampan) akan hancur diremuk gunung es pada tahun 2030 mendatang. Masyarakat dihantui kekhawatiran atas pilihannya, mereka dikondisikan untuk mempersiapkan pilihan, kepada siapa kepercayaan kendali nahkoda kapal dan sampan yang ideal akan mereka berikan.
Kedua calon nahkoda (Gubernur) Jatim yang masing-masing kubunya adalah aktor-aktor Incumbent (duduk di satu sisi Emil, mantan Bupati Trenggalek dan di sisi lain bersiaplah Gus Ipul, yang pada saat itu menjabat sebagai Wakil Gubernur Jatim) bertatap muka dalam debat Cagub #1 ini. Momen tersebut dinanti-nanti, terutama karena adu mulut yang dilegalkan dengan stampel ‘berbasis data’. Sayangnya konsentrasi pemirsa seakan-akan harus mengalami “ejakulasi dini” dan pada penghujungnya dipaksa untuk melupakan perkara-perkara yang diajukan.
Tidak seperti pola yang biasa terjadi pada umumnya dalam suatu perdebatan, pembukaan dalam acara ini benar-benar langsung mengejutkan, terutama di saat foreplay. Ketika MC mempersilakan menjabarkan visi dan misi, kedua kubu mendorong pemirsa TV untuk melabeli bahwa kedua Cagub ini nampak sebagai sosok-sosok yang dikotomis. Kalimat-kalimat yang kedua kubu lontarkan nampak ada sangkut-pautnya dengan kepentingan kelompok mayoritas yang ada di Jawa Timur yang kurang-lebihnya seputar santri, pesantren dan Islam. Sekejap pemirsa seperti kehilangan gairah. Bagaimana tidak, di awal acara yang disinggung bahkan bukan iklan melainkan hal-hal berkaitan dengan kelompok agama, bagaimana bisa keadilan sosial akan dibahas lebih menarik pada sesi-sesi debat berikutnya jika dikotomi kelas menjadi pintunya.
Kiai, Madrasah dan hal lain yang berkaitan dengan agama Islam menjadi kata-kata yang sering disinggung. Dalil-dalil suci pun juga keluar dari mulut kedua kubu Cagub. Hal bagus memang, pertanda bahwa mereka adalah benar-benar orang Nahdliyin. Tapi di sisi lain kalau boleh menebak, kedua kubu ini sepertinya telah membaca dan menganalisis bagaimana cara berkuasa seperti apa yang dikatakan Noam Chomsky.
“Dalam suatu bangsa ada banyak kepentingan yang sangat bertentangan sehingga untuk memahami kebijakan dan dampaknya, kita harus bertanya dimana kekuatan berada dan bagaimana ia dijalankan” (Chomsky, 2005:2).
Maka untuk meraih sebuah kekuasaan, seorang calon Gubernur harus mencari letak kekuatan yang berada di tengah-tengah masyarakat. Serta merumuskan terobosan-terobosan yang mutakhir agar sampai pada inti kekuatan yang tercipta di masyarakat, sehingga mendapatkan jaminan zona aman untuk bertengger menjadi penguasa. Hal ini lebih lanjut lagi masih jelas memilukan bagi mereka, orang-orang yang berada di luar golongan kuat (minoritas).
Menurut data Pendis (Pendidikan Islam) Kementerian Agama (Kemenag) pada tahun 2012, Jawa Timur memiliki jumlah santri terbanyak dari seluruh provinsi yang ada di Pulau Jawa. Data Kemenag lainnya (2014) menunjukkan bahwa Jawa Timur di dominasi oleh pemeluk agama Islam. Dengan mutlak, harus diakui bahwa analisis kelas ala Chomsky yang kedua kubu lakukan sangat tajam dan cermat. Ditambah lagi persoalan negeri ini yang selalu terbukti dahsyatnya jika berhubungan dengan isu agama seperti maling kotak amal yang dihajar massa bigot hingga meninggal di tempat beberapa waktu yang lalu. Bulat dugaan kelompok ini merupakan bagian pemegang kekuatan mayoritas (meskipun berbeda sub-religi). Bisa jadi atas dasar tersebutlah ke dua calon tersebut berupaya membaca dan memanfaatkan situasi dimana kelompok mayoritas itu mendominasi dan berpengaruh.
Ketika seorang manusia yang ingin mengejar tahta menjadi Gubernur maka harus mencanangkan kebijakan yang cocok untuk kaum mayoritas yang kuat secara kuantitas. Maka dari itu untuk membentuk konstruksi sosial hingga mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan, analisis kelas Chomsky harus dijadikan alat legitimasi secara komprehensif untuk menguasai sebuah negara. Pemetaan, penggunaan bahasa dan penguasaan data diperlukan bagi seseorang maupun sekelompok orang untuk mendominasi kekuasaan.
Catatan editor: Artikel ini diterbitkan pasca Pilgub Jawa Timur 2018 berlangsung. Salah satu tujuannya adalah untuk mengurangi feedback dari konten yang sensitif beberapa waktu yang lalu. Refleksi dari kawan Ugik di atas menambah lembaran refleksi filosofis dari mahasiswa atas situasi politik lokal belakang di tahun yang panas ini.
- Penulis ini tidak memiliki artikel lain.