Kehidupan manusia terbagi dalam dua sisi pola pikir, ialah sisi idealis dan realistis. Idealisme membuat manusia memimpikan dunia dengan berbagai keindahan dan kontinuitas yang sempurna, tanpa cela. Idealisme hanya berfokus pada segala sesuatu yang sempurna, segala sesuatu yang ada dalam rancang-bangun pikiran mereka menjadi kenyataan ketika diaplikasikan. Sedangkan realisme memimpikan dunia sebagaimana yang mereka tempati saat ini. Semua tidak harus sempurna, karena entah sesuatu akan menjadi sempurna atau tidak, kehidupan akan tetap berjalan dalam realitas yang statis sebagaimana mestinya. Pola pikir realistis menjauhkan diri dari pahitnya angan-angan, melihat kehidupan sebagaimana adanya tanpa berusaha meminta lebih.
Manusia hidup dalam kenyataan. Bangun di pagi hari, lalu berangkat sekolah atau pergi bekerja jam 7 pagi, pulang jam 5 sore, dan tidur jam 10 malam. Keseluruhan kegiatan ini dilakukan setiap harinya (terkecuali hari libur), tanpa perlu bersusah payah untuk memikirkan tentang ego diri dan yang lainnya. Lambat laun proses yang monoton ini menumbuhkan sebuah sudut pandang baru, ialah sudut pandang formalitas, di mana segala sesuatu terjadi secara tetap sebagaimana yang ditentukan oleh pandangan umum.
Formalitas sebagai sebuah sudut pandang yang umum dalam masyarakat modern menjadi sebuah ketetapan yang secara tidak langsung telah diterapkan. Hal ini memang tidak menimbulkan berbagai problem serius. Tidak ada yang akan mempermasalahkan pemakaian seragam bagi para pelajar maupun guru. Orang akan paham dengan tanda merah pada lampu lalu lintas sehingga mereka akan memberhentikan kendaraan mereka sekaligus menunggu kendaraan dari sisi yang lain untuk berhenti. Keseluruhan pandangan umum tersebut tidak mengubah kenyataan bahwa formalitas sebagai sebuah aturan umum memang penting dalam kehidupan.
Namun, jauh dari berbagai pandangan umum, ada beberapa hal yang menjadi kebiasaan keseharian, yang tidak dapat diubah dalam pandangan masyarakat akibat adanya sudut pandang formalitas. Pandangan tersebut seolah-olah memang sudah ditetapkan dan tidak dapat digugat lagi, sehingga menimbulkan kesan negatif dalam masyarakat ketika dilakukan. Contohkan saja, orang Indonesia yang akrab dengan nasi sebagai makan pagi, siang, dan malam akan dianggap aneh ketika tidak makan nasi dan lebih memilih roti atau gandum. Tidak ada masalah ketika melakukan sesuatu yang tidak umum tersebut, namun orang secara tidak langsung telah memberikan nilai salah terhadap apa yang mungkin baru dengan alasan bahwa hal tersebut tidak umum. Akibatnya, realitas yang seharusnya menjadi tempat manusia menginjakkan kakinya seakan hampa, karena realitas seakan statis, tidak dapat diberikan warna baru dan hanya mengikuti berbagai tingkah laku yang tidak ekspresif.
Segala bentuk formalitas yang mulai menahan pribadi setiap orang mulai dipertanyakan. Apakah yang menjadi gagasan dasar dari kehidupan manusia? Lebih jauh lagi, apakah segala sesuatu harus berjalan secara formal sebagaimana apa yang masyarakat umum lakukan, tanpa masyarakat yang ada di dalamnya sedikit saja ingin memberikan corak yang berbeda dari diri masing-masing dengan dalih sebagai karakteristik? Pertanyaan inilah yang kemudian menjadi awal tumbuhnya kesadaran setiap orang bahwa sikap formal tidak harus menjadi landasan perilaku setiap orang dalam segala lingkup kehidupan. Kadang kala sesuatu memang akan tampak berbeda, aneh, dan terkesan irasional, namun dalam sudut pandang lain keanehan dan keberbedaan yang dinilai tersebut merupakan bentuk karakteristik individu dalam memandang dunia dan kehidupan di dalamnya.
Anime merupakan sebutan umum bagi animasi buatan Jepang, ialah salah satu bentuk gambaran perlawanan atas kejenuhan orang dalam memandang realitas. Dalam anime, tercantum suatu pertanyaan penting terkait dengan sudut pandang manusia: Bisakah realitas dibebaskan dari identitasnya yang selalu nyata? Faktanya, segala sesuatu yang nyata terjadi secara konstan tanpa perlu diminta, sehingga menimbulkan kejenuhan realitas, menganggap bahwa kehidupan terjadi sebagaimana ada pada umumnya. Tidak perlu ada perbedaan, atau juga tidak perlu ada sudut pandang yang kontradiksi. Apa yang terjadi serta dialami oleh lingkungan adalah wujud perbandingan yang patut diamati oleh individu untuk memperbaiki kembali apa yang akan menjadi keputusannya. Namun konsep anime tidak menerima hal itu.
Konsep anime menyanggah fakta bahwa formalitas harus diterapkan dalam segala lingkup keseharian. Sebaliknya, anime membangun kesadaran bahwa setiap diri individu tidak hanya sekedar bisa, tapi harus memiliki karakteristik dan pola pikir yang tidak monoton. Pada anime yang sering kali dipandang orang sebagai tempat untuk mengekspresikan keinginan dan imajinasi (yang tidak bisa terealisasi dalam kehidupan nyata), orang tidak dapat membaca lebih jauh bentuk imajinasi yang secara abstrak dan acak dapat menjadi sanggahan atas kemapanan realitas. Dengan imaji, realitas yang selama ini melingkupi kehidupan manusia akan dipertanyakan kembali, lalu dikaji sebagaimana mestinya untuk kebutuhan umat manusia.
Lantas, apakah hidup harus tenggelam dalam imajinasi, sebagaimana yang ada dalam penonton anime? Tentu saja tidak. Penilaian umum sedemikian rupa yang sering didasarkan pada pandangan yang cenderung skeptis atau pesimis besar kemungkinan telah mengabaikan banyak detail rinci. Sebagaimana kata Albert Einstein, bahwa imajinasi lebih penting dibandingkan dengan pengetahuan, membuktikan bahwa apa yang sudah diketahui dan dipahami akan terhenti dalam aspek dengan pemahaman dan pengetahuan yang sama, sedangkan imajinasi mengeluarkan pandangan diri tidak hanya dalam unsur pengetahuan dan pemahaman semata, namun juga dalam aspek yang dipandang dan dipahami tersebut. Anime menjadi bentuk nyata bahwa ketimpangan pandangan umum terhadap apa yang berbeda sering kali terabaikan, dan sebaliknya, anime membumikan kembali fakta bahwa realitas yang ada memang harus dialihkan, lalu diperbarui dengan meninjau imaji yang ada.
Lutfi Mahendra
Lutfi Mahendra adalah mahasiswa jurusan Aqidah Filsafat Islam di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya.