Leo Tolstoy dan Urgensi Validasi Personal

Menvalidasi bukan berarti meragukan, namun meneguhkan kembali.
Potrait Leo Tolstoy

Membahas tentang Tuhan dan problem-problemnya merupakan pembahasan yang tidak pernah selesai. Jauh pada periode awal kelahiran filsafat yang dapat mempertahankan eksistensinya hingga saat ini, Thales sebagai salah satu filosof masa klasik telah mempertanyakan masalah yang bernuansa teologis, ialah tentang unsur yang menjadi dasar dari penciptaan alam semesta. Perbincangan Thales tersebut kemudian meluas dan bervariasi dalam pemikiran filosof lainnya, seperti Empedokles, St. Agustinus, Gottfried Leibniz, Al-Farabi, Al-Ghazali, sampai Bertrand Russell dan banyak filosof lainnya. Meskipun banyak argumentasi mengenai Tuhan dan berbagai problem ketuhanan, namun wacana mengenai Tuhan terus hadir setara dengan meningkatnya sifat kritis manusia akan dunia yang terus berubah.

Tuhan merupakan istilah yang universal. Banyak orang akan sepakat bahwa Tuhan merupakan sebutan bagi pencipta alam semesta sekaligus muara paripurna dari segala bentuk kebaikan (kebenaran). Kuasa Tuhan yang sesuai dengan sifat wujudnya, ialah transenden sekaligus imanen membuat manusia memiliki pengertian yang berbeda tentang Tuhan itu sendiri, sekaligus beragam cara untuk dapat mendekatkan diri kepada-Nya. Atas dasar dari problem yang fundamental tersebut, hadirlah agama sebagai solusi untuk manusia memahami Tuhan dan seluruh jalan untuk bisa mencapai sisi-Nya. Dengan agama, manusia dapat mengenali Tuhan sebagaimana mestinya.

Meski demikian, terdapat perbandingan yang jauh antara usia dunia dengan usia manusia. Dunia hanya berganti masa sesuai dengan keadaan makhluk hidup yang ada di dalamnya, sedangkan manusia memiliki batas umur. Setiap manusia secara pasti akan mati, berganti keturunan, membangun marga, mengelola dunia dan mengeksplorasikannya demi kesejahteraan hidup mereka. Tuhan memang tetap ada-Nya, namun apa yang diwahyukan-Nya sebagai ajaran untuk umat manusia tidak dapat lepas dari kenyataan bahwa semua itu masih terikat dengan sejarah. Sejarah membawa kekuatan untuk terus mengubah manusia, sehingga semua ajaran Tuhan harus mengalami telaah kembali agar dapat dipahami oleh manusia yang telah hadir dari generasi selanjutnya. Hal inilah yang kemudian menjadi alasan mengapa ada banyak agama di dunia ini. Tuhan yang Maha Esa dengan ajarannya yang tetap terikat pada ruang – waktu mengalami distorsi pemahaman, yang mengharuskan manusia untuk kembali memahami maksud Tuhan sesuai dengan perkembangan zaman mereka pada masa tersebut.

Semua alur yang universal tersebut mengenai korelasi antara Tuhan dan agama tidak dapat dilepaskan dari adanya kerja Iman. Secara sederhana, Iman merupakan sebuah bentuk ikatan antara manusia dengan Tuhan. Ada sebuah perbedaan ketika seseorang mengatakan mempercayai dengan mengimani. Percaya berarti orang yakin atas apa yang telah diketahuinya maupun yang dilihatnya. Pada implementasinya istilah tersebut lebih banyak mengarah pada aspek komunikasi dalam masyarakat, seperti pertukaran informasi dengan orang lain. Sedangkan Iman lebih dari sekedar percaya, namun juga meyakini dengan sepenuh hati atas apa yang dilihatnya maupun yang tidak dilihatnya. Jika percaya memiliki batasan pada fisik, maka Iman tidak. Kuasa Tuhan yang luas tidak sepenuhnya dapat ditangkap dengan percaya, melainkan dengan Iman. Iman mengarahkan manusia pada kepercayaan yang penuh, yang keseluruhan dari implementasi atas Iman tersebut bertitik pada Tuhan.

Iman memegang peranan yang penting dalam kehidupan setiap orang. Karena agama adalah jalan hidup, maka peranan iman adalah menguatkan jiwa manusia untuk senantiasa tetap berada dalam jalan hidup tersebut. Namun menjadi persoalan yang tanpa disadari oleh banyak orang bahwa mereka sejak lahir telah memeluk suatu agama, meyakini Tuhan dengan menjalankan segala bentuk perintah dan larangannya, tanpa mempertanyakan mengapa harus bagi manusia untuk memeluk agama yang dipeluknya sekarang serta meyakini Tuhan yang dirinya imani saat ini.

Hal ini menjadi sesuatu yang perlu untuk dipahami kembali, mengingat bahwa agama memberikan kejelasan akan hidup yang dijalani manusia. Terutama jika kemudian manusia telah sampai pada titik di mana dirinya merasa stagnan, terasing dengan segala bentuk rasionalitas dan perilaku hedon yang selama ini dirinya lakukan. Bahkan tidak jarang kemudian individu menolak realitas atas lingkup kepribadian yang selama ini membangun karakteristik dirinya. Karena problem itulah validasi iman secara personal penting dilakukan oleh setiap orang.

Leo Tolstoy merupakan salah seorang filosof yang kiranya berani untuk mempersoalkan kembali keyakinan dalam dirinya. Karyanya yang berjudul A Confession menggambarkan banyak sekali pertentangan akan apa yang selama ini dirinya yakini dalam realitas lingkup kepribadiannya. Awal perjalanannya untuk kembali mengoreksi akan apa yang dipercayainya dimulai ketika dirinya tidak memahami atas alasan apa dirinya melakukan segala bentuk ritual keagamaan seperti puasa, mengikuti khutbah, pergi ke tempat ibadah untuk berdoa dan berbagai praktek lain yang membuat dirinya semakin merasa tidak memahami agama. Usianya yang masih muda ketika memikirkan semua itu memberikannya banyak waktu untuk rihlah, melakukan perjalanan religius demi mencapai pemahaman atas apa yang tertinggi dan apa yang harus dilakukannya.

Tanpa terputus dari pencariannya, Tolstoy terus mencari sembari mempelajari banyak karya filosof besar seperti Immanuel Kant yang bernuansa moralitas religius dan Arthur Schopenhauer yang bernuansa pesimisme. Meski dirinya telah banyak mempelajari kedua pemikiran filosof tersebut, namun dirinya tetap tidak dapat menemukan secara jelas akan makna Tuhan karena ada-Nya memang tidak dapat benar-benar dibuktikan dengan akal. Pencariannya yang seakan tidak membuahkan hasil, menariknya pada kehidupan hedon, melakukan banyak hal yang menggambarkan gelora masa muda, yang kemudian membuat dirinya malah hilang arah. Tanpa berhenti, Tolstoy kembali mencari, berhenti sebentar untuk melihat kebenaran dan dogma yang saling bercampur, kemudian kembali mencari. Keseluruhan pencarian yang dilakukannya tersebut kemudian membawanya pada kenyataan bahwa agama memang memiliki banyak penafsiran, namun  terlepas dari benar maupun tidak, semua itu memang sudah menjadi tugas yang tidak pernah berkesudahan bahwa manusia memang harus senantiasa melakukan pencarian. “Hiduplah mencari Tuhan, maka kamu tidak akan hidup tanpa Tuhan”, adalah konklusi atas apa yang didapatnya saat akan melakukan bunuh diri karena merasa gagal untuk mencari Tuhan, atau lebih dari itu, untuk mendapatkan kebenaran.

Langkah Tolstoy dalam melakukan rihlah demi mencapai pemahaman akan urgensi atas Tuhan maupun agama merupakan sesuatu yang diperlukan oleh masyarakat saat ini. Agama saat ini mengalami masa stagnasi dalam masyarakat. Keadaan masyarakat sekarang hampir serupa dengan Tolstoy, ialah tidak mampu memandang keseluruhan praktek ibadah sebagai sarana untuk mencapai Tuhan. Karena itu, masyarakat perlu untuk mencari kembali urgensi atas iman yang ada dalam hidup mereka serta meneguhkannya. Pada kenyataannya, tidak seluruh nilai dan pelajaran yang terkandung dalam berbagai fenomena ketuhanan mampu untuk ditangkap secara nyata oleh manusia. Manusia sebagai seorang mengungkapkan objek yang fisik, melainkan sebagian dari nilai maupun pelajaran juga dapat ditemukan dalam agama. Tugas manusia hanya satu, ialah terus mencari, sampai pada titik di mana fisiknya telah mencapai batas, ialah kematian.

Menvalidasi bukan berarti meragukan, namun meneguhkan kembali. Kita memang telah mempercayai, atau lebih jauh lagi, mengimani satu Tuhan yang telah dijabarkan dalam sebuah agama, dan kita mengklaim itu sebagai suatu bentuk kebenaran. Namun, keseluruhan dogma yang mengundang pemahaman beragam pada diri penganutnya membawa narasi validasi kembali memegang peranan penting. Setiap orang boleh percaya, atau lebih jauh lagi boleh beriman, namun validasi diperlukan agar keimanan yang dimiliki oleh seseorang memang merupakan keimanan yang disadari, bukan sebuah keimanan yang hanya berfokus pada formalitas belaka. Validasi menuntun orang agar beriman secara sadar, sehingga aspek teologi dapat kembali memposisikan dirinya sebagai aspek yang utama dalam hidup manusia, terutama jika disatukan dengan tujuan universal yang merupakan harapan manusia diseluruh dunia, ialah harapan untuk sebuah kehidupan yang aman, damai, dan sejahtera.

Referensi:

Leo Tolstoy, A Confession. (Terj.) Selasar Publishing, Surabaya. 2010.

Lutfi Mahendra

Lutfi Mahendra adalah mahasiswa jurusan Aqidah Filsafat Islam di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya.

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Skip to content