Manusia hidup dalam dunia yang penuh dengan keragaman. Keragaman di sini tentu melingkupi keseluruhan aspek dan komponen dalam hidup manusia, mulai dari faktor kepribadian setiap individu sampai faktor sosial budaya atas lingkup gerak masyarakat. Keragaman yang ada dalam kehidupan manusia sudah tentu membuat mereka tidak akan pernah bisa sampai pada satu tujuan, sehingga perlu satu alat perilaku yang mesti dipergunakan manusia untuk menjembatani perbedaan antara satu sama lain. Alat perilaku tersebut disebut dengan pemahaman.
Dunia yang sarat keragaman ini tidak dapat terlepas dari kenyataan atas adanya beragam peristiwa, berbagai pernyataan maupun tulisan seperti buku dan naskah-naskah sejarah. Karena itu, hermeneutika memegang peranan penting dalam menghadirkan makna dari semua peristiwa maupun tulisan-tulisan tersebut. Dunia yang terus bergerak dalam ruang waktu tertentu membuat manusia tidak dapat berhenti memahami. Hanya dengan memahami, segala sesuatu dapat terurai menjadi argumen ataupun pernyataan yang dapat ditangkap maksudnya baik oleh diri sendiri maupun oleh orang lain.
Dalam filsafat, pemahaman mendapatkan istilah khusus ialah yang disebut sebagai hermeneutika. Di balik penjabaran definitifnya, hermeneutika tidak membatasi diri pada kerja pemahaman saja, melainkan juga termasuk di dalamnya kerja penafsiran, penerjemahan, sampai pada penyampaian atas apa yang telah ditafsirkan mau pun yang telah diterjemahkan. Namun secara umum, orang mendefinisikan hermeneutika sebagai suatu proses memahami teks, yang teks tersebut melingkupi semua hal yang dapat dipahami, baik berupa tulisan, peristiwa maupun seni.
Hermeneutika identik dengan Hermes, salah seorang dewa Yunani yang memiliki kewajiban untuk menyampaikan pesan dari dewa kepada manusia. Dari Hermes inilah, istilah awal dari hermeneutika lahir. Plato menjadi orang yang menyematkan istilah hermeneutika dalam karya-karyanya. Mulai dari saat itu, hermeneutika tumbuh dalam tradisi berpikir filsafat Yunani bersamaan dengan populernya penggunaan logika dalam setiap diskusi.
Dalam praktiknya, hermeneutika mampu mempertahankan sisi pragmatisnya sampai pada era modern. Filsuf yang disebut sebagai pelopor atas berdirinya hermeneutika modern adalah Friedrick Schleiermacher. Dalam pemikirannya, hermeneutika mencoba untuk melepaskan diri dari keterbatasan pemahaman atas kitab suci. Meskipun Schleiermacher masih tidak sepenuhnya dapat melepaskan ikatan literalisme dalam pembacaan kitab suci, namun prinsipnya yang menekankan bahwa keseluruhan pemahaman yang diproduksi dalam pembacaan atas teks hanya dapat menjadi satu kebenaran pada saat itu, secara tidak langsung telah memberikan jalan bagi para filsuf setelahnya untuk mengembangkan hermeneutika. Martin Heidegger, Hans-Georg Gadamer, Paul Ricouer, sampai Jacques Derrida merupakan beberapa nama-nama besar yang muncul sebagai pengembang dari hermeneutika Schleiermacher.
Hermeneutika dari awal kelahirannya sampai saat ini masih membawa satu tujuan besar, ialah meminimalisir literalisme dalam pembacaan teks, khususnya kitab suci. Literalisme sendiri bukanlah sebuah kebiasaan baru, melainkan sebuah tradisi yang sudah mendarah daging dalam masyarakat. Literalisme sering dipahami sebagai metode memahami teks dengan berpusat pada makna teks tersebut. Apa yang ditulis maupun diucapkan oleh pengarang yang menjadi perantara atas kelahiran teks, dipahami sebagaimana adanya. Melihat teks sebagai sebuah sebuah kumpulan kata dan fakta yang sarat dengan unsur gramatikal menghadirkan pembacaan untuk pemahaman secara objektif. Karena kerja literalisme yang praktis inilah orang banyak mempergunakannya sebagai alat baca untuk kitab suci.
Namun, penghadiran makna teks yang telah dibaca memiliki problem, ialah kenyataan bahwa hasil bacaan sekaligus kelahiran teks tersebut terpaut pada satu ruang waktu tertentu. Teks akan tetap sama sekalipun waktu terus berubah serta ruang yang selalu berpindah, sedangkan makna teks terikat dengan waktu kelahiran teks tersebut, sehingga hasil baca atas teks sesuai dengan masa teks itu lahir maupun masa saat teks itu dibaca. Pembacaan yang semacam ini bukanlah sebuah masalah, namun jika pembacaan dengan cara tersebut diterapkan pada kitab suci, tentu akan membuat berbagai kebingungan dan kerancuan. Kekhawatiran tersebut dapat dipahami, mengingat bahwa ayat dalam kitab suci sering kali dikutip sebagai landasan atas berbagai pola hidup dan tingkah laku masyarakat dalam aspek beragama maupun dalam kehidupan keseharian.
Namun, nyatanya menghadirkan makna yang ada dari masa lalu tentu tidak dapat sepenuhnya sesuai dengan masyarakat saat ini, karena masyarakat pos-modern dan setelahnya memiliki berbagai masalah yang senantiasa berkembang, sehingga atas dasar perkembangan masalah dalam kehidupan manusia inilah, pembacaan teks secara literal tidak dapat menemukan jalan keluar atas masalah yang dihadapi, sehingga hermeneutika hadir untuk menjembatani antara teks, pembaca, dengan kepentingan zaman.
Dewasa ini, cara baca literalisme identik dengan metode tafsir atas kitab suci. Banyak pemuka agama yang masih kukuh pada anggapan bahwa tafsir secara literal merupakan satu-satunya cara baca atas ayat yang ada di dalamnya. Padahal, perkembangan zaman yang meluaskan wawasan, cara pandang, maupun masalah dalam kehidupan manusia menuntut kesigapan kitab suci untuk dapat memenuhi kebutuhan manusia dengan menjawab berbagai persoalan hidup yang mereka lalui. Bahaya literalisme sebagai salah satu metode baca atas ayat dalam kitab suci membawa hermeneutika untuk ikut serta sebagai metode cara baca.
Dalam pembacaan atas ayat dalam kitab suci, posisi hermeneutika sejajar dengan tafsir. Meski demikian, tafsir yang menghadirkan pemaknaan literal atas teks tetap tidak dapat disalahkan. Orang akan lebih mudah memahami makna teks dengan membaca teks sebagaimana adanya. Hal tersebut merupakan cara baca teks secara objektif. Namun, perbendaharaan kata yang beragam, latar belakang teks juga pengarang, serta kita sebagai pembaca yang membawa tujuan masing-masing dalam membaca teks tidak dapat dilepaskan dari proses penafsiran. Di sinilah hermeneutika hadir, guna memberikan terobosan dengan jalan menghadirkan makna lain yang tidak dapat ditangkap oleh tafsir sebagai cara baca. Melalui hermeneutika, teks akan lebih membumi, karena tidak sekedar mengungkapkan makna yang ada di dalamnya, melainkan juga menghadirkan hasil penafsiran yang “kekinian”, selaras dengan masalah hidup masyarakat.
Pada akhirnya, baik hermeneutika maupun tafsir, keduanya sama-sama alat yang mati. Manusia yang berperan sebagai pengguna mestilah lebih bisa menyesuaikan penggunaan atas kedua alat tersebut dengan tetap mengedepankan kebijaksanaan dan keluasan wawasan atas pengetahuan. Menafsirkan ayat dalam kitab suci merupakan sesuatu yang umum dan telah menjadi kebiasaan, namun melakukan pembacaan atas ayat dan hasil baca tafsir atas ayat tersebut dengan mempergunakan hermeneutika merupakan sesuatu yang tidak seluruhnya dapat dipahami fungsinya oleh masyarakat luas. Karena itu, pembacaan ayat dengan mempergunakan keduanya merupakan salah satu alternatif guna untuk melihat berbagai keragaman hasil baca di antara keduanya. Dari keragaman inilah, terhubung garis-garis persamaan yang memuat kepentingan bersama antar golongan, sehingga dapat mendekatkan masyarakat pada pola-pola kehidupan yang mengedepankan kerukunan dan persatuan dalam perbedaan di dalamnya.
Referensi
F, Budi Hardiman. Seni Memahami: Hermeneutika dari Schleiermacher sampai Derrida. (Yogyakarta: PT Kanisius, 2015).
Lutfi Mahendra
Lutfi Mahendra adalah mahasiswa jurusan Aqidah Filsafat Islam di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya.
- 01/02/2021
- 12/04/2022