fbpx

Apa itu etika Nicomachea?

Etika Aristoteles adalah etika teleologis. Artinya, etika yang memusatkan diri pada tujuan atau hasil perbuatan.
The Vintage Festival karya Lawrence Alma-Tadema

Setiap orang pasti menginginkan hidup secara tenang, nyaman dan tentram. Namun, banyak dari mereka bingung atau bahkan tidak tahu caranya sama sekali. Kalaupun tahu, mereka biasanya beranggapan bahwa hidup yang tentram dan nyaman dapat dicapai ketika orang memiliki harta yang banyak atau menjadi orang terkenal. Padahal, kedua hal tersebut tidak mesti membuat orang menjadi nyaman dan tentram. Bisa jadi dengan harta yang banyak atau menjadi orang terkenal orang akan dirundung kecemasan terus-menerus. “Bagaimana nantinya bila hartaku terkuras habis?” “Bagaimana nantinya bila suatu kelak aku melakukan kesalahan besar sehingga reputasiku menjadi hancur?” Kurang lebih hal tersebut yang bersemayam dalam otak mereka. 

Lantas, bagaimana hidup kita bisa menjadi nyaman dan tentram? Adakah caranya? Di sinilah letak pentingnya mengenal dan mengetahui Etika Nicomachea. Etika yang dicetuskan oleh Aristoteles ini simpel dan tidak rumit. Dengan ini, orang dapat menjadikan etika ini sebagai referensi untuk menuju kenyamanan dan ketentraman hidup.

Tentang Etika Nikomachea

Pada zaman Yunani Kuno, banyak filosof berusaha untuk mencari landasan rasional bagi moralitas. Mereka tidak ingin begitu saja mengikuti aturan-aturan yang ditetapkan oleh tradisi, adat istiadat atau kebiasaan masyarakat. Mereka mempertanyakan dan mencari alasan yang dapat diterima oleh akal. 

Memang tak salah bila moralitas itu berisi ajaran-ajaran, petuah-petuah atau wejangan-wejangan tentang bagaimana menjalani hidup yang baik. Moralitas menunjukkan mana perbuatan yang mesti dilakukan oleh manusia dan mana perbuatan yang mesti dijauhi oleh manusia. Namun, mengapa kita mesti menuruti ajaran tersebut? Misalnya, mengapa kita mesti bersikap jujur dan menjauhi perbuatan bohong? Mengapa kita mesti menghormati orang lain dan tidak boleh mencela orang lain? Atau lebih mendasar lagi, mengapa kita mesti menjalani hidup yang baik? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh etika.

Nah, Aristoteles adalah orang yang paling awal dalam mensistematisasi dan memberikan pendasaran bagi etika. Salah satu filsuf besar Yunani ini menulis tiga karya mengenai etika yakni, Ethica Nicomachea, Ethica Eudemia dan Magna Moralia. Ethica Nicomachea merupakan karya terakhir yang ditulis oleh Aristoteles dalam bidang etika. Sehingga, dalam karya tersebut kita dapat menemukan pemikirannya yang jauh lebih matang mengenai etika. 

Ethica Nicomachea terdiri atas sepuluh buku yang didasarkan pada risalah-risalah yang Aristoteles berikan selama mengajar di Lyceum. Risalah tersebut disunting dan dipersembahkan kepada anak laki-lakinya yang bernama Nikomakus. Maka, tak heran apabila karya tersebut diberi judul Ethica Nicomachea. Lantas, bagaimana pemikiran Aristoteles mengenai ettika yang dituangkan dalam karya tersebut. 

Eudaimonia: Menuju Kebahagiaan

Etika Aristoteles adalah etika teleologis. Artinya, etika yang memusatkan diri pada tujuan atau hasil perbuatan. Sebab, bagi Aristoteles, segala sesuatu pada dirinya pasti mempunyai tujuan. Dalam konteks etika teleologis, tujuan yang ingin dicapai adalah Eudaimonia. Kata tersebut berasal dari bahasa Yunani “Eudaimon” yang berarti kebahagiaan atau kenyaman. 

Aristoteles bisa berpikir demikian karena tahu bahwa semua orang pasti menginginkan kebahagiaan. Segala perbuatan yang dilakukan manusia pada ujungnya adalah untuk mendapatkan kebahagiaan. Misalnya, orang ingin menempuh pendidikan setinggi-tingginya karena percaya hal itu dapat mengantarkannya mendapatkan pekerjaan yang layak. Jika mendapatkan pekerjaan yang layak, maka hidupnya akan menjadi mapan. Melalui kemapanan itulah segala hal yang diinginkannya dapat tercapai. 

Namun, kebahagiaan yang dimaksud Aristoteles tidak seperti contoh di atas. Kebahagiaan adalah sesuatu yang bernilai pada dirinya sendiri dan bukan sesuatu yang berusaha dicapai demi sesuatu yang lain. Artinya, ia berada pada posisi teratas dalam konteks harapan atau keinginan seseorang. Maka, orang yang mengaku telah bahagia tak akan mungkin memerlukan sesuatu yang lain lagi. Adalah tak masuk akal apabila orang yang telah bahagia masih memerlukan hal yang lainnya lagi. 

Contoh yang ditampilkan di atas lebih tepat disebut dengan kesenangan. Kesenangan adalah perasaan sesaat dan bukan merupakan nilai terujung yang ingin dicapai manusia, karena masih memerlukan hal lainnya lagi. Perlu diingat juga kesenangan tak selalu berdampak baik. Bisa jadi dengan tercapainya segala hal yang diinginkan itu orang menjadi boros yang karenanya sedikit demi sedikit dapat menguras hartanya. 

Lantas, bagaimana konsep kebahagiaan yang dipikirkan Aristoteles? Bagi Aristoteles, orang bisa disebut bahagia apabila ia senantiasa melakukan kebajikan. Kebajikan dapat mengantarkan seseorang pada perasaan puas, nyaman dan tenang. Misalnya, orang yang jujur. Betapapun menyakitkannya, orang yang berani jujur hatinya akan tenang dan nyaman. Berkebalikan dengan bohong yang awalnya memang terasa enak diucapkan, namun akhirnya berujung pada perasaan menyesal. Di sinilah kritik Aristoteles atas hedonisme yang mengajarkan untuk mengejar kenikmatan sepuasnya dan menghindari sakit semaksimal mungkin. Tak mesti kenikmatan membawa kebahagiaan dan sakit membawa kesengsaraan. Tak jarang kenikmatan justru membawa kesengsaraan dan sakit membawa kebahagiaan. Laiknya obat yang rasanya memang pahit, namun membuat kesembuhan dan makanan-makanan enak yang rasanya memang sedap, namun membawa penyakit. 

Lalu, dari mana kita tahu sesuatu itu bajik? Ada empat level yang dicatat oleh Aristoteles: pertama, imitasi (peniruan). Kita tahu perbuatan itu bajik setelah meniru orang lain (guru, ustadz, orang tua dll). Apa yang kita perbuat sesuai dengan apa yang orang kita tiru itu perbuat. Jadi, perbuatan baik kita masih tergantung pada orang lain. Kedua, internalisasi. Dalam level ini kita mulai merefleksikan tentang apa yang akan kita perbuat. Di sinilah kita mulai bertanya mengapa kita mesti berbuat baik dan menghindari perbuatan yang tidak baik. Namun, level ini berhenti pada refleksi. Ketiga, melakukan aksi. Barulah pada level ini orang mulai melakukan aksi atas apa yang telah direfleksi. Maksudnya, kita tidak hanya sebatas tahu, melainkan juga langsung mempraktekkan. Keempat, pembiasaan. Orang mesti membiasakan diri berbuat baik agar menjadi terbiasa. Orang yang sudah terbiasa berbuat baik, maka akan muncul perasaan tidak enak apabila tidak berbuat baik.

Aristoteles kemudian membagi kebajikan menjadi dua yakni, kebajikan intelektual dan kebajikan moral. Kebajikan intelektual ialah kebajikan yang bersumber pada kegiatan intelek. Kebajikan ini ada yang bertolak pada rasio teoritis dan ada pula yang bertolak pada rasio praktis. Rasio teoritis adalah rasio yang digunakan untuk memikirkan fisika, yang ilahi, yang abadi dan hal-hal abstrak lainnya. Rasio ini dapat memunculkan kebahagiaan. Kita dapat melihatnya pada para sufi yang dapat berkomunikasi dengan Tuhan atau para fisikawan yang dapat mengetahui rahasia di balik alam semesta ini. Dan orang yang bijaksana dalam menggunakan rasio ini disebut dengan sophia.

Sedangkan, rasio praktis adalah rasio yang digunakan untuk menyelesaikan persoalan praktis dalam kehidupan sehari-hari. Rasio ini tidak bisa dipelajari, tetapi lahir dari akumulasi pengalaman dan pembiasaan. Orang yang bijaksana dalam menggunakan rasio ini disebut dengan phronesis.

Satu lagi ialah kebajikan moral. Bagi Aristoteles, kebajikan moral ialah perbuatan manusia yang mampu memilih jalan tengah dari dua hal yang berlawanan. Dengan lain kata, ia adalah sikap yang berupaya mencari moderasi dari dua ekstrem yang bertentangan. Misalnya, orang yang berhemat. Ia mampu memilih jalan tengah dari kikir dan boros. Dalam konteks ini, Arsitoteles menggaungkan keseimbangan, ketertataan dan keteraturan hidup yang menjadi slogan bangsa Yunani. Oleh karena itu, hidup yang baik ialah hidup yang tak berlebihan dan tak berkekurangan.  

Akbar Darojat

Mahasiswa Aqidah dan Filsafat di Universitas Islam Negeri Surabaya

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content